Regan melempar tas ke sembarang arah di kamarnya, tubuhnya sangat lelah. Sekejap matanya terpejam, sekejap pula matanya terbuka berusaha membebaskan rasa penat yang membelenggu tubuhnya. Perlahan ingatannya memutar kejadian tadi ketika di kantin, gadis misterius itu tiba-tiba masuk ke dalam putaran ingatan.
Namanya Naila, gadis baru yang aneh dan memang sangat menyeramkan. Tunggu, kenapa gue harus mikirin dia, gumamnya.
Baru saja ia hendak mengempaskan tubuhnya, Risma—adiknya—datang mengetuk pintu kamarnya pelan. Risma Dwi Megantara, bocah SMP kelas satu. Dia baru saja pulang dari acara kepramukaan di sekolahnya kemarin. Seperti celotehnya semenjak sang ayah pergi, Risma lebih menyibukkan diri di sekolahnya, merasakan kebahagian di sana, merasakan rangkulan keluarga yang berselimut organisasi, meskipun pada kenyataannya Risma sangat merindukan suasana keluarga aslinya seperti waktu dulu.
“Kak, kita makan bareng sama ibu yuk?” ajak Risma, mematung di ambang pintu kamar kakaknya.
“Iya.” Regan bangkit dari duduk, membuntuti adiknya yang tengah masuk ke kamar ibunya. Di sana sudah tersaji makanan, dan ibu masih sama keadaannya, sering melamun. Namun, tempo hari, Bi Surti telah mengabari bahwa ibunya sudah mau berkomunikasi lagi meskipun hanya sekata-dua kata.
Risma duduk di kursi paling dekat dengan wajah ibu, dengan penuh kasih sayang Risma mengelus wajah ibunya. Ibu menoleh ke arah mereka, tanpa senyum, matanya penuh duka yang terus memerangi kesehatannya. Tidak ada percakapan apa pun selain dari dentingan sendok makan dengan piring serta suara mengunyah yang mengisi kamar tidur ini.
“Bu, Ibu lekas sembuh ya, jangan memikirkan apa-apa dulu. Ima, sangat menyayangi Ibu,” ujar Risma sambil memeluk ibunya yang terbaring lemah.
Regan yang menyaksikan orang-orang yang dicintainya memadu kasih sayang, seketika perasaannya sangat terpukul. Kadar kebencian terhadap ayahnya semakin meningkat, bukannya menjadi pemimpin yang baik dalam keluarganya malah memilih luntang-lantung memetik rayuan duniawi.
Risma beranjak dari kamar meninggalkan Regan yang membeku, sibuk dengan pikirannya sendiri. Ibunya memanggil lirih namanya, membuat Regan sedikit tersentak dan perlahan ia mulai menghampirinya.
“I-iya, Bu,” Regan duduk di kursi yang sebelumnya ditempati oleh adiknya.
“Bagaimana kabar ayahmu? Kapan dia pulang? Setahun lebih dia enggak pulang ke rumah?” Deretan pertanyaan itu berhasil meluluhlantakkan hatinya, bagaimana ia tahu kabar ayahnya di sana, jika sekalipun ia tidak pernah menghubunginya.
“Gan?” lirihnya lagi.
“Em, ayah baik-baik saja, dan sebentar lagi juga pulang. Yang penting, Ibu istirahat yang cukup, kondisi ibu masih sangat lemah. Dan benar kata Risma tadi, Ibu jangan dulu memikirkan apa-apa, ya. Aku menyayangimu, Bu.” Regan mengecup dahi ibunya, sebelum dia pergi dari kamar ibunya.
Sebangsat apa pun Regan di luar sana, seperti inilah sikap Regan dalam keluarganya. Jika cinta yang besar mendominasi hatinya, semua sikap Regan yang buruk runtuh begitu saja. Ya, cinta mengubah segalanya. Regan kembali mengurung diri di kamarnya, baru saja ia telah melakukan kebohongan terhadap ibunya. Toh, apa pun yang ia lakukan untuk kebaikan ibunya. Ia tidak mau kondisi beliau kembali menurun, hanya karena memikirkan pria yang tidak tahu diri itu. Ia masih ingat betapa menusuknya ucapan dia kepada ibunya.
“Sudah! Kamu enggak usah ngatur-ngatur aku! Kalo perlu selama aku kerja di sana, jangan ganggu dengan teleponmu! Aku benar-benar sibuk! Untuk mengurus pekerjaan di sana.”
Sudah jelas, dia lebih mementingkan pekerjaannya dibandingkan istrinya apa lagi anak-anaknya. Regan menumpangkan tangan, di atas pagar balkon kamarnya. Di tatapnya, ribuan bangunan yang berlomba-lomba siapa yang paling tinggi. Sekarang perasaan Regan benar-benar tidak terarah. Benci, kecewa, dan satu lagi pikirannya masih berusaha menayangkan kejadian tadi di kantin.
Matahari telah pulang ke persinggahannya, sementara itu Regan masih berdiam diri menatap bangunan-bangunan itu yang perlahan-lahan melahirkan beberapa titik cahaya.
“Kak, apa benar bahwa ayah akan pulang dalam waktu dekat? Padahal setiap harinya aku selalu berusaha menghubunginya, tapi tidak pernah dapat balasan. Aku sangat mengkhawatirkannya,” ujar Risma tiba-tiba. Ia menghela napas berat. “Dan aku sangat merindukan dia.” Risma turut menepikan tanganya terhadap pagar balkon, lalu menoleh ke arah kakaknya.
Regan tersenyum miris, sebelum menatap adiknya itu. “Buat apa pria itu dirindukan? Dia juga tidak merindukan kita.”
“Mungkin ayah lagi sibuk, Kak.” Risma memalingkan wajah dari kakaknya, menatap deretan bangunan tinggi dihadapannya.
“Sibuk? Tapi, kan, setidaknya bisa menghubungi balik, kalau kamu selalu menghubunginya, tapi faktanya tidak, kan?” Regan menatap adiknya begitu lekat. “Jika ibu menanyakan tentang ayah, kamu harus mengolah kata sebelum berucap, agar ibu tetap baik-baik saja.” Pungkasnya.
O0O
Regan meraih ponselnya, dan mulai terjun ke dunia game online. Selama permainan di mulai, tidak ada seruan apa pun. Ekspresinya begitu datar dan dingin, sampai-sampai ia tidak menyadari jam telah menunjukkan pukul sembilan malam. Kerongkongannyan terasa kering, sehingga ia memutuskan untuk mengambil minuman dingin di lantai dasar. Saat melewati kamar ibunya, ia menghentikan langkahnya dan mengintip sebentar ke dalam kamar beliau.
Perlahan senyum tipis tertoreh kala dua mata miliknya memotret Risma yang turut tertidur di samping ibunya dengan posisi duduk. Regan melanjutkan langkahnya, untuk meminum beberapa teguk minuman dingin di sana.
Pak Yayan dan Bi Surti mungkin sudah istirahat beberapa menit yang lalu, rumah sebesar ini tampak hening. Tidak ada lagi canda dan tawa yang selalu terukir di meja makan ini seperti tahun-tahun lalu.
Setelah itu, Regan pergi ke kamar ibunya untuk membangunkan Risma yang tertidur dengan posisi duduk. Ia takut, Risma akan mendapatkan sakit pinggang jika posisi seperti itu. Niat untuk membangunkan ia urung, merasa tidak tega jika harus membangunkannya. Secara perlahan Regan mengangkat tubuh Risma bak pangeran yang membawa putri raja.
Sesekali Risma mendesah dalam tidurnya, apa yang dilakukan Regan tidak membuatnya terusik atau pun terbangun. Saking lelahnya—mungkin—jadi Risma tidak menyadari hal itu.
“Kakak sayang kamu, Ris.” Regan mengecup kening adiknya.
Regan berlalu mengalunkan langkah kaki di tengah keheningan rumah yang besar ini. Bukannya tidur, Regan kembali menikmati panorama gedung-gedung tinggi di balkon sambil menulis sesuatu di buku yang dibelinya. Lantas ia melakukan panggilan video dengan Ninda, layar ponselnya mulai menunjukan wajah Ninda yang tersenyum lebar.
Cinta mengubah segalanya. Regan playboy, Regan bad boy, nyaris tidak terdengar lagi dari anak-anak GHS, bahkan mereka tidak percaya bahwa mereka akan langgeng sampai saat ini. Padahal kebanyakan, bahwa hubungan mereka akan berakhir dalam hitungan jari tangan, tapi faktanya sudah hampir dua minggu hubungan mereka baik-baik saja. Bahkan sampai saat ini, Regan dan Ninda tidak pernah bertengkar.
“Malam sayang, tumben belum tidur?” sambut Regan dengan senyuman penuh makna. “Biasanya kalo aku nelpon, tidak diangkat kalo udah jam segini.” Regan tertawa di ujung kalimatnya.
Karena aku lagi rindu.
Regan menaikkan salah satu alisnya, kemudian tertawa. “Rindu? Rindu sama siapa?”
Rindu sama kamu lah, masa sama yang lain.
“Kan tiap hari juga ketemu.”
Iya sih. Eh, sayang, besok temenin aku di rumah mau, ya? Orang tuaku pergi, ada urusan. Mau ya?
“Gimana kalo besok kita jalan-jalan aja?” saran Regan.
Kayaknya besok, aku bakalan mager deh.
Regan sedikit terbelalak. “Kok, bisa?”
Ya, soalnya besok episode drama Korea kesukaanku update! Makannya, aku ingin kamu temenin aku nonton drama, toh ini gratis cukup modal kuota, enggak usah keluarin duit buat nonton di bioskop. Mau ya, temenin aku?
Regan terdiam cukup lama, sampai Ninda kesal dan memanggilnya setengah berteriak. Hal itu berhasil membuat Regan tertawa. “Oke-oke, untuk putriku, pangeran akan datang menemanimu.”
Dari seberang sana Ninda tersenyum senang. “Makasih, pangeranku, love you!”
“Love you too.”
Semuanya berkat permainan aneh yang diberikan oleh Rama. Tak terbayang perjalanan cintanya akan seindah ini ia lalui bersama Ninda. Padahal, pada waktu itu ia sempat kebingungan akan cewek-cewek yang direkomendsikan temannya tidak akan pernah menerima sebagai pacarnya. Toh, dia playboy yang hobinya ngebaperin orang saja setelah itu pergi tidak peduli terhadap orang yang dibaperin.
“Mimpi indah, Ninda sayang!”
O0O