Pagi ini Prasetya berpamitan kepada keluarganya untuk berangkat ke Bogor, tentu saja mereka tahu alasannya, kecuali Bagas. Bocah kelas enam SD itu hanya mengetahui bahwa ayahnya ke Bogor karena ada urusan penting. Baginya jawaban seperti itu cukup membuat dirinya berpikir bahwa urusan penting itu menyangkut pekerjaannya sebagai bos. Namun, kenyataannya urusan penting yang dimaksud itu adalah urusan tentang masa lalu Prasetya yang entah akan menyakiti keluarganya saat ini atau enggak.
Saat Prasetya tengah bersiap dengan mobilnya, Tira, Ninda, juga Bagas melambaikan tangan kepada Prasetya yang juga membalasnya. Suasana rumah mendadak hening, Tira lebih memilih untuk beristirahat di kamarnya. Bagas lebih memilih menyibukkan diri dengan sosial media, sementara Ninda meminta Regan untuk membawanya jalan-jalan menjelajahi kota Jakarta.
Ninda bersiap-siap, mulai dari mandi, memilih pakaian yang nyaman dan pantas, dan yang terakhir merias wajahnya dengan berbagai macam alat-alat make up. Kaus putih, berpadu jaket biru muda, juga jeans menjadi pilihannya.
Dari luar rumah, suara klakson mulai ramai, segera Ninda beranjak dari kamarnya. Tanpa basa-basi Ninda langsung naik dan memeluk Regan.
“Kita mau kemana?” tanya Regan.
“Serah deh, yang penting menghibur,” jawab Ninda, yang juga bingung dengan acara yang dibuatnya sendiri.
Tempat pertama yang dikunjungi mereka berdua adalah Monumen Nasional. Tugu yang tingginya 100 meter ini adalah ikon kota Jakarta, di sana mereka berjalan santai menikmati suasana yang terjadi di sekitaran Monas. Banyak orang yang sedang menikmati hari liburnya dengan anak-anak, mulai dari acara lari-larian, atau hanya sebatas jalan-jalan sambil menikmati camilan.
Tiba-tiba saja Ninda tersenyum melihat beberapa anak yang sedang bermain gelembung, entah kenapa ia sangat tertarik dalam pandangan pertama oleh permainan itu. Ninda menghampiri mereka dan ikut bermain bersamanya.
Melihat hal itu, Regan hanya bisa mengukir senyum bahagia. Perlu diingatkan, permainan yang ditujukan untuknya dari Rama sangat luar biasa. Regan menghampiri mereka, dan turut bermain.
Mereka jingkrak-jingkrak sambil tertawa, saling mengejar dengan diiringi canda dan tawa, mengejar gelembung berusaha untuk memecahkannya. Di sela-sela itu, Regan menghampiri Ninda yang kerap meniup gelembung. Dari belakang Regan memeluk Ninda, menjatuhkan dagunya di pundak Ninda, lalu meniup gelembung bersama.
“I love you ….” Ucap Regan akhirnya.
Ninda hanya mampu tersenyum. “Lepasin, aku malu, banyak anak-anak di sini,” bisik Ninda, saat beberapa pasang mata anak-anak mengarah kepadanya.
Regan sedikit berontak, lalu merebut wadah dan alat pembuat gelembung dari tangan Ninda. Gerak-gerik Regan sangat lincah, membuat anak-anak yang beberapa detik lalu bengong melihat ulahnya memeluk Ninda, menjadi heboh kembali. Kini sangat kompak, di mana Regan bertugas meniup gelembung dan yang lainnya bertugas untuk memecahkannya, termasuk Ninda.
O0O
Lebih dari sejam Regan dan Ninda bersenang-senang di Monas. Regan mengajak Ninda untuk menikmati sarapan menu pedagang kaki lima. Mereka berdua menghampiri pedagang bubur di sekitran sana.
“Gan, aku mau nanya sama kamu, kalo misalkan masa lalu salah satu orang tuamu menyimpan rahasia, lalu terbongkar semuanya dan menyakiti sisi lain. Ya, misalkan ayahmu pemilik masa lalu itu, dan menyakiti kamu sama ibumu.” Regan menatap penuh Ninda, kemudian memalingkan wajah darinya.
“Hm, ya, aku berontak dong, meminta keadilan.” Regan tersenyum sambil menuangkan air ke dalam gelas. “Kenapa?” tanya Regan, melihat Ninda terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Enggak kok, nanya aja.”
Tak lama dari itu dua porsi bubur tersaji di hadapan mereka. Regan mengaduk bubur itu hingga semua topping bubur tersebut tercampur rata, Ninda menatap aneh terhadap apa yang dilakukan oleh Regan.
“Kok diaduk sih, wleee.” Ninda menggeleng keras.
“Emang kenapa?” tanya Regan, kemudian menyantap suapan pertama. “Mau nyobain?” sambung Regan.
“Enggak, lihatnya aja jijik, apalagi memakannya, ih.” Ninda memalingkan wajahnya dari pemandangan itu.
“Enak tau, jadi lebih terasa nikmatnya. Aaaaa….” Regan menyodorkan sesendok bubur kepada Ninda sambil membuka mulutnya. “Ayo, ini kereta, kereta, nyiung, jegujeggujeg….” Regan memainkan sesendok bubur itu seperti merayu anak kecil yang sulit makan.
“Apaan sih Gan, aku udah baligh, udah delapan belas tahun loh,” tegur Ninda.
“Cobain dulu, satu suap aja, ya?” rayu Regan kukuh.
“Enggak.” Ninda menolak.
“Enggak banyak kok, hanya lima puluh butir beras yang hancur.” Regan menatap satu sendok bubur yang disodorkan kepada Ninda.
“Enggak mau Regan,” tolak Ninda.
“Setengah sendok, ya?” rayu Regan, lagi.
“Gan, plis, aku enggak suka yang diaduk.” Ninda tetap menolak.
“Cukup perasaan kalian yang diaduk supaya bercampur sempurna, tapi bubur jangan,” celetuk penjual bubur tanpa menoleh ke arah mereka.
Regan dan Ninda menatap pedagang bubur yang sedang sibuk membersihkan wadah-wadah, yang mereka terka bahwa umur si penjual bubur itu 35 tahun.
“Bapak bucin?” Ninda turut berceletuk.
“Maklumlah, tiga puluh tujuh tahun jomblo. Lagi pula kalo enggak bucin di jaman sekarang, kayaknya bakal aneh.” Penjual bubur itu terkekeh lalu bergabung dengan mereka berdua. “Kalian pacaran, kan?” tanya penjual bubur itu.
Keduanya mengangguk.
“Kalo misalkan kalian langgeng sampai nikah nanti, jangan ada keributan kayak tadi. Kalian harus saling memahami, jangan memaksa seperti itu.” Penjual bubur itu tersenyum.
“Tuh, Gan, kamu enggak usah maksa aku,” ujar Ninda merasa tertolong oleh penjual bubur itu.
“Kamu juga jangan jijik, kalo lihat pacar kamu adalah tim aduk sebelum makan bubur. Dan kalo kamu nanti jadi istrinya dia kamu harus nurut, jadi karena dia meminta kamu untuk makan bubur yang diaduk kamu harus mau, jangan membantah enggak baik.” Penjual bubur itu beranjak karena ada pembeli.
Ucapan penjual bubur itu berhasil membuat Ninda terbelalak, sekaligus mengundang senyum penuh kemenangan dari bibir Regan. “Ayo makan, satu sendok bubur ini. Hitung-hitung latihan jadi istri yang taat sama suaminya.” Regan mengulum tawa, melihat Ninda yang bengong masih tidak percaya.
“Ayo makan, kasihan pacarnya.” Kini pembeli yang berceletuk. Sementara itu Regan tersenyum senang.
Ninda masih bungkam, dan memberikan tatapan kesal kepada pembeli itu. Dan sialnya, pembeli semakin banyak, dan yang lebih sial mulut mereka semakin menjadi-jadi. Dan yang lebih sial-sial penjual bubur semakin berulah mendukung pembelinya. Dan yang benar-benar sial, Regan pacarnya malah melebarkan senyumnya, semua dukungan orang yang menyaksikan ini layaknya nyawa bagi Regan.
“Ayo sayang, aaaa….”
Regan benar-benar menyebalkan!
Akhirnya mau tidak mau, Ninda membuka mulutnya dengan keadaan mata terpejam. Satu sendok bubur yang teraduk rata berhasil masuk ke mulut Ninda, membuat gadis itu menggelengkan kepalanya berkali-kali. Setelah bubur itu mendarat dengan selamat di perutnya, semua orang yang menyaksikan hal ini bertepuk tangan,
Regan tersenyum, lalu merangkul Ninda dan mencium dahinya. “I love you, Ninda sayang.”
Ninda sangat kesal kepada Regan. “Untuk saat ini, mulutku berkata I hate you—“
“Enggak apa-apa, kalo hati I love you.” Regan mencium dahi Ninda, lagi.
Pacar kok nyebelin!
O0O