Loading...
Logo TinLit
Read Story - Bus dan Bekal
MENU
About Us  

Hari H acara ulang tahun SMA Naga Sakti.

 

GSG (Gedung Serbaguna) penuh dengan siswa-siswi beserta para guru dan staff. Bagian dalam bangunan itu dihias sedemikian rupa dengan dekorasi ala ulang tahun sekolah. Panggung yang cukup megah berdiri di bagian kanan tengah ruangan.

 

Ratusan kursi disusun berjajar di depan panggung. Khusus kursi bagian depan yang diduduki para guru dan staff diberi meja di depannya. Tak lupa hiasan meja berupa vas bunga diletakan di atasnya. 

                                                      

Acara tersebut dipandu oleh seorang MC yang merupakan siswi sekolah tersebut. Sambutan yang berlangsung selama beberapa menit disampaikan oleh kepala sekolah. Dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-qur’an dan doa yang diisi oleh salah seorang siswa. Barulah berganti dengan penampilan-penampilan oleh siswa-siswinya.

 

Band yang akan tampil, Quwela, tengah mempersiapkan diri di belakang panggung saat acara tengah diisi oleh anak ekskul tari. Keempatnya berkali-kali mematut diri di cermin besar yang ada di sana. Memeriksa pakaian dan aksesoris seperti jam tangan dan gelang yang dikenakan tidak ada yang rusak atau aneh.

 

“Tegang gue,” kata Rio, gitaris band itu.

 

Satria menepuk dua kali bahu temannya tersebut. “Kek baru pertama kali aja,” katanya.

 

“Ya, nggak, anjir, tapi tetep aja. Lo juga tegang, kan? Muka lo pucet, noh.” Ia menunjuk wajah Satria.

 

“Nggak,” dusta Satria,  sebenarnya ia juga merasakan hal yang sama.

 

“Tegang nggak tegang, penampilan kita pasti keren,” ucap Aldi dengan percaya diri sambil merapikan rambutnya. Ia mengambil pomad yang baru saja hendak digunakan oleh Iqbal, gitaris mereka juga. Cowok yang paling kalem di antara teman-temannya itu membiarkan Aldi merebutnya, memakainya, baru kemudian mengembalikan padanya sambil terkekeh.

 

Di panggung tengah diisi oleh penampilan anak-anak cheerleader. Setelah mereka selesai, barulah Quwela tampil. Satria dan teman-temannya berdiri membentuk lingkaran sebelum berjalan ke depan panggung. Bersama-sama mereka berdoa meminta kelancaran untuk penampilan mereka di acara ini. Setelah selesai berdoa, keempat cowok itu mengulurkan telapak tangan ke depan, menumpuknya, mengayunkannya sedikit ke bawah, lalu melambungnya ke atas sambil menyerukan kata ‘semangat’.

 

Keempatnya berjalan ke atas panggung setelah MC menyerukan nama band mereka. Setelah berada di posisi masing-masing dan telah siap, Rio memetik gitar sebagai intro. Begitu juga Iqbal, beberapa saat kemudian suara merdu Aldi mengalun. Satria melanjutkan, menabuh drum-nya dengan penuh penghayatan. Penonton di depan mereka bertepuk tangan.

 

 

Ceritakanlah apa pun yang ingin kau ceritakan

Jangan segan dan jangan sungkan

Jangan dipendam

 

Kita sama-sama tahu

Dunia ini berat

Kita sama-sama tahu

Dunia ini kejam

Kita sama-sama tahu

Dunia ini tega

Pada kita … yang bahkan masih remaja

 

 

 

Air mata Mentari luruh ke pipinya. Ia tak menghapusnya karena itu percuma. Pasti akan turun lagi. Terus seperti itu dan entah kapan akan berhenti.

 

Namun, tenang saja. Itu bukan air mata kesedihan. Itu air mata binar, air mata bahagia, air mata takjub, air mata kagum jika melihat atau mendengar sesuatu yang luar biasa. Di atas panggung sana, Sang Quwela tengah mementaskan lagu mereka yang begitu luar biasa, ‘Untuk Temanku’ judulnya.

 

Seperti sihir, Quwela mampu membuat semua orang menonton dengan khidmat lagu mereka. Para guru tak kecewa memilih mereka, karena Quwela memberikan kerja kerasnya yang maksimal untuk penampilan yang luar biasa di panggung itu. Vokalis, dua gitaris, dan drummer bekerja sama untuk membuat musik yang luar biasa.

 

Mentari sudah banjir air mata. Ia terharu akan penampilan teman, tetangga, juga sahabatnya yaitu Satria. Cowok itu benar-benar …. keren sekali. Ia sangat berbeda jika sudah berdiri di atas panggung. Penampilannya, gayanya bermain drum, gerakannya, semuanya itu membuat Mentari sungguh terpesona dan ingin sekali ia menjerit karena tak tahan akan kekagumannya. Mentari merasa … ia tengah melihat seorang Bintang.

 

Di lagu-lagu Quwela, selalu ada di mana hanya gitaris saja atau hanya drummer saja yang memainkan alat musiknya. Di lagu ini, drummer memiliki satu menit lebih waktu untuk benar-benar menunjukkan permainannya. Lampu sorot yang ada langsung mengarah ke Satria saat ia beraksi. Penonton, terutama cewek-cewek menjerit kagum saat cowok itu menabuh drum dengan begitu hebatnya.

 

Tak hanya memukul drum dengan stik drum yang ada di kedua tangannya, ia juga memutar serta melempar kedua stik itu sebelum kembali memukulkannya ke drum.

 

Jeritan dan tepuk tangan penonton seketika memenuhi gedung tersebut. Memekakkan telinga, tetapi mampu membuat empat remaja cowok di atas panggung sana semakin bersemangat.

 

“Ya, ampun, Mentari, lo banjir air mata,” kata Angel. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya melihat temannya itu.               

 

Mentari tertawa. Ia bertepuk tangan sekencang-kencangnya saat Quwela selesai membawakan lagu mereka. Tangannya sampai sakit karena terlalu keras bertepuk tangan, tetapi ia mengabaikannya.

 

“Nih.” Angel menyodorkan tisu untuk Mentari. Cewek berkucir kuda itu menerimanya sambil berterima kasih.

 

“Abis ini kan Ishoma (istirahat, solat, makan), kita ke kantin dulu, yuk. Makan snack aja nggak kenyang,” ajak Angel. “Oh, iya, lo bawa bekel, ya?”

 

“Iya, ngambil  bekel gue di kelas dulu, ya.”

 

“Iya, deh.”

 

Keduanya berjalan keluar GSG sambil menenteng kotak snack yang sudah kosong. Butuh waktu beberapa menit untuk bisa keluar dari sana karena banyaknya kursi yang harus mereka lewati. Ingar-bingar itu seketika hilang saat mereka berhasil keluar dari ruangan. Rasanya sangat kontras.

 

 

 

***

 

 

 

“Lo nggak kecewa, kan, walaupun bukan Xamei yang tampil?” tanya mentari sambil membuka bekalnya. 

 

Angel yang sedang mengunyah bakso menggeleng.

 

Mentari mengacungkan jempolnya. Puas karena Angel merespon seperti itu. “Quwela bener-bener keren! Apalagi tetangga gue itu, ya, ampun! Gue bener-bener terharu!” seru Mentari. Ia melahap nasi serta sayur dan lauk yang ada, mengunyah dan menelannya, kemudian kembali bicara dengan bersemangat. “Dia itu … kayak Bintang. Gue jadi nge-fans deh kalo kayak gini.”

 

Angel tersenyum. Ia mengunyah baksonya pelan-pelan sambil memperhatikan Mentari yang wajahnya secerah matahari siang ini. Ia tahu temannya itu akan melanjutkan perkataannya, maka dengan sabar Angel menunggunya.

 

“Terus," jeda Mentari.

 

“Apa?” tanya Angel.

 

“Aura dia itu beda, gitu. Aneh, ya, padahal gue liat dia setiap hari. Kadang juga gue liat kalo dia lagi main drum di rumah. Tapi tuh, gue merasa … dia makin keren lho kalo lagi main drum di atas panggung gitu.’’

 

“Satria? Makin ganteng maksudnya?” goda Angel sambil menahan senyum.

 

Mentari mengangguk-anggukkan kepalanya. “Yaaa, itu juga. Nggak heran kalo banyak yang suka dia.”

 

“Termasuk lo.”

 

Mentari melotot, sedangkan Angel tertawa.

 

“Akui sajalah, Mentari.”

 

Mentari tidak menanggapi. Ia berusaha mengabaikan Angel yang terus menatapnya, seolah tengah menunggu jawaban. Dengan cepat dihabiskannya isi kotak bekalnya.

 

“Ri, jujur sama gue, lo suka dia, kan?”

 

“Nggak,” jawab Mentari cepat. Ia menutup kotak bekalnya sampai menimbulkan suara keras.

 

Angel menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, lalu bersedekap. Ditatapnya dengan lekat teman dekat di hadapannya itu.

 

“Kalo gue bilang, gue suka Satria, lo bakal gimana?”

 

Mentari manatap Angel dengan mata membulat. Jantungnya berdebar keras. Ia menelan ludahnya beberapa kali, lalu terdiam. Ditatapnya Angel dengan seksama. Temannya itu menatapnya balik.

 

“Serius lo suka dia?”

 

“Kok malah balik nanya. Jawab dulu, lo bakal gimana?”

 

“Ya nggak gimana-gimana. Masa mau gue larang.’’

 

“Terus kita masih temenan?”

 

“Ya, masih. Kenapa nggak?’’

 

Angel tertawa kecil. Lalu tertawa keras, membuat Mentari menatapnya dengan bingung.

 

“Bercanda, Ri. Gue nggak suka sama dia. Seratus persen nggak.”

 

“Oh.” Mentari mengembuskan napas lega. Ia menatap Angel dengan galak. “Lo udahan deh ngomong aneh-anehnya,” katanya.

 

"Ya, kan, gue pengen tau."

 

"Buat apa."

 

"Ya, intinya gue pengen tauu!" Angel tetap bersikeras. Ia terus menatap Mentari yang memilih melihat ke arah lain. 

 

"Gue mau beli minum," ujar Mantari, lalu bangkit berdiri, meninggalkan Angel yang menganggukkan kepala kepala padanya.

 

Sebenarnya, Mentari sendiri juga tidak tahu apakah ia menyukai Satria atau tidak. Mereka berteman sudah lama sekali. Seperti yang sudah pernah ia bilang pada Yosia, dirinya dan Satria sudah berteman sejak balita. Mereka berdua juga lahir di bulan dan tahun yang sama, hanya Satria lebih tua beberapa hari darinya. Karena sepantaran dan bertetangga itulah mereka berteman sejak itu. Juga seperti yang Mentari pernah bilang pada Yosia, ia dan Satria bersekolah bersama dari taman kanak-kanak sampai SMA.

 

Karena memiliki Satria, Mentari yang anak pertama bisa merasakan bagaimana rasanya mempunyai kakak. Satria seperti kakaknya yang sendiri yang melindunginya jika ada yang anak cowok yang hendak menyakitinya, jika Mentari kesulitan misalnya ingin mengambil buah jambu di belakang rumahnya, juga jika ia butuh ditemani ke suatu tempat. 

 

Setiap hari mereka bertemu. Satria itu teman, sahabat, dan keluarga baginya. Ia tidak tahu bagaimana rasanya satu hari tanpa melihat Satria. 

 

Mentari rela melakukan apa saja yang ia mampu jika itu bisa menolong cowok itu. Ia menyayangi Satria seperti keluarganya sendiri.

 

Seperti yang ia katakan sebelumnya juga, Satria itu seperti Bintang, dan dirinya selalu mengagumi cowok itu. 

 

"Ini, Kak, esnya."

 

Mentari menerima es rasa teh itu, lalu memberikan selembar uang dua ribu. Ia melangkah ke kursinya sambil membawa segelas es teh di tangan. Dilihatnya Angel tengah berbicara pada orang yang posisinya membelakanginya. Mentari menyipitkan mata, sepertinya itu Satria. 

 

Baru saja mengatakan itu di dalam hati, seseorang itu menoleh. Benar saja dia adalah cowok itu. Seperti biasa jika mereka bertemu, Satria tersenyum lebar, terkadang terlewat lebar yang membuat wajahnya jadi lucu. Ia juga melambaikan tangan padanya. Mentari membalasnya sambil tersenyum singkat. Ia beralih pada Angel yang tersenyum aneh dan menyebalkan.

 

"Kok, cuma satu, Ri?" tanya Satria setelah ia duduk.

 

"Kan, cuma buat aku," balas Mentari. Ia menyeruput esnya sambil menatap cowok itu.

 

"Iya, jugaan aku nggak mesen, deng." 

 

"Makin aneh aja kamu ini," kata Mentari, lalu kembali menyeruput esnya. 

 

"Tapi, aku suka, hihi." Angel berucap dengan suara dibuat-buat. Ia menutup mulutnya saat Mentari menatapnya dengan tajam.

 

"Lo suka sama gue?" Tanpa disangka siapa pun, Satria bertanya seperti itu. Seketika perhatian Mentari dan Angel beralih padanya.

 

"Najis! Jangan GR, lo, Satria!" seru Angel dengan wajah merah padam.

 

Satria tertawa keras, sedangkan Mentari tersenyum sedikit. 

 

Angel menatap Satria dengan wajah cemberut. "Gue cuma pura-pura, akting jadi seseorang," paparnya sambil melirik Mentari.

 

"Siapa?" tanya Satria dengan alis terangkat.

 

"Rahasia," jawabnya sambil melirik Mentari lagi, temannya itu melotot padanya.

 

"Siapa, Ri?" Tanpa disangka siapa-siapa lagi, Satria bertanya seperti itu. 

 

Mentari menggelengkan kepalanya. Ia melirik Angel dengan tajam. Ditendangnya kaki cewek itu. Angel memekik.

 

"Nggak usah diladenin kalo Angel ngomong aneh-aneh, Sat. Suka ngaco dia ini," nasihat Mentari. Ia menendang kaki Angel lagi saat cewek itu hendak berkata.

 

Obrolan penuh rahasia tiga orang itu berhenti karena Satria dipanggil teman-teman satu band-nya. Cowok itu pergi dari sana diiringi tatapan Mentari dan Angel. 

 

Setelah Satria sudah bergabung dengan teman-temannya, Mentari kembali menatap Angel dengan tajam. Cewek itu berkata pada temannya tersebut dengan geram.

 

"Please, lah, Ngel, mulut lo jangan ngomong aneh-aneh kalo ada dia!"

 

"Berarti kalo nggak ada dia, boleh?"

 

"Nggak!"

 

Angel terbahak.

 

"Gue pengen tau aja, Mentari, lo suka sama dia atau nggak?"

 

Mentari menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan perlahan. "Nggak."

 

"Hmmm." 

 

"Oke, supaya lo nggak tanya-tanya lagi, gue bakal dijelasi. Diem dan dengerin." Mentari memelankan suaranya.

 

Angel mengangguk dengan bersemangat.

 

"Apakah gue suka sama dia atau nggak? Jawabannya, nggak tau. Yang gue tau, gue sayang sama dia kayak sesayang gue sama keluarga gue sendiri. Gue rela ngelakuin apa aja yang gue bisa buat dia, menyelamatkan dia, supaya dia baik-baik. Dan gue pengen kami bakal berteman kayak gini selamanya."

 

"Nggak mau nikah?"

 

"Apa, sih!" Geram, Mentari berdiri dan menjulurkan tangannya hendak menarik rambut Angel, tetapi cewek itu berhasil menghindar sambil tertawa-tawa. "Tolonglah, Ngel!" seru Mentari.

 

"Anpuuun. Iya, nggak lagi. Terus-terus?" Angel yang tadinya berdiri untuk menghindari Mentari, kembali duduk dan melipat kedua tangannya di atas meja. 

 

"Udah! Nggak ada!" seru Mentari sambil menghempaskan tubuhnya di kursi dengan keras sampai menimbulkan deritan.

 

"Yah, jangan, gitu, Ri! Janji, gue nggak akan ngomong aneh-aneh lagi, tapi please lanjutin penjelasan lo," mohon Angel dengan sungguh-sungguh.

 

"Bukan gitu, emang udah gitu aja penjelasan gue," tandas Mentari. Ia berdiri setelah menghabiskan es tehnya.

 

"Yah, elo! Mau ke mana?"

 

"Kelas. Narok wadah bekel. Abis itu ke GSG!"

 

Angel ikut berdiri, lalu berlari untuk mengejar Mentari yang berjalan cepat di depan. Dirangkulnya bahu temannya itu. 

 

Saat sudah keluar dari kantin, kedua cewek itu dikejutkan oleh adanya mobil polisi yang terparkir di parkiran mobil dekat lapangan. Keduanya saling pandang dalam tanya. Mereka tambah terkejut lagi saat melihat di kejauhan, kelas mereka ramai oleh murid-murid yang berkumpul di dekat pintu.

 

Seketika jantung Mentari berdetak amat kencang. Ia dan Angel berlari ke sana karena sangat penasaran apa yang tengah terjadi. Saat sudah sampai di kerumunan itu, Mentari bertanya apa yang terjadi pada teman sekelasnya. 

 

"Ada yang bawa narkoba di tas," jawab seorang cewek yang tanyainya.

 

"Siapa?" tanya Angel.

 

Putri, cewek yang mereka tanyai itu tak langsung menjawab. Ia terdiam beberapa saat, dan baru menjawab saat Angel bertanya lagi. "Satria."

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
Similar Tags
ORIGAMI MIMPI
31848      3812     55     
Romance
Barangkali, mimpi adalah dasar adanya nyata. Barangkali, dewa mimpi memang benar-benar ada yang kemudian menyulap mimpi itu benar-benar nyata. Begitulah yang diyakini Arga, remaja berusia tujuh belas tahun yang menjalani kehidupannya dengan banyak mimpi. HIngga mimpi itu pula mengantarkannya pada yang namanya jatuh cinta dan patah hati. Mimpi itu pula yang kemudian menjadikan luka serta obatnya d...
Lazy Boy
6134      1523     0     
Romance
Kinan merutuki nasibnya akibat dieliminasi oleh sekolah dari perwakilan olimpiade sains. Ini semua akibat kesalahan yang dilakukannya di tahun lalu. Ah, Kinan jadi gagal mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri! Padahal kalau dia berhasil membawa pulang medali emas, dia bisa meraih impiannya kuliah gratis di luar negeri melalui program Russelia GTC (Goes to Campus). Namun di saat keputusasaa...
Stuck In Memories
15093      3090     16     
Romance
Cinta tidak akan menjanjikanmu untuk mampu hidup bersama. Tapi dengan mencintai kau akan mengerti alasan untuk menghidupi satu sama lain.
One Step Closer
2224      918     4     
Romance
Allenia Mesriana, seorang playgirl yang baru saja ditimpa musibah saat masuk kelas XI. Bagaimana tidak? Allen harus sekelas dengan ketiga mantannya, dan yang lebih parahnya lagi, ketiga mantan itu selalu menghalangi setiap langkah Allen untuk lebih dekat dengan Nirgi---target barunya, sekelas juga. Apakah Allen bisa mendapatkan Nirgi? Apakah Allen bisa melewati keusilan para mantannya?
PurpLove
324      271     2     
Romance
VIOLA Angelica tidak menyadari bahwa selama bertahun-tahun KEVIN Sebastian --sahabat masa kecilnya-- memendam perasaan cinta padanya. Baginya, Kevin hanya anak kecil manja yang cerewet dan protektif. Dia justru jatuh cinta pada EVAN, salah satu teman Kevin yang terkenal suka mempermainkan perempuan. Meski Kevin tidak setuju, Viola tetap rela mempertaruhkan persahabatannya demi menjalani hubung...
Kutunggu Kau di Umur 27
4246      1835     2     
Romance
"Nanti kalau kamu udah umur 27 dan nggak tahu mau nikah sama siapa. Hubungi aku, ya.” Pesan Irish ketika berumur dua puluh dua tahun. “Udah siap buat nikah? Sekarang aku udah 27 tahun nih!” Notifikasi DM instagram Irish dari Aksara ketika berumur dua puluh tujuh tahun. Irish harus menepati janjinya, bukan? Tapi bagaimana jika sebenarnya Irish tidak pernah berharap menikah dengan Aks...
Rasa yang tersapu harap
9825      2062     7     
Romance
Leanandra Kavinta atau yang biasa dipanggil Andra. Gadis receh yang mempunyai sahabat seperjuangan. Selalu bersama setiap ada waktu untuk melakukan kegiatan yang penting maupun tidak penting sama sekali. Darpa Gravila, cowok sederhana, tidak begitu tampan, tidak begitu kaya, dia cuma sekadar cowok baik yang menjaganya setiap sedang bersama. Cowok yang menjadi alasan Andra bertahan diketidakp...
Samudra di Antara Kita
28926      4168     136     
Romance
Dayton mengajar di Foothill College, California, karena setelah dipecat dengan tidak hormat dari pekerjaannya, tidak ada lagi perusahaan di Wall Street yang mau menerimanya walaupun ia bergelar S3 bidang ekonomi dari universitas ternama. Anna kuliah di Foothill College karena tentu ia tidak bisa kuliah di universitas yang sama dengan Ivan, kekasihnya yang sudah bukan kekasihnya lagi karena pri...
Heliofili
2208      1038     2     
Romance
Hidup yang sedang kami jalani ini hanyalah kumpulan berkas yang pernah kami tandatangani di kehidupan sebelumnya— dari Sastra Purnama
Trust
1888      779     7     
Romance
Kunci dari sebuah hubungan adalah kepercayaan.