Ponselku berdering dan ketika kulihat nama peneleponnya, ternyata itu Joshua.
Aku tersenyum senang dan langsung mengangkat panggilan darinya.
“Selamat pagi, Joshua.”
“Ya,” sahutnya. “Hari ini aku free. Aku akan ikut mengantarkan Jason ke Sekolah Santa Maria. Kau sudah bersiap-siap? Kami akan menjemputmu.”
“Benarkah? Pasti Jason senang sekali diantarkan olehmu juga hari ini,” balasku. “Apa? Kalian berdua mau kemari lagi menjemputku? Ah, aku jadi merasa merepotkan, deh….”
“Tidak usah berbasa-basi denganku, Viola,” balas Joshua dengan malas. “Kau bersiap-siaplah. Kami akan tiba di rumahmu dalam setengah jam. Mengerti?”
“Mengerti, Joshua. Oh, iya, apakah kalian butuh sarapan dulu sebelum kita berangkat ke—”
Klik. Ternyata Joshua telah mematikan panggilannya padahal aku belum usai bicara.
Dasar makhluk menyebalkan.
Aku langsung memilih baju terbaikku yang kusimpan di dalam lemari, lalu bersolek seelok mungkin sembari bersenandung dengan riang.
Entah mengapa aku jadi merasa sangat antusias setiap kali akan bertemu dengan Joshua. Padahal seharusnya aku menjaga perasaanku agar tidak patah hati, bukan?
Ah, masa bodohlah. Aku senang, dan itu sudah cukup.
*
“Belajar dengan baik ya, Jason. Beritahukan kepada Suster Monica bila ada materi yang agak sulit untuk kaupahami,” kataku sebelum Jason melangkah masuk ke dalam kelasnya ditemani oleh Suster Monica—kepala sekolah yang juga akan mengajari Jason materi-materi pelajaran tingkat Sekolah Dasar yang belum diketahuinya selama ini.
“Kami akan menunggumu sampai selesai. Kau mengerti, Kawan?” timpal Joshua. “Selamat belajar!”
Jason mengangguk-angguk semangat sambil tersenyum lebar dan mengudarakan kedua ibu jarinya kepada Joshua dan aku. Kemudian Jason masuk ke dalam kelasnya.
“Ayo. Masih ada banyak waktu untuk memilih-milih,” tutur Joshua ketika kami tinggal berdua saja di depan kelas Jason.
“Memilih-milih apa, Joshua?”
“Jangan banyak bertanya. Ikuti aku saja.”
“Baiklah, Joshua.”
*
“Selama ini, saat Jason belajar bersama Suster Monica, kau selalu menunggui Jason di lobi sekolah?”
“Iya, Joshua,” jawabku.
“Kasihan sekali. Kenapa kau tidak menghabiskan waktu dengan jalan-jalan saja?”
“Aku takut Jason keluar lebih cepat dari kelasnya dan mencari-cari keberadaanku jika aku tidak stand by di tempat. Jadi aku menungguinya sampai pelajarannya usai.”
“Mulai hari ini tidak lagi. Aku akan membelikan Jason ponsel, supaya dia bisa menghubungimu kapan pun itu.”
Kira-kira begitulah prolog yang diungkapkan Joshua padaku sewaktu kami berada di mobil, dalam perjalanan menuju Gandaria City yang tetap ramai pengunjung sekalipun ini adalah hari kerja.
Kini Joshua dan aku sudah berada di iBox. Joshua menaikkan sebelah alisnya sambil menatap ke arahku sewaktu dia melihat bahwa aku hanya berdiri di sebelahnya tanpa tahu harus berbuat apa di antara orang-orang kaya yang berlalu-lalang dan ponsel-ponsel mewah yang tak pernah bisa kumiliki sejak dahulu kala.
“Kenapa kau cuma berdiri mematung?”
“Euh… maaf. Lantas, apa yang harus kulakukan, Joshua?” tanyaku dengan bingung. “Bukankah kau yang hendak membelikan Jason ponsel baru?”
Joshua memandang padaku dengan raut malas.
“Kau yang memilihkan ponselnya,” perintah Joshua. “Ambil dua unit. Satu untuk Jason, satunya lagi untukmu. Cepat pilih.”
Rahangku seolah-olah bakal jatuh ke lantai ketika mendengar penuturan Joshua barusan. Apakah aku tidak salah dengar? Joshua ingin membelikan ponsel untuk Jason… dan untuk aku juga? Tidak tanggung-tanggung, lagi. Apple!
“Ma-maaf, Joshua,” balasku dengan lidah yang terasa kelu kala mengucapkannya. “Apakah kau… serius? Ma-maksudku… aku masih punya ponsel sekarang, dan benda itu masih berfungsi dengan baik, apakah harus—”
“Ambil saja dua unit. Kau mau membantah kata-kataku, Viola?” Mata tajam Joshua terhunus tepat ke arahku.
Aku langsung menggeleng cepat. “Tidak… tidak, Joshua. Baik… baik, aku pilih sekarang juga.” Kemudian aku berjalan maju menuju meja display di iBox yang cahaya lampunya begitu terang-benderang.
Demi Tuhan, harga-harga yang tertera pada meja display itu membuat kepalaku cenat-cenut saat melihatnya, sebab ada terlalu banyak angka 0 yang berderet ramai di sana. Dan dari semua ponsel mewah yang terpajang rapi di meja itu, satu-satunya ponsel yang termurah adalah iPhone 11, dengan harga 7,2 juta rupiah per unitnya, entah untuk penyimpanan yang berapa besar.
Aku menoleh pada Joshua, lalu berkata dengan pelan, “Yang ini saja bagaimana, Joshua? Jason pasti suka. Warnanya ungu; warna kesukaannya. Apa kau setuju?”
Kening Joshua berkerut. “iPhone 11? Sungguh, Viola? Kau sedang menghinaku, ya?”
Mataku terbelalak. Aku menggeleng cepat-cepat dengan rasa panik yang meluap-luap.
“Eh…? Tentu saja tidak, Joshua,” bantahku. “Aku hanyalah seorang pemilih yang buruk. Maafkan aku, ya. Kau saja yang memilihkan untuk Jason dan aku, ya. Please…”
Joshua mengembuskan napasnya dengan jengah.
“Kau benar-benar aneh,” tutur Joshua kepadaku. “Semua gadis di Ibu Kota akan berjingkrak kesenangan jika ada seseorang yang ingin membelikan mereka iPhone. Tapi, hanya kau yang kelihatan stres dan tertekan saat melakukannya. Kau benar-benar aneh, Viola.”
Kemudian Joshua mengacak-acak pelan puncak kepalaku menggunakan sebelah tangannya.
…
…
…
Ah, apakah sentuhan Joshua barusan itu nyata? Benarkah…? Rasanya kakiku selemas agar-agar murahan saat ini. Aku sudah siap untuk meleleh ke lantai dan diinjak-injak orang saking mleyot-nya diriku kini.
Belum reda keterkesimaanku atas tindakan super-mengejutkan Joshua barusan, kini lelaki itu sudah memanggil penjaga toko untuk menyebutkan barang yang ingin dibelinya.
“Aku mau membeli 2 unit iPhone 14 Pro Max varian 1 Terabyte. Yang satu deep purple, satunya lagi silver. Berapa banyak yang harus kubayar?”
Pelayan toko itu menghitung-hitung menggunakan ponselnya.
“Totalnya 62 juta rupiah, Pak, untuk 2 unit ponsel tersebut. Akan ada tambahan harga jika Bapak ingin memasang tempered glass dan membeli adapter charger dan softcase untuk masing-masing ponsel itu.”
“Ya, aku ambil semua yang kautawarkan itu,” balas Joshua. “Pembayarannya menggunakan black card.”
“Baik, Pak. Akan kami urus semua barang pesanan Bapak sekarang juga. Mohon kesediaannya untuk menunggu dan menyelesaikan pembayaran dengan bagian kasir ya, Pak. Terima kasih banyak,” ujar si pelayan toko dengan begitu sopan dan wajah berseri-seri lantaran mendapatkan pelanggan kaya-raya seperti Joshua ini.
“Oke.”
Sementara itu, aku masih membeku di tempatku berdiri sedari tadi.
Oh Tuhan, kenyataan apa yang sedang kualami sekarang ini? Sungguh… ini terlalu manis, terlalu mengejutkan, terlalu mirip mimpi di siang bolong bagi diriku….
*
“Wow, Unjo! Kau membelikanku iPhone seri terbaru? Ini sangat keren, Unjo!” seru Jason, girang bukan kepalang ketika dia membuka hadiah pemberian Joshua saat kami sudah berada di dalam mobil.
“Supaya kau mudah menghubungi Kak Viola ataupun aku,” sahut Joshua sambil terus fokus mengemudikan mobilnya. “Bagaimana? Kau suka?”
“Suka sekali, Unjo! Warnanya sangat keren. Terima kasih, Unjo-ku yang baik…!”
“Kak Viola yang memilihkan hadiah itu untukmu tadi. Bahkan, warnanya saja dia yang pilih,” dusta Joshua.
Tentu saja aku tidak berani membantah kalimat itu karena Joshua langsung melirikku yang duduk di kursi sebelah pengemudi dengan tatapan setajam elangnya setelah mengatakan demikian.
“Terima kasih banyak untukmu juga, Kak Viola. Kalian berdua yang terbaik,” ungkap Jason seraya tersenyum kegirangan. “Berhubung aku sudah tidak memiliki ayah dan ibu… maukah kalian berdua jadi ayah dan ibuku? Aku merasa bahagia setiap kali ada bersama kalian. Kalian sudah seperti orangtua yang terbaik bagiku. Bagaimana? Mau ya, Unjo? Mau ya, Kak Viola? Mau, ya? Mau, yaaa…?”
Joshua dan aku langsung berpandangan sehabis Jason bilang begitu. Wajahku pasti sudah semerah tomat sekarang karena salah tingkah.
“Idemu bagus, Jason,” respons Joshua, terdengar ringan tapi membuatku tersentak sejadi-jadinya. “Aku bukanlah masalah, sebab aku bersedia jadi paman sekaligus ayahmu. Yang jadi masalah justru Kak Viola-mu itu. Coba kautanyakan langsung padanya.”
“Siap, Unjo,” tanggap Jason yang duduk di kursi penumpang bagian belakang. “Kak Viola, kau bersedia jadi ibuku, kan? Kau siap menikah dengan Uncle Jo-ku?” Saking bersemangatnya, Jason sampai menyembulkan kepalanya melalui celah lebar yang memisahkan kursiku dengan kursi pengemudi yang diduduki Joshua.
Dan aku tidak tahu harus menjawab apa. Wajahku pias seperti seorang anak kecil yang disodorkan soal matematika super-sulit.
*
Sesampainya di rumah keluarga Joshua, Jason bilang kalau dia kelaparan.
“Kau ingin makan apa, Bung?” tanya Joshua. “Koki kita hari ini memasak pasta. Kau masih mau makan itu?”
“Maaf, Unjo. Bolehkah aku meminta menu yang lain? Tadi pagi sebelum berangkat ke tempat les aku sudah makan spaghetti dan chicken souffle. Sekarang aku menginginkan yang lain.”
“Boleh,” sahut Joshua. “Sebut saja apa yang kaumau.”
Jason menatap ke arahku dengan sepasang mata berkilat jail.
“Aku ingin mencicipi masakan Kak Viola,” ungkap Jason. “Bisakah?”
Ah, Jason kenapa sih hari ini? Dia sepertinya sedang gemar sekali membuatku jadi bulan-bulanan dan salah tingkah. Di mobil sepulang dari sekolah Santa Maria tadi, dia memintaku menjadi ibu baginya—dengan Joshua yang berperan sebagai ayahnya. Dan itu bikin aku grogi setengah mati. Sekarang, di hadapan Joshua dan Noona, serta beberapa pekerja rumah tangga keluarga Joshua, Jason berkata ingin makan masakanku.
Arghhh… rasanya ingin kucubit pipinya yang gembil itu saking sebalnya.
“Kau dengar itu, Viola?” Joshua angkat bicara, membuatku tersadar dari lamunanku yang singkat. “Jason ingin makan masakanmu. Apakah kau bisa masak sesuatu?”
“Euh, aku… aku bisa masak. Tapi… yah, berhubung aku bukan koki, jadi sudah pasti masakanku tidak bisa sepenuhnya menggugah selera makan kalian.”
“Tidak, Kak. Masakanmu pasti enak sekali. Aku yakin itu, kok,” sanggah Jason, mencoba membesarkan hatiku.
Noona pun terlihat antusias dengan ide Jason itu. Di sebelah Perawat Riana—seorang perawat pribadi Noona yang juga bertugas untuk mendorong kursi rodanya ke mana-mana—Noona tersenyum kepadaku dan menganggukkan kepalanya. Secara tidak langsung dia juga memintaku agar mengabulkan permintaan Jason tersebut.
Jadi aku mengangguk dengan mantap.
“Baiklah. Aku yang akan memasak menu untuk makan siang kita hari ini,” kataku, yang lantas disambut dengan tepuk tangan meriah dari Jason, Noona, dan beberapa pekerja rumah tangga yang ada bersama kami saat ini.
Joshua tersenyum miring padaku.
“Kalau begitu, pergilah ke dapur dan buat masakan yang enak,” tantang Joshua.
“Tentu saja. Siapa takut?” Aku membalas senyumnya dengan bangga.
*
Satu-satunya menu yang terlintas di benakku sewaktu disuruh memasak adalah membuat nasi tim khas oriental. Syukurlah aku masih bisa mengingat resep andalan ibuku dahulu itu. Nasinya akan terasa gurih dan lembut karena berasal dari beras yang direbus dalam kaldu ayam dan diberi penyedap rasa, lalu dibubuhkan topping paha ayam fillet dan jamur merang yang sudah terlebih dahulu dimarinasi selama 30 menit bersama saus tiram, kecap manis, kecap asin, tepung maizena dan beberapa bumbu lain sebagai penyedap, setelah itu ditambahkan setengah bagian telur rebus untuk memberikan variasi rasa yang lebih kaya.
Aku mengukus nasi tim itu untuk 4 porsi; Jason, Joshua, Noona, dan aku. Tapi masih banyak sisa nasi gurih dan topping-nya yang belum dikukus, kalau-kalau para pekerja rumah tangga di rumah ini juga ingin makan siang dengan masakanku itu. Mereka bisa mengukusnya sendiri di dapur.
Untuk minumannya, aku membuat jus stroberi yang dingin dan menyegarkan. Cocok sekali disandingkan dengan makanan gurih seperti nasi tim yang sudah selesai kubuat untuk makan siang kami hari ini.
Dengan bantuan salah seorang koki keluarga Sanjaya yang bernama Chef Nolan, aku membawakan makan siang kami ke ruang makan. Di meja makan, Jason dan Noona sudah menunggu kedatanganku.
“Whoa… makanan kami sudah datang. Kali ini Kak Viola—calon ibuku—ini yang memasaknya. Selamat makan, Indonesia!” kata Jason sambil mengarahkan kamera iPhone 14 Pro Max barunya kepadaku. Sepertinya dia sedang merekam video layaknya vlogger di YouTube.
Aku hanya tertawa menanggapi tingkah lucu Jason.
“Terima kasih, Chef Nolan, sudah membantuku membawakan semua menu ini,” kataku. “Masih ada banyak nasi tim di dapur yang belum dikukus. Kalau kalian ingin makan siang dengan ini juga, tolong dikukuskan saja ya, Chef.”
“Baik, Kak Viola,” balas Chef Nolan dengan ramah. “Saya permisi dulu.” Dia menunduk sopan pada kami, lalu kembali ke dapur.
“Jadi ini namanya nasi tim, Kak?” tanya Jason. “Aroma dan penampilannya lezat sekali. Aku tidak sabar mau makan. Noona juga, kan?” Dia menoleh pada neneknya yang tua dan baik hati.
“Tentu saja. Tapi kita harus menunggu Unjo-mu selesai dengan telepon bisnisnya dulu, Jason,” sahut Noona dengan sabar.
Oh, ternyata Joshua sedang menelepon. Pantas saja tidak kelihatan dari tadi.
Tak lama kemudian, Joshua muncul dan langsung duduk di kursi meja makan, yang posisinya persis berseberangan denganku.
“Kau yang memasak ini?” tanya Joshua.
Aku mengangguk. “Cobalah.”
“Awas saja kalau tidak enak.”
Aku hanya nyengir sambil menatapnya.
Lalu kami berdoa dalam hati masing-masing sebelum makan siang. Setelahnya, Jason yang pertama kali menyendok dan memakan dengan semangat nasi tim buatanku.
“Enak… nasinya lembut sekali,” komentar Jason dengan mulut yang masih penuh dengan nasi.
“Jason, habiskan dulu makananmu sebelum bicara. Table manner, ingat?” peringat Joshua.
“Maafkan aku, Unjo. Tapi masakan Kak Viola ini benar-benar enak. Aku sangat menyukainya.”
Rasanya hatiku seperti berbunga-bunga kala mendengar Jason memuji masakanku hingga sedemikian antusiasnya.
“Ya, aku tahu itu, Jason,” timpal Joshua.
Aku syok. Josua juga menyukainya? Benarkah? Oh… ini sungguh-sungguh membahagiakan untukku.
“Aku juga menyukai teksturnya,” bubuh Noona. “Nasinya gurih, lembut, dan menyatu dengan rasa kaldu ayamnya. Topping ayam, jamur, dan telur rebusnya juga mudah digigit. Cocok untuk orang tua sepertiku yang punya masalah dengan makanan bertekstur keras.”
Aku tersenyum manis pada Noona yang penyayang dan baik hati itu.
“Terima kasih banyak, Noona. Aku sangat senang kau menyukainya.”
Noona mengangguk satu kali.
“Kau bisa membuat rumah makan dengan menu nasi tim ini, Viola. Aku yakin orang-orang pun akan menyukainya dan rela membayar untuk menikmatinya,” tutur Noona. “Rasanya tidak kalah dengan menu-menu makanan yang dimasak oleh koki-koki andal yang bekerja di hotelnya Joshua, menurut pendapatku.”
“Sejujurnya, ini memang resep milik ibuku, Noona,” sahutku. “Dulu keluarga kami memiliki sebuah rumah makan kecil yang menyediakan masakan-masakan Chinese seperti nasi tim, dimsum, dan chicken rice ala Singapore. Nama rumah makan itu Penganan Oriental.”
“Keren banget! Jelas saja masakanmu bisa selezat ini, Kak,” sambar Jason. “Aku ingin mampir ke rumah makan keluargamu itu, dong!”
Aku tersenyum tipis. “Sekarang sudah tidak ada, Jason. Sudah lama sekali kami berhenti beroperasi semenjak kebakaran itu terjadi.”
Aku langsung merasakan semua pasang mata—yakni milik Joshua, Jason, dan Noona—terarah tepat kepadaku selepas mendengar kata ‘kebakaran’ keluar dari mulutku.
“Aku menyesal mendengar kabar buruk itu, Viola,” ucap Noona. “Tapi… apakah orangtuamu baik-baik saja?”
Aku tidak dapat menyembunyikan suaraku yang agak bergetar saat mengatakan ini, “Tidak, Noona. Mereka berdua tewas dalam kebakaran yang nahas itu.”
“Oh, Viola. Hatiku hancur berkeping-keping mendengar ceritamu ini. Kau sungguh-sungguh seorang gadis yang tangguh. Aku sangat menghargai ketangguhanmu itu, Viola,” balas Noona dengan rasa simpati yang benar-benar tampak begitu nyata di dalam kedua matanya yang teduh bagaikan awan sore hari.
“Terima kasih, Noona. Aku sudah baik-baik saja, kok, sekarang,” dustaku dengan seulas senyum artifisial yang kupasang di wajahku
Kami menyelesaikan makan siang ini dalam hening. Pembicaraan mengenai keluargaku tadi membuat suasana jadi seolah-olah diliputi awan mendung.
Hatiku terasa sakit mengingat kedua orangtuaku yang pekerja keras, baik hati, dan sangat menyayangiku itu, tetapi kini sudah tiada untuk selama-lamanya.
Tapi bagaimanapun juga, ini sudah menjadi takdir yang harus kutelan. Tidak mungkin aku dapat menghindari apa yang sudah menjadi suratan takdir.
*
Hari sudah malam dan aku bersiap-siap untuk pulang ke rumah.
“Aku akan mengantarkanmu,” kata Joshua ketika aku mengambil tas tanganku dari sofa ruang keluarga.
“Tidak usah, Joshua. Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu hari ini. Tadi pagi kau sudah menjemputku di rumah juga, kan?”
“Ikut saja,” perintah Joshua. “Aku juga akan ke Chandelier setelah mengantarmu pulang. Rumahmu searah dengan hotelku.”
Akhirnya aku menuruti keinginan Joshua.
“Aku pamit pulang kepada Noona dulu ya, Joshua. Mohon tunggu sebentar.”
Joshua mengangguk dan aku langsung bertolak menuju kamar Noona.
Aku pamit kepada Noona yang sedang berbaring di ranjang kamarnya, ditemani Perawat Riana yang setia menunggui wanita tua baik hati itu. Noona melepas kepulanganku dengan satu pelukan hangat yang selalu mengingatkanku pada kedua orangtuaku.
“Terima kasih sudah menyenangkan keluarga kami hari ini ya, Viola-ku sayang,” tutur Noona dengan suaranya yang selembut beledu. “Kau sudah kuanggap seperti anak perempuan yang tidak pernah kumiliki seumur hidupku.”
Aku menahan rasa haru mendengar kalimat teramat manis yang diujarkan Noona kepadaku barusan.
“Terima kasih banyak, Noona. Kau dan keluarga ini sangat-sangat baik kepadaku. Aku juga bahagia ada di sini. Aku pulang dulu ya, Noona. Permisi, Perawat Riana.”
Perawat Riana tersenyum sambil mengangguk dengan sangat sopan kepadaku.
“Hati-hati di jalan, Nak. Selamat istirahat juga untukmu,” tambah Noona sembari melambaikan sebelah tangannya yang agak lemas.
Aku tersenyum manis dan mengangguk, lalu mohon diri untuk keluar dari kamar Noona.
Jason sudah tidur di kamarnya karena kelelahan. Terang saja, seharian ini dia sangat aktif. Tak lama setelah makan bersama, dia meminta kami menontoni kebolehannya memainkan beberapa repertoar sederhana dalam notasi balok dengan pianonya yang luar biasa. Dia memainkan lagu Mary Had a Little Lamb, Twinkle Twinkle Little Stars, dan beberapa lagu klasik lainnya yang pernah kuajarkan kepadanya di ruang latihan, dengan sangat sempurna. Terakhir, dia mempersembahkan lagu Joshua Fought The Battle of Jericho untuk pamannya yang tersayang. Dan Joshua merekam penampilan Jason itu menggunakan ponselnya, kelihatan bangga sekali dengan keponakannya yang begitu cerdas dan sangat menyayangi pamannya itu.
Aku masuk ke kamar Jason, mematikan lampu utama, lantas menyalakan lampu tidur yang diproyeksikan ke langit-langit kamar Jason—motif cahaya dari lampu tidur itu ialah bintang, bulan, dan benda-benda luar angkasa lainnya—supaya istirahat Jason semakin nyenyak.
“Selamat malam, Jason-ku yang manis,” bisikku, kemudian kukecup keningnya dengan lembut. Oh, aku sudah betul-betul menyayangi anak ini setelah sekian banyak hal yang telah kulalui bersama dia dan segenap keluarganya dalam beberapa waktu belakangan.
Sehabis menaikkan selimutnya hingga menutupi dada, aku melangkah keluar dari kamar Jason dengan langkah-langkah pelan, agar tak menimbulkan bunyi berisik yang berpotensi membuat bocah manis itu terbangun dari tidurnya. Kemudian aku keluar rumah untuk menghampiri Joshua.
“Kau sudah siap?” tanya Joshua dari dalam Lexus-nya yang sudah dia keluarkan dari carport.
“Sudah.”
“Naiklah.”
Seperti biasa, aku duduk di kursi sebelah pengemudi. Lexus Joshua langsung melaju keluar dari kompleks perumahan elite ini untuk membelah jalan raya Jakarta yang masih ramai walaupun sekarang sudah hampir pukul 9 malam. Radio di mobil Joshua memutarkan sebuah lagu milik Paramore. Salah satu lagu kesukaanku sejak lama. The Only Exception.
Kulirik Joshua yang duduk mengemudi di sebelahku. Bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara, mengikuti Hayley Williams yang menyanyikan lirik demi lirik dari lagu yang sedih tetapi manis ini.
When I was younger
I saw my daddy cry
And curse at the wind
He broke his own heart
And I watched
As he tried to reassemble it
And my momma swore
That she would never let herself forget
And that was the day
That I promised I’d never sing of love
If it does not exist
Saat tiba di bagian chorus, aku juga ikut menyanyi dengan suara falsetto[1] yang lirih, dan Joshua menyanyikannya pula—kali ini dengan mengeluarkan suara—dengan volume sedang menggunakan chest voice[2]-nya yang berat dan satu oktaf lebih rendah dariku.
But, darling
You are the only exception
You are the only exception
Well, you are the only exception
Well, you are the only exception…
Aku tidak menyangka Joshua juga menyukai lagu ini. Kutolehkan kepalaku ke arahnya dan dia menatapku sekilas sambil tetap berfokus pada mengemudi.
“Tidak ada lagu lain yang dapat menggambarkan kehidupanku dengan sangat baik selain lagu ini,” kata Joshua.
Kalimat Joshua itu mengejutkanku.
“Bagaimana maksudmu?” Aku menaruh fokusku sepenuhnya pada Joshua. “Apa yang kaualami, memangnya? Kalau aku boleh tahu.”
“Panjang. Aku benci menceritakannya.”
“Aku ingin mendengarnya kalau kau tidak keberatan, Joshua,” tuturku dengan jujur.
Joshua mengembuskan napasnya, tetapi tiba-tiba dia tersentak dan mengerem mobilnya dengan mendadak.
“Berengsek! Kenapa semakin padat saja kendaraannya di jalanan ini?” umpat Joshua, kesal.
Aku ikut memandang ke depan. Dan benar saja, banyak kendaraan yang berhenti di sisi jalan entah untuk apa, membuat mobil kami sulit untuk melintas.
Tapi kemudian, mataku melihat kepulan asap yang tebal itu—penyebab dari kemacetan yang menjebak kami saat ini.
Sebuah ruko di sisi jalan terbakar api yang tampak mengerikan, dan kepulan asap tebalnya membubung tinggi hingga langit malam yang hitam legam. Melihat pemandangan itu membuat diriku seketika serasa bagaikan dilahap oleh trauma masa laluku.
Kedua telapak tanganku mengepal keras. Keringat langsung bercucuran di wajahku. Napasku menderu tidak beraturan seakan-akan baru saja menuntaskan lari cepat berkilo-kilometer. Tubuhku bergetar hebat oleh rasa takut yang memuncak sampai ke titik kulminasi.
“Viola… Viola! Ada apa denganmu?”
Aku mendengar Joshua memanggil-manggilku, merasakan sentuhan tangannya di lenganku, di kepalaku… tetapi fokusku sudah telanjur terpancang pada satu titik: ingatan mengenai kebakaran hebat yang membumihanguskan seluruh kebahagiaan yang kupunya dahulu—tidak hanya harta dan benda, melainkan pula kedua orangtua yang amat kucintai.
Perlahan-lahan, kulihat dunia di sekitarku menjadi gelap. Dan aku meraskan seluruh diriku ditelan bulat-bulat oleh kehampaan. Aku masih dapat merasakan ketika Joshua memelukku dan menepuk-nepuk pelan wajahku, sebelum kesadaranku sepenuhnya raib dari raga.[]
[1] Sebuah teknik vokal untuk menghasilkan suara bertekstur tipis dan airy (berangin).
[2] Suara asli. Pada saat berbicara, manusia menggunakan suara chest voice ini. Dalam bernyanyi, chest voice terdengar jauh lebih tebal dan bulat ketimbang falsetto.