Hari-hariku sekarang berpusat pada Jason dan keluarganya. Hari Senin hingga Kamis, aku mengantarkan Jason ke Sekolah Santa Maria untuk mengikuti les mata pelajaran sekolah di sana. Jason kelihatan begitu bersemangat untuk menyandang predikat sebagai siswa aktif kelas 4 SD kelak, setelah dia menyelesaikan ujian-ujian yang diperlukan untuk melangkah langsung ke kelas 4 SD yang bakal dia hadapi nantinya. Hari Jum’at dan Sabtu, aku memberikan kursus piano one-on-one untuk Jason. Bocah sembilan tahun itu memang cerdas, semua ilmu yang diberikan padanya dapat dia serap dengan sangat baik. Bahkan, guru lesnya di sekolah pun berpendapat sama denganku. Itu sungguh tidak mengherankan, mengingat dia adalah keponakan dari Joshua Yamaguchi Sanjaya, seorang eksekutif muda tampan dan cerdas yang jejak kariernya begitu gilang-gemilang di Ibu Kota. Dan pada hari Minggu, aku bersama Joshua, Jason, juga Noona, mengikuti ibadah Minggu pagi di gereja. Kami selalu duduk di satu deret bangku yang sama bagaikan keluarga yang rukun dan bahagia.
Aku benar-benar merasa seperti bagian dari keluarga Sanjaya, sekalipun aku hanyalah pekerja bagi mereka. Tapi satu hal yang kukagumi dari Joshua dan keluarganya adalah, mereka tidak pernah memperlakukan pekerja-pekerja rumah tangga di rumah mereka sebagai budak yang harus ditindas. Mereka memperlakukan semua pekerja—termasuk aku—dengan amat baik. Tidak ada kata-kata kasar, juga tidak ada amarah-amarah yang dilontarkan secara berlebihan. Maka tak heran kalau para pekerja merasa sangat betah mengabdikan diri mereka pada keluarga Sanjaya.
Sekarang hari Sabtu, dan aku sudah tiba di rumah keluarga Sanjaya untuk mengajari Jason main piano. Aku amat antusias, karena hari ini kami akan berlatih memainkan lagu berjudul Joshua Fought The Battle of Jericho, sebuah lagu spiritual yang menggunakan nada dasar La = D atau D minor, yang bernuansa agak dramatis tetapi tidak terlampau sulit untuk dapat dimainkan oleh seorang anak berusia sembilan tahun.
Dan sejujurnya, aku memilih lagu itu untuk latihan kami kali ini dikarenakan terdapat nama ‘Joshua’ di sana, yang mengingatkanku pada pamannya Jason yang tampan dan karismatik itu. Hehehe, maaf.
Aku sudah teramat sangat bersemangat untuk segalanya, tapi itu semua mendadak sirna dan digantikan oleh rasa heran di batas maksimal ketika aku tiba di rumah keluarga Sanjaya.
Kau ingat Ralina Gunawan yang kulihat dalam postingan Instagram tempo hari?
Perempuan supermodel itu ada di sana.
Ya, benar.
Dia. Ralina Gunawan. Ada. Di. Ruang. Tamu. Kediaman. Keluarga. Sanjaya. Saat. Ini.
Maaf, tapi aku memang harus mengatakannya kepadamu dengan penuh penekanan oleh sebab keterkesiapanku sekarang ini.
Joshua ada di rumah, dan Ralina membuntutinya ke mana-mana sambil mengatakan “aku masih mencintaimu, Sayang” dan itu membuatku mengerutkan dahi berkali-kali.
Masih mencintai Joshua, katanya? Euh, apakah… apakah Joshua dan Ralina dahulu pernah memiliki hubungan yang spesial?
Fokusku pada mereka berdua langsung menguap ketika Jason menepuk-nepuk sebelah lenganku.
“Kak, apakah kita jadi berlatih piano hari ini?” tanya Jason.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Situasi di rumah Joshua sekarang benar-benar tidak enak lantaran keberadaan Ralina. Perempuan itu merajuk-rajuk dengan suara cempreng seperti anak kecil yang tidak dibelikan permen. Aku sungguh tidak menyangka. Perempuan secantik dan se-dewi itu bisa bertindak-tanduk sedemikian menyedihkan, demi seorang lelaki pula.
Dan Joshua bagaikan gunung es yang maha-dingin. Tidak satu detik pun matanya tertuju kepada Ralina. Joshua seperti tidak menganggap nyata kehadiran Ralina yang memohon-mohon cinta kepadanya berulang-ulang layaknya kaset yang rusak. Aku tidak tahu hal atau kejadian apa yang pernah terjadi di antara mereka. Tapi yang jelas, itu pasti bukanlah kejadian yang menyenangkan.
“Pergi sekarang juga,” desis Joshua dengan dingin pada akhirnya.
“Tapi, Sayang… aku kembali lagi ke kota ini untukmu dan—”
“Pergi sekarang!” Suara Joshua berubah menjadi seruan. Tetapi Ralina masih bergeming di tempatnya.
“Joshua, aku merindukanmu—”
“KELUAR DARI RUMAHKU, BERENGSEK!” Kini suara Joshua berubah jadi bentakan yang teramat sangat keras dan tidak terbantahkan.
Semua orang tersentak, termasuk aku. Tubuhku sampai gemetaran menatap betapa mengerikannya sikap dingin yang ditunjukkan Joshua bersamaan dengan amarah yang diledakkan lelaki itu.
Ralina menangis, dia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sejurus kemudian, dia berlari meninggalkan ruang tamu rumah Joshua yang luas. Dan semuanya sekonyong-konyong menjadi hening, berbeda sekali dengan situasi sebelumnya.
Pada saat itulah mataku bersepandang dengan mata tajam Joshua. Aku sampai tidak yakin apakah aku harus tetap pada posisiku atau membuang pandang saja daripadanya.
Lalu kulihat Joshua berjalan menghampiri aku dan Jason.
“Lupakan semua itu pernah terjadi. Mengerti?” Kata-kata itu ditujukan kepada Jason dan aku. Jadi kami mengangguk, sekalipun aku tahu bahwa aku takkan pernah bisa melupakan kejadian hari ini.
“Jason, latihan pianomu di-reschedule jadi besok. Hari ini aku ada urusan dengan guru pianomu.” Sepasang mata tajam itu lantas beralih kepadaku, dan jantungku langsung berdebar-debar. “Kau. Ikut aku sekarang.”
Joshua berjalan keluar dari rumahnya menuju carport, tempat di mana dia menyimpan mobil-mobilnya. Aku melangkah pelan mengikutinya dari belakang dengan perasaan takut yang membuncah luar biasa.
*
Tidak ada konversasi apa pun di antara Joshua dan aku selama hampir 3 jam. Ini sungguh membuatku takut. Sebab aku tidak tahu apa yang hendak Joshua lakukan dengan mengajakku pergi menggunakan mobilnya yang saat ini sudah melewati jalanan menanjak dan berputar-putar yang di kanan-kirinya terdapat perkebunan teh di dataran tinggi. Kami sudah berkilo-kilometer jauhnya dari Jakarta.
Kemudian Joshua membelokkan mobilnya memasuki areal perkebunan teh itu. Di luar hujan, ditambah lagi dengan udara dingin dari dalam mobil yang membuatku menyesal kenapa aku tidak bawa jaket dari rumah dan malah cuma mengenakan kemeja lengan pendek.
“Viola. Aku ingin kau menjawab pertanyaanku dengan jujur,” tiba-tiba Joshua berkata begitu setelah perjalanan panjang kami usai.
Mobil sudah berhenti, hujan masih turun di luar, dan ketika kutoleh Joshua, lelaki itu kelihatan… lelah. Aku bahkan tidak dapat menemukan kata paling cocok yang mampu mendeskripsikan raut wajahnya saat ini.
“Aku pasti jujur kepadamu, Joshua,” balasku dengan setengah suara.
“Kau punya hubungan apa dengan si berengsek Reynald?”
Aku tersentak sejadi-jadinya mendengar nama itu keluar dari mulut Joshua.
“Ma-maksudmu?”
Joshua menatapku dengan tajam. “Aku melihat Reynald melambai-lambaikan tangannya sambil tersenyum kepadamu di restoran itu—Mulan’s Recipe—ketika kita sedang makan malam. Aku tahu kau dan dia saling mengenal. Ceritakan padaku soal hubungan apa pun itu yang pernah kalian miliki sebelum ini.”
Ini benar-benar membuatku takut. Padahal aku dan Reynald dulunya hanyalah teman sekolah di SMA 70 Jakarta. Aku adik kelasnya. Dan tidak ada yang spesial dengan itu. Yah, tidak sedatar itu juga, sih. Karena dulu Reynald sangat menyukai dimsum buatan ibuku, jadi dia sering mampir ke rumah makan kecil milik keluargaku untuk memesan seporsi dimsum dan memakannya di tempat.
“Aku dulu adik kelas Reynald di SMA 70. Sewaktu kami bertemu secara tidak sengaja di Mulan’s Recipe kala itu, aku hanya menunjukkan manner-ku kepadanya karena kami dulu memang saling mengenal. Tapi hanya sebatas itu. Kami tidak memiliki hubungan apa pun yang lebih istimewa,” jelasku dengan gamblang.
“Aku amat benci si berengsek itu,” desis Joshua. “Ralina dulu menyelingkuhi aku karena dirinya.”
Kedua bola mataku terbelalak maksimal tatkala Joshua mengucapkan fakta mencengangkan itu.
“Be-benarkah itu? Kukira Reynald… bukanlah orang seperti itu.”
Joshua menatapku ribuan kali lebih tajam daripada sebelumnya.
“Kau membela si berengsek kakak kelasmu itu?”
“Tidak… tidak begitu, Joshua,” selaku dengan cepat. Takut setengah mati bila aku salah bicara di depan lelaki yang tengah dirundung amarah atas nostalgia masa lalunya ini. “Aku hanya tidak menyangka… Reynald ternyata seperti itu. Bisa-bisanya dia menjalin hubungan dengan kekasih orang lain.”
“Itulah kenyataannya. Dua orang itu memang mirip. Yang satu perempuan jalang, yang satu lagi lelaki berengsek. Pasangan paling serasi abad ini.” Joshua tertawa pendek, kedengaran sangat sinis dan penuh rasa jijik.
Ada hening yang sejenak menggantung di udara. Aku dapat mendengar tetes-tetes hujan kian menderas menghantam kaca mobil Joshua dan membuat ribuan jejak air mengalir di sana.
“Kalau begitu…,” aku memberanikan diriku bertanya padanya, “kenapa Ralina sekarang kembali lagi kepadamu? Apakah dia dan Reynald sudah tidak bersama?”
“Persetan dengan mereka,” umpat Joshua. “Yang kutahu, pasti wanita murahan itu sekarang sudah miskin. Makanya dia ingin kembali lagi kepadaku. Alasan utama dia berselingkuh dariku dulu juga karena uang, aku bisa menduganya. Reynald jauh lebih kaya dari aku. Dia anak pengusaha batubara yang berlimpah harta. Sementara aku, dulu aku hanyalah mahasiswa biasa yang belum memiliki penghasilan apa pun. Tapi di atas segalanya, aku tidak akan pernah bisa memaafkan seorang pengkhianat sampai kapan pun. Aku membenci orang-orang itu.”
“Tapi kau sudah membalas mereka dengan pencapaianmu saat ini, Joshua,” responsku. “Lihat dirimu yang sekarang. Ralina pasti menyesal meninggalkanmu demi lelaki lain waktu itu. Dia sudah menyia-nyiakan seorang lelaki pekerja keras, disiplin, cerdas, sukses besar, dan baik seperti dirimu. Kau harus tahu itu.”
Aku tidak percaya aku mengatakan hal tersebut kepada Joshua. Aku menunduk untuk menatap sepasang flat shoes hitam yang sedang kupakai kini, demi meminimalisasi rasa malu akibat sudah memuji-muji Joshua secara langsung di depan matanya. Tapi setelah kupikir lagi, itu bukanlah pujian, itu adalah pengungkapan fakta. Karena Joshua memang persis seperti yang kukatakan tentangnya baru saja.
“Terima kasih.”
Aku menoleh ke kanan. Dan bukan tatapan setajam elang yang kutemukan dari Joshua. Yang kini dia berikan padaku adalah tatapan dari seorang sahabat yang benar-benar berterima kasih. Lalu aku tersenyum kepadanya.
“Kita pulang sekarang. Jason pasti sedang menunggu kita,” ucap Joshua, memakukan pandangnya ke depan.
“Iya, kau benar.”
Suhu rendah ini benar-benar membunuhku. Sedapat mungkin aku menyembunyikan reaksi menggigilku terhadap rasa dingin ini, agar Joshua tidak mengetahuinya.
Tapi kemudian, bukannya melajukan mobilnya untuk pulang ke Jakarta, Joshua malah turun dari mobil tanpa menghiraukan hujan yang masih turun deras di luar, lalu berlari ke belakang, ke arah bagasi mobil.
Sesaat lamanya dia mencari-cari sesuatu di bagasinya. Kemudian dia kembali masuk ke mobil, dengan sudah mengenakan jaket yang membungkus tubuhnya.
“Pakai ini. Aku tidak mau kau sakit,” kata Joshua sambil menyerahkan sebuah sweter berwarna hitam kepadaku.
“Te-terima kasih, Joshua….”
Joshua hanya diam dan sibuk memundurkan mobilnya untuk kembali ke jalan raya.
Aku mengenakan sweter pemberian Joshua tadi dan merasa jauh lebih hangat setelahnya.
Rasa hangat tidak pernah semenyenangkan ini sebelumnya. Aku berani bersumpah.[]