Mengabaikan kecurigaan terhadap Lika, Delta menoleh ke arah Resya.
“Terus kalau cerita versi lo?” tanyanya. “Menurut lo pelakunya Arik juga?”
Resya mengangguk dan mulai bersuara, “Pertama, gue mau bilang kalau gue sebel banget sama pencuri ponsel gue! Entah dia anggota komplotan Thi atau bukan. Lo tahu kan, screen shoot percakapan kelompok Thi yang tersebar di sekolah? Mereka seneng banget berhasil mencuri ponsel gue. Padahal di sana banyak banget data penting yang nggak bisa gue ambil ulang. Dasar bedebah nggak punya otak!”
Resya terlihat mengatur emosi setelah mengumpat dengan kasar. Dia kembali bercerita, kali ini lebih serius, “Saat itu ada lomba basket antar kelas buat acara perkembangan minat dan bakat siswa yang diadakan OSIS. Lo tahu, kan, acara itu?”
Delta mengangguk. Acara tahunan OSIS itu harus diikuti setiap kelas. Kalau tidak mengirimkan tim, maka kelas itu akan mendapat denda yang nilainya lebih besar dari biaya pendaftaran. Itu teknik lama yang selalu dilakukan OSIS agar acara mereka berjalan sesuai rencana. Kelas Delta terpaksa mengirim tim supaya tidak perlu membayar denda. Anggotanya kacau sekali dan mereka kalah di babak penyisihan. Itu lebih baik daripada tidak ikut sama sekali. Kalau sampai mereka harus membayar denda, maka tagihan uang kas kelas akan semakin besar. Itu akan jadi pembantaian uang jajan!
Delta kembali fokus mendengarkan cerita Resya. “Kelas gue kirim satu tim yang anggotanya nggak bagus-bagus amat. Gue dan temen-temen cewek lain jadi pendukung mereka. Tas kita disimpan nggak jauh dari tempat kita berdiri, dekat bendera upacara. Waktu itu gue simpan ponsel di dalam tas dan merasa aman soalnya jarak tas gue deket. Nah, pas pertandingan makin panas dan kami juga makin heboh, segerombolan cowok kelas lawan berkumpul di dekat tiang bendera, dekat tas kita. Gue waktu itu nggak terlalu terganggu karena ada temen gue juga yang berdiri dekat dengan tas. Gue tetep heboh dukung tim kelas tanpa bersikap awas."
Delta paham situasi itu. Orang sering kali tidak awas saat merasa senang.
Resya melanjutkan, "Barulah saat pertandingan selesai dengan hasil tim kelas kita kalah, gue ambil tas dan sadar kalau ponsel gue hilang. Gue panik, dong. Teman sekelas juga panik. Mereka bantu cari ponsel gue di pinggir lapangan dan ruang kelas, tapi ponsel gue nggak ada sama sekali. Terus gue baru ingat gerombolan itu. Dengan berani, gue minta mereka yang lagi merayakan kemenangan buat bongkar tas mereka. Untungnya, ketua kelas mereka mau kerja sama dan bantu gue. Dia mempersilakan teman sekelasnya digeledah. Sayang, nggak ada satu pun dari mereka yang pegang ponsel gue.”
“Terus dari mana lo nyimpulin pelakunya Arik?” tanya Lika, mendahului Delta. Rekannya itu bahkan mengernyit bingung dengan gerakan spontannya barusan.
Resya meraih sesuatu dari dalam tasnya dan menyimpan di atas meja. Itu sebuah gelang rajut berwarna kuning gading dengan gantungan berbentuk jangkar. Desain rajutan itu berbentuk huruf x yang lumayan rumit. “Gue temui jam tangan ini di dalam tas gue.”
Kali ini, Resya menatap Lika dengan serius dan intens. Mau tidak mau, Lika membalas tatapan cewek itu, mencoba tidak terlihat terkejut. Sudut bibir Resya terangkat membentuk seringai sinis. Seolah sudah tahu siapa Lika dan siapa Arik.
“Lo tahu gelang ini punya siapa?”
Lika tahu, tetapi tidak menjawab.
“Ini punya Arik,” jelas Resya. “Benar, kan?”
Lika tetap diam. Resya tahu dia dan Arik dekat.
Resya melanjutkan, “Gue kenal sama Arik. Dia pernah nyapa gue karena dia dekat sama adik sepupu gue. Mereka sekelas. Arik juga orangnya supel. Gue pernah lihat dia pake gelang ini. Arik dikenal suka pakai gelang semacam ini. Pas hari kejadian hilangnya ponsel gue, dia nggak pake gelang ini. Padahal gue yakin pas paginya, dia pake gelang ini. Saat gue tuduh Arik secara terang-terangan dengan mengungkit gelang ini, cowok itu pintar berdalih. Dia bilang gelangnya ada di tas dan entah gimana, sepulang sekolah dia membuktikan tuduhan gue salah dengan tetap pakai gelang ini. Dia seolah punya gelang cadangan atau apalah. Gue nggak paham.”
“Bisa jadi itu bukan gelang Arik. Bisa jadi orang lain punya gelang yang sama,” kata Lika.
Kini, Delta yang menggeleng dan merespons. “Ini merek Sun. Kalau gue nggak salah ingat, toko gelang online ini hanya membuat gelang sesuai keinginan pemesan. Mereka nggak menjual desain jadi.”
“Benar,” kata Resya senang mendapat dukungan.
“Mungkin, orang lain mencuri desain gelang itu dan membuatnya."
“Mereka nggak akan mencuri dengan mereknya juga, Lika,” kata Resya.
Lika mengangka kedua bahu. “Bisa jadi.”
“Enggak bisa!” tegas Resya lalu menyipitkan mata curiga pada Lika. “Aneh. Kenapa lo membela Arik?”
Lika mengerjap dan menggeleng. “Gu-gue hanya berhati-hati supaya bukti yang ada itu asli.”
Resya mencibir. Delta menengahi dengan bertanya pada Resya, “Kalau misal Arik pelakunya, kenapa dulu lo nggak berhasil menangkap Arik padahal bukti sudah lumayan jelas?”
Resya mendengus jijik. “Komplotan Thi memang sialan,” sungutnya. “Tiba-tiba aja gelang dengan desain serupa booming dipake sama anak sekolah. Jadi, bukti ini nggak kuat.”
Lika menghela napas lega. “Gue bilang juga apa. Mungkin, Arik bukan pelakunya.”
Resya berengut. “Pasti komplotan Thi yang menyebar gelang model itu ke anak-anak di sekolah.” Tanpa menunggu respons dari siapa pun, Resya menatap Delta serius dan kembali berkata. “Lo tahu info ini? Ada anak kelas 10 yang liat Arik lempar kotak ke luar sekolah setelah ponsel gue hilang. Gue langsung cek kotak itu, tapi nggak ada apa-apa yang berguna. Isinya cuma sampah. Tapi, bisa aja Arik menyembunyikan ponsel gue di kotak itu terus dikasih ke anggota komplotan Thi yang udah nunggu di luar gerbang. Dan kotaknya tetap disimpan di sana biar nggak ada yang curiga kalau ada yang mencari tahu isi kotak itu.”
“Itu asumsi,” kata Lika.
Delta pun mengangguk setuju.
Resya mengangkat bahu malas. “Tapi gue yakin banget kalau pelakunya adalah Arik." Resya menghela napas. “Well, gue tahu ini masuknya tuduhan, tapi gue cuma ingin kasih tahu ke lo siapa yang gue curigai dan alasannya.”
Resya melirik Lika dengan pandangan antipati. “Nah, Lika. Waktu kejadian, apa Arik ada di dekat lo?”
Lika tebeliak lalu melirik Delta yang kini sedang menatapnya. Cowok itu mengangkat satu alis. “Ada nggak, Lika?”
Ada. Arik ada di sana. Namun, Lika bisa memastikan 99% kalau Arik bukan pelakunya.
Lika tidak tahu siapa saja yang ada di gerombolan waktu itu. Namun, Lika tahu bahwa Arik, Rafi dan pelaku sebenarnya ada di sana. Lika juga tidak menebak gerombolan cowok itu gerombolan apa. Di sekolah, yang biasa bergerombol pastilah anak ekskul musik, anak ekskul bola voli, anak nakal, anak olimpiade, dan anak sekelas. Sepertinya, gerombolan itu campuran. Lika tidak tahu jelas. Saat itu, fokusnya hilang.
Lika menatap tiga pasang mata yang menunggu jawabannya. Cewek itu menelan saliva, menyembunyikan tangan yang terkepal di bawah meja, lalu mengangguk.
Arik ada di sana bersama Rafi, tetapi cowok itu bukan pelaku sebenarnya. Nggak apa-apa, pikir Lika. Meski Arik dicurigai, cowok itu tetap bukan pelakunya. Delta tidak akan menemukan bukti yang akan menjerumuskan Arik. Gebetannya itu baik, ganteng, ramah dan dilimpahi hal-hal positif. Arik tidak mungkin salah satu komplotan Thi atau komplotan apa pun itu yang mengerikan.
Nggak apa-apa. Lo menjawab hal yang benar, kata Lika pada diri sendiri. Tuduhan ini tidak akan membahayakan Arik.
“Tuh kan!” tuduh Resya puas.
“Gue pikir lo harus selidiki dan awasi dia,” tambah Julian. “Kita memang nggak tahu pasti, tapi pelakunya bisa siapa aja, kan?
Delta mengangguk paham. “Ada info yang mau kalian share lagi ke gue?”
Mereka menggeleng. “Cukup. Gue harap lo bisa tangkap pelakunya,” kata Julian.
“Semoga aja,” balas Delta lalu melirik Lika.
“Gue mau mastiin,” kata Delta. “Lo yakin pelakunya cowok?”
Lika mengernyit. “Hah? Kata siapa pelakunya cowok?”
Kali ini Delta yang mengernyit. “Lo waktu itu bilang ‘gerombolan cowok’. Jadi, pelakunya kemungkinan besar cowok.”
Lika mengibaskan tangan dan cepat-cepat menambahkan. “Sa-sama gerombolan cewek.”
Delta menyipitkan mata curiga. “Gerombolan cewek juga? Kenapa penjelasan lo jadi berubah?” tuduhnya.
Lika mengerjapkan mata sok polos. “Loh? Bukannya gue bilang segerombolan cowok, terus diikuti segerombolan cewek?”
“Hah?” Raut kebingungan di wajah Delta berubah menjadi jengkel. “Gue serius, Lika.”
“Gue juga serius, Delta.”
Cowok itu menggeram. Ada yang salah dengan Lika. Dia yakin itu. Terpaksa, Delta menahan kejengkelannya dengan bertanya, “Lo tahu siapa aja gerombolan cewek sama cowok itu?” Nadanya sinis saat mengatakan gerombolan cewek.
Lika mengangkat bahu. “Mana gue tahu.”
Sudahlah. Lika tidak membantu. Delta kembali fokus pada Resya dan Julian sambil berceletuk, “Yang jelas, gue nggak ada di antara gerombolan itu saat kejadian perkara. Itu bukti kalau gue bukan pelakunya. Aneh kalau lo masih bersikeras gue pelakunya." Delta perlu menegaskan ini pada Lika karena kebanyakan murid sudah percaya kalau Delta bukan pelakunya, mengacu pada pengumuman Pak Dodi.
Lika tahu itu. Selama ini dia terus menuduh Delta karena tidak tahu harus mengatakan apa saat Delta bertanya terus. Lika menatap Delta sinis dan balas bercelutuk, “Siapa tahu lo anggota komplotan Thi. Lo kerjasama sama salah satu orang di gerombolan cowok itu.”
Delta balik menatap Lika dengan tatapan tajam. Lika balas menatap tajam. Untuk mempertahankan kehidupan SMA-nya tetap normal, dia harus memperlebar kemungkinan si pelaku agar Delta semakin kesulitan menemukannya.
***