Regan beserta kedua temannya berjalan menuju kantin
sekolah. Rama Adipati,
laki-laki pintar yang selalu menjadi bahan obrolan para guru yang mengajar di
kelas IPS. Kenapa? Guru-guru sepakat bahwa Rama itu orangnya pintar, tapi Rama
juga jail dan selalu datang terlambat bersama Regan dan Gema. Terkadang, para
guru menduga-duga sikap Rama itu dipengaruhi oleh sikap Regan. Terakhir, Gema
Mahardika. Cowok, yang memiliki penyakit menular, berupa sindrom game online,
siapa yang dekat dengannya pasti akan tertarik dengan penyakitnya.
Mereka langsung duduk di bangku dekat
dengan kedai nasi goreng milik Mang Asep. Semenjak mereka hadir di kantin,
hampir semua pasang mata yang berada di sini menyorot ke arahnya. Toh, siapa
yang enggak ngiler melihat tiga cowok
populer yang selalu menjadi bahan obrolan banyak orang, terutama para cewek.
“Gan, main game kuy?” ajak Gema yang sudah siap dengan ponselnya.
“Mang Asep! Biasa nasgornya tiga!” Rama menoleh ke arah
Gema. “Bisa gak ngegamenya nanti, lo
kan dari tadi ngegame mulu,” ujar
Rama.
Gema tidak menghiraukan laki-laki di
sampingnya, malah ia terus menyebarkan virus terhadap Regan yang sedari tadi bungkam.
“Gan, ayo, kita main free fire?” Gema menatap heran ke arah
Regan, yang tak seperti biasanya,
melamun.
Rama mengikuti arah tatapan Regan
yang terlihat fokus itu. Selanjutnya, cowok bermata coklat ini menganggukkan
kepalanya, kala cewek cantik, tinggi, rambutnya terikat rapi, tiba-tiba
bergabung dengan gengnya. Siapa lagi kalau bukan Bebi Sandrina, ketua ekstrakurikuler
cheersleader di Ganesha High School.
“Kalo udah lihat cewek cantik, dia
gak bakalan mempan dengan virus yang lo sebarkan, Ge,” ujar Rama.
Gema menoleh ke belakangnya, kemudian
menghela napas pendek. “Dua orang terbebas dari virus, itu bukan masalah.” Gema
berdiri menatap sekitar kantin, lalu menghirup udara dalam-dalam.
“Lo
mau ngapain Ge? Dan lo, Gan, mau kemana?”
Regan
beranjak dari duduknya menghampiri Bebi yang tampak asyik dengan teman-teman
ekstrakurikulernya. Tanpa ragu, Regan menyenggol salah satu teman Bebi sampai
dia menjadi salah tingkah dan senyum-senyum canggung bagaimana gitu.
Bebi
menatap Regan biasa saja, toh ini bukanlah yang pertama Regan mendekatinya. Dan
sudah dia terka bahwa cowok di hadapannya ini akan menggodanya dengan berbagai
macam rangkaian kata.
“Apa?”
“Beb,
mau gak nanti malam kita dinner?”
tawar Regan.
“Gan,
sampai kapan pun jawaban gue tetap sama. nggak akan.” Sementara itu teman-teman
satu ekstrakurikulernya malah meminta Bebi untuk menerima tawaran tersebut.
Namun, Bebi terlalu mencintai seseorang yang perfeksionis dalam segala hal.
“Lo
tau kan, gue ini enggak suka dengan orang yang kerjaannya godain banyak cewek,
selalu telat, dan mencetak rekor untuk BK. Sarkasnya, lo bukan tipe cowok yang
gue inginkan, lo tidak lebih dari benda-benda yang sering dipungut oleh Pak
Wira.”
Regan
menautkan salah satu ujung bibirnya. “Mungkin, sekarang lo bisa bandingin gue
dengan sampah. Tapi,…” Regan bangkit dari duduknya. “Gue akan buktikan, bahwa gue
enggak serendah itu. Dan gue pastikan, sesuatu yang ada di hati lo akan membuat
lo menderita.”
Sepeninggalan
Regan, Bebi terdiam cukup lama. Kalimat terakhir yang terlontar dari mulut
Regan membuat pernapasannya sedikit tersendat. Perlahan, Bebi mulai mengontrol
semuanya dan menguatkan tekad; hanya laki-laki perfeksionis yang menjadi
labuhan hatinya bukan spesies manusia yang lidahnya terlatih untuk
mempermainkan hati seseorang.
Sebenarnya
apa yang diucapkan oleh Bebi bukanlah ancaman untuk hidupnya, semuanya sudah
tahu bahwa dirinya laki-laki pemilik bisa mematikan yang menyembur lewat
kata-kata. Maka tidak sedikit pun hatinya tergores hanya karena kalimat sepele
dari mulut Bebi, yang ada pikirannya dipenuhi dengan ramuan-ramuan untuk
membuktikan ucapannya kepada perempuan cantik sang ketua cheersleader itu.
“Halo guysss! Kita mabar free fire kuy!
Bentar lagi ada turnamen loh, hadiahnya banyak banget! Kuy, kita mabar!” seloroh Gema menyebarkan virus game online kepada orang-orang yang sedang menikmati waktu
istirahatnya di kantin.
Regan dan Rama hanya mampu
menggelengkan kepalanya melihat aksi temannya itu. Tak lama dari itu, Mang Asep
menyajikan tiga porsi nasi goreng di hadapan mereka. Tanpa menunggu lama, Regan
dan Rama langsung menyantapnya, tidak peduli dengan Gema yang masih sibuk
menyebarkan virus game online kepada
orang-orang yang menikmati waktu istirahatnya. Detik berikutnya, hampir semua
orang di sini bertepuk tangan dan segera mengangkat ponselnya ke hadapan wajah
mereka.
Gema tertawa puas, karena aksinya
berhasil. Sambil menyantap makanan kesukaannya, Gema mulai sibuk sendiri dengan
ponselnya.
“Gue heran sama lo, Gan. Kenapa lo
enggak nembak satu cewek, terus lo serius pacaran. Lo cakep, kaya, dan
cewek yang suka sama lo banyak banget.” Rama menatap penuh arti kepada Regan.
Regan menaikkan salah satu alisnya.
“Maka dari itu gue enggak mau pacaran. Kasihan sama cewek-cewek yang suka sama
gue. Kalo gue punya pacar, bisa-bisa mereka enggak mau deket lagi sama gue.”
Rama terkekeh mendengar jawaban dari
Regan. Otak laki-laki pemilik
wajah tampan itu sudah terlalu senang membuat para cewek
meleleh karena ucapannya, kecuali empat cewek; Ninda, Ana, Bebi, dan ketua ekstrakurikuler
rohani islam yaitu Kezia.
“Lo parah banget ya, Gan.” Rama
mengunyah sisa makanan di mulutnya. “Gue punya game buat lo—”
“Game
apa?” sahut
Gema tanpa melihat ke arah
dua temannya.
“Bagian bahas game, lo nyangkut. Tapi, game
ini khusus buat lo Gan—”
“Lah, game apa itu. Gue pengen donlod
juga kali. Hm, btw, game-nya online kan bukan offline?”
Lagi-lagi Gema memotong ucapan Rama.
“Ini bisa offline juga online, tapi
game ini khusus untuk Regan bukan lo
Ge! Gamenya, gue pingin lo menangin hati cewek, dan lo ajak seriusan.
Hadiahnya, semua tugas sekolah lo, jadi milik gue. Gimana? Lo berani mainin ini
game?” ujar Rama dengan nada
menantang.
“Lo nantang gue?” Regan berdecih,
“Karena gue bukan pengecut, gue terima tantangan lo,” sambung Regan sambil
memasukkan satu suapan terakhir ke mulutnya.
Ada
rasa suka terhadap ucapan Rama. Karena tanpa sepengetahuannya, Regan menjadi
lebih semangat untuk membuktikan ucapannya terhadap Bebi baru saja. Terlebih
laki-laki paling pintar di antara mereka bertiga menawarkan hadiah menakjubkan
bagi dirinya yang memiliki hobi malas-malasan.
“Tapi, lo hanya boleh milikin Ninda,
Ana, sama Be—bi.” Rama menatap Regan yang tiba-tiba memalingkan wajah darinya,
saat cewek berhijab dengan beberapa temannya melintas di samping mereka.
“Atau Kezia. Hanya mereka, tidak
boleh yang lain.” Rama memaparkan senyum menantang kepada Regan.
Seketika
itu semangatnya kembali turun saat Rama menyebutkan target yang harus
diincarnya. Mak Lampir dan Miss Poles? Ah! Yang benar saja!
“Kezia? Gue langsung out. Tapi, ingat saja sama hadiahnya, awas
kalo lo PHP, siap aja dunia akan mengecap lo sebagai laki-laki aneh.” Balas
Regan.
Rama mengerutkan dahinya, tidak
mengerti dengan ucapan temannya itu. “Waktunya lima hari dari sekarang.”
Bukan
hanya Regan yang tersentak karena ucapan Rama, tapi, Gema pun sama terkejutnya.
Menaklukkan seorang cewek dalam waktu lima hari? Mungkin Regan akan tertawa
puas jika yang harus dihadapi bukanlah Ninda, Ana atau Bebi. Mereka merupakan cewek yang
tidak mudah untuk Regan takluki, masing-masing memiliki tantangan tersendiri, kalau ingin menjalin
hubungan dengannya.
“Eh! Kampret! Yang benar saja! Lo
gila ya! Demi emaknya spongebob yang berbentuk biskuit gud taim,
lo pikir mereka itu satu spesies dengan si Evi?” Gema tengah
berdiri menghadap Rama yang menatap heran ke arahnya.
“Kok e'lo yang nyolot sih, kan gue
nantangin Regan bukan e'lo, bego!” ujar Rama yang tiba-tiba merasa kesal dengan
Gema.
“Tenang, gue pasti bisa dapetin salah
satu dari mereka.”
Otak Regan mulai memikirkan cara untuk tiga cewek yang
sangat sulit ia taklukan. Ninda cewek galak juga cerewet, tadi pagi Regan sudah
melakukan ke-playboyan-nya, tapi dia malah cerewet galak
kepadanya. Begitu juga dengan Ana, cewek agak
lebay malah menyuruhnya tidur agar dirinya baper. Terakhir, Bebi. Cewek
jangkung ketua cheersleader ini,
sombong luar biasa. Baru
saja, Regan mendapatkan kalimat mengerikan dari mulutnya, bahkan semenjak Rama
menyebutkan namanya masuk list,
segera pikirannya mencoret nama itu. Jadi, harapannya hanya dua; Ninda atau
Ana.
“Lo mah aneh, Ram! Bikin game
kek ginian!” gerutu Gema saat melihat raut wajah Regan yang
tiba-tiba dingin.
“Gue lakuin ini karena gue percaya,
Regan itu bisa memenangkan game ini.
Oh iya, kalo lo udah jadian langsung buat akun IG-nya, terus follow akun gue,” ujar Rama, sibuk dengan nasi gorengnya.
Regan hanya menganggukkan kepalanya,
semenjak ia menyetujui permainan Rama, otaknya menjadi pemikir keras. Toh, perempuan yang akan dihadapinya
bukanlah perempuan,
yang mudah baper sama pesonanya, yang ada dirinya kena semprotan ganas dari
bibir mereka.
“Gan, mending lo batalin game aneh si Rama. Kita main Free
Fire atau PUBG aja sama gue, kita pulus-pulus gituh.” Gema mulai memainkan
jarinya di depan Regan.
“Sekarang yang gila itu gue apa e'lo?
Kalo main kek gituan,
udah pasti lo yang menang!” serobot Rama sambil bangkit dari hadapan Gema juga
Regan, menuju kedai Mang Asep hendak membayar makanannya.
“Gan?”
“Lo diam aja. Yang penting gue bisa santuy tanpa memikirkan tugas sekolah,
gue yakin gue bisa menangin game ini.”
Regan bangkit dari duduknya, meninggalkan dua temannya di tempat istimewa ini.
“Gan, e'lo mau ke mana?” seru Gema.
“Gue mau ke kelas, mau ganti baju.” Seru Regan.
Begitu
Rama duduk di sampingnya, Gema kembali berkicau dengan nada sedikit kesal. “Gara-gara
lo sih, buat apa coba ngasih game kek gituan?” Gema mengalihkan kembali tatapanya ke arah ponsel.
“Gue cuma kasihan aja sama dia,
secara tidak langsung sikapnya itu telah menyakiti masa depannya. Sekaya apa
pun dia,
seganteng apa pun dia, lama kelamaan orang bakal ogah sama dia, kalau sikap dia
kayak gitu terus.” Rama bangkit dari bangkunya, dan merogoh saku celananya.
“Emang masa depan si Regan di makan
singa gitu? Atau di sunat lagi?”
Rama memutar bola matanya, tidak
mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Gema. Ia menurunkan kepalanya,
mendekatkan wajahnya ke arah telinga Gema.
“Biasanya kalo orang yang pikirannya
ngaco kayak e'lo, masa depannya
suram,” bisik Rama, seraya beranjak menyusul Regan ke kelas.
Regan telah membuka kancing bajunya
semenjak langkah pertama menginjak keramik ruang kelas. Apa yang dilakukannya, berhasil menyita beberapa pasang
mata kecuali dua cewek yang tiba-tiba menyibukkan diri dengan ponselnya. Regan tidak peduli, segera ia menyandarkan
tubuhnya di kursi guru, membiarkan tubuh berisinya menjadi tontonan teman
cewek sekelasnya.
Evi dan yang lainnya—kecuali Ana dan
Ninda—membeberkan senyum melihat tubuh Regan. Evi menopang dagu dengan kedua
tangannya, bibirnya tiada henti bergerak saling melumasi agar tidak mendadak
kemarau melihat cowok ganteng, yang ia lihat layaknya menonton film drama dari
Negeri Ginseng.
Ana yang duduk di samping Evi memutar
bola matanya, melihat dia tergila-gila oleh pesona seorang playboy.
“Dasar tukang pamer! Gue berani
bertaruh, tubuh Pak Jaya lebih bagus dari dia!” ujar Ana.
Mendengar hal itu, Regan
menyunggingkan senyum seraya menggelengkan kepalanya.
“Bodo amat, yang penting mata gue
sejuk lihat pemandangan di hadapan gue, everest
aja kalah dingin sama dia. Regantengku, unceh
... unceh!” balas Evi lebay.
Regan menghampiri bangku Ana, perlahan
senyum manis mulai terlukis di bibirnya. Evi yang duduk di samping Ana,
seketika heboh sendiri melihat Regan dengan dada bidang menghampiri bangkunya.
“Oh my god!” heboh Evi.
“Halo Ana? Gue pastiin ini bahu sama
dada gue, bakal bikin lo nyaman, saat bersama gue. Mau gak lo jadi pacar gue?”
ujar Regan seraya menatap penuh ke arah Ana.
Seketika cewek yang berada di kelas
heboh meminta Ana untuk mengiyakan, tapi ada juga yang berteriak mempromosikan
dirinya sendiri, salah satunya Evi. Sementara itu, Ninda yang sedari tadi
bungkam, memilih fokus terhadap ponselnya, tiba-tiba membulatkan matanya.
“Udahlah An, terima aja!” sahut Ninda
sambil tertawa kecil.
Ana menarik salah satu ujung
bibirnya. “Asal lo tau, gue enggak akan pernah mau jadi pacar lo, Gan! Dan ingat ya—”
“Kalo gue udah serius dengan pacar
gue nanti, lo jangan cemburu. Dasar Miss Poles!” pungkas Regan sambil berjalan
menuju Ninda yang seketika membuang muka dari Regan.
“Pacar yang mana?”
“Nih di hadapan gue.” Regan membalas
cepat.
“Untung hati gue udah diimunisasi
pake anti playboy. Awas, loh Nin
sekarang giliran lo.”
“Jangan dengerin Miss Poles, kalo wajahnya
udah berminyak kayak usus setengah matang milik Bi Dara, suka iri gitu.”
Saat itu pula Ana terbelalak dan berontak
mencari cermin mini miliknya, setelah mendapatkannya Ana mulai menggoyangkan
kepalanya kiri-kanan. Sedangkan, yang lainnya mengulum tawa mendengar ucapan
Regan yang melebihi ibu-ibu kompleks saat arisan.
“Sialan lo, Gan!” ketus Ana,
menyadari ucapan Regan hanya omong kosong.
“Halo Ninda?” Regan telah mengepung
Ninda dengan tangannya. Yang ditanya membatu, hanya fokus terhadap ponselnya. “Mau gak
lo ja—”
“EH! BUSYET!” Gema berteriak histeris
ketika matanya menangkap Regan yang telanjang dada tengah mengepung Ninda.
Sedangkan Rama,
hanya mampu membuka mulutnya lebar-lebar melihat ulah Regan.
“Gan! Lo parah! Lo parah! Ini sekolah
woy! Gila! Ini gara-gara lo Ram, dia jadi separah ini!” Rama masih speechless.
“Eh, Anjir! Maksud lo apaan? Gue
hanya deketin dia!” serang Regan.
Ia sudah tahu arah pembicaraan Gema yang terbilang berlebihan dalam mengartikan
suatu tindakan.
“Deketin sih deketin, enggak usah
pake acara buka baju segala. Ketempelan setan baru tau lo!” ujar Gema masih
dengan nada tidak percaya.
“Serah lo deh, gue males dengerin
lo!” Regan mendudukkan tubuhnya di samping Ninda.
Ana melipat tangan di depan dadanya. Namun, ia juga dibuat
terkejut oleh Evi yang tiba-tiba berdiri.
“Heh! Lo gak usah marahin Regantengku,
dia cuma mau ngobrol sama Ninda, mending kalian cepetan ganti baju gih! Jangan
ngancurin pemandangan indah ini!” bela Evi sambil mengedipkan salah satu
matanya ke arah Regan.
“Vi, makasih udah belain. Tapi sorry ya, kegantenganku hanya untuk Ninda. Ya, kan beib?” Regan merangkul tubuh Ninda. Yang dirangkul terkejut dan mulai memberontak kesal, lalu dia pergi dari kelas seraya memungut seragam olahraganya, meninggalkan huru-hara yang terjadi di kelasnya.
Evi memberenggut kesal, lantas mendelik. "Ish!"
Tiba
di toilet, Ninda melempar pelan seragam olahraganya ke samping wastafel.
Ditatapnya bayangan wajahnya di cermin, memerhatikan laju napasnya yang sedikit
tersendat akibat dari ulah laki-laki playboy
itu. Asal kalian tahu, Ninda masih terkejut sampai saat ini, mengingat Regan merangkulnya. Dan yang lebih pelik, saat Regan
mengungkapkan perasaannya kepada Ana, darahnya berdesir lebih cepat dari
biasanya. Apa jangan-jangan rasa yang dianggap telah musnah dari hatinya, bereinkarnasi
dengan wujud yang lebih sempurna dari sebelumnya? Tidak mungkin!
O0O