Suara musik khas Indonesia terdengar ke seluruh penjuru bus yang baru Mentari masuki. Beberapa kursi kendaraan roda empat itu sudah terisi. Ia celingukan mencari Satria yang dikabarkan orang tuanya sudah ada di bus sejak tadi. Melupakan bekal dan air minum yang sudah ibunya siapkan di atas meja.
Ah, ternyata cowok itu berada di kursi paling belakang. Sedang duduk dengan memakai headphone. Mentari cukup takjub saat melihat Satria tengah menulis sesuatu di buku. Mungkinkah cowok itu kini telah berubah? Menjadi anak yang rajin dan belajar kapan saja juga di mana saja selagi bisa?
"Bekal kamu," ujar Mentari sambil menyodorkan bekal milik Satria yang dititipkan padanya ke depan wajah cowok tersebut.
Satria nampak terkejut sebentar. Ia melepas headphone-nya dan meletakkan pensilnya, kemudian menerima bekal yang diberikan padanya dengan senyum lebar.
"Makasih, Tetanggaku yang Sangat Baik Hati," ucap cowok itu hiperbola.
"Alay," olok Mentari sambil duduk di kursi sebelah Satria. Sebelumnya cowok itu menyingkirkan tasnya yang berada di sana. Mentari melirik tulisan acak-acakan Satria di buku yang berada di pangkuannya. "Itu apa? Lirik lagu?" tanyanya.
Tulisan itu berbentuk bait-bait seperti puisi, tetapi Satria menggambar not-not musik di beberapa bagian. Membuat Mentari paham bahwa yang sedang ditulis adalah lirik lagu.
"Iya," jawab Satria. "Jangan liat, ah. Belum jadi." Satria menutup bukunya.
"Yah ... aku kira kamu lagi belajar." Nada kecewa terdengar jelas dalam suara Mentari.
"Kan, emang lagi belajar. Belajar nulis lagu," kilah Satria, lalu terkekeh saat melihat Mentari memutar bola matanya.
Mereka berdua kemudian diam. Mentari menatap ke luar jendela, sedangkan Satria kembali memakai headphone dan menulis sesuatu di bukunya. Bus yang hampir penuh mulai berjalan menuju sekolah mereka. Musik khas Indonesia yang disetel masih setia terdengar di telinga orang-orang yang ada di sana.
"Kalo dihitung pake persen, rasa suka kamu sama main musik berapa?" Mentari memecah keheningan di antara mereka.
Tidak terdengar jawaban dari Satria. Mentari lupa, Satria sedang memakai headphone dan tengah fokus menulis. Ia tadinya ingin bertanya lagi, tetapi urung melihat tampang Satria yang terlihat serius sekali. Pada akhirnya ia hanya memandangnya saja.
Serius sekali, batin Mentari melihat eskpresi cowok itu. Raut wajah seperti itu tidak pernah dilihatnya jika Satria sedang belajar.
Mentari mendekatkan dirinya pada Satria supaya bisa membaca tulisan tangan cowok itu. Namun, ia memutuskan menyerah membacanya. Tulisan Satria sungguh acak-acakan sehingga membuatnya pusing.
"Judul lagunya Dandelion." Satria tiba-tiba berkata. Ia melepaskan headphone-nya dan menatap Mentari. "Belum selesai, sih, lanjut ditulis nanti sama yang lain."
Selain gemar bermain drum, Satria juga suka menulis lagu. Bisa dibilang dibanding teman-teman anggota band-nya, ia yang menjadi pelopor terciptanya lagu-lagu tersebut.
"Kenapa kamu nggak jadi vokalis aja?" tanya Mentari pada suatu hari.
"Aku lebih suka main drum."
"Kalo main drum sambil nyanyi?"
"Takut bengek. Suaraku juga nggak sebagus suara Aldi."
"Tadi aku tanya, kalo dihitung pake persen, rasa suka kamu sama main musik berapa persen?"
Satria tidak langsung menjawab. Ia berpikir sambil mengusap-usap dagunya selama beberapa saat. Keningnya sedikit berkerut. Ia kemudian menunjukkan angka sepuluh dengan semua jari-jari tangannya.
Mentari mengangguk-anggukkan kepalanya. Seharusnya dirinya tak perlu bertanya.
"Kenapa tanya gitu?" tanya Satria.
"Pengen tau aja," jawab Mentari apa adanya.
Perhatian mereka lalu teralihkan oleh bus yang berhenti karena sudah sampai tujuan. Keduanya turun sambil membawa tas masing-masing. Di luar, sinar matahari bersinar cerah.
"Mentarinya bersinar terang," ujar Satria sambil menghalau sinar matahari yang menyorot matanya. Ia tersenyum pada Mentari. "Kamu tetep kepanasan?"
"Hah? Ya, iyalah," jawab Mentari disusul tawa renyahnya. "Aneh-aneh aja."
"Kirain pemilik nama Mentari nggak akan kepanasan kena sinar matahari karena mereka punya kekuatan sinar yang sama." Satria berceloteh asal. Membuat Mentari lagi-lagi tertawa.
"Ngomong apa, sih? Kamu tuh bukan anal IPA, jangan ngomongin soal matahari-matahari, deh."
"Tapi kan dulu, waktu SMP, aku belajar IPA, Ri. Gimana sih, kamu."
"Emang kamu nyimak penjelasan guru? Emang kamu baca buku yang dikasih?" sindir Mentari dengan telak. Ia tersenyum puas melihat Satria yang kehilangan kata-kata.
"Parah, parah," kata Satria dengan wajah pura-pura terluka.
Obrolan tak beraturan mereka terjadi sampai keduanya sampai di kelas. Angel sudah duduk di kursinya, seperti biasa sedang memainkan ponsel. Ia menoleh saat dua orang yang baru datang tersebut mendekati kursi.
"Tadi ada yang nyariin elo," papar cewek itu sambil menunjuk Satria. "Anak baru kelas sebelah. Asik, punya fans baru lo, Sat. Oh iya, cewek."
Bukan hal yang baru, tetapi Mentari selalu penasaran dengan respon Satria jika ada cewek yang mencarinya. Dilihatnya Satria tampak menganggukkan kepala. Ekspresi wajahnya nampak biasa-biasa saja.
"Terus?" tanya Satria.
"Katanya dia mau ke sini lagi, nanti."
"Hahaha, ya udah."
Selang beberapa menit setelahnya, bel masuk berbunyi. Mentari senang ia tak harus menjaga Satria supaya tidak kabur dari kelas. Setelah obrolan singkat tentang cewek yang mencarinya, ia duduk tenang di kursinya sambil memainkan ponsel.
Syukurlah, ujar Mentari dalam hati.
***
Jam istirahat, Mentari, juga Angel dan Satria tidak ke kantin. Sebelumnya teman-teman satu band Satria yang beda kelas dengannya menghampiri cowok itu, bersama-sama menghabiskan bekal yang dibawanya. Kini, seperti tadi, Satria tengah serius dengen ponsel pintarnya.
Untuk Mentari dan Angel, dua cewek itu tengah memakan bekal mereka, saling berbagi lauk dan sayur yang dibawa. Sambil mengobrol banyak hal, juga tertawa bersama. Keduanya menoleh bersamaan saat mendengar ketukan dan ucapan salam seseorang yang berada di ambang pintu.
Seorang cewek yang berpakaian sama seperti mereka, berambut sebahu dan bermata sipit berdiri di sana.
"Itu dia, anaknya," gumam Angel. Ia menoleh pada Satria. "Itu," katanya.
Satria mendongak, lalu mengangguk dengan sikap acuh tak acuh. Cewek itu berjalan ke arahnya sambil berusaha menampilkan senyum terbaiknya. Wajahnya bersemu merah saat sudah sampai di depan cowok itu.
"Satria, boleh kenalan, nggak?" tanya cewek tersebut dengan percaya diri. Ia menyelipkan rambut sebahunya ke belakang telinga.
"Iya, boleh. Mau minta tanda tangan juga, boleh," candanya.
Mentari dan Angel tertawa pelan. Sambil mengunyah makanan keduanya melihat aksi perkenalan penggemar Satria tersebut.
"Oke, jadi, nama aku Siska. Nama lengkapnya Siska Anindita. Dari kelas XI IPS 3." Ia mengulurkan tangannya pada Satria untuk bersalaman.
Satria menerima uluran tangan itu. "Satria Adichi. Panggil Satria aja."
"Kalo aku panggil Adichi, boleh?"
Terdengar suara tawa Angel. Seketika perhatian mereka, termasuk Mentari beralih ke arahnya.
"Maaf, maaf. Lanjut."
"Panggil Satria aja, ya," ujar Satria dengan tegas, berharap cewek asing di depannya ini langsung mengiyakan.
"Emang kenapa kalo Adichi?"
"Adichi itu nama bapak gue."
Angel tertawa terbahak, sedangkan Mentari menutup mulutnya rapat-rapat supaya nasi yang ada di dalam sana tidak tersembur keluar. Siska, menoleh ke arah mereka dengan wajah cemberut.
"Apaan, sih," katanya.
"Ya, elo, udah disuruh panggil Satria aja, kok malah ngeyel," kata Angel di sela-sela tawanya. Air mata mengalir ke pipinya karena terlalu keras tertawa.
"Ya, kan ... ih." Karena merasa sangat malu akibat ditertawakan, Siska menunduk, dan secepat kilat ia keluar dari kelas tersebut.
Mentari, Angel, juga Satria tak menyangka hal itu akan terjadi. Mereka saling pandang dalam diam selama beberapa saat, kemudian tertawa bersamaan.
***
Bulan depan akan ada pentas seni di sekolah sebagai salah satu penampilan untuk mengisi acara ulang Tahun SMA Naga Sakti. Dari tiga band yang ada di sekolah tersebut, akan ada satu band yang tampil. Dipilih hanya satu karena penampilan lainnya akan diisi oleh pertunjukkan lain, misalnya menari.
Ketiga band itu, Quwela, Horizon, dan Xamei. Ketiganya akan tampil di GSG (Gedung Serbaguna) sekolah pada sepuluh hari sebelum acara ulang tahun, dan akan dipilih satu untuk tampil di acara.
Sebagai band yang masih kecil-kecilan, ketiga band tersebut sudah mempunyai lagu sendiri. Lagu sederhana yang mereka ciptakan dan rekam sendiri. Ketiganya menjadi populer di sekolah dan masing-masing telah memiliki penggemar.
"Bukannya nggak dukung Satria, tapi gue lebih suka Xamei dibandingkan Quwela," celetuk Angel yang sedang merapikan baju olahraga. Mereka baru saja berganti pakaian setelah berolahraga. "Dan berharap mereka yang kepilih di pensi nanti."
"Ya, terserah elo," balas Mentari sembari memasukkan bajunya ke tas.
"Kalo lo? Pasti Quwela Lovers, dong," goda Angel sambil tersenyum penuh arti.
"Yaa."
"Kucing geh tau."
Mentari memberikan tatapan sengit pada Angel, lalu melangkah duluan ke luar kelas setelah menggendong tasnya. Ia akan menuju ruang musik, menonton band Satria berlatih. Cewek itu berhenti saat mendengar teriakan Angel.
"Main tinggal-tinggal aja," protes temannya itu.
"Lho, katanya lo nggak ikut ke sana," bela Mentari dengan mata menyipit.
"Iya, tapi kan bisa bareng sampe jalan ke arah gerbang."
"Ya udah, maaf."
Setelah agak jauh berjalan sambil mengobrol ringan, Angel baru sadar kalau Mentari membawa sesuatu yang dibungkus plastik di tangannya. Tanpa permisi cewek itu mengangkat apa yang dibawa Mentari tersebut. Membuat temannya itu memekik kaget.
"Lo ngapa, sih?!" Mentari menatapnya dengan galak.
"Lo beli makan? Apa tuh? Keknya enak."
"Lo kan mau pulang!" seru Mentari. "Ini buat Satria," lanjutnya dengan suara agak pelan.
"Ouh. Maaf." Angel tersenyum penuh arti. Alisnya yang cukup lebat sedikit naik. "Perhatian sekali sama pujaan hatinya."
"Mulut lo, ya!" Dengan gemas Mentari ingin memukul mulut temannya itu, tetapi Angel berhasil menghindarinya.
"Cieee."
"Gue sama dia cuma temen lho, Ngel. Temen dari kecil. Lo tau itu dan harusnya nggak ngomong aneh-aneh," kata Mentari dengan mata melotot.
Angel belum juga berhenti meledek. Ia masih tersenyum aneh dan menyebalkan di mata Mentari.
"Temen, tapi menyukai. Temen, tapi memikirkannya setiap hari. Temen, tap— "
Mentari tersenyum puas melihat wajah merah padam Angel yang sedang mengeluarkan daun bunga yang dengan tega ia masukkan ke mulutnya.
"Lo parah!" jerit Angel, kemudian meludah ke samping. Rasa pahit daun masih tertinggal di mulutnya. "Bagi minum!"
Sambil terkekeh, Mentari memberikan air minumnya.
***
"Kamu beneran nggak mau?" tanya Satria sambil mengangkat sendok berisi nasi goreng yang dibelikan Mentari.
Mereka masih di ruang musik. Duduk di salah satu sudut yang terdapat kursi panjang.
Mentari menggelengkan kepala. Perhatiannya beralih pada seseorang yang berjalan ke arahnya dan Satria. Tanpa berkata apa-apa, Raka, cowok itu duduk di kursi panjang di dekat mereka. Ia tersenyum sambil mengangkat alis pada Mentari yang menatapnya dengan kening berkerut.
"Lo dukung siapa?" tanya Raka pada Mentari.
"Apanya?" Mentari menatapnya dengan penuh tanda tanya.
"Yang bakal tampil di pensi."
"Oh. Quwela. Emang ada dukung-dukungan gitu, ya? Bukannya yang milih guru-guru?"
"Emang nggak. Pengen tau aja lo lebih suka siapa."
Mentari mengerutkan kening. Ia memandang Satria sebentar, lalu kembali pada Raka.
"Quwela. Kenapa emangnya?"
Gerak-gerik cowok ini aneh menurut Mentari.
"Karena lo temennya dia?" tanya Raka sambil menunjuk Satria yang telah selesai makan.
"Ya karena gue suka."
Raka mengangguk-anggukkan kepala, sementara Mentari menoleh pada Satria dengan raut penuh tanda tanya, yang dibalas kedikan bahu oleh cowok itu.
"Lo hati-hati deh sama Satria," ucap Raka, membuat Mentari semakin menatapnya dengan penuh tanya, tetapi kali ini dengan sedikit amarah.
"Apa, sih?" tanyanya.
"Dia bisa jahat sama cewek."
"Lo tuh, ngomong apa, sih?" Mentari berdiri di depan Raka dengan wajah merah padam.
"Ri, pulang, yuk," ajak Satria sambil meraih lengannya, tetapi Mentari menepisnya.
"Nanti, Sat."
"Bisa aja lo disakitin sama dia."
"Maksudnya?!"
"Kayak yang dia lakuin sama temen gue."
"Kenapa sama temen lo?"
"Dia bikin temen gue patah hati."
"Oh. Ya, namanya dia nggak suka," bela Mentari sambil melirik Satria sekilas.
"Tapi seharusnya dia tau caranya menghargai." Raka berdiri, membuatnya berhadap-hadapan dengan Mentari. "Lo cewek, seharusnya lebih ngerti."
"Justru karena gue cewek, gue bilang gini! Pura-pura suka, ngasih harapan palsu, itu yang nggak boleh! Kalo nggak suka, ya bilang, nggak!" seru Mentari. Bahunya naik turun menahan emosi.
Raka tertawa hambar. Ia menatap Satria sebentar, lalu kembali pada Mentari.
"Mungkin masih ada banyak hal dari dia yang nggak lo tau."
"Oh? Banyak hal tentang Satria yang nggak gue tau? Ya, kalo gitu, apalagi lo? Lo mungkin nggak tau apa-apa tentang dia."
Satria kembali mengajaknya pergi dari sana, tetapi cewek itu menolak. Ia menunggu apa lagi yang akan Raka katakan.
"Kenapa lo belain dia terus?" tanya Raka.
Mentari menatap Raka tak habis pikir. "Lo tanya kenapa gue ngebela dia? Ya, jelas karena dia temen gue, lah! Bahkan kalo dia berbuat salah, gue bakal tetep ada di pihak dia!"
"Dan membenarkan apa yang dia lakuin?"
"Bantu dia keluar dari masalahnya," ucap Mentari, lalu meraih lengan Satria dan pergi dari sana.
***
Raka adalah vocalis band Xamei. Ia tak suka pada Satria karena cewek yang disukainya menyukai cowok itu, walaupun itu jelas bukan salah Satria. Raka semakin tidak menyukainya karena Satria menolak perasaan Yosia, cewek yang disukainya. Ia melihat sendiri bagaimana hati Yosia dipatahkan oleh si drummer band Quwela.
"Dia itu masih sakit hati karena cintanya bertepuk sebelah tangan, Ri. Kayak gitu buat ngelampiasin perasaannya. Kasian, makanya aku diemin aja," papar Satria setelah bercerita.
Mereka sedang berjalan ke rumah setelah turun dari bus. Sekarang pukul setengah enam sore. langit di atas sana tampak kejingga-jinggaan. Sesekali pemotor melintas di samping keduanya.
Mentari mengangguk mengerti. Namun, tadi si Raka itu sampe membawa-bawa band-nya dan Satria juga. Padahal kan masalah itu masalah pribadi.
"Ya, namanya kami bersaing, hahaha," sahut Satria. "Kamu hebat banget deh belain aku kayak gitu. Aku merasa dibelain sama kakak."
Mentari tertawa. "Padahal tuaan kamu."
"Oh, iya, berarti dibelain sama adik. Tapi kamu nggak harus kayak gitu juga, Ri."
Mentari berhenti berjalan dan menatapnya. "Ya, nggak bisa."
"Terserah kamu aja, deh. Terlepas dari itu semua, tertolak dan menolak cinta seseorang itu sama-sama nggak enak," ujar Satria.
"Kenapa?" tanya Mentari.
Sebentar lagi mereka sampai di depan rumah Mentari.
"Ya, nggak enak. Sama-sama sakit, tapi ya, yang ditolak cintanya itu lebih sama sakit, sih."
"Emm ... iya, iya. Tapi ya mau gimana, ya, perasaan kan nggak bisa dipaksa-paksa."
"Nah, itu dia!" Satria bertepuk tangan, membuat Mentari berhenti untuk melihat ke arahnya. "Kayak kata siapa, itu di film 'Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi', 'perasaan kan nggak bisa diatur-atur kayak gitu'".
Mentari ingat, tapi ia lupa juga nama cewek yang mengatakannya. Ia mengangguk, membenarkan kalimat tersebut. Perasaan memang tidak bisa diatur-atur. Perasaan siapa pun itu.
semangat terus ya
Comment on chapter The Drummer