Sejak wabah Covid 19 menyerang Indonesia tercinta, rumah sakit tempatku bekerja tidak pernah sepi. Ada aja yang sakit ataupun hanya sekadar tes PCR untuk penerbangan.
Posisiku di rumah sakit ini bagian loket administrasi teruma yang pembayaran menggunakan BPJS.
Muncullah seorang ibu, aku taksir umurnya 40 tahunan. Dia berhijab ribet banget melilit-lilit mana tinggi pula. Kayaknya dia istri pejabat dilihat dari make up dan alisnya yang cetar membahana.
"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanyaku ramah.
"Saya mau bayar BPJS."
Si ibu menyerahkan kartunya ke aku. Aku mengerakkan mouse kursor komputer, lalu mengetik nomor BPJS-nya. "Dari data di komputer BPJS punya Ibu nunggak tiga bulan. Jadi total mesti dibayar empat ratus lima puluh ribu."
Mata si ibu melotot. "Hah? Kok mahal banget sih? Saya biasanya bayar dua ratus empat puluh ribu doang loh."
"Sejak 2021 sudah naik, Bu. Kelas 1 sebesar seratus lima puluh ribu."
"Kapan naiknya? Kok nggak bilang-bilang sama saya?"
'Lu aja yang kudet. Nggak punya tv di rumah,' batinku kesal. Aku mengelus dada mencoba sabar menghadapi ibu satu ini.
"Jadi gimana, Bu?"
"Ya udah deh saya bayar. Terpaksa make duit skincare dulu."
Si ibu menyerahkan uang ratusan ribu sebanyak lima lembar kepadaku. Aku kasih kembalian lima puluh ribu. Si ibu tersebut langsung pergi tanpa bilang apa-apa. Huh, dasar tidak sopan.
"Mas Taqi tadi saya dengar di belakang ada ribut-ribut. Ada apa ya?"
Orang yang barusan bertanya itu adalah Bu Lina. Atasanku. Jabatannya. Kepala administrasi. Dia sudah janda 3 kali gegara nikah muda, selalu salah pilih suami. Dandanannya menor nauzubillah sama kayak si ibu rese barusan. Dia juga centil ke karyawan rumah sakit yang masih single. Termasuk diriku.
"Nggak apa, Bu. Biasalah orang kaget sama kenaikan BPJS. Semua bisa saya atasi kok."
"Oh gitu. Bentar lagi jam makan siang. Kita makan siang bareng yuk. Saya baru nemu kafe baru yang menunya enak banget loh."
Jleb. Aku harus jawab apa? Ditolak tidak enak. Apalagi alasannya tidak jelas. Takut dicap kurang sopan.
Drrrttt
Ponsel di celana saya bergetar. Telepon dari Adrish. Hah? Tumben banget dia meneleponku. Biasanya dia menelepon, kalau bareng-bareng sama Allura sekalian.
Aku terima panggilannya.
"Hallo."
"Qi, lu sibuk nggak?"
Adrish ini nggak asli Yogyakarta sih. Bapaknya orang Jakarta, sedangkan ibunya orang Kalsel. Nah, dia ke Solo ya karena S2 serta panggilan mengajar di kampus dekat Yogyakarta.
"Nggak sih. Napa?"
"Gue lagi di warung soto seberang rumah sakit lu kerja nih. Samperin gue dong. Ada yang mau gue omongin sama lu. Penting."
"Hah? Ngomongin apa? Nggak di A2T Cafebook aja?"
"Justru itu gue nggak mau Allura denger pembicaraan ini. Makanya samperin gue buruan."
Aku semakin penasaran, pembicaraan apa sampai Allura tidak boleh tahu? Kalau dipikir-pikir ajakan Adrish menyelamatkanku dari ajakan Bu Liana. Malas banget harus maksi sama dia.
"Oke deh, Bro. Bentar lagi aku ke sana."
Telepon terputus. Aku merapikan meja terlebih dahulu.
"Maaf Bu Liana. Saya sudah ditunggu sahabat saya di warung soto."
"Saya boleh ikut nggak?" ujarnya seraya mengedipkan mata.
Astagfirullah, ini ibu-ibu centil banget sih. Mau ngekorin aku mulu. Punya atasan kayak dia harus sabar.
"Nggak bisa, Bu. Dia sekalian mau bicarakan hal penting."
Aku pun bergegas meninggalkan Bu Liana.
***
Begitu masuk ke warung sotonya, aku sudah melihat Adrish duduk di meja nomor dua sambil menyeruput es teh. Aku menghampirinya.
"Bro, hal penting apa sih? Sampai kowe ngeluangin waktu jauh-jauh ke sini, mana Allura nggak boleh tau."
"Ini soal Renaldy."
Menarik nih. Aku duduk di depannya. "Kenapa emang Renaldy?"
"Lu ngerasa curiga nggak sih sama dia? Hari pertama kerja, gue dah mergokin dia ngobrol akrab banget sama Allura. Nah, kemarin dia sok nenangin Allura perkara Diani dan Imel. Maksudnya apa coba SKSD sama bos?"
Aku malah ngakak mendengar penuturan Adrish. Cowok di depanku ini hanya menaikkan alis tebal sebelah kanannya. "Napa lu ketawa sih? Ada yang lucu?"
"Itu namanya kowe cembokur, Bambanggg."
"Mana ada aku cembokur. Yang harusnya tak cembokurin itu lu. Lu nemplok mulu sama Allura sejak 2017. Nyatanya gue malah akur-akur aja kan sama lu?"
Aku bernapas sejenak. Mencerna ucapan Adrish. Yang dia bilang ada benarnya juga. Ngapain cembokur sama anak baru notabennya lebih jelek dari dia. Adrish aslinya juga tidak ganteng-ganteng banget. Namun, menang diglowing. Tiap minggu dia rutin perawatan salon. Terus banyak beli skincare cowok. Allura aja sering insecure bahwa Adrish lebih mulus darinya.
"Jadi apa yang bikin kowe curiga sama Renaldy?"
"Tadi pas mau pulang gue ngeliat Renaldy lagi ngobrol sama Debt. Collector gitu. Nggak tau kenapa feeling gue nggak enak. Kayaknya dia deketin Kinari ada maunya, melorotin Kinari buat bayar utang-utangnya. Sayangnya, belum ada bukti sih. Harusnya kita gimana ya?"
Tangaku bertopang di meja. "Hmmm … kayaknya kita mesti mantau dia dulu aja. Ntar juga lama-lama bobroknya ketauan. Kalau udah keliat merugikan kafe dan Allura, baru kita bertindak. Yang harus kita lakukan adalah …" Aku bernapas sejenak. Capek mengucapkan kalimat panjang. "Kita makan soto dulu deh. Ntar jam istirahatku abis."
"Bener juga sih. Gue juga dah lapar."
Adrish melambaikan tangan. Pelayannya pun datang bawa buku menu. Setelah kami bolak-balik melihat menunya, kami memesan soto daging spesial. Minumnya es jeruk.
"Eh, hari ini gue nggak ke kafe dulu ya. Ada acara sesama dosen."
"Yah, ntar kalau Allura nyari gimana?"
"Gue dah bilang dia kok di WA."
"Terus Diani sama Imel gimana?"
"Entar malam gue pikirin."
Menu soto pesanan kami datang. Kami melahapnya. Hmmm … enak.
***
Beruntung tidak ada lembur di rumah sakit. Jadi aku bisa ke kafe lebih sore. Jam lima sore. Ketika aku sampai agak terkejut melihat Renaldy asyik mengobrol dengan Allura. Jujur aku merasa tidak nyaman melihat hal itu. Apa ini cemburu? Atau perasaan belum ikhlas jika Allura dekat dengan pria lain? Pikiranku teringat ucapan Adrish. Masa sih Renaldy sejahat itu memanfaatkan Allura demi keuntungan pribadi? Tampangnya cupu. Tidak ada tampang kriminal.
"Hai," sapaku.
"Tumben datangnya sorean. Biasanya lembur mulu."
"Mbak, saya balik kerja ya."
Renaldy lalu ke belakang. Kenapa begitu aku datang, dia buru-buru ke belakang? Hmmm … bikin makin overthinkink.
"Gimana hari ini? Ada drama apa lagi?"
"Aman. Adem ayem aja sih."
"Terus Leci udah dihubungi?"
"Udah. Dia bersedia hari Jumat entar."
"Imel dan Diani gimana?"
"Tadi sih mereka diem-dieman macam bocah SD lagi marahan. Hahaha. Mereka biarin urusan Mas Adrish ajalah. Katanya dia mau sidang mereka besok."
Aku sedikit tenang jika hari ini kafe tidak ada drama aneh-aneh. Kasian Allura mesti menghadapi drama mulu.
Sukses, Mbak Arini
Comment on chapter Chapter 1 (Kinari Allura)