Alice merapikan barang-barangnya secepat yang ia bisa. Setelah yakin semua barangnya sudah masuk ke tas, gadis itu terburu-buru meninggalkan kelas. Salah satu teman memberitahunya kalau pagi ini Alen menabrak seseorang dan termenung lama di selasar dengan wajah yang menakutkan. Katanya di jam istirahat, Alen pergi ke UKS dan tidak kembali lagi sampai jam pelajaran terakhir. Bel pulang sudah berunyi. Alice sempat mencoba untuk datang ke UKS dan melihat keadaan Alen, tapi ia terlalu sibuk dimintai mengisi beberapa kuisioner oleh wali kelasnya. Alhasil Alice baru bisa mengunjungi UKS setelah bel pulang.
Alice mengirim pesan singkat untuk menanyakan apakah Alen masih di UKS atau gadis itu sudah pulang duluan, tapi bukan Alice namanya kalau ia bisa sabar menunggu kabar. Baginya segala hal harus selalu berlangsung cepat, tidak ada istilah menunggu dalam kamus Alice. Jadi, tanpa perlu pesan balasan dari Alen, Alice cepat-cepat meninggalkan kelas begitu bel pulang berbunyi.
“Alice, mau ke mana?” Sarah, teman satu kelasnya mendadak muncul dan menghadang jalan Alice ke UKS.
“Hari ini gue sama anak-anak mau ke Plaza. Mau ikut?”
“Kayaknya nggak deh.”
Sarah memberengut. “Kenapa?”
“Adik gue di UKS.” Alice menjawab cepat.
“Oh, Alen?” Sarah mengangguk-angguk pelan. “Dia tadi pagi kambuh lagi, kan katanya?”
“Aneh sih, lo perfect banget, tapi adik lo agak aneh gitu, ya?” Sarah menyeletuk pelan. Ia berhasil memancing emosi Alice menuju puncak.
Seperti kembang api yang disulut, Alice merasakan ledakan yang hebat. Ia maju selangkah, kemudian menatap Sarah berang.
“Jangan berani-beraninya ngatain Alen macem-macem, ya.”
Mata Sarah membulat. Gadis itu mundur beberapa langkah. “Santai...”
Alice menarik napas singkat, menenangkan dirinya sembari melangkah melewati Sarah yang tertegun seperti habis kecurian.
#
Alen sedang memejamkan mata ketika ponselnya berdenting pelan. Kepala Alen berat rasanya, tapi karena penasaran, Alen terbangun, meraih ponselnya di nakas dan cepat-cepat membuka kotak pesan dengan perasaan yang seperti biasa. Harap-harap cemas.
Bahu Alen melorot setelah membaca nama Alice di kotak masuk.
[Masih di UKS?] itu yang Alice tulis di pesan—kalau Alen tidak salah membaca karena gadis itu langsung menyimpan kembali ponselnya begitu tahu orang yang mengirim pesan bukan Galen.
Alen benar-benar ingin tahu ke mana Galen menghilang. Beberapa waktu terakhir pemuda itu terus muncul di sekitarnya, menakut-nakuti Alen dengan mengatakan hal-hal yang tak masuk akal. Lalu seperti kemunculannya yang tiba-tiba, Galen juga menghilang tiba-tiba. Padahal saat itu Alen berpikir ia dan Galen lumayan cocok untuk berteman.
Alen tidak punya teman atau orang yang bisa ia ajak bicara dengan nyaman selain Nurseu. Nurseu awalnya memang sudah lebih dari cukup bagi Alen, tapi seiring dengan bertambahnya pekerjaan Nurseu di klinik dan UKS sekolah, Nurseu jadi orang sibuk yang lumayan sulit untuk diajak bicara oleh gadis yang dianggap gila. Sementara itu, Galen muncul. Galen beberapa kali mencoba meraih Alen, bahkan selalu bicara dengan nada akrab meski Alen berpikir yang tidak-tidak. Galen lumayan menenangkan dan menyenangkan. Sayang sekali sekarang pemuda itu sedang tidak berada dalam jangkauan.
Suara pintu yang terbuka membuat Alen menoleh cepat. Di ambang pintu, Alice terengah-engah, masih memegang knop. Alice kemudian masuk lalu cepat-cepat menghampiri Alen yang sibuk menebak apa kiranya yang menyebabkan Alice datang ke UKS. Kakaknya itu tidak pernah mengunjungi UKS. Kalau pun sakit, Alice akan langsung dirujuk ke klinik oleh guru.
Hebat, kan?
“Lo nggak apa-apa?” Alice bertanya tanpa basa-basi. Alen mengangguk ragu.
“Nggak, kok.”
Entah hanya perasaan Alen atau memang benar, tapi sepertinya mata Alice menunjukkan kekhawatiran. Alen tidak pernah berpikir apalagi membayangkan bagaimana ekspresi kakaknya saat sedang khawatir. Yang sering Alen pikirkan adalah alasan mengapa Alice, kakaknya, yang Alen anggap sebagai bagian dari dirinya, justru menjadi orang pertama yang menganggap Alen punya penyakit mental.
Setiap memikirkan itu, Alen merasa kesal. Karena Alice, Alen hampir dibawa ke psikiater. Katanya untuk diperiksa apakah memang benar Alen ada gangguan jiwa atau indikasi yang mengarah pada depresi. Tentu saja Alen menolak. Seperti yang sudah dijelaskan berkali-kali dengan lelah, Alen tidak gila. Ia sehat secara fisik dan mental,
Setidaknya begitu menurut Alen.
“Beneran nggak apa-apa?” Alice bertanya sekali lagi. Suaranya mendesak.
Alen baru akan mengangguk, tapi Alice sudah lebih dulu meraba keningnya, membadingkan suhu tubuh Alen dengan suhu tubuhnya sendiri.
Selagi Alice meletakkan tangannya di kening Alen, Alen mengernyit samar. Gadis itu mengawasi kakaknya dengan perasaan kikuk. Dalam otaknya pertanyaan-pertanyaan berkeliaran menginginkan jawaban.
Kenapa Alice? Kenapa Alice tiba-tiba peduli?
Alen menelengkan kepala cukup lama untuk memberikan jawaban pada pertanyaan di benaknya. Ia mengerling Alice yang masih mengukur suhu tubuhnya dengan cara yang ketinggalan zaman. Kakaknya itu mengerutkan alis sebentar, memindahkan tangannya dari kening Alen ke keningnya sendiri, lalu mengangguk-angguk. Alen tak yakin apa sebenarnya yang membuat Alice tiba-tiba bersikap begitu. Alice tidak pernah tampak peduli sebelumnya.
“Gue nggak apa-apa.” ucap Alen seraya melepaskan tangan Alice dari keningnya.
“Ya udah kalau gitu. Yuk, balik.” Tangan Alice meraih lengan Alen. Gadis yang setahun lebih tua itu menuntun Alen meninggalkan UKS.
“Gue balik sendiri aja.” Alen menghentikan langkahnya mendadak. Alice yang otomatis ikut berhenti langsung memutar kepala dan memelotot galak.
“Alen, sekali aja jangan ngehindar bisa?” nada suara Alice terdengar kesal, tapi tidak dengan wajahnya. “Gue peduli sama lo.” Sambung Alice muram.
Alen terperangah selama beberapa detik. Gadis itu tidak tahu harus melakukan apa mendapati Alice menatapnya cukup lama, cukup lekat. Sesuatu yang aneh menelusup ke dadanya. Sejenis gelisah dan rasa bersalah.
“Gue belum bilang sama Nurseu.” Alen akhirnya bergumam pelan. Sepertinya kata-kata Alice memberikan pengaruh. Alen merasa, sekarang bukan saat yang tepat untuk bersikap abai apalagi ketus pada Alice.
“Nggak usah bilang apa-apa. Nanti biar Nurseu bingung liat lo tiba-tiba ngilang dari UKS.” Jawab Alice cepat. Muram di suaranya menghilang, berganti dengan tawa yang ringan.
Alen tak bisa tak menahan bibirnya untuk tersenyum. Rasanya sudah sangat lama sejak ia dan Alice saling bicara akrab seperti ini.
“Mau makan dulu nggak?” Alice menawarkan setelah mereka meninggalkan UKS, berjalan menuju gerbang keluar. Suasana yang nyaman perlahan-lahan memenuhi rongga dada Alen. Ia mengikuti langkah Alice, tenang dan nyaman.
“Nggak, langsung pulang aja. Gue nggak enak badan.”
“Tadi katanya nggak apa-apa?”
Alen memandang Alice cukup lama. Kakaknya memang sejak dulu seperhatian ini, kan?
“Ya, emang nggak apa-apa. Kan cuma nggak enak badan sedikit.” Tukas Alen akhirnya.
“Ya udah, kalau cuma nggak enak badan sedikit, kita makan dulu aja. Biar perut lo nggak kosong.” Balas Alice tenang. Gadis itu berjalan mendahului Alen, sementara Alen menatapi langkah demi langkah Alice di depannya.
Alice baik.
Alen tersenyum samar. Kehangatan yang menyenangkan menjalar di sekujur tubuhnya.
“Tunggu.” Ucap Alen. Cepat-cepat gadis itu menyamakan lagi langkahnya dengan Alice.