Renata baru selesai menata piring-piring nasi goreng di meja makan ketika seseorang mengetuk pintu dari luar. Wanita itu berjalan melintasi meja makan, melangkah lurus ke ruang tamu dan membuka pintu. Renata sempat melirik jam di ruang tamu. Sebelumnya tidak pernah ada orang yang bertamu sepagi ini.
“Maaf menganggu, Bu.” Tetangga sebelah yang biasa menyapa Renata setiap kali Renata berangkat ke kantor atau mengantarkan Alice ke sekolah menyembulkan kepalanya. Seorang wanita paruh baya yang senang tersenyum dan melambaikan tangan, ramah pada semua orang. Tapi pagi ini wajahnya tampak panik sekaligus was-was dalam waktu bersamaan.
“Ada apa, ya, Bu?”
Wanita di depan Renata meremas tangannya. Sesekali ia tersenyum canggung. Napasnya tidak beraturan. Ia melongokkan kepala, mencuri pandang ke dalam.
“Begini, sebenarnya saya mau memberi tahu ini sejak kemarin, tapi saya ragu…”
Renata mengernyitkan dahi, “Soal apa, Bu?.”
Wanita itu melongokkan lagi kepalanya ke dalam dengan mata berkeliaran cemas. “Alen ada?”
Renata menoleh kebelakang, mengikuti tatapan tetangganya yang menyapu seisi ruang tamu, kemudian ia mengangguk. “Dia di kamar. Mau saya panggilkan?”
“Eh! Tidak-tidak usah!”
Renata mengernyitkan dahi lagi. ia membuka pintu lebih lebar, lalu mundur selangkah untuk memberikan jalan masuk. “Kalau begitu mau masuk dulu?”
“Tidak, tidak usah.” Wanita itu mengibaskan kedua tangannya dengan cepat.
“Ini tentang Alen. Saya akan mengatakannya dengan cepat.” Katanya, membuat Renata diserang gelisah yang tiba-tiba.
#
Kalimat terakhir Galen masih terngiang-ngiang dengan jelas.
Kalau saya jadi kamu, kemudian saya mati dan masuk surga, saya akan minta pada Tuhan supaya saya diberikan keluarga yang sama dan kehidupan yang sama seperti di bumi meskipun saya tahu saya bisa meminta lebih dari pada itu.
Alen mengembuskan napasnya. Gadis itu berdiri di depan meja riasnya, menatap bayangan wajahnya yang tak jelas di cermin retak.
Untung saja kemarin Alen cepat sadar. Ia tidak memaksakan kehendak dan pergi menghabiskan waktu di Plaza. Kalau Alen melakukan itu, mungkin ia akan terus menunggu pesan Renata sampai larut dengan hasil yang seperti biasa : sia-sia.
Renata tidak mengirim pesan seperti yang Alen harapkan. Dia tidak bertanya Alen di mana atau mengapa gadis itu belum juga pulang kemarin. Hingga Alen sampai di rumah pun Renata tidak mengatakan apa-apa kecuali sudah makan? Alen mengangguk menanggapi itu semalam.
Harusnya pertanyaan itu saja sudah cukup bagi Alen. Anehnya gadis itu terus menuntut yang lebih meski ia tahu eksistensi dirinya tidak begitu berharga di rumah.
Alen meraih ponselnya, lalu menekan nomor Galen. Lama gadis itu mendengarkan nada sambung yang monoton. Setelah hampir satu menit, sambungan terputus. Galen tidak mengangkat telponnya. Tumben, pikir Alen. Pemuda itu selalu siaga setiap kali Alen menghubunginya.
Alen beringsut dari meja rias ke ranjangnya. Tadinya ia ingin memberi tahu Galen agar pemuda itu tidak menunggunya di halte bus seperti biasa. Alen sedang tidak ingin sekolah. Suasana hatinya kacau. Ia tidak mau memaksakan diri ke sekolah, lalu berakhir di kamar mandi dengan otak yang penuh imajinasi.
Alen sudah mengingatkan dirinya sendiri bahwa imajinasi anehnya akan mendominasi jika ia sedang berada dalam situasi yang baginya sangat menyakitkan. Dan hari ini, situasi seperti itu sedang terjadi. Apapun yang berhubungan dengan Renata pasti selalu berakhir menyakitkan bagi Alen.
Pun dengan insiden semalam. Kenyataan bahwa Renata tidak mengirim pesan menunjukkan bahwa semua anggapan Alen selama ini bukan sekadar anggapan. Perihal Renata yang lebih menyayangi Alice adalah fakta, bukan lagi anggapan. Tentu saja bagi Alen itu menyakitkan. Anak mana yang suka diperlakukan berbeda? Anak mana yang senang melihat ibunya lebih menyayangi anaknya yang lain? Tidak ada dan tidak akan pernah ada.
Kalau misalnya Renata menyangkal dan mengatakan ia menyayangi Alen seperti menyayangi Alice, maka Alen akan ingat semua perlakuan Renata padanya selama ini dan mempercayai sangkalan Renata sebagai kebohongan. Dan kalau Renata beralasan dia terlalu sibuk bekerja serta tidak punya waktu untuk menyayangi Alen, Alen tidak akan merasa lebih baik. Renata selalu bisa menunjukkan kasih sayangnya pada Alice meskipun dia sibuk. Lagi pula, kalaupun Renata sibuk bekerja untuk menghasilkan uang dan membahagiakan Alen, Alen tetap tidak akan merasa lebih baik.
[Galen, saya tidak akan berangkat sekolah hari ini. ]
Kirim
Alen memejamkan matanya sejenak. Prefontalnya sekoyong-koyong menjadi sibuk mengingat beberapa hal di masa lalu.
Dulu Alen tidak sepayah ini. Ia tidak pernah mengurung diri di kamar dan bicara sendiri di kamar mandi. Dulu ia senang mengobrol dengan Alice, pergi ke Plaza, dan makan bersama. Tapi entah kenapa, perlahan-lahan dunia Alen menjadi rapuh. Keluarganya hancur, Mama dan Papa bercerai, Alice menjadi tak terlampaui dan Alen sendiri menjadi bayangan hitam yang tak berguna di keluarganya.
Dengan hidupnya yang sekarang ini, yang baginya menyakitkan dan timpang, Alen jadi penasaran. Kalau ia mati, apa ia akan seperti yang dikatakan Galen? Meminta pada Tuhan agar diberikan keluarga dan kehidupan yang sama meski ia bisa meminta sesuatu yang lebih dari itu.
Alen tersenyum kecut. Tanpa sadar air matanya sudah menetes-netes, membentuk genangan halus di pipi. Apa sebenarnya yang salah dengan Alen? Kenapa ia tidak bisa menjadi seperti Alice yang cantik dan penuh bakat? Kenapa ia tidak bisa mendapatkan kasih sayang yang sama dari Renata? Kenapa ia harus mengidap MDD dan membuat dunianya lebih suram dengan bertingkah seperti orang gila?
Tangan Alen naik, membekap mulutnya sendiri ketika ia terisak tiba-tiba. Rasa sakit yang paling sakit menyerang sekujur tubuhnya. Tapi rasa sakit itu tidak bertahan lama ketika bayangan Galen melintas di otaknya. Alen dengan cepat menyeka wajahnya.
Gadis itu meraih lagi ponsel yang sebelumnya ia letakan di nakas. Ia menekan nomor Galen sekali lagi, lalu menempelkan ponselnya di telinga.
Di antara semua kekacauan di dunianya, Alen masih mempunyai Galen. Pemuda itu sedikit banyak telah mewarnai hidupnya dan memberikan Alen kesempatan untuk melakukan hal-hal baru yang belum tentu bisa Alen lakukan jika ia hanya sendirian. Pemuda itu yang mengatakan banyak hal manis dan terus mencoba meyakinkan Alen untuk tetap bertahan dengan keluarganya.
“Halo Galen? Galen, kamu sudah terima pesan saya? Tidak jadi. Saya berangkat sekolah hari ini. Jemput saya seperti biasa, ya?”
#
“Lo hebat banget, deh. Udah jadi model aja.” Sarah memekik kegirangan seraya memandangi wajah Alice yang tercetak besar di sampul majalah remaja.
“Kalo adik lo… dia bisa apa?” Sarah buka suara lagi. Ia mengalihkan matanya dari sampul majalah lalu memandang Alice dengan wajah masam.
Alice tahu makna ekspresi itu. Sejenis ekspresi merendahkan yang selalu Sarah pakai setiap kali ia membicarakan Alen. Entah apa salah Alen padanya, yang jelas Sarah senang sekali kalau sudah membicarakan Alen di belakang.
“Alen jago gambar.” jawab Alice sejurus kemudian. Rasanya menggoda sekali memaki Sarah, tapi Alice tidak mau membuat perkara dengan teman sekelasnya. Bukannya ia enggan membela Alen, hanya saja, berurusan dengan Sarah bisa sangat merepotkan. Gadis itu biang gosip sekolah. Kemampuannya menyebarkan informasi luar biasa sangat cepat. Alice ingat, dulu Sarah yang pertama kali menyebarkan gosip tentang Alen setelah tak sengaja memergoki Alen bicara sendiri di kamar mandi sekolah.
“Ya… jago ngehayal juga.” Sarah cekikikan. Gadis itu memancing emosi Alice ke puncak. Untungnya, Alice tidak mengikuti kemauannya menampar bibir temannya itu. Seseorang lebih dulu mengalihkan perhatian Alice.
“Alice.”
Alice menoleh ke arah pintu. ia mendapati Nurseu, perawat sekolah, melongokkan kepala dari luar.
“Bisa saya bicara dengan kamu?” perawat sekolah itu tidak menunggu Alice menjawab. Ia berbalik, lalu melegang di selasar kelas dengan anggun. Alice tentu saja langsung mengikutinya.
Dalam benak Alice, berbagai pertanyaan berseliweran. Ia bukan siswa yang sering mengunjungi UKS dan kalau tidak salah, ia tidak pernah membuat masalah di UKS, jadi kenapa Nurseu memanggilnya?
“Silakan duduk, Alice.” Nurseu mempersilakan begitu ia dan Alice sampai di UKS yang sepi. Bau alkohol serta obat-obatan yang disimpan di lemari menusuk-nusuk hidung Alice. Gadis itu menatap sekeliling, memperhatikan tata letak UKS yang tampak menakutkan dengan beberapa ranjang bertirai putih.
“Kamu tidak keberatan, kan mengobrol dengan saya?”
Alice tersenyum ramah sekaligus bingung. “Tentu. Tapi soal apa, ya? Ini kali pertama saya mengunjungi UKS.”
“Wah, kalau begitu berbeda sekali dengan Alen. Dia kesini dan mengobrol dengan saya setiap hari.” Jawab Nurseu. Entah kenapa nada suaranya terkesan sedih. Perawat sekolah itu memang terkenal dekat dengan Alen. Dia satu-satunya yang menemani Alen di jam istirahat. Lebih dekat dengan Alen dari pada teman-teman sekelas Alen.
“Saya senang sekali Alen punya teman.” Alice menukas kikuk. Ia masih belum mengerti ke mana arah pembicaraan Nurseu. Selain itu, ia dan Nurseu tidak akrab. Rasanya sama seperti sedang mengobrol dengan kepala sekolah. Suasananya canggung dan dingin.
“Saya juga senang berteman dengan Alen. Tapi Alice…” Nurseu menjeda kalimatnya. Ia mengerutkan dahinya, tampak kesulitan untuk melanjutkan. Sebagai gantinya, ia membuka laptop, mencari-cari sesuatu di sana, kemudian menunjukkan rekaman CCTV pada Alice. Di rekaman itu, terlihat Alen duduk berhadapan dengan Nurseu. Alen menunjukkan ponselnya sekilas pada Nurseu, lalu menempelkan ponsel itu dan bicara cukup lama. Alice tak tahu persisnya apa yang dibicarakan Alen.
Sama seperti Nuseu tadi, Alice juga mengerutkan dahinya. Ia menghentikan rekaman CCTV, lalu bertanya, “Maaf, tapi saya nggak ngerti…”
Nurseu memegang dahi. Ia mengembuskan napas, lalu sejurus kemudian menggenggam tangan Alice.
“Saya hanya perawat sekolah, tapi saya dan Alen sangat dekat. Dia sudah seperti adik saya sendiri.” Katanya. Ia menekan kedua bibirnya sampai memutih sebelum melanjutkan,
“Saya rasa ada yang salah dengan Alen.”
Alice bergeming lama. Jujur saja, ia tidak mengerti maksud dari ‘ada yang salah’. Gadis itu beringsut membenarkan posisi duduknya tanpa mengatakan apa-apa untuk merespon Nurseu. Dan seolah mengerti, Nurseu juga tidak menunggu, ia langsung melanjutkan, mengatakan berbagai hal yang menyebabkan Alice lebih bisu dari sebelumnya.
“Saya tahu Alen sering mengobrol sendiri, melakukan hal-hal aneh yang membuat semua orang berasumsi dia sakit, tapi setiap kali saya mengobrol dengan Alen, saya yakin dia sangat sehat secara fisik dan mental. Orang-orang yang memiliki penyakit jiwa biasanya tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan, atau sekurang-kurangnya mereka mengaminkan khayalan mereka sebagai sesuatu yang nyata. Tapi Alen…” Nurseu tampak berpikir sejenak sebelum ia melajutkan,
“Dia sangat sadar. Dia tahu dia suka berbicara sendiri, dia juga tahu dia sering tenggelam dalam khayalannya. Alen selalu berusaha untuk memperbaiki diri dan menghilangkan kebiasan buruknya.”
“Jadi maksudnya, bicara sendiri, mengkhayal, dan melakukan hal-hal aneh, itu hanya kebiasaan buruk yang bisa Alen perbaiki?” akhirnya Alice bertanya dengan hati-hati. Ia mengharapkan jawaban yang menyenangkan, tentu saja, tapi Nurseu sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia akan mengatakan sesuatu yang baik.
“Justru itu masalahnya. Awalnya saya pikir Alen hanya mengidap Maladptive Daydream Disorder (MDD)—“
Alice memotong cepat saat mendengar istilah itu dengan bertanya ‘apa itu?’ namun Nurseu tidak menjelaskan apa-apa. Perawat itu lebih fokus pada inti pembicaraan yang ingin ia sampaikan.
“Orang-orang yang suka berkhayal dan bicara dengan khayalannya tidak bisa disebut gila. Mereka hanya mencoba menjaga kesehatan mental mereka dengan menghindari situasi yang tidak mereka inginkan, salah satunya dengan menciptakan khayalan-khayalan yang menyenangkan.”
“Untuk kasus Alen… saya rasa sudak bukan lagi MDD. Awalnya dia memang sadar dengan khayalannya, tapi akhir-akhir ini Alen sama sekali tidak bisa membedakan mana khayalan dan mana kenyataannya.” Nurseu memutar kembali rekaman CCTV di laptopnya. Ia membidik sosok Alen seraya mengembuskan napas.
“Kamu lihat sendiri, kan, Alen menelpon seseorang?”
Alice mengangguk. Gadis itu duduk diam, mulai merasa lemas. Kedua kakinya tak berhenti bergetar, sementara tangannya meremas rok kotak-kotak yang ia kenakan.
“Saya bersumpah, Alice, tidak ada yang menelpon Alen.” sekali lagi, sekali lagi, Nurseu memutar rekaman CCTV. Ia menunjuk-nunjuk sosok Alen, menarik mata Alice agar ikut memperhatikan gerak-gerik Alen di rekaman itu.
“Lihat? Alen menunjukkan ponselnya pada saya, tapi saya tidak melihat ada panggilan yang masuk. Ponselnya mati waktu dia menunjukannya pada saya. Dia tidak sadar ponselnya tidak tersambung dengan siapapun.”
#
“Minggu sebelumnya saya lihat Alen sedang ngobrol sendirian di taman ini. Saya tanya, dia lagi apa, dia bilang lagi ngobrol sama temannya… tapi gak ada siapa-siapa, Bu.”
“Minggu ini juga saya lihat Alen lagi. Saya rekam diam-diam, supaya bisa Ibu lihat juga. Bukan apa-apa, maaf sekali Bu Renata. Saya hanya ingin meyakinkan saja, takutnya ibu tidak percaya kata-kata saya. Maaf sekali, Bu.”
Renata menggelengkan kepala berkali-kali. Ia mengenyahkan ruwet yang menyebabkan mandet di kepalanya. Kedatangan tamu di pagi hari tidak pernah berpengaruh seburuk ini padanya. Ini kali pertama Renata kehilangan fokus saat bekerja hanya karena ucapan tetangganya. Padahal sekarang ini, apa saja bisa dimanipulasi. Tidak seharusnya Renata percaya ucapan tetangganya.
Nyala laptop memantulkan cahaya putih ke wajah Renata. Pandanganya kosong, sementara dalam otaknya, sebuah video menakutkan diputar. Video kiriman tetangganya itu memperlihatkan Alen duduk sendirian di sebuah taman, menghabiskan dua bungkus mie ayam seperti orang yang kelaparan. Bicara dan kemudian tertawa ringan, nampak sangat menikmati waktu seolah-olah ia memang sedang ditemani seseorang.
Kepala Renata rasanya mandet. Rubrik yang tengah ia tulis mendadak kehilangan arah. Jari-jari Renata memang mengetik di atas keyboard, tapi tak jelas apa yang ia tik di rubriknya. Bisa-bisanya hal seperti ini mempengaruhi seorang Renata. Selama ini Renata tidak mudah terpengaruh, apalagi percaya pada tetangganya. Jangankan tetangga, berita resmi di televisi saja kadang tidak bisa mempengaruhi Renata.
Tapi sepertinya, hal-hal yang bertolak belakang bisa terjadi dengan sangat mudah pada setiap ibu jika sesuatu terjadi pada anaknya. Renata menyeka wajah dengan tangan. Ia berhenti mengetik, menatap ke layar laptop, mendapati tulisan acak-acakan yang sama sekali tidak terbaca. Ini tidak benar. Renata menutup laptopnya, meninggalkan kamar kemudian berjalan ke dapur. Wanita itu menuangkan segelas air putih dan meneguknya dengan tangan gemetaran.
“Apa mungkin Alen…” Renata tidak melanjutkan ucapannya. Ia menyandarkan diri di dinding dapur setelah meletakan gelasnya ke pantri. Ia tidak ingin berasumsi yang buruk-buruk tentang putri bungsunya.
Dulu, Alice sempat memberitahu Renata soal Alen yang sering bicara sendiri di sekolah, di kamar, atau di kamar mandi. Alice juga berkali-kali meyakinkan Renata untuk membawa saja Alen ke klinik atau psikiater. Renata tidak pernah setuju. Menurutnya, adalah hal wajar jika sesekali Alen melamun lalu lepas kendali dan bicara sendiri. Dulu juga Renata begitu. Tapi sepertinya kali ini Alice lebih benar.
Seandainya Renata menaruh perhatian yang lebih, hal seperti ini pasti tidak akan terjadi. Kalau Renata dulu mendukung Alice untuk membawa Alen ke klinik, pasti sampai saat ini ia tidak akan menonton video putri bungsunya mengobrol seorang diri di taman. Tidak juga merasakan sakit yang aneh menyelubungi seluruh lorong tenggorokannya.
Selama ini Renata selalu mengusahakan yang terbaik untuk keluarganya meski ia sendiri harus menghadapi kehancuran melalui perceraian. Kedua putrinya mungkin terpukul atas keputusan cerai yang Renata ambil. Putri sulungnya sakit, sekarang putri bungsunya.
Renata menggelengkan kepala dengan cepat. “Tidak, tidak. Saya tidak boleh bepikiran jelek. Semua ini belum jelas kalau belum ada keterangan dari Alen.” Renata mengiyakan ucapannya sendiri.
Ia menarik napas panjang, lalu melepaskannya dengan perlahan. Pasti ada kesalahan, pikirnya. Tidak mungkin Alen begitu. Putri bungsunya sangat sehat.