Seluruh siswa perempuan kelas XII IPS 1 beranjak keluar kelas hendak mengganti pakaian olahraga dengan seragam putih abunya. Sementara itu, siswa laki-laki memanfaatkan ruang kelas untuk mengganti pakaiannya. Ya, seperti itulah mereka, tidak kenal malu, tidak peduli dengan kondisi tubuhnya masing-masing.
Tiba-tiba saja Rama mengerutkan dahinya, menyadari Regan tidak ada di kelas. Gema pun sama, ia heran dengan Regan yang tidak biasanya menghilang begitu saja setelah pelajaran olahraga.
“Hei! Kalian lihat Regan, gak?!” seru Rama yang hanya direspons dengan gelengan kepala dari teman-temannya.
“Mungkin Regan ke kantin, udahlah. Hei! Guys kita mabar kuy!” Gema mulai beraksi menyebarkan penyakitnya kepada teman-teman sekelas.
“PUBG! Aja Ge!” timpal salah satu temannya.
“Setuju!” sahut yang lainnya.
“Oke siap! Ayo, Ram, kita mabar, mumpung gurunya belum datang,” ujar Gema yang telah stay dengan ponselnya.
Rama menganggukkan kepalanya setuju. Siapa yang mau di bully karena enggak main game? Kalau tidak mengikuti teman-temannya yang sudah terkena sindrome game bisa-bisa ia terkena ejekkan teman-temannya.
Baru saja Rama hendak duduk, Ninda datang dengan ekspresi kesal bercampur marah. Teman-temannya yang mengikuti dari belakang berusaha menenangkan Ninda dengan berbagai macam ucapan.
“Kenapa lo!” seru Gema begitu tatapannya menangkap sosok Ninda.
Namun, Ninda masih bungkam karena emosinya yang tengah melonjak. Ia sangat kesal terhadap seseorang yang sudah berani mencuri roknya saat di WC. Akibatnya, sekarang Ninda menggunakan seragam putihnya dengan celana olahraga.
“Gue sumpahin, siapa saja yang nyuri rok gue bakal jomblo seumur hidup!”
Ana yang baru saja datang terkekeh. “Lo kenapa Nin? Mana rok e'lo?”
Ninda masih bergeming. Sedangkan Ana terkekeh melihat ekspresi Ninda yang masih memaparkan kekesalannya. Seiring dengan memasukkan baju olahraga ke dalam tas, Ana mendadak membeku melihat mejanya. Cekatan, ia mulai mengedarkan tatapannya mengecek sekitar dan tasnya.
“Eh anjir! Buku paket bapak ganteng kuadrat punya gue kemana?” Ana mengecek kembali sekitarnya. “Vi? Lo lihat buku paket matematika gue nggak?” tanya Ana.
“Enggak,” jawab Evi sembari melipat pakaiannya.
Ana naik ke kursi dan menepuk tangannya berkala, membuat seisi kelas menatap ke arahnya, kecuali siswa laki-laki yang sibuk dengan game PUBG-nya.
“Kalian lihat buku paket matematika gue nggak? Buku paket gue hilang!” seru Ana sambil mengedarkan tatapannya.
“Enggak,” jawab mereka serempak kecuali siswa laki-laki.
“Plis deh, jujur. Hey guys! Plis lihat gue dulu jangan nunduk mulu, ini bencana loh! Lihat si Ninda, roknya hilang—”
Satu topik yang baru saja terucap dari mulut Ana membuat seluruh siswa laki-laki yang menundukkan kepalanya, menatap penuh ke arahnya. Seakan-akan berita yang di bawa Ana itu akan menjadi topik nakal untuk digeluti dalam imajinasinya.
“Wah, masa?” Rama mengerutkan dahinya.
“Di kasih kabar tentang rok baru noleh, dasar cowok! Oke, jadi gini, buku gue hilang, begitu juga roknya si Ninda! Nah, khusus buku gue kan dari tadi ada di kelas, gue curiga kalian pada jail sama gue!” Ana menelisik setiap wajah laki-laki yang menatapnya.
Seketika itu mereka semua berontak, disusul dengan yang lainnya. Ana yang kesal dengan sikap mereka yang mengabaikan ucapannya, seketika berdecih dan melipat kedua tangannya bak bos.
“Eh kam—”
“Pret!”
Seketika tubuh Ana mematung, saat kekesalannya terpotong tiba-tiba. Dengan susah payah Ana menoleh ke belakang. Pria dengan kemeja biru, tengah menatapnya lengkap dengan senyum mematikan. Mengetahui hal itu Ana menampakkan deretan giginya, sambil turun dan hendak duduk.
“Siapa yang suruh duduk?” Itulah Pak Gun, guru dengan level ke-killer-an seratus di GHS.
Dengan susah payah Ana mengangguk pelan sambil menurunkan pandangannya. Kedua tangannya saling mencengkeram menguatkan, sekarang merupakan hari sial bagi Ana. Selain buku paket matematikanya hilang, sekarang dia tidak akan lepas dengan mudah dari tatapan mematikan Pak Gun.
“Cantik-cantik, mulut toa!”
Jleb! Bagaikan petir yang menerjang lahan tandus. Kalau Pak Gun, sudah seperti ini tidak ada yang berani untuk membuka suara atau pun melihatnya. Sekarang pun seluruh isi kelas menenggelamkan kepalanya menatap kakinya masing-masing. Membiarkan suara keras Pak Gun memecah keheningan yang tercipta di ruangan ini.
“Maju ke depan!” Pak Gun menyorot ke arah perempuan yang sedari tadi menundukkan kepalanya dengan kedua tangan saling berpelukan, mengutakan. “Ke mana rok kamu?”
“Hi-lang pak,” jawab Ninda.
“Maju ke depan!”
Winner-winner chicken dinner!
Seisi kelas tersentak saat tanda permainan PUBG berakhir. Mendengar hal itu, semua siswa laki-laki gusar tak karuan, pasalnya si pengidap sindrome game nekat melanjutkan permainannya. Sekarang, Pak Gun menyorot ke arah deretan bangku belakang yang semuanya dihuni oleh siswa laki-laki.
“Yang main PUBG siapa?” tanya Pak Gun.
Seluruh siswa laki-laki mulai bermain kode agar Gema mengaku, akan tetapi laki-laki itu malah membeku. Atau mungkin dia tidak peduli sama sekali, wajahnya yang tenang tanpa dosa membuat teman-temannya mengumpat dalam hati.
“Siapa!”
Akhirnya Gema mengacungkan tangannya, membuat seisi kelas khususnya siswa laki-laki bisa menghela napas sedikit lega. Tanpa disuruh, Gema tengah maju ke depan bergabung dengan Ninda dan Ana.
Pak Gun duduk di kursinya sambil memandangi tiga murid yang berada di sampingnya. “Bapak, udah bilang saat pertemuan pertama. Kalo bagian bapak mengajar, harap disiplin. Kamu kenapa? Yang paling ujung.”
Ana menghela napas panjang. “Buku paket matematika saya hilang Pak, saat saya mau ganti seragam tadi ada di meja. Ketika kembali ke kelas, bukunya udah hilang, saya pikir teman-teman saya ada yang jail.”
“Kalo kamu,” ujar Pak Gun sambil menunjuk ke arah Ninda.
“Rok saya ada yang ngambil saat ganti seragam di WC perempuan. Saat memastikan keluar itu orang udah enggak ada.”
“Oke, kalian berdua boleh duduk. Dan kamu kenapa main game di saat jam pelajaran mulai?”
Gema menghela napas pendek, berusaha santai menghadapi gurunya yang terkenal killer ini. “Pak, semua orang-orang bermain game PUBG, free fire, bahkan kedua game itu ada lombanya gitu. Toh, saya udah mengisi formulir untuk ikutan, ya saya lati—”
“Latihan enggak harus di sekolah kecuali jam istirahat. Sekarang kamu bersihin WC, nanti bapak akan mengeceknya.” Tatapan Pak Gun langsung beralih ke anak muridnya yang sudah bersedekap menatap ke depan, kasarnya wajahnya sudah tidak peduli dengan Gema yang melongos menyebalkan dengan seribu umpatan di hatinya.
Gema menghela napas pendek saat beranjak dari kelasnya. Namun, baru saja salah satu kakinya melangkah keluar, Regan muncul dari hadapan Gema dengan kedua tangan membawa buku, dan rok yang terlipat rapi. Gema sedikit terkejut, menduga nasib temannya itu akan sama ia memutuskan untuk menunggu di pilar beberapa menit untuk memastikan dugaannya.
“Rok gue?!” Ninda refleks berdiri, begitu juga Ana yang seketika heboh melihat buku paket miliknya ada di tangan Regan. Sementara itu, yang lainnya hanya menganga melihat tindakan Regan yang memberikan kedua barang itu kepada dua cewek yang duduk di bangku paling depan.
“Lo maling buku gue?!” serang Ana sangat tajam.
Regan tersenyum tipis. “Sama-sama, anabel cantik.”
Sedangkan Ninda melipat tangan di depan dadanya, tidak menghiraukan Regan yang tersenyum kepadanya. “Regan dan Ninda akan tetap abadi.”
“Regan! Sini!” seru Pak Gun saat melihat salah satu murid populer karena rekor BK-nya masuk begitu saja tanpa ijin.
“Iya Pak.”
“Kamu mau jadi maling? Atau apa?” tanya Pak Gun.
“Maaf Pak, saya hanya melakukan tugas layaknya seorang pangeran. Bertanggung jawab, terhadap kesalahan. Apalagi kesalahan saya, menimpa dua putri cantik, meskipun pada akhirnya saya harus memilih salah satu dari mereka,” terangnya penuh dengan rasa percaya diri.
Ucapan Regan berhasil membuat semua teman sekelasnya menahan tawa. Kecuali para cewek yang tiba-tiba membeku, hanyut dalam pernyataan Regan yang membuat perasaannya bergejolak.
“Ini kelas, bukan gedung teater. Sekarang, susul Gema dan bersihkan WC dengannya.” Pak Gun menghela napas kasar menghadapi murid seperti Regan.
Ana membolak-balikkan buku paketnya, dan benar saja Regan telah memperbaiki jilid bukunya yang sobek. Ketika Regan melewatinya, mau tidak mau ia mengucapkan terima kasih kepadanya. Sedangkan Ninda, disuruh untuk memakai roknya di WC guru supaya tidak memperhambat waktu belajarnya.
Saat Ninda telah sampai di WC guru, perlahan ia membolak-balikkan roknya dan berhasil membuat dirinya membeku sejenak. Noda lem yang tertinggal di roknya telah hilang, meninggalkan basah di sana.
Ninda menghela napas pendek. “Terima kasih, pangeran.”
Di sisi lain, laki-laki yang sedari tadi duduk di pilar menyambut kedatangan Regan dengan senyuman dan rangkulan. “Kena semprot Pak Gun? Baguslah, lagian tuh guru sensi banget sih! Tapi tak apalah, bersihin WC sepuluh menit juga beres, sisanya kita makan-makan sambil main game.”
“Gue mau nanya, ada yang lebih menarik dari game gak sih di otak lo?”
Gema tampak berpikir, kemudian matanya mengerjap binar. “Kepoin cewek cantik di IG.”
O0O