Aku sedari tiga puluh menit lalu sibuk membongkar baju di lemari. Ini gara-gara Owi tiba-tiba bilang pulang ke Yogyakarta dan mengajakku ketemuan. Alhasil, aku bingung memakai baju apa.
Nggak lama kemudian aku menemukan dress pink motif bunga kecil dan kerah renda. Aku coba pakai. Lalu melihat diri sendiri di cermin.
"Hmmm … lumayan juga."
"Ya ampun, kenapa jadi berantakan gini?" Mama tiba-tiba masuk kamar menatapku heran. "Kamu mau kencan? Sama siapa?"
Skakmat. Mau bohong pun sulit. Pasti ketahuan Mama. Akhirnya aku mengangguk dan menceritakan sama Owi.
Seketika raut wajah Mama berubah seperti nggak suka.
"Kamu harus hati-hati loh ketemuan sama orang yang baru dikenal lewat sosmed. Apalagi sekarang marak kriminal." Mama bergidik ngeri.
"Mas Adrish juga dulu kenalnya di radio."
"Nah, kenapa kamu nggak balikan sama Adrish aja sih? Yang sudah jelas bibit, bebet, bobotnya."
Aku mendesah napas berat. "Mama kan tau, kami perbedaannya bagai langit dan bumi. Apalagi, keluarganya …"
"Ya kan itu dulu. Sekarang kamu dah membuktikan valuemu setara Adrish."
"Sekarang aku yang insecure. Pendidikanku kebanting jauh dengannya. Kalau nikah sama dia, ntar aku bakal ngerasa bego banget pas diajak pertemuan para dosen. Belum lagi julitan orang-orang."
"Hmmm … iya juga sih. Kalau Taqi gimana? Dia juga lumayan. PNS. Masa tua terjamin dapat pensiunan. Apalagi dia kan udah kenal kamu sejak kamu kecil."
"Aku dari dulu nyamannya cuma sahabatan aja sih. Makanya pas dulu jadian sering cekcok. Rada nggak sreg aja dia lebih memilih kerjaannya."
"Terus cowok yang ingin kamu temui ini gimana kerjaannya?" Mama mulai mengintrogasiku.
"Katanya sih kerja di perusahaan saham gitu. Menjanjikan lah. Nggak tau deh bener atau nggak. Gimana Ma, bolehin aku nemuin dia nggak?"
"Ya udahlah, terserah kamu," ujar Mama pasrah. "Tapi kalau kamu ketemuan sama orang asing, ajak Tante Liana deh. Terus di tempat yang rame. Biar Mama tenang."
"Beres."
***
Tempat aku dan Owi bertemu di Teras Malioboro Yogyakarta. Begitu aku sampai, pandanganku ke arah cowok kaos cokelat celana belel. Itu dia Owi, sudah duduk di kursi panjang. Aku terpesona. Cakep. Sesuai di foto profil Telegramnya.
"Hai, maaf lama nunggu."
Matanya berbinar. "Allura ya?"
Aku mengangguk. "Oh iya, kenalin ini tanteku. Tante Liana. Aku dibolehin ke luar kota, kalau ada yang nemenin."
Lalu duduk di sebelah. Awalnya kami saling pandang bingung mau mengobrol apa.
"Hmmm … kamu cerita dong tentang pengalaman kamu di Thailand. Pasti seru," celetukku memecah keheningan.
"Nggak gimana-gimana. Tiap hari pusing melototin komputer."
"Emang kamu kerja di perusahaan apa?" Tante Liana menyahuti.
"Perusahaan saham dan crypto."
"Terus posisimu?"
"Manager marketing."
Nggak berapa lama dia malah bahas soal saham yang nggak aku mengerti. Firasatku mendadak nggak enak. Kecium modusnya ke arah mana.
"Gimana Allura, kamu tertarik coba saham? Buat investasi masa depan."
Nah, kan. Duh, aku harus jawab apa coba?
"Nggak perlu. Allura sudah punya banyak saham di berbagai tempat." Terdengar suara bariton yang sangat familier di telingaku.
Aku menoleh ke kiri. Adrish? Taqi? Kok bisa ada di sini? Kalau dipikir-pikir kehadiran mereka bisa menyelamatkanku dari cowok di sebelahku ini.
"Kalian siapa?" tanya Owi.
"Kami masa depannya Allura."
Wajah Owi seketika memucat. Dia lalu pura-pura melirik jam tangannya. "Kayaknya sama pamit dulu. Ada janji sama teman."
Dia pergi begitu saja. "Yah, kabur duluan dia," seloroh Taqi.
Mata Adrish melirik ke arahku. "Makanya kalau mau cari jodoh tuh minta restu sama kami dulu biar nggak apes again."
"Tuh, dengerin sabda mantan. Heran, ponakan Tante kok gampang banget dimodusin cowok. Untung ada kalian berdua yang gercep nyelamatin Allura," tutur Tante Liana.
Sial. Mungkin benar, restu mantan di atas segalanya. Makanya aku apes mulu setiap mau coba buka hati ke cowok lain.
***
"Bu bosssss … kok naskah AT Menulis nggak dilanjut lagi sih?" Diani menodongku.
Aku terdiam. Baru kali ini aku gagal dalam menyelesaikan novel. Terutama novel untuk lomba menulis. "Sebenarnya sayang sudah separuh jalan. Namun, mau gimana lagi, bahagiaku di si Tengil kandas. Feel naskah ambyar. Ntar ajalah kapan-kapan aku rombak naskah itu. Ganti plot, mau bikin true story antara aku, Taqi, Adrish dan Renaldy," jelasku panjang kali tinggi kali lebar.
"Kapan itu? Awas ya wacana doang," ancam Ira.
Cuma di A2T Cafebook karyawan berani ancam-ancam bos. Karena menang kami sedekat itu. Santai. Kayak lagi sama sahabat.
"Setuju. Aku nggak sabar mau order bukunya Bu Bos," sahut Imel.
"Gaya. Wong biasanya kalau aku PO buku, alasannya nunggu arisan cair mulu." Aku menyindir Imel. "Doain aja biar mood aku cepet balik jadi bisa seger ngerombak naskah itu."
Jarum sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Kerjaan mereka juga sudah selesai. Kami pulang ke rumah masing-masing.
***
Gara-gara sibuk mengurus drama Renaldy, nggak terasa hari ini tiba di acara akad nikah adikku. Aku terharu ketika bocah berusia 22 tahun dengan lantang mengucap ijab qobul dan semua saksi berkata 'sah'. Rasanya mau kemarin bocah itu nongol ke dunia. Aku ikut nemenin Mama lahiran. Dia yang dulu cengeng nauzubillah, selalu di ketek Mama sampai 21 tahun. Eh, pas dia ulang tahun ke 22 malah minta nikahin anak orang.
Setidaknya aku bangga dengannya. Dia sosok lelaki bertanggung jawab. Jelas arah hubungannya. Nggak kayak mantan-mantanku. Terutama si Renaldy, bikin baper cewek hanya tujuan terselubung.
"Pasti kamu terharu sambil mikir kok bisa dilangkahi adik sendiri?" Tante Liana tahu-tahu duduk di sebelahku.
Saking berkecamuk pikiranku, sampai nggak merasa ada Tante Liana.
"Iya, nih. Siapa jodohku? Kok nggak nongol-nongol? Eh, boro-boro jodohku nongol, restu dua mantan agar aku punya cinta yang baru aja nggak kunjung terbit. Restu mereka ngalahin restu orang tua."
"Mungkin kalian bertiga butuh waktu ekstra sampai benar-benar saling melepaskan. Baru nanti jodohmu nongol dengan sendirinya."
Well, mungkin benar yang dikatakan Tante Liana. Antara aku, Adrish dan Taqi memang harus saling melepaskan dulu baru jodohku akan muncul. Kapankah itu terjadi? Entahlah. Aku serahkan ending percintaanku ke Yang Maha Kuasa. Sekarang nikmati hidup dan apa yang ada di depan mata ajalah. Nggak mau terlalu mengejar kebahagiaan yang jauh. Takut sakit lagi.
Aku berdiri ambil makanan. Tiba-tiba berpapasan dengan seorang pria tampan, kumis tipis, berkacamata.
"Hay, kamu Allura kan?"
Aku menaikkan satu alis. "Kok tahu?"
"Kenalin, aku Syahril Pratama. Atasan Aryan. Aryan sering cerita soal kamu."
Pipiku memerah. Jantungku berdegub kencang. Ya Tuhan, boleh nggak sih request cowok depanku aja yang jadi jodohku?
Sukses, Mbak Arini
Comment on chapter Chapter 1 (Kinari Allura)