Sinopsis:
Deni Arman, seorang dosen terbaik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Bergelimang harta, ditaksir wanita-wanita se-Indonesia raya, tapi di lubuk hatinya merasakan kehampaan karena belum menemukan tulang rusuknya di usia 37 tahun.
Bagi Deni, wanita-wanita yang naksir dia belum bisa menggantikan mantan terindahnya. Leci Seira.
'Sori ya Ci, aku abadikan namamu dalam karyaku. Abis males cari nama baru' batinku.
"Heh, kowe ngopo ngerayu bojoku? Wes ra payu ngembat bojone wong?" (Heh, kamu kenapa merayu suamiku? Udah nggak laku jadi ambil laki orang?)
"Alah, wong bojomu disik sing centil (Alah, orang suamimu duluan yang centil) ngedipin mata ke aku."
"Cangkem, Rek." (mulutmu)
Terdengar ribut-ribut di belakang. Ada apa lagi sih? Aku melepas laptop dulu. Dan langsung ke belakang.
Ternyata yang ribut itu Diani dan Imel.
"Kalian kenapa ribut sih?"
"Ini loh Bos, si Imel pelakor. Ngerebut suamiku."
"Dih, enak aja bilang aku pelakor. Lakimu noh jagain biar nggak centil sama cewek bohay macam aku."
"Whats? Coba ngomong sekali lagi?" Diani melotot ke Imel. Dia lalu mengalihkan pandangan ke aku. "Menurut Bos gimana? Apa aku diem aja ketika suami saya direbut cewek centil?"
"Dih, caper." Imel mulai nyolot. "Jangan dengerin dia, Bos. Dia Drama Queen. Yang bener tuh lakinya duluan yang godain saya. Bos Allura harusnya belain saya aja."
"Kok belain kamu? Kan saya yang terzolimi."
Yang kayak gini nih membuatku bingung harus berpihak sama siapa? Terlebih aku nggak tahu kebenarannya.
"Stop. Saya nggak belain siapa-siapa. Kalian jangan berantem lagi. Malu kalau kedengeran pelanggan. Entar mereka kabur. Kalau masih berantem, gaji kalian saya potong 10%."
"Saya mau resign aja kalau Bos Allura lebih belain dia daripada saya."
"Sama. Saya juga bakal resign kalau Bos pertahankan Drama Queen daripada saya."
"Hush, pamali dikit-dikit resign. Entar dikabulin Bos Allura, kapok kalian berdua." Aruna baru bersuara. Kalau Ira dari tadi diem aja. Soalnya dia tipe nggak mau ikut campur urusan orang.
Begini nih yang membuatku nggak suka. Karyawan kalau ada masalah sedikit aja. Suka mengancam minta resign.
"Dahlah terserah kalian. Resign dua-duanya juga nggak masalah. Tinggal buka loker baru."
Aku meninggalkan mereka dan kembali ke meja kasir. Aku duduk sambil memijit kening. Sumpah, pusing banget. Dari kafe ini berdiri sampai sekarang banyak drama yang terjadi di sesama karyawannya. Aku harus apa? Mau pecat keduanya sayang. Takutnya orang baru nggak sebaik mereka. Biar nggak ada drama-drama lagi?
Aku ambil ponsel di tas tangan warna peach. Kubuka grup WA bernama 'Trio Al.' Penghuninya hanya bertiga aku, Adris dan Taqi. Tanpa disadari nama belakang kami mengandung kata Al. Mungkin itulah Tuhan unsur yang menyatukan kami.
Tuuuut …
Berdering …
Ke mana sih mereka? Di saat aku lagi butuh mereka selalu nggak ada dan susah dihubungi.
"Maaf Mbak Allura, Mbak nggak apa? Kelihatan pucet mukanya?"
Aku menoleh. Ternyata Renaldy. "Nggak apa kok. Cuma pusing aja berkat keributan tadi. Heran aja sih di A2T Cafebook karyawannya drama mulu. Ini kesekian kalinya terjadi. Saya bingung harus ngapain."
Nggak tahu kenapa aku lancar banget curhat ke Renaldy. Mungkin karena memang lagi butuh seseorang untuk mendengarkan keluh kesahku.
"Sabar, Mbak. Namanya juga banyak karyawan. Setiap orang karakter dan pola pikirnya beda-beda. Mereka butuh waktu beradaptasi mengenal karakter yang lainnya."
"Terus saya harus ngapain? Mecat mereka berdua biar nggak ribut lagi?"
"Kalau bisa ditahan dulu, Mbak. Lihat situasi. Bakal repot lagi kalau buka lowongan kerja. Terus belum tentu sebaik mereka kan? Dengar-dengar, mereka berdua sudah kerja di kafe ini sejak awal berdiri karena mereka berteman dengan Mbak Allura di sosmed? Nah, yang bertahan lama itu layak dipertahankan."
Ada benarnya juga perkataan ini cowok. Dan aku sekarang sedikit tenang. Nggak sepusing yang lain.
***
22.00
Semua karyawan sudah pulang. Tersisa aku, Adrish dan Taqi. Adrish sibuk mengamati laptop.
"Gawat nih, bulan ini omset kafe kita rendah banget. Nggak nyampe 20 juta bersih. Gaji karyawan aja total 14 juta lebih. Belum bayar ini itu. Duh, bakal nombok lagi kita."
"Terus gimana dong buat dongkrak penjualan? Kita panggil Selebgram lagi buat review atau mukbang di sini? Atau kita adain kontes mukbang aja?"
"Kalau kontes mukbang? Hadiahnya apa? Duit siapa? Kita bertiga patungan? Menurutku sih kita panggil Leci saja. Kan video yang pertama kemarin langsung viral. Kita juga adain Kelas Antologi Senandika Bersama Leci Seira. Jadi, kafe kita nggak semata-mata bukan cuma jual makanan dan minuman aja, tapi juga wadah untuk penulis pemula yang ingin belajar menulis."
"Ide bagus, sih. Menurutmu gimana, Kin?"
Aku hanya mendengarkan pembicaraan mereka. Otakku sudah diajak mikir. Pening. Rasanya ingin meledak ini kepala.
Taqi melambaikan tangan ke mataku. "Oiii … Kin. Kok diem aja? Kowe dengerin omongan kami nggak sih?"
Aku pun tersadar dari lamunan. "Dengerin kok. Cuma nggak gitu fokus aja. Bisa nggak bahas omset akhir bulan aja? Aku lagi pusing nih."
"Pusing kenapa? Kamu sakit, Kin? Atau mau datang bulan? Eh, tapi rasanya kamu PMS tanggal 20an ke atas deh. Sekarang baru tanggal 15. Apa PMS-nya maju lagi?" celetuk Adrish. Efek terlalu sama dia, dia sampai hapal jadwal PMS-ku. Sial.
"Nggak sih. Cuma pikiranku tertuju ke Imel dan Dianita yang ngancem resign."
"Hah? Imel dan Dianita ngancem resign? Kenapa coba?"
"Makanya kalau aku nelepon tuh diangkat." Aku mulai menceritakan permasalahan Imel dan Dianita. "Untung ada Renaldy tadi. Dia ngasih saran bijak. Setidaknya dia bisa sedikit menenangkanku saat kalian lagi nggak ada."
Adris dan Taqi saling berpandangan. "Dia ngasih saran apa ke kamu?" Adrish kepo.
Aku cerita aja sekalian apa yang dikatakan Renaldy.
"Itu definisi carmuk nggak sih?" sahut Taqi.
"Aku juga mikir gini."
"Hush. Kalian suuzon aja sama orang. Aku rasa dia baik dan orangnya perhatian kok. Mungkin tadi emang aku pucet makanya Renaldy nyamperin aku takut aku kenapa-napa."
"Terus kita mesti gimana soal Imel dan Dianita? Soal omset yang kalian bicarakan tadi, nanti aku minta Leci lagi aja mukbang lagi di sini dengan menu baru," lanjutku lagi.
"Nah, setuju. Soal Imel dan Dianita, besok deh aku bicara sama mereka berdua. Siapa tau masih bisa didamaikan dan nggak jadi resign."
Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Jarumnya menunjukkan pukul 23.00. "Ya udah yuk pulang. Aku udah pusing banget nih. Pengen buru-buru rebahan."
"Ya udah aku anterin. Bahaya kamu naik motor sendirian jam segini, mana lagi pusing kan." Adrish menawarkan diri. Hal itu disambut muka masam oleh Taqi.
"Dih, cari kesempatan dalam kesempitan," lirih Taqi. Namun, aku bisa mendengarnya.
Adrish menoleh ke arah Taqi. "Apa kamu bilang?"
Taqi pura-pura menepuk tangan. "Nggak apa. Tadi misuh-misuh nyamuk gigit tanganku."
Kadang berantem kecilnya mereka itu lucu. Aku sendiri heran, kenapa dulu malah menyatukan mereka berdua? Padahal aku tahu, mereka nggak akan pernah bersatu. Tetap kayak Tom Jerry. Namun, untungnya mereka masih bisa diajak kerjasama.
***
Mandi sudah. Sebelum rebahan, aku menelepon Leci dulu. Merealisasikan ide Adrish dan Taqi. Beruntung langsung diangkat.
"Hallo, Kak."
"Hallo, Ci. Sori nelepon di jam pocong. Ganggu nggak?"
"Nggak sih. Kenapa?"
"Bisa nggak mukbang lagi di A2T Cafebook. Kami ada menu baru. Kami juga mau adain project Kelas Antologi Senandika. Kamu yang jadi mentornya. Bersedia nggak?"
"Wah, serius Kak. Mau banget. Apalagi masakan di A2T emang uenak pol. Sayang disia-siakan tawaran makan gratis sambil ngekonten."
"Jadi kapan kamu bisanya?"
"Jumat atau Sabtu kali ya, pas saya libur kuliah."
"Oke. Makasih banget ya."
Klik. Aku mematikan telepon. Masalah satu selesai. Moga dengan Leci mukbang lagi, omset baik lagi. Setidaknya malam ini aku bisa tidur nyenyak. Soal Diani dan Imel pikirin besok-besok aja.
Sukses, Mbak Arini
Comment on chapter Chapter 1 (Kinari Allura)