Kemarin, Lika tidak bisa fokus pada percakapan maupun lelucon yang Arik lontarkan selama makan di kantin. Pikirannya melayang pada notifikasi di layar ponsel cowok itu. Berbagai macam pertanyaan dan praduga muncul di kepala, mengacaukan keseimbangan yang dijaga selama ini.
Apa Arik memang seperti yang dituduhankan Resya dan Julian? Apa dia anggota komplotan Thi? Kalau semisal Arik memang anggota Komplotan Thi, maka Lika sudah menjerumuskan cowok itu. Tempo hari, dia membuat Delta yakin kalau Arik mungkin saja jadi tersangka. Bagaimana kalau Delta mencari banyak hal tentang cowok itu dan mengungkap kalau Arik adalah komplotan Thi? Oh tidak. Kalau nanti Arik terungkap, maka itu kesalahan Lika! Bagaimana jika ternyata Arik berkomplot dengan pencuri ponsel yang Lika tahu selama ini? Bagaimana kalau pelaku pencuri ponselnya tertangkap? Sudah pasti kehidupan SMA-nya akan hancur!
Ya Tuhan, semoga Arik bukan komplotan Thi.
Bisa jadi itu grup percakapan bohongan, kan? Anak-anak cowok sering membuat dan menamai grup percakapan dengan nama-nama aneh. Mungkin, anggota grup percakapan itu ingin pura-pura berperan sebagai komplotan Thi. Namun, kenapa mereka sampai mengungkit namanya dan nama Delta?!
Lika penasaran dan merasa butuh penjelasan. Akan tetapi, dia tidak berani bersuara. Cewek itu takut kalau respons Arik akan membuat semua perasannya pada cowok itu luluh lantak. Lika pun tidak bisa asal bicara. Bagaimana kalau kata-kata yang keluar dari mulutnya malah putus-putus? Arik pasti syok, dan berpikiran negatif, sama seperti teman-temannya dulu.
Selama di kantin, wajah Lika pucat masai. Jelas Arik menyadari hal itu. Cowok itu bertanya beberapa kali dan dijawab gelengan lemah. Lihat. Arik itu baik. Dia tidak memaksa Lika mengatakan isi pikirannya, melainkan menggoda agar Lika kembali ceria. Ah, Arik. Apa benar cowok sebaik dan semanis lo itu anggota komplotan Thi?
Suasana di antara mereka tetap canggung, bahkan saat acara nonton setelah pulang sekolah. Pikiran Lika masih tertuju pada pesan di layar ponsel Arik dan praduga yang muncul di kepala. Dia terus mengumpulkan keberanian untuk bertanya sambil menebak-nebak apa yang akan Arik katakan dan apa dampak baginya. Akan tetapi, semua hal itu berakhir disimpan sendiri.
Sampai saat ini, keesokan hari setelah membaca pesan di layar ponsel Arik, rasa penasaran dan perasaan tidak nyaman itu masih bersarang. Lika tidak pernah mengira kalau menutupi kebohongan bisa melelahkan seperti ini.
Seseorang menusuk rusuknya. "Lo kenapa melamun mulu?"
Lika mengerjap dan melirik Jihan tanpa minat. "Apa?"
Jihan mengedikkan dagu ke arah meja guru. Pak Asep sedang berdiri sambil mengawasi seisi ruangan yang tiba-tiba ramai.
"Pak Asep membagi kelompok buat tugas halaman 72. Kita satu kelompok, Lik." Jihan tersenyum lebar, senang akan kenyataan itu. Namun, senyumnya hilang saat mengatakan kalimat berikutnya. "Tapi kita juga satu kelompok sama Dinda. Dia udah panggil-panggil kita dari tadi. Huft! Kayaknya kita harus siap-siap melapangkan telinga mendengar ocehannya."
Ocehan yang dimaksud adalah sekumpulan gosip, pertanyaan tidak sopan, sindiran tajam, dan umpatan yang—untungnya—lebih terkontrol dari pada saat di luar jam sekolah.
Lika mengerling ke arah Dinda. Cewek itu melambai-lambai dan menunjuk kursi di sekitar bangkunya dengan heboh. Lika mendesah muram. "Kita sudah pasti bakal menderita selama pelajaran Bahasa Indonesia," kata Lika pada Jihan.
Jihan mengangguk setuju. Lika meraih buku paket Bahasa Indonesia di atas meja bersama satu pulpen, lalu berdiri. Jihan melakukan hal serupa. Teman-teman yang lain berpencar, bergabung dengan kelompok masing-masing. Suara mereka menimbulkan kegaduhan. Ada tawa, dengusan, dan obrolan panjang yang keluar dari topik pembelajaran. Lika dan Jihan berjalan ke arah Dinda lalu duduk melingkar di dua meja yang sudah cewek itu satukan. Ada Yadi dan Lola di sana. Mereka pasti anggota kelompoknya juga.
"Sini deh, Lik!"
Gerakan Lika untuk duduk di antara Lola dan Yadi berhenti. Cewek itu menatap Dinda yang menunjuk bangku di sampingnya dengan senyum lebar—yang terkesan berlebihan. Lika sudah bisa membayangkan selama beberapa jam ke depan dia akan mendengar celotehan menyebalkan cewek itu.
"Gue di sini aja.”
Dinda menggeleng tidak setuju. "Sini! Gue mau ngomong sesuatu." Lihat! Nadanya memerintah.
Kalimat itu jelas mengandung aura kejahatan yang menyebalkan. Terpaksa, Lika duduk di samping Dinda. Dia memilih cari aman. Jihan menatap dengan prihatin, tahu jelas kalau dia maupun Lika tidak bisa berbuat apa-apa. Tepat setelah Lika duduk di bangku yang ditunjuk Dinda, cewek itu menyerbunya dengan banyak pertanyaan.
"Gue denger, lo bantu Delta cari tahu siapa pelaku sebenarnya yang ambil HP lo?"
Lika mengangguk. Pasti topik ini, pikirnya.
"Gimana perkembangannya? Bagus?"
Lika mengangkat bahu.
"Apa Delta seaneh yang dibicarakan orang-orang?"
Baru kali ini, Lika bersuara. "Aneh?" Kedua alisnya bertaut.
Dinda menyipitkan mata dan bersuara dengan kesan misterius. "Lo ingat gosip dia yang katanya nggak pernah pegang HP, tapi sering aktif di grup percakapan kelas," tutur Dinda. "Apa lo pernah lihat dia pegang HP?"
Lika berpikir keras. Seketika, pikirannya dipenuhi Delta. Di matanya, Delta adalah cowok yang berambisi mencari tahu siapa pelaku pencurian ponselnya, seolah kalau dia tidak tahu, hidupnya akan hancur. Padahal kebanyakan orang sudah percaya kalau dia bukan pelakunya. Delta juga agak tidak ramah dan Lika tidak pernah nyaman di dekatnya.
Lika menggeleng. Dia belum pernah melihat Delta memegang ponsel. Dia jadi ingat Delta pernah menyuruhnya mematikan ponsel tempo hari. "Gue pernah disuruh matiin ponsel waktu nebeng motor dia."
Kedua bola mata Dinda melebar dengan sinar menyebalkan. "Lo nebeng motor Delta?"
Oh, sepertinya Lika menimbulkan gosip baru. Karena tidak tahu harus menjawab apa, dia tetap mengangguk.
"Wah, dia nggak akan pernah mau ditebengi siapa pun! Kok lo bisa, sih? Tapi apa barusan? Dia nyuruh lo matiin HP?"
Terpaksa, Lika mengangguk lagi.
"Kenapa dimatiin?" tanya Dinda heran.
Lika mengangkat bahu. Memutuskan untuk tidak mengatakan hal yang bisa menimbulkan gosip baru. Berinteraksi dengan cewek biang gosip harus banyak diam. Kalau tidak, mereka akan membuat gosip mengerikan tanpa terkendali.
Dinda tampak berpikir keras. "Kayaknya dugaan gue bener, deh."
"Apa?" tanya Lika, penasaran dengan isi kepala Dinda. Ada saat di mana dia heran kenapa Dinda bisa membuat banyak gosip. Serumit apa isi kepalanya?
"Delta takut ponsel."
Lika mendelik, merasa menyesal karena penasaran dengan isi kepala Dinda. Cewek biang gosip itu sering berpikir abnormal dan mengatakan berita tanpa klarifikasi kepada orang lain. Ini salah satu contohnya.
"Nggak masuk akal," komentar Lika.
Alih-alih tersinggung dengan komentar Lika yang agak judes, Dinda terkekeh. "Benar, juga, ya. Kepala gue kadang mikirnya kejauhan. Delta mungkin memang nggak suka bawa hp ke sekolah. Mungkin aja, hpnya jelek."
"Mungkin aja HP-nya terlalu bagus, jadi nggak dibawa ke sekolah karena takut dicuri. Sekolah kita kan banyak pencuri," sahut Jihan asal-asalan. Ternyata, dari tadi dia memantau percakapan Lika dan Dinda untuk menyelamatkan sahabatnya itu di beberapa situasi.
Dinda terbelalak. Seolah pertanyaan paling susah di dunia baru terjawab. "Oh! Benar juga! Itu yang paling masuk akal! Dia pasti takut ponselnya dicuri! Lo pintar, Han."
Jihan menatap Lika, dua cewek itu saling tatap dan menampilkan ekspresi "apa sih?" Kemudian sama-sama mengangkat bahu.
"Tolong kondusif!"
Seruan Pak Asep di depan kelas membuat semua murid tersentak. Mereka segera duduk di posisi kelompoknya masing-masing. Keramaian yang tadi mendominasi kini perlahan hening.
Untunglah, Dinda yang hendak bersuara juga ikut diam. Lika melirik ponselnya dan teringat Arik lagi. Karena tidak berani bertanya pada Arik, apakah dia bisa bertanya pada pelaku sebenarnya? Itu bisa lebih pasti, kan? Dia ingin bertanya apa dia adalah komplotan Thi dan apakah dia bekerja sama dengan Arik?
Hanya saja, apa si pelaku sebenarnya mau memberikan jawaban?
Lika menatap ponselnya yang kini sudah tertuju pada kontak si pelaku.
Kenapa tidak dicoba saja agar semuanya jelas?
Lika menarik napas dalam-dalam, dan mempersiapkan diri. Jemarinya mengetik pesan pada si pencuri yang mengancamnya tempo hari.
Lika:
Ini gue
Sayang, pesan itu berhenti di sana, lalu dihapus lagi.
Ini tidak benar.
Bagaimana kalau….
Lika tersentak saat kursi disampingnya ditarik dan diduduki seseorang. Dia menoleh lalu terbeliak saat melihat pria tinggi dengan wajah keras yang dikenalinya. Mata sipit cowok itu menatap Lika dengan tajam.
Lika menelan saliva, merasa seluruh tubuhnya gemetar. Dia cepat-cepat membalikkan ponsel dan menyembunyikannya di bawah meja. Sadar cowok itu terus menatapnya, Lika memberanikan diri bersuara dengan pelan.
"A-aaapa?"
Oh, tidak! Kalimat putus-putusnya keluar! Lika memilin jemari dengan gugup dan menatap Gani takut-takut. Perlahan dia melirik teman kelompok yang lain. Syukurlah mereka tidak memperhatikannya.
Gani menyandarkan punggung di sandaran kursi, masih tetap menatapnya, kemudian menyeringai. "Biasa aja kali, gue bukan orang jahat."
Lika tersentak mendengar bisikan tajam itu. Dia menarik diri beberapa senti menjauhi Gani.
Tenang Lika, tenang. Gani orang baik. Dia cowok baik.
Akan tetapi, perasaannya tidak kunjung membaik.
Sial. Kenapa dia harus sekelompok bareng Gani, sih?
***