Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dunia Alen
MENU
About Us  

Oh, haha. Kedengarannya bagus.

Apa… jangan bilang begitu.

Bisa, sepertinya.

Langkah Alice terhenti. Perhatiannya tersita oleh suara-suara yang berasal dari kamar Alen. Gadis itu pasti sedang bicara sendiri di depan cermin rias, atau di ranjangnya sambil menatap ke langit-langit. Mungkin bisa sedang menelpon seseorang, tapi jelas-jelas ponsel Alen sedang diisi daya di ruang tamu.

Alice mendekat, mengusahakan agar langkahnya sama sekali tidak menimbulkan suara. Gadis itu melangkah sepelan mungkin menuju pintu kamar Alen. Dirapatkannya telinga ke permukaan pintu, lalu mulailah Alice menguping. Suara Alen terdengar cukup jelas, terutama ketika gadis itu tertawa ringan.

Alice menahan napasnya selama beberapa detik. menangkap suara Alen ditelinganya tak pernah semenakutkan ini. Hipotesis-hipotesis yang menakutkan kembali bermunculan di benak Alice. Adiknya itu secara tidak langsung selalu menyangkal ketika Alice berasumsi bahwa ia bisa saja tidak sehat secara mental, tapi lihat? Sekarang sudah bukti yang keseratus atau mungkin keseribu. Alen berbicara sendiri di kamarnya. Benar-benar terdengar menikmati obrolan yang ia lakukan seorang diri.

Pikiran Alice berkecamuk hebat. Bagaimana ia bisa terus menerus mengabaikan adiknya? Alen adalah satu-satunya keluarga yang Alice punya setelah Renata. Tak mungkin Alice mengabaikan kenyataan bahwa adiknya memiliki masalah mental.

Dengan tangan yang tegang, Alice merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi perekam. Ditekannya tombol rekam, lalu didekatkan ponselnya ke celah pintu yang sebenarnya tertutup rapat. Barang kali rekaman ini bisa berguna jika suatu hari Alice ingin membuktikan sesuatu. Bukan untuk menyudutkan Alen, lebih untuk menyelamatkan Alen dan menyadarkan gadis itu bahwa ia butuh perhatian lebih untuk kesehatan mentalnya.

Pintu tiba-tiba terbuka dari dalam. Alice nyaris terjerembab jika ia tidak berpegangan pada kusen pintu. Di hadapannya, Alen berdiri dengan wajah muram yang kosong.

“Udah sembuh?” Alen bertanya, sama sekali tidak terdengar berminat.

Alice menjejalkan ponselnya ke saku celana, kemudian tersenyum kikuk saat tak sengaja melihat Alen mengikuti arah tangannya menjejalkan ponsel ke saku. Tatapan Alen benar-benar menakutkan. Matanya yang hitam mengerling tajam namun juga terkesan kosong dan tak hidup.

“Udah lebih baik.” Alice menjawab sekenanya.

“Lo sendiri? Mama bilang lo juga sakit?” kali ini Alice yang bertanya. Ia mengatur suaranya agar terdengar tidak mencurigakan.

Sementara itu, Alen menyeringai tipis. Wajahnya agak pucat. Bibirnya terangkat sedikit, nyaris tidak terlihat seperti sedang menyeringai. ”Nggak penting gue sakit atau nggak. Apa peduli lo?”

 

Setelah menjawab sekenanya, Alen menutup kembali pintu kamar. Gadis itu bertingkah menanyakan kondisi kesehatan Alice seolah-olah sengaja untuk menangkap basah seorang penguping.

Brak!

Pintu ditutup—dibanting—kemudian terdengar bunyi klik, tanda bahwa Alen mengunci pintu dari dalam. Alice masih berdiri di posisi semula. Rasa takut menyerangnya, membuat seluruh tubuhnya gemetaran. Sikap Alen hari ini jauh lebih parah dari hari-hari sebelumnya.

Matanya yang kosong, ekspresi wajahnya, nada suaranya. Semuanya tidak tampak atau terdengar seperti Alen. Alen memang pendiam, tertutup, tapi ia tidak pernah bersikap sedingin dan semenakutkan hari ini. Gadis itu berubah.

Nggak penting gue sakit atau nggak. Apa peduli lo?

Terutama kalimat yang Alen ucapkan sebelum ia kembali menutup pintu. Kalimat itu sama sekali tidak mencerminkan kepribadian Alena Marissa.

Dimulai dari puncak kepala, sampai ke ujung kaki, Alice dikuasai rasa takut dan gelisah. Dari skala satu sampai sepuluh, tingkat kegelisahannya tak terukur, sampai untuk melangkah meninggalkan pintu kamar Alen pun Alice harus berpegangan pada tepian meja.

Benak Alice terus berputar cepat. Kemungkinan-kemungkinan yang menakutkan bergantian muncul di layar otaknya. Alen gila, Alen mengidap demensia, skizofrenia, bipolar. Nama-nama penyakit itu membuat Alice menggigil.

Tidak mungkin Alice tetap bersikap tenang saat Alen menunjukkan bahwa kondisinya tidak lebih baik daripada sebelumnya. Seharusnya Alice bertindak lebih cepat saat pertama kali mengetahui kebiasaan Alen bicara sendiri. Seharusnya saat itu Alice paksa saja Alen ke psikiater, seharusnya Alice tidak terlalu sibuk dengan pemotretan dan meluangkan waktu lebih banyak untuk sekadar mengobrol dan mengalihkan perhatian Alen, seharusnya…

Renata melintas, menoleh, dan bertabrakan pandang dengan Alice. Alice menghambur ke pelukan Renata ketika melihat ibunya menampakkan wajah bingung.

“Kenapa kamu?”

Tangan Alice menggigil. Ia merogoh lagi saku celananya, membuka aplikasi perekam, kemudian memutar rekaman suara Alen yang bicara sendiri di kamar.

“Kita harus bawa Alen berobat. Dia makin sering bicara sendiri di kamarnya, Ma.” Alice berbisik pelan, was-was menoleh ke belakang, memastikan Alen tidak lagi menangkap basah.

“Kita harus cepet, Ma. Mama juga tahu sendiri, kan, Alen makin hari makin tertutup. Alice takut.” Jelas Alice frustrasi. Gadis itu menelungkupkan wajahnya di dada Renata, membayangkan momen-momen sebelum Alen berubah jadi sosok baru yang menakutkan.

Di puncak kepalanya, Alice merasakan usapan Renata yang lembut dan menenangkan.

“Mungkin Alen lagi telponan sama temennya.” Jawab Renata, mengalir dengan tenang. Tapi Alice tahu, Renata juga sama-sama merasa takut dan gelisah setelah mendengar rekaman yang ia putar.

#

Hujan di luar sana mebuat Alice membatalkan janji dengan teman-teman sekelasnya. Gadis iu tidak mungkin menembus hujan dan petir hanya untuk pergi ke kedai kopi. Alice mengembuskan napas. Ia mengirimi teman-temannya pesan, mengatakan bahwa hari ini tidak memungkinkan baginya untuk pergi. Beberapa saat kemudian temannya membalas, mengatakan bahwa mereka akan tetap pergi tanpa Alice.

Alice memberengut. Ia melempar ponselnya ke kasur, memutuskan untuk membuat sendiri kopinya di dapur. Awalnya langkah Alice lurus menuju dapur, tapi ketika sudut matanya menangkap Alen bersandar di ruang tamu—memegang buku dan pensil, memandang keluar jendela dengan wajah muram—Alice mengubah haluan. Ia menghampiri Alen, mengintip sedikit pada buku yang tengah di pegang adiknya itu.

DI buku itu, gambar halaman rumah dan genangan air tampak benar-benar nyata. Alice sempat terperangah sebelum ia menjentikkan jarinya di depan wajah Alen. Adiknya itu mengerjap beberapa kali.

“Gambar ini bagus.” ucap Alice, merebut buku dari tangan Alen. “Coba deh dikasih bingkai.”

Alen tidak merespon apa-apa. Sepertinya gadis itu masih belum bisa menata kembali suasana hatinya setelah kemarin Renata memutuskan untuk bercerai. Alice juga tentu belum sepenuhnya kembali pada suasana hati yang baik. Apalagi Renata memutuskan untuk meninggalkan rumah ini dan pindah ke rumah baru minggu depan. Akan ada banyak sekali kenangan yang ditinggalkan dan harus dilupakan. Lagi pula, anak mana yang tidak sedih saat kedua orang tuanya memutuskan berpisah?

Tapi, bagaimana pun, Alice setahun lebih tua di sini. Ia harus mengambil peran sebagai kakak. Perlu mengesampingkan perasaannya untuk menghibur Alen sekaligus mengalihkan perhatian adiknya dari hal-hal yang berkaitan dengan persoalan perceraian.

“Mau ngopi, nggak?” Alice menyerahkan kembali bukunya, diterima Alen dengan kepala terangkat dan mata penuh tanda tanya.

“Bukannya lo mau keluar sama temen-temen lo?” Akhirnya Alen bertanya juga.

“See? Hujan.” Cetus Alice. “Gue nggak bisa keluar, kalo kena air nanti jadi mermaid.” Guraunya, berhasil membuat Alen tersenyum.

 

“Receh, lo.”

Alice ikut tersenyum. Baguslah adiknya masih bisa tersenyum. Perceraian itu… jangan sampai membuat Alen tertekan dan harus mengonsumsi obat tidur seperti yang Alice lakukan.

“Jadi gimana? Mau ngopi nggak?” Alice menawarkan lagi. Alen tampak berpikir sejenak, sejurus kemudian mengangguk seraya bangkit.

“Tapi gue mau bikin kopi sendiri. Kalo lo yang bikin belum tentu enak.” Katanya, berlalu ke dapur. Samar-samar terdengar suara kekehan yang lembut dari Alen.

Kalau mengingat masa-masa itu, Alice tak percaya Alen menjadi seperti sekarang ini. Gadis itu masih bisa menanggapi guyonan dan balas bergurau dulu. Sekarang, jauh berbeda.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • juliartidewi

    bagus

    Comment on chapter Yang tidak diketahui
Similar Tags
THE YOUTH CRIME
5142      1436     0     
Action
Remaja, fase peralihan dari anak-anak menuju dewasa dengan dua ciri khusus, agresif dan kompetitif. Seperti halnya musim peralihan yang kerap menghantui bumi dengan cuaca buruk tak menentu, remaja juga demikian. Semakin majunya teknologi dan informasi, semakin terbelakang pula logika manusia jika tak mampu mengambil langkah tegas, 'berubah.' Aksi kenakalan telah menjadi magnet ketertarika...
Campus Love Story
8933      2006     1     
Romance
Dua anak remaja, yang tiap hari bertengkar tanpa alasan hingga dipanggil sebagai pasangan drama. Awal sebab Henan yang mempermasalahkan cara Gina makan bubur ayam, beranjak menjadi lebih sering bertemu karena boneka koleksi kesukaannya yang hilang ada pada gadis itu. Berangkat ke kampus bersama sebagai bentuk terima kasih, malah merambat menjadi ingin menjalin kasih. Lantas, semulus apa perjal...
Gino The Magic Box
4470      1383     1     
Fantasy
Ayu Extreme, seorang mahasiswi tingkat akhir di Kampus Extreme, yang mendapat predikat sebagai penyihir terendah. Karena setiap kali menggunakan sihir ia tidak bisa mengontrolnya. Hingga ia hampir lulus, ia juga tidak bisa menggunakan senjata sihir. Suatu ketika, pulang dari kampus, ia bertemu sosok pemuda tampan misterius yang memberikan sesuatu padanya berupa kotak kusam. Tidak disangka, bahwa ...
Rekal Rara
13525      3826     0     
Romance
"Kita dipertemukan lewat kejadian saat kau jatuh dari motor, dan di pisahkan lewat kejadian itu juga?" -Rara Gleriska. "Kita di pertemukan oleh semesta, Tapi apakah pertemuan itu hanya untuk sementara?" -Rekal Dirmagja. ▪▪▪ Awalnya jatuh dari motor, ehh sekarang malah jatuh cinta. Itulah yang di alami oleh Rekal Dirmagja, seorang lelaki yang jatuh cinta kepada wanita bernama Rar...
Project Pemeran Pembantu
6373      1934     1     
Humor
Project Pemeran Pembantu adalah kumpulan kisah nyata yang menimpa penulis, ntah kenapa ada saja kejadian aneh nan ajaib yang terjadi kepadanya dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Dalam kumpulan cerita ini, penulis menyadari sesuatu hal yang hilang di hidupnya, apakah itu?
Rinai Kesedihan
806      543     1     
Short Story
Suatu hal dapat terjadi tanpa bisa dikontrol, dikendalikan, ataupun dimohon untuk tidak benar-benar terjadi. Semuanya sudah dituliskan. Sudah disusun. Misalnya perihal kesedihan.
DELUSION
6495      1885     0     
Fan Fiction
Tarian jari begitu merdu terdengar ketika suara ketikan menghatarkan sebuah mimpi dan hayalan menjadi satu. Garis mimpi dan kehidupan terhubung dengan baik sehingga seulas senyum terbit di pahatan indah tersebut. Mata yang terpejam kini terbuka dan melihat kearah jendela yang menggambarkan kota yang indah. Badan di tegakannya dan tersenyum pada pramugari yang menyapanya dan menga...
Metamorf
156      129     0     
Romance
Menjadi anak tunggal dari seorang chef terkenal, tidak lantas membuat Indra hidup bahagia. Hal tersebut justru membuat orang-orang membandingkan kemampuannya dengan sang ayah. Apalagi dengan adanya seorang sepupu yang kemampuan memasaknya di atas Indra, pemuda berusia 18 tahun itu dituntut harus sempurna. Pada kesempatan terakhir sebelum lulus sekolah, Indra dan kelompoknya mengikuti lomba mas...
REGAN
10498      3088     4     
Romance
"Ketika Cinta Mengubah Segalanya." Tampan, kaya, adalah hal yang menarik dari seorang Regan dan menjadikannya seorang playboy. Selama bersekolah di Ganesha High School semuanya terkendali dengan baik, hingga akhirnya datang seorang gadis berwajah pucat, bak seorang mayat hidup, mengalihkan dunianya. Berniat ingin mempermalukan gadis itu, lama kelamaan Regan malah semakin penasaran. Hingga s...
Perahu Waktu
441      302     1     
Short Story
Ketika waktu mengajari tentang bagaimana hidup diantara kubangan sebuah rindu. Maka perahu kehidupanku akan mengajari akan sabar untuk menghempas sebuah kata yang bernama rindu