"Satria!"
Cowok berseragam putih abu-abu yang baru saja melangkah dari pintu kelas itu berhenti. Ia tersenyum memperlihatkan giginya yang rapi saat melihat seorang cewek berjalan ke arahnya dengan langkah cepat. Kaki panjangnya kembali bergerak, ia hendak melewati siswi yang kini berada tepat di hadapannya tersebut, tetapi langkahnya dihadang.
"Mentari, masih pagi jangan iseng, geh," guraunya sambil berusaha melewati Mentari. Namun cewek itu lebih gesit darinya.
"Udah mau bel! Mau ke mana?" tanya Mentari dengan wajah galak. Kini tangannya mencengkeram lengan Satria dengan erat.
"Kantin," jawab Satria disusul kekehan kecil. Ia berusaha melepaskan cengkraman teman karibnya itu, tapi gagal karena Mentari mengeratkan cengkramannya.
"Perasaan, kamu udah sarapan," kata Mentari dengan raut sinis.
"Kurang," balas Satira asal.
Mentari memutar bola matanya. Ia punya dugaan buruk kalau cowok di depannya ini mau bolos kelas. Pasalnya hal tersebut kerap terjadi. Walaupun begitu ia berharap dugaannya salah.
"Jujur, kamu mau bolos kelas?" tanya Mentari dengan raut tak senang
"Eem ...." Satria menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan langan satunya. "Ya ... mata pelajaran Pak Toro, Ri. Aku nggak suka."
"Kenapa?"
"Pasti aku disuruh maju ngerjain soal."
"Namanya, belajar. Ya papa. Nanti aku bantuin."
"Aku nggak suka," ucap Satria ucap sura dibuat seperti anak kecil.
"Dih." Mentari mengernyit jijik.
Satria tertawa. Saat itulah Mentari melepaskan tangannya. Tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, Satria berlari meninggalkan Mentari yang gagal menghalanginya.
"Sat!" teriak Mentari.
"Aku usahain masuk kelas, Ri! Nggak janji, tapi," balas Satria tanpa berhenti berlari atau menoleh padanya.
Mentari mengembuskan napas berat. Untuk yang kesekian kalinya ia gagal mencegah aksi bolos kelas tetangganya itu. la sangat berharap Satria masak kelas nanti, tetapi ra sungguh meragukannya. Mustahil terjadi jika cowok itu sudah kabur begini.
***
"Gue keluar dulu, ya," pamit Mentari pada Angel.
Angel mendongak dari ponsel yang tengah dipegangnya. "Ke mana?"
"Nyari dia," jawab Mentari sambil melirik sekilas bangku Satria yang berada tepat di belakangnya.
Angel tersenyum aneh. Ia tertawa saat mendapat tatapan Sinis dan Mentari.
"Kayaknya dia lagi main drum sama anggota band-nya deh," duga Angel.
"Gue juga ngerasa gitu," sahut Mentari. Ia kemudian memberi isyarat pada Angel bahwa akan keluar kelas.
"Semangat!" seru Angel.
Mentari langsung menuju ruang musik. Di sana tempat biasa anak-anak band sekolahnya bermain atau berlatih musik. Satria merupakan drummer salah satu dari tiga band yang ada di sekolahnya. Hobi dan kecintaan cowok itu pada alat musik itu mengalahkan minatnya pada pelajaran. Satria lebih memilih berlatih musik sampai tepar dibanding berkutat dengan materi dan soal. Bolos kelas adalah suatu hal yang sering ia lakukan.
Satu kalimat Satria yang Mentari tak pernah lupa. Aku nggak suka belajar di kelas.
Dan satu kemungkinan yang sungguh tak diingikan oleh Mentari, Satria dikeluarkan dari sekolah karena sering bolos.
"Mentari?"
Mentari berhenti melangkah dan menoleh ke belakang. "Iya?" sahutnya pada Aldi, cowok yang merupakan teman satu band-nya Satria. "Eh, Sat—"
"Dia di kantin," potong cowok tersebut. la hampir hafal alasan Mentari jika berjalan menuju ruang musik. Mencari Satria.
Mentari tersenyum "Makasih," ujarnya.
"Yo," balas Aldi.
Setelah pamit pada cowok itu, Mentari berjalan cepat menuju kantin. Karena belum jam istirahat, tempat itu tidak ramai sehingga ia bisa dengan mudah menemukan sosok yang dicarinya. Satria sendirian, posisinya membelakangi Mentari ketika ia berjalan menghampirinya.
Mentari menarik kursi yang berseberangan dengan Satria tanpa menyapa atau mengucapkan salam terlebih dahulu. Ia menatap mata yang nampak terkejut itu sambil tersenyum tipis. Mentari duduk melipat tangannya di atas meja. Ia mengamati Satria yang tengah menyeruput air es dengan cepat.
"Ya, ampun, aku kaget, Ri. Tapi hebat kan aku nggak keselek?" canda cowok itu, dan berhasil membuat Mentari tertawa.
"Iya, hebat. Lebih hebat lagi kalo kamu rajin masuh kelas," balas Mentari.
"Eh!" Satria teringat sesuatu, la mengecek jam tangannya. "Belum istirahat kok kamu udah keluar? Bolos juga?"
"Sembarangan! Pak Tono nggak masuk. Dia ngasih PR.”
"Kelas free sampe pulang, ya?"
"Mana ada!"
Satria tertawa terbahak
"Nanti masuk kelas, dong, Sat. Kamu udah banyak bolos, Ioh," bujuk Mentari. Matanya sedikit berkaca-kaca saat mengatakan itu.
"Iya, aku masuk kelas abis istirahat ini," kata Satria sambil menatap Mentari. la tersenyum membalas tatapan Mentari yang penuh harap. "Janji kalo ini."
"Oke." Mentari mengangguk.
Satria tersenyum lebar. Cowok itu berdiri, hendak membayar pesanannya. Namun, baru beberapa langkah berjalan ia berhenti dan berbalik pada Mentari. Kursinya kembali ia duduki.
"Kamu mau pesen makan sekarang, nggak?" tawar Satria. "Sekalian aku temenin deh kalo iya."
Mentari tertawa. Ia ingin menjawab iya, tetapi dengan cepat dirinya berubah pikiran. "Kamu emang nggak mau nge-drum dulu? Nggak mau kumpul sama teman-teman band-mu dulu sebelum masuk kelas? Nanti kamu nggak masuk, lagi, karena mau main drum dulu."
Sadar bahwa apa yang dikatakan Mentari itu benar, Satria mengusap tengkuknya. Ia mengangguk pada Mentari sebagai isyarat bahwa ia ingin melakukan apa yang cewek itu ucapkan.
"Ya udah sana pergi."
"Nggak papa aku tinggal?"
"Kamu kan sering ninggalin aku," sindir Mentari sekaligus untuk menyadarkan cowok di depannya kalau ia sering kabur dari hadapannya untuk bolos kelas.
"Yahh ... maaf."
Mentari mengangkat bahu.
"Kalo gitu aku pergi sekarang, ya?" pamit Satria.
"Iya, sana. Jangan lupa abis istirahat masuk kelas."
"Siap, Bos!" seru Satria sambil membentuk sikap hormat. Ia ikut tertawa karena Mentari tertawa. "Dadah," ujarnya sebelum beranjak dari hadapan Mentari.
Mentari menatap punggung Satria yang perlahan menjauh. Ia tersenyum ketika cowok itu tiba-tiba berbalik dan melambaikan tangannya sekilas. Mentari mengikuti Satria dengan matanya sampai ia tidak bisa dilihatnya lagi.
Selang beberapa menit kemudian bel tanda istirahat berbunyi. Mentari sudah mengabari Angel bahwa dirinya ada di sini dan sebentar lagi teman sebangkunya itu bilang akan menyusulnya, sekaligus meminta untuk dipesankan makanan serta minuman sekarang.
Mentari baru saja duduk setelah memesan ketika seorang cewek yang sepertinya adik kelasnya menyapanya. Tanpa diminta cewek itu duduk di kursi yang tadi ditempati Satria.
"Kakak temennya Kak Satria Adichi, ya?"
"Hmm? Iya," jawab Mentari. Perasaannya mulai tidak enak. Jangan-jangan ...
"Kak, dia punya pacar nggak, sih?"
Kan, benar. Mentari sudah bisa menebak kalau ada cewek yang bertanya padanya tentang Satria, pasti inilah yang hendak ditanyakan. Sudah beberapa kali dirinya mendapat pertanyaan seperti ini.
"Kenapa, emang?" tanyanya iseng.
Wajah cewek di seberangnya itu memerah. Ia tersenyum malu.
"Ya, pengen tau aja sih, Kak."
Pasti mau deketin, batin Mentari.
"Kakyaknya sih punya, Dek," dusta Mentari dengan iseng. Ia berusaha keras agar tidak tertawa melihat wajah kecewa adik kelasnya itu.
"Masa sih, Kak?" tanyanya dengan sedih.
"He'em. Kalo kamu nggak percaya, langsung tanya dia aja," saran Mentari dengan jahat.
"Oh, ya udah, deh. Makasih, Kak."
"Sama-sama. Tetap semangat.”
Mentari tersenyum lebar sembari menatap kepergian cewek itu. Ia kemudian tertawa sambil menutup mulutnya. Tawanya meledak saat melihat Angel yang muncul di balik lautan manusia yang datang ke kantin.
"Lo kenapa ketawa-ketawa sendiri?" tanyanya dengan kening berkerut. Cewek itu duduk sambil mengipasi wajahnya dengan tangan.
"Tadi ada yang tanya Satria punya pacar nggak."
"Terus? Lo jawab dia punya pacar?"
Mentari mengangguk.
"Parah, sih, tapi itu Satria yang minta sendiri ya kalo ada yang tanya gitu ke elo."
"Iya. Ya, gue nggak salah, kan. Namanya amanah, hahaha. Lagian gue tambahin juga ke si cewek tadi, kalo nggak percaya,/ langsung tanya Satria aja," papar Mentari.
Angel menelengkan kepalanya. Ia berpikir sebentar. "Terus kalo tanya langsung ke Satria, cowok itu bakal jawab apa?"
"Kadang dia jawab punya, kadang nggak."
"Tapi dia emang nggak punya pacar, kan? Gue lama-lama curiga, deh." Kening Angel yang berkeringat semakin berkerut.
Mentari tertawa terbahak. "Nggak punya dia."
"Lo bukan pacarnya?"
"Bukanlah!"
"Tapi mau jadi pacarnya.” Angel sambil tersenyum meledek.
Mentari menggeleng.
"Nggak salah?"
"Husshhh, diem!"
Mentari menatap tajam Angel yang tertawa dengan raut mengejek padanya. Untung sesaat kemudian pesanan mereka datang sehingga fokus mereka teralihkan. Mereka mengucapkan terima kasih pada bibi yang mengantarkan pesanan mereka ke atas meja.
Keduanya makan dalam diam. Mentari mengunyah makanannya sambil melihat sekitar. Ia berhenti mengunyah saat melihat teman-teman band Satria yang baru masuk area kantin. Sesaat kemudian Satria muncul di antara mereka.
"Ngeliatin siapa, lo?" tanya Angel.
"Quwela," jawab Mantari. Itu nama band Satria. Terdiri dari empat orang. Satu vokalis, satu drummer, dan dua gitaris.
"Wah," gumam Angel. Ia menoleh ke belakang. Bibirnya berdecak kagum melihat beberapa siswi yang mengerumuni cowok-cowok yang cukup populer di sekolah itu. "Btw, mereka bagiin apa, ya?" tanyanya saat melihat Satria dan teman-temannya membagikan kertas entah apa kepada orang-orang yang menghampiri mereka.
"Nggak tau."
"Kirain Satria ngasih tau lo."
"Belum."
Sampailah Satria CS di meja Manteri. Mereka menyapa keduanya dengan ceria, dilanjutkan Satria memberikan kertas entah apa pada Mentari. Mentari menerimanya dan langsung membacanya.
Ternyata kertas semacam selebaran bahwa band Satria akan tampil di sebuah kafe yang berada tak jauh dari sekolah mereka. Kafe yang cukup bagus serta populer di kalangan anak-anak muda. Lusa mereka akan tampil di sana.
"Mau liat, dong," kata Angel.
Mentari memberikan kertas itu padanya.
"Jangan lupa dateng," celetuk Raka, vokalis band itu.
"Liat nanti, gue ada duit nggak," sahut Angel dilanjutkan tawa renyahnya.
"Nonton doang tanpa beli minum atau makan nggak bayar kok, Ngel," ucap Satria.
"Laper, dong," balasnya.
"Bawa bekel," kata Satria asal.
"Emang Mantari."
Perkataan Angel itu membuat mereka menatap Mentari yang langsung menyipitkan matanya.
"Gue liat-liat juga, kali, kalo mau bawa bekel."
Mereka semua tertawa. Selanjutkan Satria dan teman-temannya pamit dari meja dua cewek itu untuk mencari meja lain untuk diduduki. Mentari menatap kepergian mereka, terutama Satria, sampai keempatnya mendapatkan tempat untuk diduduki.
***
Mentari mengetuk pintu rumah Satria, dilanjutkan mengucapkan salam. Terdengar sahutan dari dalam. Sambil menunggu, ia melihat bunga mawar merah di depan rumahnya yang sedang indah.
Mentari mengalihkan pandangan ke depan pintu saat mendengar suara kunci diputar. Sesaat setelahnya pintu terbuka, tampaklah wajah Sinta, kakak kedua Satria. Mentari masuk setelah dipersilakan olehnya.
"Mau ngerjain PR, ya?" tanya Sinta.
"Iya, Kak."
"Satria ada di ruang musiknya, Ri. Samperin aja."
"Oke."
Pintu ruang musik Satria tidak ditutup. Mentari heran tidak ada suara drum dari sana. Biasanya jika cowok itu ada di dalam sana, suara drum-nya terdengar sampai ke luar ruangan. Pintunya tidak dikunci, jadi Mentari masuk setelah mengucap salam.
Ia celingukan ketika sudah ada di dalam. Dirinya terhenyak melihat Satria sedang tiduran di sofa panjang yang ada di ruangan tersebut. Posisinya membelakangi Mentari. Cewek itu mendekat ke sana, lalu duduk di sofa sampingnya.
"Padahal baru jam delapan, tapi kamu udah tidur. Aku yakin kamu belum ngerjain PR sosiologi yang dikumpul besok," monolog Mentari sambil menatap Satria. Ia tidak yakin cowok itu sudah tidur, biasanya ...
"Aku belum tidur, Ri."
Kan, benar. Cowok itu hanya tidur-tiduran.
Satria bangkit duduk. Ia merapikan rambutnya yang berantakan dan tersenyum pada Mentari.
"Ngerjain PR, yuk," ajak Mentari sambil mengangkat buku yang dibawanya.
Satria melihat buku di tangan Mentari dengan lesu. Setelahnya cowok itu kembali tiduran di sofa. Namun, kali ini ia menghadap langit-langit. Matanya ia pejamkan.
"Ih, ayo!" seru Mentari.
"Aku tiba-tiba ngantuk beneran deh, Ri," balas Satria, masih pada posisinya.
"Ayoo, geh. Kamu kerjain satu aja, deh. Sisanya aku," bujuk Mentari lagi.
"Aaah, otak aku buntu," kilah Satria.
"Ya udah, kamu nyontek aja."
"Males nulis."
"Ck, gitu terus kamu, mah. Padahal apa susahnya tinggal nyalin," protes Mentari sambil menatap Satria yang masih memejamkan matanya.
Satria tidak menjawab. Ia masih diam saat mendengar suara kotak pensil yang dijatuhkan oleh Mentari dengan sengaja ke lantai. Masih diam juga saat cewek yang telah dikenalnya sejak dulu itu menyetel lagu dengan volume tinggi dari ponselnya.
Sambil mengerjakan, Mentari sesekali melirik Satria. Wajah cewek itu cemberut. Selalu saja seperti ini. Bisa jadi, satu banding seribu ia berhasil membujuk Satria mengerjakan PR.
"Kamu nggak lupa kan, Sat, udah dapet surat peringatan satu kali karena sering bolos kelas dan lain-lain," kata Mentari di sela-sela lagu yang diputar.
"Iya," sahut Satria.
"Kamu nggak takut dikeluarin?"
"Nggak. Nggak akan juga."
"Bisa aja kalo kamu gini terus."
Mentari menatap cowok di sampingnya dengan sedih. Ia sungguh tidak mau kalau sampai Satria dikeluarkan dari sekolah.
"Kamu juga bisa nggak naik kelas. Tapi, biasanya kalo ada yang nggak naik kelas kan dikeluarin. Jadi ya gitu. Kamu bakal dikeluarin kalo masih gini terus," oceh Mentari. Sebal karena Satria tidak meresponnya, ia mematikan lagu dari ponsel. "Satria, kamu denger nggak?"
"Denger," sahut cowok itu. Masih memejamkan matanya. "Ya, aku tau, Ri. Gimana ya ... aku belum nemuin minat belajar. Nggak satu pun mata pelajaran yang aku suka. Jadinya males, gitu. Aku sukanya ... main drum. Bermusik."
"Tapi kamu harus belajar juga, Sat. Jadi drummer itu bagus. Nge-band bagus, tapi kamu harus bagus belajarnya juga. Masa iya otak kamu mau kosong gitu aja?"
"Ya, nggak papa."
"Gila! Mana bisa gitu!"
Satria tertawa keras.
Hening selama beberapa menit. Mentari melanjutkan mengerjakan soal terakhir. Sedangkan Satria, cowok itu masih setia dalam posisi tidur-tidur ayamnya.
"PR-nya udah selesai. Buruan, kamu salin," suruh Mentari.
"Kamu nggak papa aku nyontek kamu terus?" Tiba-tiba Satria bertanya.
"Nggak." Karena itu salah satu cara supaya Satria bisa bertahan di sekolah, Mentari rela.
"Kalo nggak ada kamu, mungkin aku nggak naik-naik kelas dari SD."
Mentari berdecak kesal. Ia bangkit sambil membawa buku PR-nya. Ia pukulkan benda itu pada lengan Satria yang masih tiduran sambil memejamkan mata. Cowok itu menjerit secara berlebihan. Satria bangkit duduk sambil mengusap-usap lengannya yang dipukul.
"Buruan salin!" seru Mentari.
"Iya, Tuan Putri. Terima kasih banyak."
semangat terus ya
Comment on chapter The Drummer