Sambil merapikan rambutnya, Alen mengusapkan sisir emas. Gadis itu menatap bayangan wajahnya di pantulan cermin. Tampak cantik dalam balutan gaun malam hitam. Ini kali pertama Alen benar-benar merasa dirinya cantik. Saat Alen keluar nanti, orang-orang pasti akan menyambutnya atau mungkin juga bersorak sambil melemparkan setangkai mawar merah.
Tangan Alen yang terbungkus sarung tangan brukat bergerak dengan sendirinya, menggapai wajahnya, mengagumi pipinya yang bersemu merah, bukan dibuat-buat dengan bantuan pewarna mahal.
“Cantik.” Gumam Alen. Gadis itu tersenyum sendiri.
Dari tempat Alen memuji-muji wajahnya, ia mendengar suara ketuk sepatu. Alen berbalik menghadap ke pintu dengan senyuman paling cerah untuk menyambut tamu istimewa yang mengunjunginya. Tapi kemudian senyumnya luntur saat dua orang teman sekelasnya muncul dari balik pintu. Keduanya membalas senyum Alen, lalu terkikik sambil melintasi tubuh Alen.
Sialan.
Alen memutar tubuhnya kembali berhadapan dengan cermin. Tidak ada wajah merona, tidak gaun malam hitam, tidak juga sarung tangan brukat. Alen hanya berkhayal lagi. Cepat-cepat Alen membasuh mukanya, sekali lagi menatap ke cermin dan menantang dirinya sendiri.
“Kamu mati kalau kamu bicara sendiri lagi hari ini!” geram Alen sedingin mungkin. Setelah itu ia berlalu meninggalkan kamar mandi sekolah yang baginya selalu penuh imajinasi.
#
Hari ini sedang ada kegiatan pekan olah raga di sekolah. Omong-omong soal sekolah, Alen satu sekolah dengan Alice. Kakaknya di kelas 12, Alen di kelas 11. Meski satu sekolah, Alen jarang sekali menampakkan diri di sekitar Alice. Alice bukan kakak favoritnya kalau perlu dijelaskan.
Bukan, bukannya Alen membenci Alice. Alen hanya merasa dirinya tidak lebih dari sekadar bayang-bayang hitam jika bersama Alice. Alice terlalu sempurna. Terlalu mempesona sehingga sulit bagi Alen untuk bisa berdiri di podium yang sama dengan kakaknya. Terlalu membebani.
Alen menghela napas. Selain kakaknya, pekan olahraga juga bukan sesuatu yang difavoritkan Alen. Kalau teman-teman sekelasnya suka acara pekan olahraga karena tak harus duduk mendengarkan ceramah dan materi guru, Alen berbeda. Pekan olahraga di sekolahnya mengharuskan setiap siswa menonton pertandingan di lapang. Dan itu tidak bagus.
Kalau di kelas, setidaknya Alen bisa menyibukkan otaknya, mengerjakan soal, menyimak guru. Tapi di lapangan… otaknya akan menganggur, kosong. Olahraga apapun tidak pernah menarik bagi Alen, juga bagi otaknya. Kekosongan itulah yang menjadi pemicu imajinasi dan fantasi super fiktif tercipta dalam benaknya. Imaji dan fantasi-fantasi itu akan menenggelamkan Alen agar Alen tampak seperti seorang gadis yang kehilangan kewarasannya.
Alen menghentikan langkahnya setelah berbelok dari selasar kamar mandi. Alice, entah dari mana, tahu-tahu sudah tersenyum beberapa meter di depannya.
Ingin rasanya membalas senyum Alice, tapi Alen ragu.
“Ke lapang, yuk?” Alice menyambar lengan Alen dan menariknya menuju lapangan.
“Sekarang pertandingan sepak bola antara anak kelas gue sama anak SMA sebrang.” Kata Alice acak.
Sementara Alice terus bicara, Alen mengikuti langkah kakaknya menuju lapangan yang riuh dengan sorak sorai penonton.
“Nanti siang mau ke kantin bareng?”
Alen menatap kakaknya datar.
“Temen-temen lo?” tanya Alen, tetap datar.
Alice mengangkat bahu. “Sekarang lagi pengen makan sama lo.” Sambung Alice. Suaranya yang riang menyenangkan untuk di dengar.
“Uang hasil pemotretan itu udah gue terima. Lumayan, loh. Nanti gue traktir deh.”
Sesuatu memancing darah Alen ke ubun-ubun. Ada yang membuatnya merasa kesal sekaligus payah dalam waktu bersamaan. Inilah yang tidak Alen suka dari berhubungan dengan Alice.
Sekalipun Alice tidak bermaksud apa-apa, gadis yang setahun lebih tua dari Alen itu selalu bisa membuat Alen merasa kecil.
Pernah sekali, Alen beranggapan mungkin ini hanya bagian dari rasa irinya pada Alice. Seiring berjalannya waktu, Alen menyadari bahwa perasaannya pada Alice bukan sesederhana rasa iri. Meski Alice tak melakukan apapun, Alen merasa kehadiran kakaknya merundungnya dan menyebabkan pergolakan batin yang sulit dimengerti.
“Kenapa?” tanya Alice kebingungan. Ia menyadari perubahan raut wajah Alen yang semula datar menjadi keras.
“Lo nggak apa-apa?” tangan Alice.
Alen menekan pipi bagian dalamnya dengan lidah. Beberapa kalimat sudah menggantung di ujung lidah Alen. Gadis itu ingin mengatakan banyak hal yang selama ini ia pendam dari Alice, tapi hati kecilnya menolak melakukan itu.
Benar-benar menjengkelkan.
“Gue ke kamar mandi dulu.” Ucap Alen, menghempaskan tangan Alice yang menggenggamnya.
“Lo mau apa?” suara Alice berubah ketus saat bertanya. Ia melanjutkan, “Barusan ada anak kelas 11 yang lagi ngomongin lo. Katanya lo ngomong sendiri lagi di kamar mandi.”
“Terus?” tanya Alen tak kalah ketus. Tidak lama lagi pasti pertengkaran memuakan akan dimulai. Alen ingin kabur saja rasanya.
“Lo mau ngomong sendiri lagi di kamar mandi? Please, Alen—“
Alen tersenyum miring. Ia mengembuskan napas lelah. “Kenapa? Lo malu?”
Alice tampak tersentak dengan pertanyaan Alen. Yah, lagi pula siapa yang tidak malu saat saudara kandungnya melakukan hal-hal aneh di sekolah?
Tapi semua itu bukan keinginan Alen. Alen sadar ia selalu terbawa imajinasinya. Alen sangat sadar, sampai-sampai ia ketakutan. Bagaimana jika ini memang tanda-tanda bahwa ia punya penyakit mental? Gila? Depresi? Perlu dibawa ke rumah sakit jiwa?
Namun kesadaran Alen bukanlah hal yang bisa membuatnya berhenti membayangkan dirinya dalam sebuah alur cerita sebagai pemeran utama. Kesadaran Alen hanya menambah level ketakutan yang ia rasakan.
Bayangkan, kita berkhayal menjadi putri raja di zaman kolosal, dalam khayalan itu kita mengobrol dengan para pangeran, tertawa, menikmati kudapan mahal. Dialog-dialog dalam khayalan itu diucapkan seolah kita sedang disorot kamera untuk kepentingan perfilm-an. Bahkan saat adegan tertawa dalam benak diputar, kita benar-benar tertawa riang. Tapi kemudian tersadar. Kita hanya sedang berimajinasi.
Begitulah yang Alen rasakan. Ia merasa gila, tapi juga merasa sangat waras. Kalau ia gila, seharusnya ia tidak sadar bahwa ia hanya sedang berkhayal, kan?
“Gue gak akan ngomong sendiri lagi.” Alen baru bersuara lagi setelah beberapa saat ia dan Alice terdiam karena tensi ruangan menyesakkan. “Gue capek. Mau ke UKS.” Tukas Alen, lalu bergegas meninggalkan Alice yang tak sempat mengatakan apa-apa.
#
“Apa mungkin saya gila?” kedua tangan Alen terkulai di pangkuannya. Gadis itu duduk berhadapan dengan perawat sekolah yang sering dipanggil Nurseu, pelesetan dari nurse. Alen nyaris tak pernah memanggil Nurseu dengan nama aslinya.
“Memangnya akhir-akhir ini semakin parah, ya?” Nurseu membenarkan letak kacamatanya yang melorot.
Kisah tentang Alen yang bicara di kamar mandi sekolah sudah seperti kisah hantu gentangan yang mati bunuh diri di balkon sekolah. Benar-benar terkenal. Hampir semua orang mengenal Alen karena kisah itu. Alen menjadi bintang sekolah. Bedanya, bintang sekolah pada umumnya terkenal karena prestasi atau visual, kalau Alen, ia terkenal karena monolognya di depan cermin.
“Sama saja seperti biasa, sih.” Dengan lemas, Alen menopang dagu. Perasannya yang kacau perlahan-lahan mereda bersamaan dengan aroma obat-obatan sekolah yang memenuhi paru-parunya.
Nurseu adalah satu-satunya orang di sekolah yang bisa Alen ajak bicara dengan nyaman. Jauh lebih nyaman dari pada teman-teman sekelasnya. Bahkan lebih nyaman dari keluarga.
Seperti yang sudah dijelaskan, kisah monolog Alen sangat terkenal, sampai perawat sekolah pun tahu. Ketika Alen pertama kali ke UKS untuk tidur dan menenangkan dirinya setelah diejek habis-habisan, Nurseu yang menyapanya duluan. Nurseu juga yang menawarkan diri untuk menjadi pendengar Alen.
Nurseu tidak pernah bicara serampangan, apalagi menganggap Alen gila atau kena kutukan seperti yang dilakukan orang lain. Karena itulah, Alen selalu bisa mengadu kapan saja pada Nurseu soal kebiasaan anehnya. Setidaknya Alen tidak menanggung bebannya sendirian sejak Nurseu mau diajak berbagi.
“Saya baca-baca di internet. Mungkin kamu ini mengidap MDD.” Nurseu meninggalkan meja tempatnya duduk berhadapan dengan Alen. Perempuan itu berjalan ke pantri. Terdengar suara denting-denting gelas dan sendok.
Nurseu berbalik, memandang Alen dari pantri sembari menenteng dua cangkir teh manis.
“MDD bukan penyakit mental. Berarti kamu tidak gila.”
“MDD itu apa?” Alen bertanya ragu-ragu.
“Maladaptive Daydream Disorder. Terjadi karena kamu merasa lingkungan di sekitar kamu bisa merusak kesehatan psikis dan menyebabkan kamu membuat dunia sendiri dengan berkhayal. Dunia khayalan itulah yang bisa membuat kamu lebih rileks.”
“Dan membuat saya dicap gila.” Ketus Alen.
Ini bahkah lebih buruk dari pada penyakit mental. Kalau Alen benar-benar gila, setidaknya ia tidak akan keberatan dicap gila karena memang itu kenyataannya. Sedangkan MDD? Bukan penyakit mental tapi membuat Alen dianggap gila sampai rasanya ia memang akan segera jadi gadis gila.
“Pasti ada pemicu yang membuat kamu berkhayal. Coba pikirkan apa yang paling sering membuatmu berkhayal.” Nurseu menyuguhkan teh buatannya pada Alen.
“Istirahat saja dulu di sini. Nanti baru pikirkan apa yang kira-kira memicu khayalanmu itu.” jelas Nurseu. Suara perempuan itu lembut. Tipikal suara yang menenangkan dan penuh kehangatan.
“Saya keluar sebentar.” lanjut Nurseu.
Alen mengangguk. Ia memperhatikan Nurseu keluar dari UKS, lalu memalingkan wajahnya ke cangkir teh. Wajahnya tampak muram di permukaan air teh yang kemerahan.
“Kamu tidak seperti orang gila, kok.”
Hampir saja Alen terjengkang dari kursinya. Gadis itu berbalik secepat mungkin, menoleh ke sumber suara. Matanya membulat mendapati Galen muncul dari balik tirai putih yang menutupi ranjang.
“Kamu?”
Galen mengangakat sebelah tangannya.
“Hai.”
“Sedang apa kamu di sini?”
Galen menyibak dahinya yang tertutup poni. Plester menempel di dahinya, tampak masih baru. “Saya terluka saat tanding basket.”
Apa-apaan ini? Sedang apa Galen di di sini?
“Saya sedang tanding dengan anak-anak kelas sebelas. Pertandingan antar sekolah. Pekan olahraga.” Galen menambahkan, sepertinya berpikir Alen tidak menangkap semua kalimatnya karena gadis itu terbengong-bengong kikuk.
Bagi Alen, melihat Galen sama mengerikannya dengan melihat psikopat di film Silence of The Lambs. Setelah mengobrol di kafetaria di dekat lokasi pemotretan kemarin, Alen benar-benar tak ingin lagi berurusan dengan pemuda bernama Galen itu. Selain kemunculannya yang tiba-tiba, pemuda itu tidak jelas apa maunya.
Lebih menakutkan lagi saat Galen mengatakan ia tahu semua tentang Alen, secara tak langsung mengaku sudah mematai-mati Alen sejak tahun pertama sekolah, sementara Alen sama sekali tak tahu siapa Galen. Ia hanya tahu kalau Galen adalah murid SMA seberang yang secara tidak logis meminjam pulpen dan buku sketsanya kapan hari.
Alen berdiri, melintasi meja, dan melangkah dengan pasti. Ia bersiap membuka pintu UKS untuk keluar, tapi Galen mengikutinya dan menyusul seperti kilat. Gerakannya cepat dan tepat. Pemuda itu menahan pintu UKS, membuat Alen memikirkan hal yang tidak-tidak seperti kemungkinan pemuda itu tiba-tiba menerjangnya lalu melakukan sesuatu yang mengerikan padanya.
“Terakhir kali kamu juga pergi begitu saja.” Wajah Galen dinaungi sorot yang asing bagi Alen. Sejak pertama bertemu dengan Galen, laki-laki itu selalu menunjukkan antusiasme dan energi berlebihan. Baru kali ini bola matanya yang bening tampak redup.
“Saya tidak akan melakukan apapun.”
Ya, tapi tidak ada pemerkosa yang akan mengaku kalau profesinya adalah melucuti pakaian anak gadis. Alen ingin berkomentar begitu, tapi kalimatnya yang menggebu-gebu hanya sampai di tenggorokan. Ia tidak mau mengambil resiko menyinggung Galen dan membuat pemuda itu marah. Alen tidak akan pernah tahu apa yang bisa Galen lakukan padanya saat marah.
“Memangnya saya terlihat seperti kriminal?”
Pertanyaan Galen menarik Alen menelusuri garis wajah pemuda itu. Satu-satunya yang menarik dari Galen hanyalah bola matanya yang bening serta rambutnya yang kecoklatan alami. Oh, dan kulitnya yang pucat juga tampak menarik walau memberi kesan menakutkan.
“Tidak.” Alen menjawab setelah lama menangkap Galen di matanya.
“Karena tidak semua kriminal terlihat seperti kriminal.” Celetuk Alen sedetik kemudian.
Galen tampak tersinggung sebenarnya, tapi pemuda itu sepertinya mencoba agar tidak terpengaruh ucapan-ucapan Alen.
“Saya bukan kriminal.” Tegas Galen agak galak. Pemuda itu membuka pintu UKS dalam sekali sentakan, lalu menarik Alen keluar dari ruang langganan anak-anak lemah kalau sedang malas upacara.
Kaki Alen yang tidak terlalu panjang menyebabkan gadis itu kesulitan mengimbangi langkah Galen. Selain itu, Alen juga sebenarnya tidak berusaha mengimbangi langkah kaki Galen. Ia berusaha melepaskan diri ketika sadar orang-orang menatapnya dengan tatapan aneh.
Pasti mereka sedang berpikir yang tidak-tidak saat melihat Alen diseret seorang pemuda dari SMA lain.
“Lepaskan saya, Galen.” Alen mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Galen, tapi rasanya hanya seperti membuang-buang tenaga. Galen terlalu kuat.
“Saya lepaskan kalau kamu percaya kata-kata saya.”
Alen ingin sekali berteriak minta tolong, tapi bisa-bisa terjadi kericuhan di sekolahnya. Alen tidak mau berurusan dengan staf sekolah hanya karena siswa SMA seberang menariknya secara paksa keluar dari UKS menuju ke lapangan basket. Jadi yang bisa Alen lakukan hanya terus berusaha menghempaskan tangannya dari tangan Galen—meski sia-sia—serta tetap waspada jika sewaktu-waktu Galen melakukan sesuatu.
“Iya, iya. Saya percaya.” Alen menukas dengan cepat. Gadis itu memandang Galen lebih was-was ketika tiba-tiba langkah mereka yang rusuh terhenti begitu saja.
“Benar?”
Alen mengangguk.
“Kalau begitu, mulai sekarang jangan kaget kalau saya datang tiba-tiba.” Akhirnya Galen melepaskan genggamannya di tangan Alen.
Begitu genggaman Galen lepas, Alen memutar otak dengan cepat. Ia harus memanfaatkan kesempatan ini untuk melarikan diri. Jadi tanpa ba-bi-bu, Alen melesat, berlari melewati tubuh Galen yang menguarkan aroman musk dan gin. Alen berlari sekuat tenaga, mengabaikan jantungnya yang memopa secara ekstra.
Ketika Alen hampir sampai di tikungan selasar, ia menoleh sebentar pada Galen. Pemuda itu memandangnya kosong. Alen melambatkan langkahnya. Gadis itu berhenti dengan posisi tubuh menghadap Galen. Meski Galen berdiri beberapa meter di depannya, Alen tetap mewaspadai gerak-gerik pemuda itu.
Begitu Alen memutuskan untuk melangkah lagi, ia melihat Galen melambaikan tangan padanya. Pemuda itu tersenyum hampir manis, namun lebih dominan menakutkan. Alen berjalan mundur, tak bisa melepaskan matanya dari sosok Galen. Sekoyong-koyong pemuda itu mengangkat tangannya dan melambai flamboyan pada Alen.
Jantung Alen hampir terlepas dan terjun ke perut. Benar-benar ada yang janggal dari Galen. Alen yakin pemuda itu bukan orang baik-baik, apalagi ketika tiba-tiba mulut Galen bergerak, mengatakan sesuatu yang jelas-jelas tidak Alen dengar dan tidak Alen mengerti. Pemuda itu tersenyum lagi setelah menurunkan tangannya.
Apa-apaan itu?