Seperti bumi yang selalu berotasi, roda kehidupan senantiasa berputar seiring perjalanan waktu. Meski terkadang goresan nasib memaksa manusia untuk berhenti pada keadaan buruk yang tak disukai. Karena di sini duka dan nestapa selalu melekat dalam jiwa. Membatasi setiap ruang, gerak, dan waktu. Membelenggu hidup pada cucuran keringat dan air mata yang luruh. Dan langit seolah menjadi payung hitam, yang setia mengiringi langkah diri dalam mengarungi terjalnya perjuangan hidup.
Juga bagi Revita dan Mitty, perasaan terkadang dirasa seperti air yang mengalir tak tentu arah. Menuju ke mana saja, tanpa peduli mengarah pada siapa. Dan ikan-ikan sebagai perwujudan rasa rindu, berenang ke sana-ke mari seolah sengaja mempermainkan hati. Hati yang telah dimanipulasi. Sebab remaja tak ubahnya seperti nelayan kasmaran, mencoba mengurangi lautan asa guna menangkap ikan-ikan kerinduan dengan jala-jala kesetiaan yang tanpa kenal lelah selalu ditebarkan.
Seperti hari ini, di hari yang ke 40 setelah meninggalnya Papa Revita, malam itu diadakan selamatan guna mengirimkan doa-doa dan kalimah toyyibah untuk almarhum. Dan sebagai bentuk dukungan moral, Kepala Sekolah dan beberapa orang guru turut hadir dalam acara itu. Sebab walau Revita baru genap satu tahun menjadi siswa di SMA Tunas Bangsa, namun mampu membawa admosfir yang menyegarkan.
Ketika acara tahlil sudah selesai, para tetangga dan para undangan sudah pada berlalu dari rumah Revita itu, sebelum pulang Bapak Kepala Sekolah masih sempat mengajak bicara Revita dan Mitty..
“Sebelumnya maafkan Bapak ya kalau dalam kesempatan yang masih berduka ini, Bapak terpaksa harus menyampaikan hal ini. Mengingat hanya kalian berdua dan teman-teman, yang Bapak pandang mampu memikul tanggung jawab sebesar ini.”
“Maksudnya, Pak?” tanya Revita dan Mitty berbarengan.
“Begini kemarin sekolah menerima surat dari Dinas Pendidikan untuk mempelopori peringatan Hari Kartini. Ya, seperti yang kalian tahu, sekarang ini peringatan Hari Kartini telah kehilangan gaungnya. Makanya kami ingin tahun ini, diadakan satu acara yang benar-benar berbau Kartini.”
“Konsepnya bagaimana, Pak?” tanya Mitty lagi.
“Soal konsep dan bagaimana bentuk acaranya, terserah kalian. Yang penting bisa membangkitkan semangat Hari Kartini. Saya yakin, sebagai Remaja Teladan, kalian pasti bisa mewujudkan gagasan ini.”
“InsyaAllah, Pak. Kami akan usahakan,” ujar Revita dan Mitty kompak.
“Bagus! Dan pihak sekolah siap mendukung kalian.”
“Terima kasih, Pak.”
“Sama-sama. Kalau begitu Bapak dan guru-guru yang lain permisi dulu ya, kami tunggu kabar baiknya.”
“Tentu Pak.”
Mereka menyalami Kepala Sekolah dan para guru, lalu mengantar kepergiannya sampai di depan pintu gerbang.
*****
Esok harinya di kantin sekolah.
Mitty, Revita, Dirga, dan beberapa orang temannya berkumpul dalam satu meja di sudut ruangan guna membicarakan apa yang telah dimandatkan Bapak Kepala Sekolah, sambil makan gorengan. Seperti biasa, Mitty yang bertugas menjelaskan semua itu pada teman-teman, sedang Revita hanya menambahi saja.
“Nah begitulah teman-teman acara yang diharapkan oleh Bapak Kepala Dinas dan juga Kepala Sekolah. Jadi sebagai Remaja Teladan tahun ini, kita harus mampu menunjukkan eksistensi kita. Walau untuk itu kita harus memanipulasi hati, dengan mengesampingkan kepentingan pribadi kita, demi nama baik sekolah, negara, dan Ibu Kartini tentu saja. Sampai di sini, barangkali ada yang punya ide, usul, atau saran?” tanya Mitty sambil menatap temannya satu persatu.
Sejenak mereka saling pandang. Baru kemudian Dirga yang angkat bicara.
“Bagaimana kalau kita adakan saja pagelaran seni, musik dan tari misalnya. Saya yakin dengan musik akan banyak pengunjungnya.”
“Iya, betul itu.” Gino menambahkan, “sekarang kan musik dangdut campursari lagi disukai anak muda. Dengan pagelaran musik, pasti seru jadinya.”
“Maaf teman-teman, kalau acara musik saya kira justru sering menimbulkan kerusuhan. Lagipula sukses dan tidaknya acara peringatan Hari Kartini ini, bukan tergantung dari ramai dan tidaknya pengunjung, tapi dari keberhasilan kita menanamkan semangat juang RA Kartini untuk masyarakat, generasi muda khususnya,” kata Revita menandaskan.
“Kalau begitu apa acara yang sesuai?” Didit ganti bertanya.
“Dari beberapa interview yang aku lakukan dengan ibu-ibu di sekitar sekolah, dulu acara peringatan Hari Kartini selalu diisi dengan upacara yang semua pesertanya harus berpakaian adat Jawa. Yang wanita pakai jarit dan kebaya, lengkap dengan kondenya. Dan yang laki-laki pakai beskap yang mirip pakaian Dalang gitu,” kata Betty.
“Wah, ribet dong, Bet!” Gino yang gendut berkilah.
“Justru hal itulah tantangannya,” sahut Mitty mantap.
“Maksudmu?” kejar Dirga tak mengerti.
“Begini Dirga dan teman-teman semua, selama ini kita sudah bisa memanipulasi hati untuk menemukan jati diri kita sebagai generasi muda. Kita berhasil mematahkan anggapan orang bahwa remaja adalah biang kenakalan. Kita bisa berbuat lebih, menciptakan prestasi untuk mengharumkan nama Ibu Pertiwi. Jadi sekaranglah saatnya kita tularkan semangat juang itu pada masyarakat lewat peringatan Hari Kartini,” kata Revita tampak optimis.
Semua mengangguk-angguk tanda mengerti. Sebagai remaja yang sudah merasakan betapa susahnya memanipulasi hati untuk menciptakan satu prestasi, mereka yakin bahwa apa yang akan mereka lakukan bisa berhasil dengan baik. Benar apa kata Mitty. Tantangan terbesar saat ini adalah sudah lunturnya kecintaan masyarakat pada pakaian adat. Tak pernah terlihat lagi anak-anak sekolah berpakaian kebaya bila tanggal 21 April tiba. Rasa gengsi dan peradaban modern kiranya telah melunturkan rasa nasionalisme bangsa ini.
Sungguh ironi! Di saat banyak bangsa bangsa asing yang dengan semangat tinggi datang ke Indonesia untuk mempelajari budaya luhur negeri ini, tapi bangsa Indonesia sendiri justru enggan. Maka tak heran bila beberapa budaya asli Indonesia diklaim sebagai milik negara lain, karena memang pemiliknya sendiri tak mau melestarikan dan membanggakan adat, budaya, dan tradisi.
Beruntunglah Revita, Mitty, dan teman-temannya masih bisa memanipulasi hati agar tidak terperangkap pada budaya asing yang banyak tak sesuai dengan adat ketimuran yang berlaku di negeri ini.
Mereka pun berbagi tugas. Dirga dan Didit bertugas memimpin anak laki-laki untuk mencari dukungan dari masyarakat dan sekolah lain agar mau terlibat dalam gelar pakaian adat di Hari Kartini itu. Sedang Revita dan Mitty, bersama anak-anak perempuan lainnya bertugas mengkoordinir para ibu-ibu agar mau berperan serta memakai jarit dan kebayanya. Untuk itu mereka rajin mendatangi kelompok ibu-ibu PKK terutama yang punya anak sekolah.
Hasilnya, sungguh luar biasa! Di luar prediksi, mereka berhasil memanipulasi hati masyarakat untuk bangkit kembali, bersuka ria memperingati Hari Kartini dengan berkebaya. Karena banyaknya pendukung dan sponsor yang mau turut serta, acara peringatan Hari Kartini yang sedianya diadakan di lapangan sekolah, akhirnya dialihkan ke Taman Kota atas persetujuan Bapak Bupati tentu saja.
*****
Tanggal 21 April!
Dengan tajuk acara Blitar Tempo Doeloe, segenap ruang di Taman Kota menjadi sangat ramai. Dipenuhi oleh antusias masyarakat yang datang dengan berpakaian adat Jawa. Sungguh suatu hal yang sangat menggembirakan, di tengah gencar-gencarnya segala model pakaian dari luar negeri yang membanjiri pasar di negeri ini, ternyata gemerlap pakaian adat masih mampu menunjukkan pamornya. Bahkan tampak lebih anggun dan memesona.
Kiranya, manipulasi hati yang disebarkan oleh Revita dan kawan-kawan telah berhasil menumbuhkan semangat dan kepercayaan masyarakat untuk kembali mengagungkan budaya sendiri. Bukan suatu perkara mudah memang! Tapi dengan keyakinan dan semangat, semua bisa jadi kenyataan. Sehingga hari itu, era jaman RA Kartini seolah bangkit lagi. Menyentak peradaban modern yang selama ini mendominasi.
“Mitty …,” ujar Revita di tengah keramaian.
“Ada apa, Revita?” kata Mitty sambil membetulkan kancing kebayanya.
“Aku tak menyangka kalau acara ini bisa sedemikian meriah sekali.”
“Ya, semua ini berkat kerja keras kita semua,” jawab Mitty merendah.
“Tapi terutama berkat kau, Mitty.”
“Tidak juga, Revita. Sebab yang terutama dari suksesnya semua ini adalah kebersamaan kita dan teman-teman semua.”
“Iya, tapi semua ini kan idemu. Kau memang hebat, Mit. Aku bangga padamu.”
“Tanpa kau dan teman-teman semua, ide ini tak aka nada artinya, Revita. Aku juga banga denganmu.”
“Iya, hidup generasi muda, Mit!” ujar Revita sambil mengangkat kepalan tangannya dengan penuh semangat.
Hmm, Mitty tersenyum. Dengan pakaian adat seperti ini ternyata anak-anak muda tidak kalah modis dari peragawati yang berpakaian import. Semua tampak cantik dan tampan. Busana Jawa yang elegan membuat pemakainya benar-benar memancarkan keluhuran adat ketiduran.
Dari sukses besar acara yang diselenggarakan hari itu, Pemerintah Daerah menetapkan peringatan Hari Kartini ini sebagai agenda tahunan yang akan terus di laksanakan dalam rangka menumbuhkan kembali karakter bangsa Indonesia yang selama ini hampir luntur tergerus arus modernisasi.
Untuk itu, Revita, Mitty, dan kawan-kawan yang ditunjuk sebagai pelopor kegiatan. Karena mereka terbukti berhasil membakar semangat masyarakat untuk manghargai jasa para pahlawan dan sekaligus melestarikan budaya daerah. Sebuah tanggung jawab yang tidak ringan. Yang mengharuskan mereka untuk terus bergandeng tangan, menjunjung tinggi eksistensi perempuan dengan kerja keras, mengukir prestasi, dan tetap memanipulasi hati.
Sementara senja kian merah. Jelaga biru yang tadi bergayut hilanglah sudah. Tinggal cerahnya yang memancar di balik cakrawala. Menembus dinding-dinding keangkuhan sikap. Menerpa wajah-wajah tak ramah yang selama ini memandang sinis kepada kaum muda.
Biarkan mereka kini membuka mata, untuk lebih jelas melihat.
Bahwa tonggak-tonggak bangsa ternyata tak tenggelam!
Bahwa semangat Sumpah Pemuda masih dalam genggaman!
Orang-orang muda yang siap, BERJUANG! Sambil melantumkan senandung lirih tentang Rhapsody Rasa Sayang. Rhapsody yang akan selalu ada di jiwa kaum muda, sebagai pemicu semangat dalam setiap langkah.
Langkah untuk senantiasa mengharumkan nama Indonesia tercinta!
Walau dengan memanipulasi hati sendiri. Dan satu hal yang harus disadari oleh semua orang, bahwa menjadi orang penting itu memang baik, tapi yang lebih penting adalah kita harus menjadi orang baik-baik.