POV ALUNA
Kutuang nasi goreng ke dalam tupperware hitam yang kupersiapkan untuk Kale. Bi Mai membantuku mengangkat penggorengan berisi kentang goreng, lalu aku menatanya di atas nasi goreng. Tak lupa juga saus mayonese kesukaan Kale. Rencananya nanti aku akan memberikannya langsung begitu sampai di kelas.
Tiba-tiba, ponsel dalam saku seragamku bergetar. Aku mengambil benda pipih itu setelah meletakkan dua sosis di atas nasi goreng. Ada dua notif yang muncul bersamaan di layar.
Kale 1 Chat
Gema 2 Chat
Aku duduk di ruang makan, lalu menyeruput teh hijau yang telah disediakan oleh Mama. “Kenapa lagi nih anak? Tumben pada PC. Kenapa enggak di grup aja, sih?”
KALE: Gue mumet, Na. Help! :(
ALUNA: What's up? Msh pagi, lho. Nnt cerita ya. CU :*
Aku tersenyum usai membalas Kale. Entah apa yang tengah dialami cowok itu. Tapi, hal tersebut bisa menjadi tujuan tambahanku hari ini selain mengantarkan bekal dan memikirkan bagaimana caranya agar Kale mau menuruti permintaanku berikutnya, yakni sebagai pasangan di ajang Extraordinary School's Ambassador.
Omong-omong, siapa sih yang tidak menyukai membuat bekal untuk orang yang disukai?
GEMA: Gue otw ke rumah lo. Ada yg mau gue tanyain ke lo.
Eh, kenapa lagi, nih? Apa tingkah kemarin aku bikin dia curiga, ya? Terus aku harus bilang apa kalo dia nanya nanti?
“Aluna, udah sarapan?” sapa Mom dari arah selasar.
Aku segera meletakkan ponsel di meja, kemudian berjalan menyambut wanita berparas cantik berusia 40-an itu. Mama memakai dress hitam selutut. Wajahnya terpoles make up tipis nan elegan. “Hai, Mom. Cantik banget, sih. Mau ke mana?”
Sambil mengusap hangat punggungku, Mom berkata, “Hari ini Mom dan Dad ada rapat pemegang saham di hotel kita. Dianterin sama Pak Carl doang enggak apa-apa, kan?” Pak Carl adalah supir pribadi kami yang kini sudah berusia senja, tapi masih gagah. Seringnya diplesetin dengan sebutan Pacar oleh Javier jika sedang berkunjung kemari atau ketika bertemu. Iya, terkadang Mom masih ingin mengantarku ke sekolah, memastikan anak semata wayangnya ini selamat sampai sekolah. “Atau kamu ada temen yang bisa jemput? Mungkin Kale?”
Kami duduk di kursi makan, siap menyantap hidangan sarapan.
“Mom, enggak usah seprotek itu deh. Aku kan enggak kenapa-napa.” Kuambil sepotong roti dan mulai mengoleskan selai stroberi di atasnya.
Sejak pulang dari rumah sakit awal tahun lalu, sewaktu aku tiba-tiba pingsan di lapangan sekolah, semua hal yang biasa aku lakukan sendiri seperti menyetir mobil ke sekolah itu dihentikan. Mom menjadi lebih protektif. Ya waktu itu karena memang itu kesalahanku juga karena terlalu lelah, makan sembarangan, dan tidur tengah malam terus karena banyak mengulur waktu untuk mengerjakan tugas sekolah.
Mom sebagai mantan dokter spesialis, bertindak laku meng-handle semuanya. Baik itu mengatur tata ruang aktivitas, obat-obatan, sampai pola makanku. Dan kalau boleh jujur, aku sebenarnya agak risi dengan perlakuan Mom. Tapi mau bagaimana lagi, aku tak mau membuat beliau khawatir.
Mom berdecak kecil seraya menuang jus jeruk favoritnya. “Protek dari mana?” tanyanya. “Mom kan cuma ngelakuin demi keselamatan kamu, Aluna. Itu wajar dong.”
“Mom, please jangan ngelakuin hal yang seakan aku bener-bener sekarat.”
Mom bergeming setelah mendengar lontaran dariku barusan.
“Toh, kemarin dokter bilang aku enggak apa-apa kan asal bisa jaga kondisi. Tapi ya itu, kegiatan di sekolah lagi padet banget,” tambahku.
“Enggak bisa gitu, Aluna. Dokter bilang—”
“Siapa yang sekarat?”
Suara bariton itu terdengar menggema dari arah selasar. Tak perlu capai-capai menoleh karena aku sudah hapal dengan suaranya. Gema. Cepat sekali sampainya. Apa dia punya sayap?
“Apa kabar, Tante?” sapanya pada Mama begitu sampai. Aku pun sengaja tak mengacuhkan keberadaannya dengan menikmati sarapanku.
“Kabar Tante baik. Kalo gitu, Tante ambil tas dulu di kamar ya. Udah telat soalnya.” Mom mengusap air mata di sudut mata kirinya. “Gema sarapan aja, temenin Aluna.”
“Iya, Tante,” jawab Gema. Setelah Mom menjauh, Gema menatapku, penuh. Dan dia berkata, “Don't play tricks on me, Aluna.”
“Ih, apaan sih?” Aku meminum susunya lambat-lambat sambil berpikir hal apa yang harus kukatakan pada Gema, tapi hasilnya nihil. Aku tidak menemukan topik yang bagus untuk mengalihkan pikirannya.
“Sial!” gerutuku. “Pada akhirnya gue harus ngaku juga. Ih, sebel gue!”
Gema tertawa sambil mengacak rambutku sesaat. “Gue lebih kenal lo daripada diri lo sendiri, Na.”
***
“Kale!” Aku berteriak kaget ketika tiba-tiba Kale mengerem di hadapanku. Aku mengelus-elus dada. “Untung gue enggak jantungan beneran, Le. Kalo iya, bisa absen lagi gue.” Kuhela napas panjang, menenangkankan diri. “Pasti gabut lo ya nungguin gue di kelas?”
Mata Kale melirik tajam mengikuti arah Gema sewaktu cowok itu melewati kami begitu saja dan berjalan menuju loker di ujung lorong sebelah kanan dari kelas 11 IIS A. “Kenapa enggak bilang kalo Gema yang jemput lo sih, Na?”
“Lho, kenapa? Cemburu?” Aku melanjutkan langkah menuju kelas.
Kale menyusulku. Langkahnya terdengar gelisah. “Ya tapi kan kita baru jadian kemarin, Na.”
Aku menghentikan langkah, lalu menghadap Kale. “Lo lupa kata gue kemarin? Gue bebasin lo sama Venya or cewek manapun, bukan berarti lo berhak ngelarang gue.”
“Gimana, sih? Katanya lo mau bikin gue jatuh cinta sama lo dalam waktu singkat. Tapi lo-nya malah gini.”
“Gini gimana?”
“Enggak nganggep keberadaan gue.”
“Posesif amat, Mas. Gema sahabat kita juga, kan. Nyantai aja kali.”
“Tapi sahabat biasanya bisa jadi penikung ulung.”
Aku mengalihkan wajah ke arah lapangan yang membentang luas di bawah. “Gue enggak bakal pindah hati, Le. Lo tenang aja. Gue bener-bener dengan perasaan gue.” Aku menatap Kale kembali. “Tapi itu semua tergantung lo juga, sih.”
“Aluna,” panggil Javier dari arah ambang pintu kelas, berjarak beberapa meter di depan kami.
“Ya?”
Javier memberikan ciuman di telapak tangannya, lalu dilayangkannya padaku. “Tangkap, Na!”
Aku tertawa, tapi tanganku tetap menangkapnya. “Dapet!” Segera kusimpan di saku seragamku, dan menepuk-nepuknya. “Simpen buat entar.”
Javier terkekeh seraya menghampiriku. “Gue tunggu di vending machine koridor bawah aja. Sekalian lihat dedek-dedek gemes.”
“Hah? Ngapain?”
Javier mengusap-usap kepalaku. “Mau traktir lo minuman.”
“Ih, kenapa sih tuh anak?” Tatapanku kembali lagi menghadap Kale setelah Javier menjauh. Rupanya Kale sedari tadi tak memalingkan wajahnya dariku. “Lo kenapa lihatin gue kayak gitu?”
Kale menggeleng pelan. “Enggak apa-apa.”
Aku menggigit bibir bawah. Sedikit salting. Kedua pipiku menghangat. “Ng..., Le, gue minta maaf deh soal yang tadi. Kalo itu bikin lo marah, gue janji enggak bakal macam-macam lagi.” Senyumku mengembang. “Lo pasti belum makan, kan? Bentar, gue punya sesuatu buat lo.”
“Kale!”
Saat aku sibuk mengambil kotak bekal dari kantung kertas yang kubawa, terdengar teriakan Venya. Dan entah mengapa aku menjadi sedikit kesal. Iya sih, tidak apa-apa. Tapi, kenapa harus sekarang??
“Tuh, Le. Gebetan lo,” kataku dengan nada tak acuh.
Venya berjalan menghampiri kami sambil berkata, “Kenapa kemaren ninggalin gue, sih? WA gue juga enggak dibales. Lo ke mana, sih?”
Kale berdecak. “Maaf, Na. Gue tinggal dulu, ya.”
***
Aku menatap pantofel hitam di atas kursi kayu panjang yang berada di sebelah vending machine dengan bibir yang menekuk ke bawah. Sia-sia usahaku untuk bangun pagi dan membuatkan bekal spesial untuk Kale. Itu semua gara-gara Venya! Memang sih dia cewek populer di SMA Extraordinary, dan bisa bebas melakukan apa saja yang diinginkannya di sini karena yang aku dengar di aitu masih keponakannya Pak Nando, kepala sekolah SMA ini. Tapi kan... argh! Kesel aku!
Ah, kalau begini terus-terusan, rasanya aku ingin menangis saja. Bagaimana kalau sampai Kale tidak punya ruang untukku?
“Nih, minum dulu!” Javier menyodorkan minuman jeruk kaleng ke depanku. “Jangan bengong terus. Masih pagi, Na.”
Aku menggeleng. “Siapa juga yang bengong? Gue cuma kesel aja.” Kuambil kaleng tersebut dari genggaman Javier. “Thanks, ya!”
“Sama-sama, Una.” Javier mengangkat kedua tangannya, memberikan aku semangat. Lalu, dia kembali bersandar di seberangku, di sebelah Gema. Mereka sepertinya bersiap untuk mencecarku.
Aku menghela napas. “Kalo terjadi apa-apa sama gue, kalian jagain Kale buat gue ya.”
“Eh, tunggu, tunggu.” Javier melangkah mendekatiku lagi, lalu duduk di sejajar denganku. “Tadi gue denger, Kale sama lo pacaran. Itu bener?”
“I-iya.” Kuberanikan menatap Gema. “Gue yang minta kemarin.”
Javier menghela napas. “Oke, gue enggak akan nanya apa yang jadi alasan lo jadian sama Kale. Karena alasan lo cinta sama aja enggak cukup buat jelasin semuanya.” Dia berdiri, lalu berjalan mondar-mandir seperti cewek yang tengah menunggu balasan chat dari gebetannya.
“Kenapa?” tanyaku polos.
Javier berdecak. “Harusnya gue yang nanya itu ke lo. Kenapa Kale? Kenapa enggak gue, Gema, atau cowok lain?”
Aku mengangkat bahu. “I don't know. Susah dijelasinnya.” Kuusap wajah dengan kedua telapak tangan. Aku tidak mungkin juga kan bilang kalau aku menyukai Kale.
“Don't be a jerk, Na! Lo tahu kan Kale bakal dijodohin?”
“Iya tahu.”
“Lo mau cari masalah atau gimana, sih? Gue enggak ngerti.”
“Ngomongnya pelan-pelan aja kenapa, sih.” Aku merasa kalau tenggorokanku benar-benar kering sekarang. Aku menunggu reaksi dari Gema pun sepertinya dia akan bungkam, seolah dia hal yang ingin diketahuinya tadi sudah terjawab semua.
Kuraih jemari Javier. Javier pun akhirnya kembali duduk. “Udah, jangan marah sama gue dong.” Perasaanku bertambah gusar saat ini. Aku tidak mungkin membohongi kedua cowok ini terus menerus. “Nanti gue bakal cerita sama kalian, kok. Tapi enggak sekarang.”
“Think twice before you act, Na.” []
Gema pengingat yg baik emang. Gak kek kale ππ
Comment on chapter BUKU HARIAN UNA (BH 4)