Read More >>"> Dunia Alen (Sakit) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dunia Alen
MENU
About Us  

Sepertinya ini pengaruh hujan-hujanan sore bersama Alice kemarin. Alen terbangun dengan kepala yang berat dan mata yang seolah ditaburi pasir, perih. Gadis itu mengerling jam di nakas. Pukul lima. Masih ada waktu untuk bersiap-siap ke sekolah.

Alen beringsut dari kasurnya. Tangannya yang biasa bergerak cepat, hari ini sedang dalam kondisi yang tidak baik sehingga untuk melipat selimut pun gadis itu butuh bermenit-menit. Perut Alen rasanya seperti dikocok-kocok dari dalam. Lambungnya berulah, menimbulkan perih dan mual dalam waktu bersamaan.

Sebenarnya Alen bukan gadis lemah yang langsung jatuh sakit hanya karena kehujanan, tapi kemarin situasinya beda. Sebelum pergi ke Plaza untuk makan siang bersama Alice, Alen memang sudah tidak enak badan. Begitu sampai di Plaza, suhu ruangan yang dingin menggigit kulit Alen, menembus sampai tulang-tulangnya terasa ngilu. Lalu saat pulang, hujan tiba-tiba turun. Alen tidak membawa payung, begitu pun Alice. Terpaksa Alen harus menguatkan diri dan menembus hujan berangin agar bisa pulang sebelum malam. Terakhir, di dalam bus, Alen harus menahan dingin lagi dari pakaiannya yang basah kuyup. Begitulah.

Alen mengembuskan napas pelan ketika kepalanya berdenyut-denyut tak karuan. Gadis itu meraih handuk yang tergantung di pintu kamarnya. Ia berlalu, terseok-seok ke kamar mandi kemudian membasuh wajahnya, menggosok gigi, mencuci tangan dan kakinya dengan sabun, lalu kembali ke kamar sambil menggigil. Tidak mungkin mandi.

#

Menu sarapan hari ini nasi goreng lagi.

Alen melirik meja makan yang tampak begitu kosong. Di meja, dua piring berisi nasi goreng diletakan bersama dua gelas air putih. Alen menggulirkan matanya dari nasi goreng menuju dapur. Renata tidak ada di dapur. Pun dengan Alice. Dua orang itu tidak ada di ruang makan atau di dapur.

Alen duduk dengan hati-hati, memutuskan untuk mengabaikan ketiadaan Renata dan Alice. Baginya yang terpenting sekarang adalah mengisi perut agar ia bisa secepatnya minum obat dan mengenyahkan rasa sakit dari kepalanya.

Gemetaran, Alen menyendok nasi goreng dan mendorongnya ke mulut. Lidahnya pahit sekaligus tak enak. Nasi goreng buatan Renata yang selalu terasa juara hari ini sama sekali tidak membangkitkan selera. Baru sekitar tiga suap, Alen menyerah. Gadis itu menatap piringnya yang masih penuh dengan wajah sedih. Ia paling benci saat sakit.

“Jangan cuma dilihat.” Suara Renata memecah keheningan ruang makan. Wanita berusia empat puluh tahunan itu muncul dari lantai dua, menuruni satu per satu anak tangga sembari memperhatikan Alen.

“Kayaknya Alen sakit, Ma.” Gumam Alen pelan, namun yakin masih cukup terdengar jelas di telinga Renata.

“Gara-gara hujan-hujanan kemarin, kan?” Renata menebak dengan tepat. Wajahnya berang dan jengkel. Ia menyibak poni yang menutupi dahi Alen begitu posisinya sudah dekat.

“Cuma demam sedikit.” Ucap Renata. “Masih bisa sekolah, kan?”

Ragu-ragu, Alen mengangguk. Sebenarnya kepalanya tidak mendukung untuk pergi ke sekolah, tapi kalau Alen tinggal di rumah dan menghabiskan seharian untuk tidur, ia takut akan kelepasan dan mulai mengkhayal lagi. Akhir-akhir ini kan frekuensi mengkhayal Alen sudah mulai berkurang. Ia tidak mau khayalannya mendominasi selagi ia sakit.

“Kalau begitu makan dulu. Nanti Mama antar ke sekolah.”

Alen mengangkat alis heran. Dia tidak salah dengar, kan? Renata akan mengantarnya ke sekolah? Tumben. Maksud Alen, Renata memang biasa mengantarnya ke sekolah, tapi itu kan dulu. Sekarang, sudah hampir delapan hari Alen naik bus. Renata tidak pernah kelihatan peduli. Sekarang tiba-tiba mengatakan akan mengantar Alen ke sekolah.

Tapi sebenarnya itu hal bagus. Alen juga sedang tidak ingin naik bus. Bisa-bisa ia muntah di kursi penumpang. Ia tidak mau merepotkan orang lain, apalagi orang asing.

“Mama tunggu, ya.” Renata berlalu. Alen menatap kepergian ibunya dengan tanda tanya besar.

Akhir-akhir ini segalanya terasa aneh. Pertama Alice. Dia tiba-tiba menunjukkan kepedulian pada Alen kemarin. Sekarang Renata. Benar-benar tidak biasa. Alen terlalu kikuk untuk menerima hal-hal menyenangkan dan baik dalam hidupnya.

Dia tidak pernah benar-benar merasa Alice dan Renata peduli padanya selama tujuh belas tahun sepanjang hidupnya. Baik Alice atau Renata, keduanya lebih sering menunjukkan kepedulian kepada satu sama lain, bukan pada Alen. Mereka terkadang memang perhatian, tapi bukan jenis perhatian yang bisa membuat Alen nyaman. Lebih ke jenis perhatian yang memaksa. Misalnya seperti Alice yang sekoyong-koyong, tanpa memikirkan perasaan Alen dan tanpa berdiskusi dulu dengan Alen, mengajak Alen ke psikiater karena khawatir dengan tingkah laku Alen. Atau misalnya Renata yang sering sekali meminta Alen naik bus dengan alasan agar Alen menjadi mandiri, sementara itu ia mengantarkan anak sulungnya secara istimewa ke tempat-tempat lain. Terlepas dari semua itu, Alen mencoba berpikir positif. Bagaimana pun, mungkin ini hari baik untuknya.

Setelah memaksakan diri menghabiskan nasi goreng yang terasa sangat menyakitkan di tenggorokannya, Alen bergegas. Ia menyusul ke ruang tamu, menemukan Renata sedang membaca majalah.

“Udah?” Renata menurunkan majalah yang menutupi wajahnya ketika sadar Alen memandanginya.

Alen mengangguk. Ia mengikuti Renata yang langsung berlalu keluar. Renata menyalakan AC mobil. Alen duduk di samping kursi kemudi. Hawa dingin dari AC menembus kulitnya.

“Ma?”

“Hm?”

“Boleh dimatiin AC-nya?”

Renata menoleh sekilas. Ia tidak mengatakan apa-apa, tapi mematikan AC dan melanjutkan mengemudi dengan tatapan lurus. Tidak ada musik, tidak ada obrolan. Alen menghela napas. Otaknya menebak-nebak, apa Renata dan Alice juga sering berdiam seperti ini selama di perjalanan?

Omong-omong soal Alice… Alen menoleh ke belekang. Alice tidak ikut?

“Ma, Alice?” Alen bertanya beberapa detik kemudian. Ia tersadar, sejak makan pun Alice tidak muncul.

“Kakakmu sakit. Jadi nggak sekolah.”

Alen mengerjap-ngerjap. Sakit? Alen juga sakit, tapi ia tetap sekolah, tetap memaksakan diri untuk makan meski lambungnya mati-matian menolak.

“Sakit apa? Kemarin baik-baik aja, kan?”

Renata mendecakkan lidah. Ia memutar stir, berbelok ke arah sekolah Alen. “Demam. Gara-gara hujan-hujanan sama kamu kayaknya.”

Jantung Alen mencelus. Telinganya berdengung-dengung.

Renata mungkin tidak bermaksud menyinggung, tapi caranya bicara dan mendecakkan lidah benar-benar terkesan menuduh. Seolah Alenlah penyebab Alice sakit. Kenyataannya, Alice yang duluan mengajak makan di Plaza kemarin. Dan terlepas dari semua itu, Alen juga sedang sakit. Kepalanya berdenyut-denyut, berputar. Lambungnya perih dan mual.

Mobil berhenti. Gerbang sekolah Alen seperti biasa, tampak ramai. Alen terburu-buru turun. Perasaannya yang tenang berubah gelisah.

“Alen, tunggu.”

Alen menoleh.

“Mama sekarang mau langsung ke kantor, kayaknya bakal pulang malam. Alice sebenarnya sudah Mama belikan obat, tapi dia ada batuk, jadi kalau pulang nanti tolong belikan, ya. Sekalian saja beli obat untuk kamu. Jangan lupa juga tanya siapa tahu Alice ingin makan sesuatu. Nanti beri tahu Mama, biar Mama belikan. Kamu juga, mau makan apa, kasih tau mama nanti.” Setelah itu Renata menutup kaca mobil. Mobil berdengung, melaju, dan menghilang setelah beberapa meter dan kelokan.

Alen tertegun kosong di depan gerbang sekolahnya. Seperti yang Alen duga, memang ada yang aneh hari ini. Renata tidak biasanya peduli mengantarkan Alen ke sekolah. Ternyata hanya untuk meminta Alen membeli obat batuk kalau sudah pulang. Sama sekali tidak ada perhatian khusus untuk Alen yang sama-sama sakit.

Tidak ada wejangan misalnya, ‘kalau sudah tidak kuat, pulang saja’ atau ‘telpon Mama, nanti Mama jemput.’ Alen tersenyum miring dan pahit. Harusnya ia tahu, hal yang baik tidak akan terjadi padanya.

Sesuatu yang hangat keluar dari sudut mata Alen. Tiba-tiba napasnya jadi sesak. Rasa sakit yang lebih sakit daripada denyutan di kepala menyela ke tenggorokan. Dengan cepat Alen menunduk, menelungkupi wajahnya di antara tangan dan lutut.

Mungkin perasaan orang yang sakit lebih sensitif. Atau mungkin juga bukan karena memang perlakuan Renata tadi menyakiti Alen lebih dari pada sakit kepala dan sakit lambungnya.

#

“Obat batuk herbal satu.” Pesan Alen pada apoteker di balik etalase.

“Yang besar?” tanya si apoteker sambil mengangkat obat batuk herbal ukuran besar di tangannya. Alen mengangguk. Beberapa detik kemudian si apoteker menyebutkan harga obat, Alen membayar, lalu bergegas meninggalkan apotek.

Langkah Alen timpang. Gadis itu sesekali memegang kepalanya, lalu berhenti dan duduk di trotoar jalan dengan perasaan tak terdefinisikan. Alen ingin cepat-cepat pulang, ingin merebahkan diri di kasur, dan mengenyahkan sakit kepalanya yang semakin menjadi-jadi. Tapi di saat bersamaan ia juga sedang tidak ingin di rumah. Keberadaannya di rumah hanya akan membuatnya terus menerus berpikir ia tidak lebih penting dibanding Alice.

Oke, tak menutup kemungkinan perasaan Alen saat ini dipengaruhi insiden tadi pagi. Berkali-kali Alen meyakinkan dirinya sendiri—bahwa Renata sama sekali tidak bermaksud menunjukkan kepeduliannya pada Alen tidak lebih besar dari pada kepedulian serta kasih sayangnya pada Alice, namun keyakinan saja tidak memberikan pengaruh besar. Kondisi Alen juga sedang tidak baik, kenapa harus Alen yang pergi ke apotek untuk membeli obat? Alen sudah mengatakan kalau ia sakit, tapi Renata berkata ‘Cuma demam sedikit’. Pemikiran-pemikiran seperti itu mendorong Alen untuk terus percaya kalau ia tidak menjadi priorotas seperti Alice. Belum lagi insiden-insiden semacam itu tidak terjadi sekali dua kali. Renata sering sekali melakukan hal-hal yang secara tak langsung menimbulkan kecemburuan sosial.

Pernah sekali Renata melupakan hari ulang tahun Alen, sedangkan sebulan sebelumnya Renata membelikan kue untuk merayakan ulang tahun Alice. Alen tidak memprotes. Ia menunggu sampai Renata ingat dengan sendirinya—tapi sampai sekarang pun Renata tidak ingat ia sudah melupakan ulang tahun salah satu anaknya. Bagi sebagian orang, hal sepele seperti ulang tahun bisa jadi tidak berarti besar. Lain halnya bagi Alen. Hal sesederhana doa di hari ulang tahun adalah sumber kebahagiaan.

Untuk orang-orang yang keluarganya utuh, mereka tidak kekurangan kasih sayang, mungkin. Tapi untuk Alen yang orang tuanya bercerai, kasih sayang menjadi hal langka. Dan untuk sebagian orang yang keluarganya utuh, sering kali tidak sadar bahwa keluarga adalah sesuatu yang amat sangat penting. Sejatinya keluarga adalah pondasi untuk menjaga kewarasan kita tetap dalam level sehat. Tempat untuk kembali setelah perjalanan yang luar biasa melelahkan atau menyenangkan, juga media untuk mengisi kembali energi yang sudah terkuras karena berbagai persoalan di luar.

Kedua orang tua Alen bercerai karena masalah persepsi, Alen berangsur-angsur kekurangan kasih sayang sejak Renata harus mencari uang. Berbeda dengan Alice yang juga punya kesibukan dan bakat yang membuatnya dipuja banyak orang, Alen tertinggal beberapa langkah tanpa bakat, tanpa kesibukan. Satu-satunya yang bisa Alen lakukan adalah memikirkan hal-hal menyenangkan dan membayangkan dirinya sebagai bagian dari hal itu.

Alen mengusap wajahnya yang berkeringat dingin. Ketika Nurseu pertama kali bertanya apa yang memicu khayalan-khayalan dalam benak Alen, Alen langsung teringat Renata. Setelah bercerai, Renata memiliki segudang pekejaan yang membuatnya kadang tak pulang. Sekali pun pulang, Renata hanya memasak, lalu kembali sibuk di kamarnya. Kemudian semuanya menjadi lebih parah semenjak Alice dikontrak untuk menjadi model. Alice mampu menghasilkan uang, meringankan beban Renata, dan membuat Renata mencurahkan kasih sayang yang lebih pada Alice. Renata menjadi lebih dekat, lebih sayang, dan lebih menghargai Alice.

Bukan salah Renata kalau kasih sayangnya berat pada Alice yang dilihat dari sisi manapun lebih berguna dibanding Alen. Tapi segala sesuatu sudah diatur. Tuhan selalu punya rencana yang baik. Mungkin sekarang Alice bisa menghasilkan uang, tapi bukan berarti Alen tak bisa melakukan hal yang sama di masa depan, bukan? Alen bisa melakukan sesuatu yang berguna, hanya Tuhan belum menunjukkan kapan dan bagaimana. Sayang, tampaknya Renata tidak punya pemikiran seperti Alen. Dari apa yang selama ini Alen lihat dan Alen rasakan, Renata tidak mau membuka mata dan memberi kesempatan bagi Alen untuk menunjukkan diri. Renata menumpuk seluruh perhatian dan kasih sayangnya pada Alice. Seolah-olah, hukum yang berlaku di rumah adalah hukum rimba. Yang mampu akan mendapatkan penghargaan dan kenyamanan, dan yang tidak mampu perlahan-lahan akan tersisihkan.

Kepala Alen semakin nyeri, lebih hebat dari pada sebelumnya ketika Alen memutuskan untuk bangkit dan meninggalkan trotoar. Alen sudah meminta obat sakit kepala pada Nurseu selagi ia mengunjungi UKS sebelum pulang, tapi sama sekali tidak ada perubahan. Kepala Alen tetap berdenyut-denyut tak karuan.

Langkah Alen mendadak timpang karena silau matahari dan denyutan menjengkelkan di kepalanya. Alen memekik pelan begitu tubuhnya limbung ke samping. Gadis itu terjatuh, tapi tidak berguling di aspal. Tubuh Alen tertahan di posisi saat ia limbung dan hampir terjerembab ke samping. Secara refleks Alen merapatkan matanya, bersiap menahan sakit kalau-kalau bokongnya bertabrakan dengan aspal. Tapi setelah beberapa saat, tubuhnya tidak juga jatuh. Alen membuka matanya perlahan. Kedua bola matanya melebar ketika manik-manik yang bening menyambutnya.

“Kamu?” Alen menegakkan tubuh. Gadis itu tertegun selama beberapa saat.

Galen menahan tubuhnya.

Akhirnya.

Akhirnya Galen muncul lagi. Benar-benar khasnya, muncul secara tiba-tiba di tempat yang tak terduga.

 

“Halo.”

“Ke mana saja kamu?” tanya Alen tanpa basa-basi. Sesuatu mendesaknya agar bertanya pada Galen. Ada sepercik perasaan sebal yang bercampur dengan bahagia yang samar.

Sulit sekali menemukan Galen akhir-akhir ini, sementara setiap hari ada saja dorongan dalam diri Alen untuk menemukan pemuda itu.

“Saya ada saja.” Galen menjawab singkat dan datar. Pemuda itu kemudian meraih tangan Alen dan menuntun gadis itu berjalan di sepanjang trotoar menuju halte bus. Keduanya berjalan tanpa mengatakan apa-apa. Hanya hening yang tenang dan damai.

Alen ingin menanyakan beberapa hal pada Galen—misalnya bagaimana dia bisa ada di sekitar sini dan sekarang menggenggam tangan Alen tanpa ragu, tapi ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit Galen, semua pertanyaan lenyap tanpa bekas. Meski Galen menggenggam tangannya, langkah Alen tidak sebesar Galen. Gadis itu tertinggal sehingga ia bisa melihat sisi wajah Galen dari posisi agak belakang. Alen memperhatikan pemuda itu, sekaligus tangannya yang tertaut dengan tangan Galen, persis seperti truk gandeng.

Rongga dada Alen menghangat secara ajaib.

 “Seminggu ini kamu tidak naik bus?” Alen baru bertanya lagi begitu ia dan Galen duduk bersebelahan di halte. Galen memandangnya, cukup lama sampai Alen harus memalingkan muka dan mengenyahkan salah tingkah yang tiba-tiba.

 “Saya bawa motor akhir-akhir ini.” Galen menjawab pelan.

Alen menekan pipi bagian dalamnya dengan lidah. Gadis itu mencemooh dalam hati. Pantas Galen tidak pernah terlihat di bus atau muncul tiba-tiba di bus. Kalau tahu Galen membawa motor, Alen tidak akan membuang-buang waktu dan berdesak-desakan dengan orang asing di bus setiap hari selama seminggu, lebih malah.

Alen memutar kepalanya, balik menatap Galen yang sudah hampir satu menit tak mengalihkan mata dari wajahnya.

“Jangan menatap saya begitu.” dengkus Alen ketus.

“Kenapa? Dengan menatap kamu begini saya tidak akan dipidana, bukan?” Galen menopang dagunya, tersenyum nakal.

“Tidak. Tapi kamu membuat saya nggak nyaman.”

“Baiklah. Maaf kalau begitu.”

Alen mendengkus. Lagi.

Sekarang, selain sengatan matahari yang terasa panas di kulit Alen, rongga dadanya juga mendidih. Untuk apa Galen menopang dagu dan tersenyum begitu?

Alen menyeka wajahnya begitu merasakan keringatnya turun melalui pelipis.

“Kamu sakit?” Galen meletakan tangannya di pipi Alen. Alen sempat tersentak sebentar sebelum perlahan-lahan menikmati pola telapak tangan Galen yang dingin di pipinya.

“Sudah minum obat?”

Alen mengangguk, “Sudah, tadi saya minta di UKS.”

“Kenapa sekolah kalau kamu sakit?”

Bahu Alen terangkat. “Saya juga nggak tahu.” Gadis itu mengingat-ingat sebentar paginya yang benar-benar menyiksa. Sewaktu bangun, tubuh Alen menggigil, gemetaran. Kepalanya berputar, perutnya mual, tapi ia tetap memaksakan diri ke kamar mandi.

“Saya sudah bilang Mama kalau saya sakit. Tapi dia bilang cuma demam sedikit, jadi saya pikir saya masih kuat sekolah.” Alen tersenyum miring saat kata-kata Renata melintas di prefontalnya. Cuma demam sedikit. Masih bisa sekolah, kan?

Kira-kira demam Alice separah apa sampai dia nggak sekolah?

“Mungkin Mamamu nggak mau kamu tertinggal pelajaran.” Galen membalas praktis.

Salah.

Bukan karena Renata tidak ingin Alen tertinggal, tapi Renata tidak menaruh perhatian khusus pada Alen saat Alen bilang dia sakit. Padahal tujuan Alen bukan untuk sekadar mengadu. Ia mengadu supaya Renata bisa memperhatikannya dengan memberi obat, misalnya. Kenyataannya tadi pagi sama sekali tidak ada obat. Yang ada malah Renata berpesan supaya Alen membeli obat. Untuk Alice pula, bukan untuk Alen.

“Banyak hal yang tidak saya suka di rumah.” Alen sekoyong-koyong bergumam lirih.

“Misalnya apa?”

“Mama dan Alice.” Alen bergumam lagi. Ia sadar ia sedang membicarakan keluarganya pada orang baru yang sama sekali tidak tahu apa-apa, namun Alen tidak bisa mencegah mulutnya. Rasanya, semakin hari, beban Alen semakin berat. Alen butuh berbagi sedikit untuk mengosongkan lagi penyimpanan dalam dirinya supaya nanti ia tidak drop saat harus menyimpan lebih banyak hal-hal tidak menyenangkan.

“Kenapa? Mereka keluargamu, kan?”

Alen mengagguk lemas. Ia tahu betul kalau Renata dan Alice adalah keluarganya.

“Lalu? Kenapa kamu tidak suka mereka?” Galen mendesak.

Jari-jari Alen saling bertautan, selalu otomatis setiap kali Alen merasa bingung. Dalam prefontal Alen, pertanyaan-pertanyaan mulai mendominasi. Apa boleh ia bercerita pada Galen? Apa Galen orang yang tepat untuk diajak bicara? Tapi kan Alen baru mengenal Galen beberapa hari, bagaimana bisa masalah pribadi seperti keluarga dibicarakan? Alen menggigit bibir sembari berusaha menjawab satu per satu pertanyaan di otaknya.

Galen yang sejak tadi memandangi wajah Alen, tahu-tahu meraih lagi tangan Alen dan menyematkan jari-jarinya di jari-jari Alen. Kali ini Alen benar-benar tersentak, nyaris mengempaskan tangan Galen, tapi pemuda itu sudah lebih dulu mengeratkan genggamannya dan mengalirkan energi yang perlahan-lahan membangunkan rasa nyaman.

“Jangan ragu untuk bercerita pada saya kalau kamu ingin.”

Alen mengerjap dua kali. Galen selalu tampak seperti bisa membaca pikiran Alen. Pemuda itu selalu mengatakan apa yang ada dibenak Alen dengan mantap dan santai. Dan itu menganggumkan.

 “Jangan menyimpan semuanya sendirian, Alen.” Galen menukas, kali ini lembut. Pemuda itu melanjutkan, “Saya bisa mendengarkan kamu kapanpun kamu butuh.”

Bersamaan dengan selesainya kata-kata Galen, bus tiba. Alen bergumam pelan, 'apa sih', sebelum ia menarik Galen menuju bus.

“Busnya sudah datang.” Jari Alen lentik menunjuk pada kedatangan bus yang entah kenapa terasa seperti penyelamat. Dengan ucapan-ucapan Galen yang melankolis, Alen tak tahu harus merespon seperti apa. Mengalihkan perhatian pada bus adalah satu-satunya pilihan yang menguntungkan.

“Ayo.” Tegas Alen. Ia memimpin di depan, memasuki bus, lalu duduk dan mengembuskan napas.

 “Kamu sering berkhayal, mungkin karena kamu terlalu banyak menyimpan beban.” Galen menyeletuk sesaat setelah ia duduk.

Alen gatal sekali ingin menanyakan bagaimana Galen tahu soal berkhayalnya Alen, tapi gadis itu mengurungkan niat dan memejamkan mata, berpikir secepat dan sejernih yang ia bisa. Galen pernah berkata soal memperhatikan Alen sejak tahun pertama SMA, tapi dengan jawaban serampangan begitu, mana mungkin Alen puas.

Bagaimana pun, walau Galen tampak baik dan Alen menganggap pemuda itu layak untuk dianggap teman, Alen tidak ingin terburu-buru menyimpulkan bahwa Galen adalah orang yang tepat untuk diajak berbagi kisah seperti Nurseu. Alen sendiri tahu, bercerita pada orang lain bisa sangat membantu menghilangkan sesak di dadanya. Tapi untuk sementara ini, tidak.

Alen butuh pertimbangan yang matang, setidaknya sampai ia benar-benar mengenal Galen sebelum ia siap bercerita tentang segala hal dan melepas beberapa beban di dadanya. Sampai Alen tahu dulu bagaimana pemuda itu mengenalnya, terutama bagaimana pemuda itu mengetahui soal kebiasaan berkhayalnya.

 “Kepala saya pusing.” Ucap Alen pelan. Ia menyenderkan kepala ke jendela bus yang mulai bergerak meninggalkan halte. “Bangunkan saya kalau sudah sampai di halte selanjutnya.”

Alen menutup percakapan yang sejak tadi hanya dilakukan Galen seorang diri. Ini cara yang tepat untuk menghindari Galen yang terus memancingnya agar bercerita. Sementara itu, Galen tidak merespon apa-apa. Tampaknya dia memang bukan tipikal pemuda yang suka memaksa.

“Kamu boleh meminjam pundak saya.”

Samar-samar Alen mendengar Galen berkata, tapi seiring dengan gerakan bus yang lambat, Alen dikuasai kantuk. Ia tidak benar-benar mencerna apa yang Galen katakan.

Ia juga sudah benar-benar pergi ke alam mimpi ketika Galen memindahkan posisi kepalanya dari bersandar ke jendela bus, berubah ke bahunya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Zona Elegi
300      195     0     
Inspirational
Tertimpa rumor tak sedap soal pekerjaannya, Hans terpaksa berhenti mengabadikan momen-momen pernikahan dan banting setir jadi fotografer di rumah duka. Hans kemudian berjumpa dengan Ellie, gadis yang menurutnya menyebalkan dan super idealis. Janji pada sang nenek mengantar Ellie menekuni pekerjaan sebagai perias jenazah, profesi yang ditakuti banyak orang. Sama-sama bekerja di rumah duka, Hans...
Weak
202      161     1     
Romance
Entah sejak kapan, hal seromantis apapun kadang terasa hambar. Perasaan berdebar yang kurasakan saat pertama kali Dio menggenggam tanganku perlahan berkurang. Aku tidak tahu letak masalahnya, tapi semua hanya tidak sama lagi. Kalau pada akhirnya orang-orang berusaha untuk membuatku menjauh darinya, apa yang harus kulakukan?
Hujan Paling Jujur di Matamu
5404      1483     1     
Romance
Rumah tangga Yudis dan Ratri diguncang prahara. Ternyata Ratri sudah hamil tiga bulan lebih. Padahal usia pernikahan mereka baru satu bulan. Yudis tak mampu berbuat apa-apa, dia takut jika ibunya tahu, penyakit jantungnya kambuh dan akan menjadi masalah. Meski pernikahan itu sebuah perjodohan, Ratri berusaha menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik dan tulus mencintai Yudis. Namun, Yudis...
Sebelas Desember
3214      1016     3     
Inspirational
Launa, gadis remaja yang selalu berada di bawah bayang-bayang saudari kembarnya, Laura, harus berjuang agar saudari kembarnya itu tidak mengikuti jejak teman-temannya setelah kecelakaan tragis di tanggal sebelas desember; pergi satu persatu.
ARSELA: Perjodohan si Syar'i dan Ketua Geng Motor
103      96     3     
Romance
Memiliki hutang budi dengan keluarga Dharmendra, Eira mau tidak mau menyetujui perjodohan dengan putra sulung keluarga itu, Arsel, seorang ketua geng motor tersohor di kampusnya.
Love Al Nerd || hiatus
99      76     0     
Short Story
Yang aku rasakan ke kamu itu sayang + cinta
My Dangerious Darling
2855      1197     2     
Mystery
Vicky, mahasiswa jurusan Tata Rias yang cantik hingga sering dirumorkan sebagai lelaki gay bertemu dengan Reval, cowok sadis dan misterius yang tengah membantai korbannya! Hal itu membuat Vicky ingin kabur daripada jadi sasaran selanjutnya. Sialnya, Ariel, temannya saat OSPEK malah memperkenalkannya pada cowok itu dan membuat grup chat "Jomblo Mania" dengan mereka bertiga sebagai anggotanya. Vick...
Ada Cinta Dalam Sepotong Kue
4855      1589     1     
Inspirational
Ada begitu banyak hal yang seharusnya tidak terjadi kalau saja Nana tidak membuka kotak pandora sialan itu. Mungkin dia akan terus hidup bahagia berdua saja dengan Bundanya tercinta. Mungkin dia akan bekerja di toko roti impian bersama chef pastri idolanya. Dan mungkin, dia akan berakhir di pelaminan dengan pujaan yang diam-diam dia kagumi? Semua hanya mungkin! Masalahnya, semua sudah terlamba...
Perhaps It Never Will
3834      1327     0     
Romance
Hayley Lexington, aktor cantik yang karirnya sedang melejit, terpaksa harus mengasingkan diri ke pedesaan Inggris yang jauh dari hiruk pikuk kota New York karena skandal yang dibuat oleh mantan pacarnya. Demi terhindar dari pertanyaan-pertanyaan menyakitkan publik dan masa depan karirnya, ia rela membuat dirinya sendiri tak terlihat. William Morrison sama sekali tidak pernah berniat untuk kem...
After Feeling
4241      1530     1     
Romance
Kanaya stres berat. Kehidupannya kacau gara-gara utang mantan ayah tirinya dan pinjaman online. Suatu malam, dia memutuskan untuk bunuh diri. Uang yang baru saja ia pinjam malah lenyap karena sebuah aplikasi penipuan. Saat dia sibuk berkutat dengan pikirannya, seorang pemuda misterius, Vincent Agnito tiba-tiba muncul, terlebih dia menggenggam sebilah pisau di tangannya lalu berkata ingin membunuh...