Lampu merah menyala. Delta menghentikan motor di belakang mini bus lalu membenarkan posisi helm yang terasa tidak nyaman di kepala. Dia menengadah, dan pandangannya terpaku pada papan iklan di pinggir jalan yang mengiklankan ponsel baru dari merk ponsel terkenal di Indonesia. Merk ponsel itu menggemborkan fitur kamera yang lebih canggih dan kapasitas baterai yang besar.
Sudah berkembang banyak, ya, pikir Delta. Terakhir kali dia memegang ponsel itu di sekolah dasar. Saat itu, ponsel sang ibu masih ponsel jadul yang papan ketiknya ada dua belas. Yang kalau mau memunculkan huruf c harus menekan tiga kali dan memunculkan angka harus menekan 4 kali. Tidak ada layar sentuh, kamera berkekuatan super canggih, atau jaringan internet yang super cepat. Belum ada pula aplikasi pesan semacam sekarang yang bisa langsung mengirim pesan, foto, audio dan video. Dulu, bertukar pesan masih melalui SMS dan telepon. Kalau sudah sms 4 kali dalam sehari akan dapat gratisan SMS seharian dan kalau sudah menelepon 5 menit dalam sehari akan dapat gratisan menelepon seharian. Masa itu sudah hilang. Jauh tertinggal di belakang. Kini, semua hal serba digital, bahkan kehidupan pun berpusat pada satu ponsel pintar.
"Shit!"
Umpatan dari samping membuat Delta menoleh. Seorang remaja seusianya sedang duduk di atas motor dengan pandangan fokus ke layar ponsel. Ibu jarinya bergerak lincah di sana, memainkan satu permainan adu tinju. Delta meringis. Cowok ini cari mati! Dia bisa celaka kalau tidak fokus ke jalanan, apalagi telingannya disumbat earphone.
Perasaan aneh seketika melintasi benaknya. Delta baru menyadari jarak mereka kurang dari satu meter. Itu artinya, jarak Delta dan ponsel cowok itu sangat dekat. Delta mengeratkan pengangan di setang motor dan mengalihkan pandangan ke tempat lain untuk menenangkan diri. Namun, bukannya merasa tenang, Delta mendapati seorang pria paruh baya duduk di kursi pengemudi mobil sambil memainkan ponsel. Begitu pun perempuan yang duduk di jok belakang motor.
Apa mereka kurang waras? Ponsel di mana-mana! Kalau Delta tetap diam di sini dan mengemudi di samping mereka, dia bisa celaka. Bagaimana kalau salah seorang dari mereka tidak fokus dan terjadi kecelakaan? Bagaimana kalau Delta kena imbas? Bagaimana kalau ketakutannya terhadap ponsel jadi kenyataan? Berbagai pemikiran buruk singgah di benaknya, memperbesar rasa takut yang mulai timbul di kepala.
Sial!
Delta harus menepi kalau ingin selamat. Ketakutannya bisa kambuh di tengah jalan dan pandangannya tidak akan fokus. Cowok itu memutuskan menyisi ke sebuah warung sebelum tubuhnya tumbang.
Delta membeli minuman dingin dan meneguknya setengah. Dia duduk di kursi panjang dekat warung dan menenangkan diri. Dunia yang sekarang penuh dengan orang cari mati. Sedang di jalan malah memainkan ponsel, umpat Delta. Dipikir nyawa bisa di-restart ulang pake tombol ctrl Z?
Delta mengeratkan pegangan di botol minuman. Raut wajah cowok itu muram. Kejadian barusan mengingatkannya kalau interval hidupnya dan hidup orang-orang sangat berbeda jauh.
Delta tidak tahu kapan dan kenapa tepatnya dia takut pada ponsel. Perasaan itu seolah menggerayangi benaknya secara tiba-tiba. Semenjak kecil, Delta tidak bergaul banyak dengan ponsel seperti anak kecil zaman sekarang. Dia bermain layangan, memanjat pohon dan bermain play station. Ayahnya pun lebih senang menyuruhnya bermain di luar ruangan bersama anak-anak lain. Kalau tidak, sang ayah sering mengajaknya bermain saat teman-temannya tidak bisa bermain. Ayahnya baik, perwujudan kesatria tangguh dari dongeng-dongeng yang sering Delta dengar dipercakapan anak perempuan. Dalam sebulan, Delta hanya beberapa kali memainkan ponsel sang ibu, terutama untuk menelepon ayahnya yang sedang bekerja di luar kota.
Mungkin ketakutan ini muncul saat sepupunya diculik teman media sosialnya sampai trauma hingga kini. Atau mungkin saat ponsel milik pamannya meledak dan membuatnya meninggal. Mungkin juga karena kecelakaan yang membuat sang ayah meninggal sebab Delta memaksa meneleponnya. Delta tidak tahu pasti.
Ada satu hari di mana dia menyadari kehidupannya sudah berubah total. Hari itu, saat kelas 2 SMP, Yuda—salah satu sohibnya—menarik Delta ke belakang sekolah.
"Iqbal punya barang bagus!"
Delta tahu maksud barang bagus itu biasanya barang-barang yang dilarang dibawa ke sekolah. Pernah Iqbal membawa rokok merek terbaru milik ayahnya dan mereka mencoba satu isap. Pernah juga dia membawa majalah yang berisi cewek-cewek seksi yang langsung mendapat semprotan dari semua sohibnya.
Yuda langsung mengumpat. "Lo bego! Kenapa bawa yang ginian ke sekolah! Buang! Gue ogah dikeluarin dari sekolah gara-gara ketololan lo. Untung lo selamat sampai sekarang."
Kemudian, Delta dan keempat sohibnya lari meninggalkan Iqbal yang kaget di tempat, seolah baru menyadari kesalahan besarnya. Cowok itu langsung membuang majalah itu ke kebun dekat sekolah dan menyusul Delta sambil lari terbirit-birit
Kini, apa yang Yuda bawa?
"Ini barang aman, kan?" Delta memastikan pada Yuda.
"Aman."
Penasaran, Delta mengikuti Yuda ke belakang sekolah. Iqbal sudah ada di sana dengan tas di gendongan. Dua sohibnya yang lain sudah duduk di sampingnya. Tas itu sering dijuluki kantong ajaib. Soalnya, Iqbal selalu mengeluarkan barang "bagus" dari sana. Maklum, ayahnya kerja di kota dan dia orang kaya.
"Sini!" seru Iqbal dengan seringai sok keren.
Delta dan Yuda mendekat. Mereka berlima berjongkok dengan posisi melingkar. Tas Iqbal ada di tengah-tengah. Iqbal membuka tasnya dan memgeluarkan sebuah benda aneh.
"Gimana? Barangnya bagus, kan?"
"Ponsel layar sentuh!" pekik Yuda.
Semua teman Delta terbeliak lalu berebut ingin pegang. Mata mereka berbinar takjub dan seketika percakapan riuh terdengar. Namun, tidak dengan Delta. Cowok itu mundur satu langkah saat menyadari "barang bagus" yang dimaksud Yuda adalah ponsel. Perasaan aneh seketika menyelimuti benaknya. Pening dan rasa mual tiba-tiba menyerang tubuhnya. Delta merasa cemas, ketakutan, dan semua perasaan aneh yang entah apa berkumul di benaknya. Cowok itu semakin jauh mundur, sampai tidak menyadari kalau dia sudah mundur terlalu jauh.
"Del, ngapain di sana? Sini!" panggil Iqbal.
ssTepat saat itu, gelombang rasa mual sampai di tenggorokannya. Dia menutup mulut dengan tangan dan berlari menuju toilet dengan kepala pening. Langkahnya tidak terjaga, dan sempat membuatnya hampir terjerembap.
Saat tiba di toilet, Delta muntah, lalu menyadari tangannya gemetar. Di kepalanya saat ini terngiang banyak hal. Lebih dikuasai ingatan tentang kematian ayahnya dan ponsel sang ibu. Saat itu, ayahnya sedang berada di jalan pulang dari pekerjaan di luar kota. Delta memaksa menelepon, sampai terjadilah kecelakaan. Dia masih ingat jelas suara-suara yang muncul dari ponsel tepat saat kejadian kecelakaan yang menimpa beliau. Suara memekakkan dari seberang telinga terdengar bersama suara klakson dan pekikan papah. Kemudian, sambungan terputus. Tidak lama, sang ibu dihubungi seseorang. Wajahnya memucat dan tubuhnya gemetar. Pak RT datang ke rumah, dan ibunya dibawa pergi ke rumah sakit sementara Delta dan Dreval dititipkan di Bu RT.
Sekarang, apa dia takut ponsel karena kejadian itu? Delta mencoba menenangkan diri. Sejak kapan? Dia dulu baik-baik saja. Delta memang sudah tidak pernah memainkan ponsel sang ibu karena tidak perku menelepon ayah. Cowok itu tidak menyangka, sekalinya melihat ponsel, dia dihadapkan pada kenyataan kalau dia takut ponsel. Mungkin kepergian sang ayah merupakan alasan terkuat Delta takut ponsel. Kadang kala, dia menyalahkan diri sendiri karena memaksa menelepon ayahnya padahal saat itu beliau sedang mengemudikan mobil untuk pulang. Kalau saja hari itu Delta bersabar, mungkin sang ayah akan selamat dan ketakutannya ini tidak akan muncul. Mungkin perasaan itu memengaruhi pandangannya terhadap ponsel?
Apa kata teman-temannya kalau mereka tahu dia takut ponsel?
"Del? Kenapa lo? Aman, kan?"
Pintu digedor. Itu suara Iqbal. Delta berdeham, menormalkan suara dan berteriak dengan nada seperti biasa. "Ada panggilan alam dadakan! Jangan tunggu gue datang ke belakang sekolah. Gue mau langsung balik ke kelas."
Terdengar sahutan oke dan Delta mulai lega. Hari itu Delta merasa kalut. Sesampainya di rumah, dia melihat ponsel sang ibu di atas meja.
Satu pertanyaan singgah di kepala.
Benarkar dia memang takut ponsel?
Menolak kenyataan yang terjadi di sekolah, Delta mencoba memegang ponsel ibunya. Sayang, gejala tadi di sekolah terulang lagi.
Sang ibu dan Dreval yang melihat itu panik, dan terkejut saat Delta mengungkapkan keanehan pada dirinya. Ibunya bersikeras Delta mendapatkan penanganan ahli, tetapi ditolak mentah-mentah. Delta tidak akan pernah membiarkan siapa pun tahu—kecuali Mama dan Dreval—tentang ketidaknormalannya ini. Delta harus normal agar bisa diterima orang-orang. Dia tidak ingin pandangan teman-teman berubah terhadapnya.
Sejak saat itu, Delta berusaha bersikap normal. Dia mengurangi sikap nakal dan lebih berhati-hari pada ponsel. Untungnya, membawa ponsel ke sekolah dilarang. Jadi, Delta tidak perlu beralasan kenapa tidak bawa ponsel saat teman-temannya bertanya. Akan tetapi, saat kelas 3 SMP, ada satu hal yang menganggunya. Ujian online lewat komputer. Apa Delta tidak bisa memakai komputer?
Cowok itu tidak tahu. Suatu sore, sepulang sekolah, Delta datang ke laboratorium komputer untuk melakukan percobaan pada diri sendiri. Dia ingin tahu apa dirinya juga takut komputer. Saat tiba di sana, Delta sudah menyiapkan diri kalau tiba-tiba gejalanya muncul. Akan tetapi, saat memasuki ruangan itu, tidak ada reaksi apa pun pada tubuhnya. Delta baik-baik saja bahkan ketika sadar ada banyak komputer di ruangan itu. Dia mencoba memegang, menyalakan, memainkan, semuanya aman! Aneh. Padahal dalaman komputer dan ponsel sama saja. Meski tahu dia baik-baik saja saat memakai komputer, Delta tidak sering memakai benda itu. Dia hanya memakainya untuk keperluan sekolah. Sebab, ada waktu—meski jarang—di mana gejalanya sedikit kambuh saat berhubungan dengan komputer.
Kini, Delta mendesah muram. Pandangannya menatap jalanan. Ketakutan yang sempat menguasainya mulai hilang.
Ingatan-ingatan barusan kadang kala singgah di kepala saat Delta merasa dunia tidak adil, saat dia mempertanyakan alasan kenapa dia sampai seperti ini.
Ah, Delta kangen Papah.
Papah apa kabar?
***