“Ini tempat favoritmu, ya?” Alen memandang sekeliling. Baru dua kali ia mengunjungi taman ini, tapi rasanya sudah seperti berkali-kali. Taman yang sama tempat Galen memberinya roti lapis. Hanya taman biasa tanpa sesuatu apapun yang menarik.
“Memangnya kamu tidak suka tempat ini?”
Alen berpikir sejenak, “Suka, tapi saya pikir kamu mau mengajak saya jalan-jalan.”
“Ini juga jalan-jalan. Kita bisa mengelilingi taman ini. Jalan kaki sama dengan jalan-jalan.” Galen menjelaskan dengan senang hati, sejurus kemudian meraih tangan Alen dan menuntunnya berjalan mengelilingi taman. Pemuda itu, seperti janjinya, menjemput Alen sepulang sekolah.
Alen pikir ketika Galen mengajaknya jalan-jalan, pemuda itu akan membawanya ke kafe, atau mungkin ke Plaza, makan es krim, atau ke toko penyewaan komik dan membaca komik bersama, tapi nyatanya jalan-jalan dalam kamusnya adalah pergi ke taman, kemudian duduk di bangku taman setelah berjalan berkeliling. Benar-benar selera yang aneh.
“Kamu sering melakukan ini sebelumnya?”
Galen menoleh. Wajahnya dihiasi raut bingung atas pertanyaan Alen.
“Melakukan apa?” tanyanya.
“Berjalan-jalan di sini?”
“Oh…” Galen beroh-ria tapi tidak menjawab pertanyaan Alen. Pemuda itu malah mengangkat bahu, melanjutkan berjalan tanpa mengatakan apa-apa. Untuk beberapa meter ke depan, Galen benar-benar hening. Alen sendiri tak tahu apakah ia harus mengatakan sesuatu atau lebih baik diam saja. Pemuda yang mengegenggam tangannya dan berjalan di sampingnya membuat otaknya kosong melompong.
Selagi suasana hening, Alen bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Sebenarnya ia sudah lama sekali mempertanyakan soal ini.
‘Apa tidak terlalu cepat merasa akrab dengan Galen?’
Kemudian hati kecil Alen menjawab, tidak ada ketentuan untuk menganggap seseorang sebagai teman. Tidak perlu kenal lama, apalagi mengetahui segala hal tentangnya. Untuk berteman dengan seseorang, berkenalan saja rasanya cukup. Setelah itu semuanya akan berjalan secara natural. Tinggal kita yang menentukan apakah dia pantas disebut teman atau tidak, terlepas dari seberapa lama kita mengenal.
Jadi sepertinya hal yang sama berlaku juga untuk Alen. Alen tidak perlu mengenal dan mengetahui segala hal tentang Galen hanya karena ia menganggap pemuda itu teman. Dengan kepribadiannya yang baik dan tidak neko-neko saja sudah memenuhi kriteria teman.
Satu putaran penuh mengelilingi taman sudah selesai. Galen duduk di bangku biasa, diikuti Alen yang sedari tadi tidak melakukan apapun selain mengikuti Galen.
“Lapar?” Galen bertanya setelah beberapa detik berlalu.
“Kenapa? Kamu bawa roti lapis lagi?”
Galen tersenyum lebar. Pemuda itu menggeleng cepat, lalu merogoh ponselnya dan membuka sebuah aplikasi pesan antar makanan.
“Saya punya voucher!” katanya senang. Pemuda itu menekan beberapa kali layar ponselnya, lalu menunjukkan voucher yang ia maksud.
Melihat Galen seantusias itu hanya karena sebuah voucher, Alen tidak bisa tidak ikut tersenyum. Gadis itu menarik bibirnya sampai gigi-giginya terlihat, menunjukkan senyum terlebar yang ia punya setelah beberapa tahun terakhir tidak tersenyum seperti itu.
“Kalau gitu saya mau makan mie ayam.” Alen menunjuk gambar mie ayam di aplikasi pesan antar. Sesuai permintaan, Galen memilih mie ayam dan memesan dua porsi.
Sambil menunggu pesanan datang, Galen menyarankan untuk mengisi dulu teka-teki silang di ponsel masing-masing. Baik Alen maupun Galen, keduanya sama-sama fokus menaruh perhatian pada soal-soal teka teki silang. Hingga kurir datang mengantarkan pesanan pun keduanya tidak langsung sadar. Si kurir perlu berdeham beberapa kali untuk membuat mereka mengangkat wajah dari ponsel.
“Oh terima kasih, ya, Pak.” Alen mengambil alih pesanan mie ayam dari kurir. Gadis itu meletakan dua porsi mie ayam di tengah-tengah.
“Kamu sudah sampai level berapa?” Galen bertanya, tampak lebih peduli pada teka teki silang, dari pada pada hidangan mie ayam di depannya.
“42. Kamu?”
“Secepat itu? Saya 38.”
Alen menyeringai senang. “Berarti kamu kalah.” Ucap gadis itu
Sementara Galen, pemuda itu berpura-pura mengerang atas kekalahannya. Sebelum bermain teka-teki silang tadi, Galen menawarkan kesepakatan. Mereka bermain berbarengan, tapi siapapun yang memiliki level lebih rendah saat pesanan datang, maka orang itulah yang akan mengeluarkan uang untuk membeli minuman.
“Baiklah, baiklah. Mau minum apa?”
“Jus jeruk.”
Galen menekuk wajahnya. Meski begitu ia tetap memesan juga pesanan Alen. Kali ini benar-benar harus mengeluarkan uang karena peraturannya : tidak boleh menggunakan voucher apapun.
Ini hal baru untuk Alen. Hal yang menyenangkan.
“Kamu menantang saya, sih.” Ucap Alen sejurus kemudian. Gadis itu mengambil satu bungkus mie ayam di hadapannya dengan wajah penuh kemenangan. Sedetik kemudian ekspresi kemenangan itu berubah menjadi ekspresi kebingungan. Selanjutnya gadis itu tertawa sendiri.
“Galen,” katanya, di sela-sela tawanya. Galen menoleh cepat. Wajahnya lebih bingung dari pada wajah Alen.
“Apa?”
“Kita mau makan pakai apa?” Alen mengangkat bungkus plastik mie ayam dengan kedua tangannya sambil terus tertawa. Tidak ada sumpit atau sendok. Mie ayam pesanan mereka dibungkus sederhana dengan plastik bening di dalam kotak stearofoam tanpa tambahan alat makan.
“Kamu tadi nggak pesan sumpitnya?”
Galen menggeleng pelan. “Saya pikir bisa dapat sumpit gratis.”
“Beberapa toko suka menjual sumpit terpisah, Galen. Makanya ada pilihan tambah alat makan."
“Sejak kapan mie ayam dan sumpit dijual terpisah?”
“Beberapa toko suka begitu. itu namanya trik dagang.”
“Bukan.” Galen meralat sambil memeriksa kotak stearofoam miliknya. Tidak ada sumpit di dalam sana. “Itu merampok namanya.”
"Tapi kan alat makannya gratis, Galen. Kita cuma perlu pesan saja."
Alen tertawa lagi. Kali ini tawanya menular pada Galen. Keduanya tertawa, larut dalam kesenangan yang menghangatkan tanpa sadar ada seseorang beberapa meter dari taman. Mengarahkan ponselnya dan merekam mereka dengan tangan gemetaran.
#
Dua porsi mie ayam tadi dimakan langsung dari plastik yang dilubangi salah satu sudut bawahnya. Agak aneh, sebenarnya, tapi apa boleh buat. Lagi pula menurut Alen yang terpenting dalam menyantap makanan bukan bagaimana cara menyantapnya, tapi bagaimana menikmati makanan itu dengan bersyukur. Selama cara menyantapnya masih manusiawi, Alen yakin tidak masalah.
Langit Jakarta sudah mulai gelap. Galen tampak membereskan tas dan jaketnya, lalu bersiap berdiri. Alen memeriksa ponselnya. Pukul 17.30. Ia kemudian beralih memeriksa log panggilan dan kotak pesan. Kosong.
Dalam benak gadis itu terlintas, apa Renata tidak mengkhawatirkannya? Atau apa Renata bahkan sadar Alen belum pulang? Dalam hati terkecilnya, ia ingin sekali sebuah pesan dari Renata muncul. Pasti menyenangkan jika mendapati ibunya bertanya ‘Di mana? Kenapa belum pulang? Pertanyaan-pertanyaan khas yang sering Renata tanyakan pada Alice jika gadis itu belum pulang juga pukul 17.00
Kemudian Alen menegakkan tubuh tiba-tiba. Sebuah ide melintas di otaknya.
“Galen.”
“Ya?”
“Mau ke Plaza dulu?”
Galen mengerling jam di ponselnya. “Tapi ini sudah sore. Mamamu nggak akan khawatir?”
“Justru itu. Bantu saya sekali ini saja. Saya ingin tahu apa Mama akan khawatir atau tidak. Ya?” Alen merapatkan kedua tangannya di depan dada. Kalau nanti Renata menghubunginya dan meminta Alen cepat pulang, Alen akan merasa lebih bahagia dari siapapun. Setidaknya dengan begitu, Alen akan percaya bahwa Renata punya tingkat kekhawatiran yang sama baik pada dirinya maupun pada Alice.
“Kamu ini aneh.” Galen berjalan mendekat ke arah motornya. Pemuda itu mengenakan helm, lalu menyerahkan helm yang lain pada Alen. Setelah itu ia melanjutkan, “Mamamu pasti khawatir.”
“Galen, saya sudah pernah bilang sama kamu. Saya tidak begitu suka diam di rumah, salah satunya karena Mama.”
Galen menyalakan mesin motor. Pemuda itu, untuk pertama kalinya tampak tidak peduli dengan apa yang dikatakan Alen.
“Saya selalu berpikir Mama lebih sayang Alice. Dan kelihatannya memang begitu. Saya sudah merasakannya berkali-kali.” Alen merengek memaksa. Sementara itu, Galen menggedikkan dagu, memberi isyarat agar Alen naik.
Alen tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri. Ia tidak menuruti perintah Galen, tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan menuruti perintah pemuda itu. Kakinya menempel di tanah, seolah-olah tertancap kuat.
“Saya akan naik kalau kamu mau mengantarkan saya ke Plaza. Kalau tidak, saya bisa naik ojek.” Ketus Alen. Ia harus melakukan semua ini dan membuktikan bahwa Renata juga menyayanginya. Sampai kapan pun, meski Alen beranggapan bahwa Renata lebih menyayangi Alice, dalam hati terkecilnya Alen tetap berharap bahwa anggapan itu salah. Ia juga ingin sekali saja mengetahui ketulusan Renata. Ia ingin memutarbalikan anggapannya dan memulai hidup yang nyaman tanpa perlu merasa tersisih setiap menginjakkan kaki di rumah.
Sejujurnya, Alen sudah lelah. Ia tidak mau lagi melihat Renata atau Aiice yang tampak begitu saling menyayangi satu sama lain, sementara dirinya kesepian dan dicap gila oleh semua orang. Alen ingin kehidupan yang bahagia seperti sebelum kedua orang tuanya bercerai. Kalau tidak bisa, maka sekurang-kurangnya, ia ingin diperlakukan sama dengan Alice. Diperhatikan dan dibanggakan.
“Kalau kamu mau pulang, ya sudah.” Alen memutuskan sepihak setelah selama beberapa menit Galen tidak melakukan apa-apa selain memandang Alen dengan wajah yang lembut. Alen mengeluarkan ponselnya, hendak memesan ojek online ketika tangan Galen merebut ponselnya dengan cepat.
“Kembalikan!” seru Alen.
“Kamu ini kenapa sih? Tiba-tiba merajuk begitu?”
“Saya hanya ingin ke Plaza.”
“Untuk membuktikan apa Mamamu khawatir atau tidak?”
Alen menunduk. Sedetik kemudian ia sadar keluakuannya benar-benar tidak layak untuk dimengerti. Bisa saja Galen punya acara lain dan tidak ada waktu untuk mengantarnya ke Plaza. Terlepas dari semua itu, memangnya Alen siapa berani merajuk hanya karena Galen menolak mengantarnya ke Plaza?
“Saya cuma ingin tahu.” Alen berkata lirih. “Beberapa hari sebelumnya Alice pulang larut. Mama kelihatan khawatir sampai dia tidak peduli dengan saya. Waktu itu saya ingin mengatakan sesuatu yang penting padanya, tapi dia malah meminta saya menghubungi dulu Alice.”
“Saya juga ingin tahu apa Mama akan mengubungi saya kalau saya pulang larut…” Alen melanjutkan pelan.
Tepat setelah Alen selesai bicara, Galen mengembuskan napasnya, terdengar lelah. Pemuda itu mematikan mesin motonya, lalu turun dan berdiri di depan Alen.
“Keluarga itu buka sesuatu yang boleh kamu ragukan.”
“Tapi, Galen…”
“Tidak usah ke Plaza. Kita tunggu di sini sampai kamu dapat pesan.”
Alen mengangkat wajahnya. Ia mendapati Galen berjalan menuju bench. Pemuda itu duduk, menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Menatap langit yang sudah gelap dengan mata bening dan wajah putih pucatnya.
Dari tempatnya berdiri, Alen sekoyong-koyong merasa bersalah. Galen pasti punya hal-hal lain yang lebih penting yang harus ia kerjakan di rumahnya dari pada menuruti kemauan egois Alen. Menunggu pesan dari Renata kemungkinannya tidak begitu besar. Alen bahkan ragu Renata akan peduli kenapa ia belum pulang.
“Galen.”
Pemuda itu menoleh. Wajahnya tenang dan menyenangkan untuk dilihat.
“Kita pulang saja, sudah larut.” Ucap Alen akhirnya.
Baiklah. Tidak penting Renata mengirim pesan atau tidak. Yang terpenting, Alen tidak merepotkan orang lain untuk memenuhi keinginan egoisnya. Kedepannya, tidak perlu lagi membuat pembuktian yang berkaitan dengan Renata. Tidak peduli ibunya itu memiliki kadar kasih sayang yang lebih besar atau lebih kecil padanya.
“Kenapa berubah pikiran?”
Alen menggeleng muram. “Saya hanya tidak ingin merepotkan kamu.”
Kedua alis Galen terangkat. Ia bangkit dan menghampiri Alen. “Saya tidak merasa direpotkan.”
Pemuda itu menggenggam tangan Alen sedetik kemudian. Ia menatap manik mata Alen ketika ia bicara, “Saya di sini untuk membantu kamu, Alen. Saya tidak akan keberatan kamu meminta macam-macam, bahkan yang tidak masuk akal.” Katanya lembut.
Galen melanjutkan, “Karena untuk kamu, keajaiaban selalu berlaku Alen. Duniamu menarik dan magis. Tapi, saya tidak ingin kamu selalu berpandangan negatif tentang Mamamu. Tentang keluargamu. Saya tidak ingin kamu berpikir yang macam-macam tentang mereka.” Jeda sejenak, lalu,
“Kalau saya jadi kamu, kemudian saya mati dan masuk surga, saya akan minta pada Tuhan supaya saya diberikan keluarga yang sama dan kehidupan yang sama seperti di bumi meskipun saya tahu saya bisa meminta lebih dari pada itu.”
#
graha makna
5999
1858
0
Romance
apa yang kau cari tidak ada di sini,kau tidak akan menemukan apapun jika mencari ekspektasimu.ini imajinasiku,kau bisa menebak beberapa hal yang ternyata ada dalam diriku saat mulai berimajinasi
katakan pada adelia,kalau kau tidak berniat menghancurkanku dan yakinkan anjana kalau kau bisa jadi perisaiku
(Un)Dead
888
461
0
Fan Fiction
"Wanita itu tidak mati biarpun ususnya terburai dan pria tadi一yang tubuhnya dilalap api一juga seperti itu," tukas Taehyung.
Jungkook mengangguk setuju. "Mereka seperti tidak mereka sakit. Dan anehnya lagi, kenapa mereka mencoba menyerang kita?"
"Oh ya ampun," kata Taehyung, seperti baru menyadari sesuatu. "Kalau dugaanku benar, maka kita sedang dalam bahaya besar."
"...
Segitiga Bermuda
6944
1877
1
Romance
Orang-orang bilang tahta tertinggi sakit hati dalam sebuah hubungan adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Jika mengalaminya dengan teman sendiri maka dikenal dengan istilah Friendzone.
Namun, Kinan tidak relate dengan hal itu. Karena yang dia alami saat ini adalah hubungan Kakak-Adik Zone. Kinan mencintai Sultan, Kakak angkatnya sendiri. Parah sekali bukan?
Awalnya semua berjalan norm...
Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
7982
2579
22
Romance
Kenangan pahit yang menimpanya sewaktu kecil membuat Daniel haus akan kasih sayang. Ia tumbuh rapuh dan terus mendambakan cinta dari orang-orang sekitar. Maka, ketika Mara—sahabat perempuannya—menyatakan perasaan cinta, tanpa pikir panjang Daniel pun menerima.
Sampai suatu saat, perasaan yang "salah" hadir di antara Daniel dan Mentari, adik dari sahabatnya sendiri. Keduanya pun menjalani h...
Denganmu Berbeda
11617
2912
1
Romance
Harapan Varen saat ini dan selamanya adalah mendapatkan Lana—gadis dingin berperingai unik nan amat spesial baginya. Hanya saja, mendapatkan Lana tak semudah mengatakan cinta; terlebih gadis itu memiliki ‘pendamping setia’ yang tak lain tak bukan merupakan Candra. Namun meski harus menciptakan tiga ratus ribu candi, ataupun membuat perahu dan sepuluh telaga dengan jaminan akan mendapat hati...
ARMY or ENEMY?
15242
4236
142
Fan Fiction
Menyukai idol sudah biasa bagi kita sebagai fans. Lantas bagaimana jika idol yang menyukai kita sebagai fansnya? Itulah yang saat ini terjadi di posisi Azel, anak tunggal kaya raya berdarah Melayu dan Aceh, memiliki kecantikan dan keberuntungan yang membawa dunia iri kepadanya. Khususnya para ARMY di seluruh dunia yang merupakan fandom terbesar dari grup boyband Korea yaitu BTS.
Azel merupakan s...
Holiday In Thailand
118
106
1
Inspirational
Akhirnya kita telah sampai juga di negara tujuan setelah melakukan perjalanan panjang dari Indonesia.Begitu landing di Bandara lalu kami menuju ke tempat ruang imigrasi untuk melakukan pengecekan dokumen kami pada petugas.
Petugas Imigrasi Thailand pun bertanya,”Sawatdi khrap,Khoo duu nangsue Daan thaang nooi khrap?”
“Khun chwy thwn khatham di him?” tanya penerjemah ke petugas Imigras...
Take It Or Leave It
6461
2042
2
Romance
"Saya sadar...." Reyhan menarik napasnya sejenak, sungguh ia tidak menginginkan ini terjadi. "Untuk saat ini, saya memang belum bisa membuktikan keseriusan saya, Sya. Tapi, apa boleh saya meminta satu hal?" Reyhan diam, sengaja menggantungkan ucapannya, ia ingin mendengar suara gadis yang saat ini akhirnya bersedia bicara dengannya. Namun tak ada jawaban dari seberang sana, Aisyah sepertinya masi...
The Future Husband Next Door
309
238
4
Romance
Ketika berjuang merebut hatinya bertahun-tahun.. Namun, ternyata perjuangan mu sia-sia..
Karena, nyatanya kamu bahkan tidak perlu berjuang untuk merebut hatinya...
Into The Sky
531
341
0
Romance
Thalia Adiswara Soeharisman (Thalia) tidak mempercayai cinta. Namun, demi mempertahankan rumah di Pantai Indah, Thalia harus menerima syarat menikahi Cakrawala Langit Candra (Langit). Meski selamanya dia tidak akan pernah siap mengulang luka yang sama.
Langit, yang merasa hidup sebatang kara di dunia. Bertemu Thalia, membawanya pada harapan baru. Langit menginginkan keluarga yang sesungguhnya....
bagus
Comment on chapter Yang tidak diketahui