POV ALUNA
Aku memasukkan buku harian ke dalam sling bag hitam, lalu menghela napas. Sampai saat ini, aku masih menyayangkan kenapa tidak Kale saja yang datang untuk melihatku? Tapi kalau iya pun, bisa kacau semuanya. Ah, kenapa juga Gema yang harus mengingatkanku tentang sandpainting? Apa itu berarti selama ini tak satupun dariku yang Kale ingat?
KALE: Guys, ketemu di Plaza Semanggi aja ya. Mager bgt gue pindah tempat lg. Eh, Venya gue ajak nonton juga yaa.
JAVIER: Eh, Batman! Gue gak rela lo ngajak Venya! Lagian juga ada Una, cewek lo. Lo gila apa ngajak cwek lain pas nonton sm cwek sendiri? Tujuan lo apa, hah?
KALE: Kasian dia. Keknya lg ada masalah sama keluarganya gitu.
JAVIER: Banci bgt lo! Emang gue peduli sama dia? Bodo amat. Gak pokoknya gak! Ini acara grup kita! Orang luar gak boleh ikut!
KALE: @Aluna gue boleh ya ngajak Venya. Dia nangis2 td. Gak tega gue.
Aku menggigit bibir bawah saat membaca chat pernyataan dari Kale. Aku enggan membalasnya.Rasa senangku tadi meluap entah ke mana. Argh... Biar saja aku menjadi penonton perdebatan kedua cowok ini. Pikiranku sudah terlalu penat untuk ikut mengomentari.
Kuraih jaket hitam di sandaran kursi, lalu memakainya. Sambil berjalan menuju mobil, aku berkata, “Tolong anterin ke Plaza Semanggi, Pak,” pada Pak Carl.
“Siap, Non.”
Ponsel kembali aku cek kembali ketika beberapa saat mobil melaju, meninggalkan rumah. Ada satu notifikasi WhatsApp dari Gema.
GEMA: Are you okay, Na?
ALUNA: Great. Gue otw ya. Tp gue gak bisa lama2. Abis nonton langsung pulang.
GEMA: Iya, nanti gue yg anterin lo pulang.
***
Tepat pukul 13.00, aku memasuki area Cinépolis Plaza Semanggi sambil mengayunkan ponsel di tangan kiri. Ya kali ini aku sedikit memoleskan lipstik tipis untuk menutupi warna pucat di bibirku. Well, sejauh ini aku baik-baik saja setelah istirahat beberapa jam tadi serta makan dan meminum obat. Tapi tentu saja Mom tidak membiarkanku pergi begitu saja.
“Mom, please, kali ini aja aku pergi bareng temen-temen,” kataku waktu meminta izin di telepon. “Besok kan hari Minggu, aku janji aku enggak bakal ke mana-mana.”
“Sebelum jam sembilan malam, kamu harus udah pulang.” Terdengar decakan darinya.”Atau Dad yang jemput aja?”
“Enggak usah, Mom. Gema mau nganterin aku, kok.”
“Mom khawatir sama kamu, Nak.”
“Mom, aku ngerti. Biar yang kemarin jadi pelajaran buatku. Sekarang aku bener-bener enggak apa-apa.”
Memang betul jantungku tidak sakit saat ini, tapi hatiku? Mengingat Kale bersama Venya, hatiku mulai meretak. Oh, jangan bilang kalau aku benar-benar menyukai Kale? Kalau begitu berarti aku sedang cemburu?
“Una!”
Ingatan tadi pun lenyap di memoriku ketika mendengar suara Javier meneriakkan namaku. Aku melihat ke arah cowok yang tengah berlari menghampiriku. “Hei, sama siapa?” tanyanya.
Aku menatapnya datar. “Sendiri, lah. Mau sama siapa lagi coba?”
Javier terkekeh sambil menggaruk kepala. “Kita nonton Paradise Hills aja, ya.”
“Bebas. Gue ikut aja. Lo yang traktir, kan?” Aku menaikturunkan kedua alis, menggodanya.
Javier mengangkat tangannya dan merangkulku. “Apa sih yang enggak buat lo, Na?” Dia tergelak sampai-sampai aku harus menyikutnya. Padahal kan jelas-jelas tidak ada yang lucu.
“Jangan lebay deh,” komentarku. “Tahu sendiri kan kalo gue juga enggak mau nonton kalo enggak dibayarin.”
“Lo mah langganan, Na.” Javier mengacak-acak rambutku, membuatku mulutku mengerucut. Ya, sebagai satu-satunya cewek di geng ini, aku jelas mempunyai tingkat paling atas untuk berhak atas keinginanku terhadap anggota geng. Termasuk bersikap manja seperti meminta traktiran.
“Itu Kale,” kata Gema. Mendengar itu, langsung kuraih tangan Gema dan menggenggamnya. Tentu saja dia terheran-heran. “Kenapa sih, Na?” tanyanya.
“Tolongin gue, Gem.”
“Ya tapi kenapa?”
“Entar gue ceritain.”
Kale mengunci tatapannya ke arahku. Dia juga melihat genggamanku dengan Gema. Biar saja aku balas. Seenak jidatnya saja dia pakai acara kasihan Venya. Aku tidak menuntut untuk menjadi layaknya pacar sungguhan, tapi setidaknya dia punya rasa menghargai keputusan sahabat-sahabatnya ini.
“Bucin amat lo kayaknya, Le,” celetuk Javier. “Ampe enggak bales chat kami.”
“Chat yang mana lagi?” Kale mengambil ponselnya dari saku jinsnya.
“Tadi pagi.”
Kale men-scroll chat grup. “Oh, yang lo lempar bom ke rumah gue?” Dia menghela napas. “Rumah gue udah kebakar kali tanpa lo bom.”
“Kita mau nonton apa?” tanya Venya. Cewek berpakaian sok seksi itu tampak baik-baik saja, bahkan sama sekali tidak terlihat bersedih. Cih, mana letak kesedihaanya coba?
“Paradise Hills,” sahut Javier ogah-ogahan.
“Udah beli tiketnya? Kalo belum, biar gue aja yang beli.”
“Enggak usah, Nya. Udah semua, kok.” Javier menunjukkan lima tiket di tangannya. Dia mendekatkan diri ke telingaku dan membisikkan, “Una, sebenarnya sih gue males amat beliin tiket buat Venya, tapi mau gimana lagi? Kale tadi udah malakin gue lewat chat.”
“Sabar, ya. Temen lo emang kayak gitu,” celetukku sambil masih menatap Kale. “Gem, gue agak mual. Ke toilet bentar, ya,” pamitku.
“Lo mau pulang aja?”
Perkataan Gema sepertinya menarik perhatian Kale. “Kena—"
“Eh, kalian pacaran ya?” Pertanyaan Venya berhasil memotong kalimat Kale.
Aku tersenyum tipis. Langsung kupeluk lengan Gema. “Iya, kami pacaran,” jawabku.
“Una?” Javier terkejut. Begitupun Kale dan Gema.
“Lo gimana sama Kale?” tanyaku balik.
“Ng...,” Venya menatap Kale. “Masih hubungan tanpa status, sih. Ya semoga aja ada kejelasan lagi.”
Senyumku berubah kecut. Hancur! Benar-benar hancur! Lihat saja, Kale bahkan sama sekali tidak marah ataupun mengelak saat Venya mengatakan dia berpacaran dengannya!
“Maaf, gue ke toilet dulu.” Tanpa menunggu respons lagi, aku langsung berbalik badan dan melangkah cepat. Aku sudah tidak tahan lagi. Tapi bukan karena rasa mual yang tadi kurasakan, melainkan rasa sedih yang kupendam.
Sesampainya di toilet, aku mematut diri di cermin. Air mataku menggenang di pelupuk mata. Ini tidak bisa dibiarkan. Uh, kalau saja ini bukan karena penyakit yang dialaminya, mungkin aku sudah tak mengacuhkan keberadaan Kale dan tak harus membuat misi-misi brengsek itu. Benar, itu demi kebahagiaannya. Tapi kalau menjadi beban, bukankah itu memperparah kondisiku?
Lalu, bagaimana nanti kalau diriku tidak bisa membuat cowok itu jatuh cinta padaku? Bagaimana kondisi hatiku yang sudah terlanjur cinta dengan cowok itu? Ah, persetan dengan itu semua. Toh, pada akhirnya aku harus mengalah pada keadaan dan meninggalkan Kale dengan kenangan yang tak seberapa ini.
“Aluna!” Kale meraih lenganku begitu aku keluar. Dia menatapku seakan meminta penjelasan. “Kenapa?”
“Kenapa apanya?” tanyaku balik sambil mengalihkan tatapan ke arah lain.
“Lihat gue!” Kale merangkum wajahku dengan kedua tangannya. “Kenapa lo bilang Gema itu cowok lo? Jelas-jelas cowok lo itu gue, Na.”
“Terus kenapa? Lo mau gue narik tangan lo dan Venya tahu kebenarannya?” Senyum miris mengembang di wajahku. Air mata pun lolos dari mata kiriku. “Lo sebagai cowok harusnya peka dong. Seenggaknya lo tahu sikonnya.”
Kening Kale mengerut. “Bukannya lo ngebebasin gue?”
“Ngebebasin bukan berarti seenaknya ngajak Venya ke acara hangout kita, Le.”
“Ya terus lo maunya gimana? Kalo yang masalah tadi, gue minta maaf. Gue bener-bener enggak tahu harus gimana lagi tadi.”
“Labil banget lo, Le.” Kuusap air mataku. “Asal lo tahu, Le, gue udah terlanjur beneran cinta sama lo.” []
Gema baik bangettt. Dia tuh greenflag gitu. Suka deh ππ
Comment on chapter BUKU HARIAN UNA (BH 4)