Alen melambaikan tangannya. Galen juga. Pemuda itu menyalakan mesin motor. Motor melaju, meninggalkan Alen di halte bus tempat biasa ia menunggu. Setelah Galen dan motornya menghilang di tikungan jalan, Alen tersenyum senang. Ia tidak pergi ke sekolah.
Alen membolos lagi bersama Galen seperti sebelumnya. Tapi kali ini membolos dengan gaya Alen. Bukan gaya Galen yang membosankan dengan duduk-duduk di taman. Alen menghabiskan waktu menonton di Plaza, makan, dan main arcade. Hal-hal yang lagi-lagi ia lakukan untuk pertama kalinya bersama Galen. Lain kali, kalau suasana hati Alen sedang tidak baik, ia akan menghubungi lagi Galen, meminta dijemput seperti biasa, lalu mengubah rencana menjadi membolos bersama.
Senyum Alen berubah jadi cekikikan senang. Gadis itu memutar ulang lagi jam-jam yang sudah berlalu hari ini. Ternyata, menyenangkan sekali memiliki seseorang yang bisa diandalkan. Seberat apapun hari Alen, setiap kali ia bisa menembus waktu dengan berbagai hal yang indah, rasanya tekanan dan sakit yang muncul tidak berarti. Sekarang tak masalah kalau Alen harus menghadapi posisinya yang tidak berharga di rumah. Yang terpenting, ia masih bisa terus menemui Galen dan menghabiskan waktunya dengan tenang dan bahagia. Itu saja.
#
Alen menatap pintu rumahnya yang tertutup rapat. Ia mengeratkan genggaman pada crossbag-nya seraya menghela napas. Selamat datang kembali di neraka, gumamnya dalam hati.
Alen menguatkan diri, mencoba tetap tenang. Kalau ia berpapasan dengan Renata di ruang tamu, cukup cium saja tangannya lalu cepat-cepat pergi ke kamar. Dan kalau berpapasan dengan Alice, abaikan saja. Alen mengangguk mantap.
Ia membuka pintu, melangkah masuk, dan berhenti seketika. Gadis itu tidak melangkah lebih jauh dari ambang pintu begitu menemukan Renata dan Alice yang duduk berdampingan di ruang tamu.
“Dari mana saja, Alen?” Renata bertanya, benar-benar terasa aneh. Tidak biasanya Renata penasaran dengan kehidupan Alen. Dari mana atau ke mana Alen pergi, biasanya tidak penting bagi Renata. Sekarang tiba-tiba ibunya itu bertanya dengan wajah serius.
“Sekolah.”
“Lo nggak sekolah, Alen. Gue sempet ke kelas lo buat balik bareng. Temen-temen sekelas lo bilang lo absen hari ini.”
Oh, jadi ini alasan kenapa Renata dan Alice menyambutnya. Karena Alen bolos. Ternyata kalau Alen melakukan hal-hal yang tidak baik, ibu dan kakaknya itu jadi tertarik. Entah karena sayang atau justru karena takut kelakuan jelek Alen akan berpengaruh pada karir mereka yang seperti dewa.
Tidak menutup kemungkinan Alice takut suatu hari di majalah yang ia bintangi akan muncul berita ‘Alena Marissa, adik model Alicia Marissa ternyata seorang berandal sekolah.’ Judul yang lucu tapi bisa menggetarkan Alice. Atau mungkin juga akan muncul di surat kabar, ‘Selain gila, putri penulis Renata Marissa ternyata hobi membolos’. Bisa-bisa Renata alih profesi dari penulis menjadi selebriti.
“Iya, bolos.”
“Sudahlah, itu nggak penting.”
Alen mengangkat sebelah alisnya. Tadinya ia pikir Renata akan mengamuk atau mengatakan berbagai hal untuk memperingatkannya agar menjadi anak yang strict to the rule sekaligus teladan seperti Alice. Tapi Renata cuma menatap Alen dengan pandangan yang tak terdefinisikan. Sangat tidak biasa.
“Mama udah ngobrol dengan Alice tadi. Sekarang Mama ingin ngobrol dengan kamu.” Renata melanjutkan. Ia memberi kode pada Alen agar gadis itu duduk di sampingnya. Dengan bingung, Alen mendekat, duduk di samping ibunya, dan menerka-nerka apa yang membuat Renata sebegini serius.
Apa yang Renata bicarakan dengan Alice? Soal pekerjaan? Uang?
“Soal apa?” Alen tidak bisa tidak bertanya. Meski ia menerka-nerka dan memilih jawaban yang paling mungkin, tetap, otaknya tak luput dari rasa penasaran.
“Ini tentang kamu.”
Bukan menuntaskan rasa penasaran Alen, jawaban Renata malah membuat gadis itu semakin kebingungan. Sebelumnya, Renata tidak pernah bicara apa-apa padanya—maksudnya biacara serius dengan wajah serius seperti ini.
“Baiklah…” Alen mengangguk ragu. Bergantian ia menatap mata ibu dan kakaknya. Di kedua manik mata itu, sekelebat bayangan yang menyedihkan melintas. Alen tak tahu apa, yang jelas, mereka tampak asing dengan wajah dan kelebat sedih itu.
“Mama ingin tahu soal ini.” Renata menyerahkan ponsel yang milik Alice setelah menekan tombol play pada pemutar video. Sosok Alen yang menelpon seseorang muncul di video itu. Alen menonton sampai akhir, tapi sama sekali tak mengerti apa maksud ‘ingin tahu’ yang Renata ucapkan. Apa yang harus Renata ketahui dari video itu dan apa yang harus Alen jelaskan dari video itu? Cuma sebuah rekaman CCTV di UKS.
“Mama dapat rekaman ini dari mana?”
“Dari Alice.”
Alen memutar wajahnya pada Alice. Seolah bisa menerka pertanyaan yang berputar di otak Alen, Alice menjawab cepat, “Dari Nurseu.”
Kenapa Nurseu memberikan video itu? Alen tidak bertanya lebih lanjut. Ia memandangi dirinya di dalam video rekaman. Tampak senang dan riang menelpon seseorang di hadapan Nurseu, sementara itu, Nurseu tampak tidak bergerak, membeku menatap Alen.
Kalau tidak salah, di video ini sepertinya Alen sedang menelpon Galen. Ini pasti rekaman CCTV kapan hari saat guru matematika Alen absen dan Alen menghubungi Galen untuk menemaninya menghabiskan waktu.
Alen meletakan ponsel Alice ke meja. Ia tidak tahu harus mengatakan apa.
“Di video itu, kamu bicara dengan siapa? Maksud Mama, kamu menelpon siapa?”
Alen mengernyit. Apa-apaan ini? Kenapa sekarang Renata menjadi sangat terobsesi pada dunia Alen. “Cuma teman.” Jawab Alen sekenanya.
“Temana yang mana?”
Entah kenapa, Alen tak suka Renata mengorek-orek dunianya yang sekarang berangsur-angsur damai. Ada ketakutan di diri Alen, jika Renata ikut campur dalam kehidupan pribadinya, Alen khawatir dunianya akan kembali kacau. Khawatir sekali lamunan-lamunannya akan mendominasi lagi dan menyebabkannya benar-benar gila seperti yang dikira orang-orang. Apalagi akhir-akhir ini, Alen sudah tidak pernah mengkhayal yang aneh-aneh seperti menjadi peri bersayap, aktris papan atas, atau putri raja.
“Teman baik Alen.” Alen menjawab lagi, pelan dan ragu.
“Mama kenal temanmu itu?”
Alen mendongak menatap Renata. Tiba-tiba gadis itu merasa berang. Kenapa pula Renata harus terus bertele-tele bertanya ini itu yang sebenarnya tidak jelas ke mana arahnya. Bertanya siapa teman Alen, teman yang mana, apa Renata mengenalnya atau tidak? Sementara selama ini Renata sama sekali tidak peduli.
“Nggak.”
“Siapa namanya?”
Alen mengerutkan hidung.
“Kalau aku kasih tahu namanya juga Mama nggak akan tahu.” Jawab Alen ketus. Ia mendapati bola mata Renata membulat. Wanita itu tampak tersentak.
“Mama cuma ingin tahu namanya. Itu aja.”
“Tapi buat apa? Selama ini Mama nggak peduli siapa teman-temanku.”
“Karena Nurseu bilang lo bicara sendiri, Alen.” Alice menukas terburu-buru. Ucapannya tidak mengejutkan sebenarnya, karena Alen sudah biasa dianggap gila, tapi mendengar nama Nurseu disebut, Alen tak percaya. Perawat sekolah itu tak pernah menghakiminya dan menyebutnya gila seperti yang orang-orang lakukan.
“Dan ini…” kali ini Alice yang menyerahkan ponsel—ponsel Renata—pada Alen. Sama sekali tak jelas kenapa dua orang itu bertukar ponsel. Tadi Renata menyerahkan ponsel Alice, sekarang Alice menyerahkan ponsel Renata. Apa mereka sengaja bertukar ponsel untuk bertukar informasi demi menyudutkan Alen? Keterlaluan kalau memang begitu.
“Lo sama Mama kayaknya yakin banget, ya kalau gue gila? Gue ngomong sendiri, bukan berarti gue gila. Nurseu bilang itu bisa jadi gejala MDD dan MDD bukan penyakit jiwa.” Alen menekankan, tak kunjung menerima ponsel yang Alice sodorkan padanya.
Lihat? Setiap kali pulang ke rumah, suasana hati Alen akan berubah 180 derajat. Harinya yang baik bisa seketika hancur oleh orang-orang yang seharusnya adalah orang yang dapat diajak berbagi. Mereka bersikap begini, bertukar ponsel, saling memberikan informasi di belakang Alen, dan seperti sudah bersepakat untuk menuduh Alen gila bersama-sama.
Alice menggeleng. Wajahnya yang selalu cantik sekarang tampak lelah. Ia menjejalkan ponsel di tangannya secara paksa pada Alen
“Cek dulu, Alen.”
Alen mendengkus. Seperti yang Aiice inginkan, ia mengecek ponsel di tangannya. Lagi-lagi menunjukkan sebuah video. Alen menekan tombol play, memperhatikan video amatir yang mengambil sosok dirinya dari belakang.
Sengatan yang hebat mengejutkan Alen. Ia mendengar suaranya sendiri dari video itu. ia melihat dirinya duduk menyamping, berkali-kali menolehkan wajah dan mengatakan berbagai hal, lalu sesekali tertawa.
Alen mengerjap. Mendadak kepalanya kosong. Semua kosa kata yang pernah ia pelajari lenyap. Ia kehilangan kemampuan berbicara. Juga kehilangan tenaga untuk sekadar menopang beban ponsel di tangannya. Ponsel tergelincir jatuh. Alen bergeming.
Ia melihat dirinya berbicara sendiri, menyantap dua porsi mie ayam seorang diri, juga tertawa sendiri. Padahal Alen ingat dengan jelas, hari saat ia menyantap mie ayam di taman adalah hari saat ia bersama Galen.
“Galen…”
#
Ini sudah dua hari sejak Renata memperlihatkan video-video rekaman pada Alen. Dan tentu saja, seperti yang Renata takutkan, Alen terpukul. Benar-benar terpukul.
Alen mengunci diri di kamar. Tidak membukakan pintu untuk Renata maupun Alice. Tidak tertarik pada makanan dan bujukan-bujukan Renata. Ini membuat Renata jauh lebih khawatir dari pada saat ia menonton video Alen di taman. Rasa gelisah Renata sudah mencapai skala seratus ribu dari sepuluh. Mendapati putrinya mengurung diri, terlintas di benak Renata hal-hal yang menakutkan. Bagaimana jadinya kalau ia kehilangan Alen?
Sekali pun Renata tidak pernah menunjukkan rasa sayangnya, Renata berani bersumpah, ia menyayangi Alen dan tidak akan pernah merelakan kehilangan gadis itu seperti ia kehilangan kebahagiaan dalam pernikahannya.
Seperti yang sudah-sudah, piring sarapan yang diletakan di depan kamar Alen, utuh tak tersentuh. Renata mengganti piring sarapan dengan piring makan siang. Lauk tumis cumi kesukaan Alen sengaja disajikan panas-panas agar uapnya bisa menembus celah pintu dan menyadarkan Alen bahwa ia harus segera makan.
“Alen, ini makan siangmu. Hari ini Mama masak cumi.” Renata berdiri di depan pintu. Tidak ada jawaban terdengar. Kamar sepi, seolah Alen tak ada di sana.
“Mau Mama buatkan susu?” Renata menawarkan dengan sia-sia. Ia menelan ludah, merasa tenggorokannya kering dan perih.
“Kalau kamu begini terus, kamu bisa sakit.”
Lagi-lagi tidak ada jawaban. Renata memutuskan untuk berbalik menuju dapur dari pada terus menerus memaksa Alen mengatakan sesuatu. Gadis itu juga pasti sama terpukulnya dengan Renata ketika menyadari ada yang salah dalam dirinya.
Renata membuang nasi goreng yang sudah dingin dan keras dengan perasaan tercekik. Perlu beberapa detik yang susah payah baginya untuk menetralkan dulu tenggorokannya sebelum bergumam pelan lagu kesukaannya.
Adalah hukuman bagi Renata untuk selalu tegar dalam situasi yang tak layak setelah membuat kehidupan kedua putrinya timpang akibat keputusan perceraiannya. Renata tidak pantas untuk ikut bersedih dalam kesedihan yang Alen rasakan karena bagaimana pun Renata adalah ibu payah yang tidak pernah menyadari kejanggalan dalam diri putrinya. Renata terlalu sibuk bekerja, memikirkan karirnya untuk masa depan Alen dan Alice tanpa pernah berpikir bahwa masa depan itu tak hanya ditentukan oleh uang. Kesehatan yang semula Renata pandang remeh ternyata adalah hal utama setelah melihat kedua putrinya sakit. Baik Alice maupun Alen, tak ada yang benar-benar sehat dan tentu saja itu salah Renata.
Ibu macam apa yang tak tahu kalau obsesinya pada bekerja telah menyebabkan hidup anak-anaknya hancur? Renata tersenyum kecut. Ia meletakan piring yang sudah ia cuci ke rak, lalu menyalakan keran saat sadar gumaman lagunya terdengar bergetar dan tercekat.
Renata menyadari air matanya merembes panas. Ia membungkuk sedikit, meyeka wajah di wastafel, terburu-buru membasuh jejak air matanya yang tak pantas. Ketika Renata mendongakkan wajah, dari belakang dua tangan melingkar di pinggangnya. Renata berbalik dengan cepat.
Wajah manis dan lembut Alice menyambutnya, meruntuhkan semua pertahanan ketegaran Renata dan menyebabkannya terisak. Melihat Alice memeluknya seperti ini, sakit hati yang sempat sembuh muncul kembali. Teringat pada masa-masa saat Alice begitu menderita.
“Mama minta maaf untuk kamu dan Alen.” lirih Renata. Ia menenggelamkan wajahnya di helaian rambut Alice. Putrinya itu tak mengatakan apapun. Hanya mengelus punggung Renata, mengalirkan kekuatan sekaligus rasa bersalah yang tak kunjung reda.
Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang ibu dari pada rasa bersalah telah menyakiti anak-anaknya.
#
Awalnya Renata memang tidak ingin menggubris kata-kata tetangganya, apalagi mempercayai video Alen di taman, tapi ketika Alice—yang waktu itu baru saja pulang sekolah—menghampirinya dengan ketakutan dan tubuh gemetaran, Renata tak bisa tetap tenang. Alice mengatakan macam-macam hal yang tidak bisa Renata cerna karena gadis itu menjelaskan dengan terburu-buru.
Renata baru mengerti ketika Alice menunjukkan sebuah rekaman CCTV dan berkata,
“Katanya Alen nggak nelpon siapapun. Dia bicara sendiri.”
Dari sana Renata mulai yakin. Memang ada yang salah dengan Alen. Baik ia maupun Alice sama-sama mendapatkan informasi soal kelakuan aneh Alen. Mana mungkin Renata ragu lagi setelah dua sumber berbeda mengatakan hal serupa. Tetangga dan perawat sekolah sudah cukup sebagai bukti kalau Alen memang menunjukkan tingkah yang mengarah pada kesehatan mental yang tidak stabil.
Sebagai jalan untuk mengurangi gelisahnya, Renata memutuskan untuk bertemu Nurseu, perawat sekolah yang memberikan rekaman CCTV pada Alice. Alice bilang, Nurseu bukan hanya perawat sekolah. Dia seorang lulusan psikologi universitas negeri dan pernah bekerja sebagai psikiater sebelum akhirnya menjadi perawat karena pekerjaannya sebagai psikiater tidak berjalan begitu lancar.
Setidaknya, mungkin dengan menemui Nurseu, Renata bisa tahu apa saja yang putrinya lakukan saat sedang di sekolah. Menurut Alice, perawat itu lebih dekat dengan Alen daripada teman-teman Alen sendiri.
Renata menunggu di kafe deka rumah setelah membuat janji temu dengan Nurseu. Dua belas menit menunggu dengan resah, akhirnya Nurseu tiba. Perawat sekolah itu tampak ramah dalam balutan knit hitam dan blazer cokelat.
“Saya pasti menganggu, ya?” Renata bergumam muram, cepat-cepat dibalas gelengan oleh Nurseu.
“Tidak. Jadwal saya di sekolah sudah selesai, jadi tidak perlu sungkan.” Nurseu tersenyum sopan. Perempuan itu mungkin berusia akhir duapuluan. Tampak dewasa dan cantik dengan gerak-gerik anggunnya.
“Ini tentang putri saya… Alen.” Renata bergumam lagi. ia menjilat bibirnya yang sekoyong-koyong menjadi kering. Di hadapannya, Nurseu menunduk muram.
“Saya ingin tahu apa saja yang biasa Alen lakukan di sekolah?”
Nurseu tidak langsung menjawab. Ia menyesap kopi pesanannya yang datang beberapa detik lalu. Wajahnya berubah kecut ketika menyesap kopi tanpa suara. Baru setelah meletakan cangkir ke meja, ia menegakan wajah dan memandang Renata lurus.
“Alen gadis yang baik dan ceria jika sedang bersama saya.”
Renata mengerutkan alis. “Ceria?”
“Omong-omong saya pasti lebih muda, jadi Ibu bisa panggil saya Nurseu saja. Saya sudah sangat dekat dengan Alen dan merasa dekat juga dengan Ibu.” Tukas Nurseu, tersenyum lembut. Ia melanjutkan, “Sebenarnya, saya tidak senang mengatakan ini, tapi bagaimana pun saya rasa Ibu harus tahu.”
Renata mengangguk ragu. ia menerka dengan hati yang kacau. Cara Nurseu bicara membuat Renata takut ia akan mendegar sesuatu yang tidak menyenangkan.
“Alen hanya ceria saat bersama saya. Di luar dia anak yang tertutup. Apa Ibu tahu, teman-teman sekelas Alen tidak mau berteman dengan Alen?”
Renata menggeleng lagi. Kali ini gelengannya kosong dan lemah. Renata memang sadar Alen tertutup di rumah, tapi sama sekali tak terlintas bahwa di sekolahnya Alen juga menutup diri. Apalagi sampai tidak mempunyai teman, Renata tak menyangka.
“Alen tidak pernah suka diam di kelas atau di kantin sekolah karena teman-temannya menganggapnya gila.” Nurseu menjelaskan dengan hati-hati. “Karena itu, dia selalu lari pada saya dan diam di UKS saat jam istirahat. Saya tahu Alen dianggap gila, tapi saya tidak mau ikut-ikutan menghakimi Alen. Jadi saya putuskan untuk berteman dan mendengarkan cerita-ceritanya.”
Perlahan-lahan Renata mulai menyadari kesalahan lain yang ia lakukan sebagai seorang ibu. Selain terlalu fokus pada pekerjaannya, Renata juga menutup mata dari kehidupan sosial putrinya. Selama ini Renata memang hanya menilai kehidupan Alice dan Alen dari yang ia lihat selama di rumah. Dan bagi Renata yang tak tahu apa-apa, baik Alice maupun Alen, keduanya tidak memiliki masalah. Sama sekali tidak pernah tahu kalau salah satu putrinya punya kehidupan yang sulit di sekolah.
“Dari cerita-cerita Alen, saya tahu dia suka melamun dan berkhayal sampai lepas kendali. Alen sendiri yang mengaku kalau dia selalu membayangkan dirinya sebagai orang lain dan bayangan-bayangnan itu terasa nyata, menurut Alen. Dari sana saya yakin kalau Alen mungkin mengidap MDD.”
“MDD?” Renata mengerjap. Ia pernah dengar Alen menyinggung soal MDD.
“Maladaptive Daydream Disorder, keadaan di mana seseorang merasa dirinya tidak senang dengan hidupnya. Bisa pula karena seseorang merasa kondisi psikologisnya terancam. Untuk menyelamatkan kesehatan psikisnya, orang yang merasa terancam akan membayangkan hal-hal yang menurutnya menyenangkan, sekaligus tenggelam dalam hal itu.”
Seluruh tubuh Renata merinding. Semenderita itukah Alen? Dan sebodoh itukan Renata sampai ia tidak becus menjaga putrinya sendiri?
“MDD dipicu oleh keadaan-keadaan yang bagi penderitanya mengancam. Saya sudah pernah tanya pada Alen, apa kiranya hal-hal yang memicu khayalannya muncul…” Nurseu menarik napas. Ia menatap Renata muram sebelum kembali melanjutkan,
“Alen menjawab, Mama.”