Antrean supermarket cukup panjang. Aku merasa bosan dan pegal karena sejak tadi aku berdiri mematung untuk menunggui giliranku membayar belanjaan bulananku yang tak kunjung tiba. Jadi, kuletakkan saja keranjang berisi belanjaan itu ke lantai dan mulai membunuh kejenuhan dengan membuka Instagram melalui ponselku.
Pada menu explore, aku mengklik asal sebuah postingan. Dalam postingan itu terdapat beberapa foto seorang wanita cantik nan seksi bertubuh langsing dan tinggi semampai layaknya supermodel papan atas. Ketika kubaca caption-nya, ternyata dugaanku tidak meleset. Rupanya wanita bak bidadari tadi adalah seorang model asal Indonesia yang sempat berkarier juga di kancah internasional. Dalam caption itu tertulis pula, bahwa model seksi bernama Ralina Gunawan itu sekarang sudah pulang kembali ke kota asalnya, yakni Jakarta, untuk berkarier lagi di Indonesia.
Aku sepertinya pernah mendengar nama itu. Ralina Gunawan. Ya, benar, seingatku, dulu dia memang sering mondar-mandir di acara televisi lantaran selain berprofesi sebagai model, dia juga piawai menyanyi solo. Aku sempat menontoninya beberapa kali, meskipun aku bukanlah penggemarnya. Sejak dulu dia memang sudah cantik, tapi sekarang… dia kelihatan jauh lebih cantik dan anggun laksana dewi yang turun dari surga.
Aku ingin membuka kolom komentarnya, tapi rupanya giliranku untuk membayar barang belanjaanku sudah tiba. Lantas kumasukkan ponselku ke dalam saku celana dan langsung kuserahkan keranjang belanjaanku ke atas meja kasir.
*
Di trotoar depan supermarket, aku sedang menunggu ojek online-ku tiba sambil menjinjing satu plastik besar berisi belanjaan bulananku.
Tiba-tiba seseorang menghampiriku dan membuatku sedikit terkejut.
“Kau Viola, kan? Viola Zefanya alumnus SMA 70 Jakarta?” tanya seorang gadis berambut pendek kepadaku.
“Euh… iya. Itu memang benar. Tapi, maaf, kau ini siapa ya?”
“Astaga, Viola, apakah kau sudah benar-benar melupakan aku?” seru gadis itu setengah tak percaya.
Aku meneliti gadis di depanku ini dengan cermat dari atas sampai bawah. Kulitnya putih, dia sedikit lebih pendek dariku, dan ada tahi lalat di dagu kirinya. Oh, itu dia! Astaga, aku baru mengenalinya sekarang. Dia… dia pernah jadi teman sebangkuku sewaktu kami masih bersekolah di SMA.
“Ninna? Kau Ninna, kan—teman sebangku aku waktu kelas sebelas?”
“Nah, akhirnya kau mengenaliku juga, Viola,” katanya sambil tersenyum lalu memelukku singkat.
“Aku tidak percaya kau sekarang selangsing ini, Ninna,” selorohku. “Dulu tubuhmu berisi dan menggemaskan. Tapi sekarang… kau berkali-kali lipat lebih cantik daripada dahulu.”
Ninna menutupi mulutnya dengan sebelah tangan, tersipu-sipu atas pujianku yang memang aku ungkapkan dengan setulus hati.
“Terima kasih, Viola,” sahut Ninna. “Kau juga semakin cantik. Wajahmu tampak cerah dan ramah, masih persis seperti yang ada dalam ingatanku mengenai dirimu.”
“Lama sekali kita tidak bertemu ya, Ninna? Kau dengan siapa kemari?” tanyaku.
Lalu Ninna celangak-celinguk sebentar seperti tengah mencari keberadaan seseorang. Lantas dia kembali menatapku lagi.
“Aku sendirian,” balas Ninna. “Biasalah, sama sepertimu, aku juga ingin belanja bulanan di supermarket ini.”
“Begitu, ya?”
“Begitulah,” jawab Ninna. “Oh ya, Viola, mumpung aku bertemu denganmu di sini. Aku mau memberikanmu sesuatu.” Kemudian dia merogoh-rogoh dari dalam tas kecil yang dibawanya.
“Sesuatu? Sesuatu apa itu, Ninna?”
“Ini. Ada undangan reuni untukmu.” Ninna mengangsurkan sebuah kertas bertekstur agak keras kepadaku. Pada bagian depannya, aku dapat membaca nama penerimanya (To: Viola Zefanya).
Aku meraih undangan tersebut dari tangan Ninna.
“Kau baca sendiri saja ya, Viola, untuk keterangan waktu dan tempat reuninya. Kalau ada sesuatu yang hendak kautanyakan, kau bisa hubungi aku nanti; nomor WhatsApp-ku juga tertera di undangan itu, kok,” jelas Ninna. “Omong-omong, aku harus segera ke supermarket sekarang. Aku ingin memasak sehabis dari sini.”
“Baiklah, Ninna. Terima kasih atas informasi dan undangannya, ya. Senang sekali bisa berjumpa denganmu lagi,” kataku.
“Aku juga senang, Viola,” sahut Ninna. “Jangan sampai tidak datang, ya. Kehadiranmu sangat ditunggu oleh teman-teman seangkatan kita, Viola.”
Aku cuma tersenyum untuk merespons kata-kata Ninna barusan.
Kemudian Ninna pamit untuk pergi berbelanja. Sementara itu, ojek online yang kupesan juga sudah sampai. Aku langsung naik ke boncengan si driver, lalu kuda besi yang kutumpangi itu langsung melaju membelah lalu lintas malam di kota Jakarta yang tidak pernah tidur.
Jujur saja, pertemuanku dengan Ninna sesaat yang lalu itu terasa janggal. Tapi aku tidak tahu kenapa. Mungkin hanya perasaanku saja.[]