Aku tahu, tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini
Karena pada dasarnya semua telah Allah atur
***
“Urusannya sudah selesai, Sya? Cepat sekali.”
“Urusan apa?” Tania yang baru saja kembali ke tempat duduk bersama bibi kantin yang membawakan pesanan mereka, bertanya penasaran. Aisyah hanya mengangguk, Pani mulai menebak-nebak bahwa Aisyah sudah memberikan jawaban. Tapi dari raut wajah yang Aisyah tampakkan tidak ada tanda-tanda bahwa dia menerima ataupun menolak.
“Kok pada diem? Urusan apa Sya?”
“Urusan asrama, Tan. Udah. Deh jangan kepo.” Akhirnya Rama yang menimpali.
“Ah! Asmara? Sejak kapan Aisyah tahu asmara-asmaraan?” Pani mencubit lengan Tania gemas.
“Asrama, Tan! Bukan asmara.”
“Oh, gitu.”
Pani kembali menatap Aisyah penuh tanda tanya, ketika Aisyah kebetulan melirik ke arahnya dia segera menaikkan alisnya sebelah, mengisyaratkan kalau dia pengen tahu apa jawaban yang Aisyah berikan. Aisyah menggelengkan kepala pelan, membuat Pani tersenyum paham. Sebenarnya dia sudah tahu bahwa Aisyah pasti akan menolak, namun mungkin saja untuk kali ini Aisyah menerima, tapi ternyata tetap saja.
Langit yang tadi cerah mulai terlihat mendung, gemuruh mulai terdengar dari kejauhan, menandakan hujan sebentar lagi akan menyapa bumi. Rama melirik Aisyah yang mulai terlihat tak tenang. Rama tahu, Aisyah pasti mengkhawatirkan jika nanti akan turun hujan beserta petir, dan Aisyah sangat takut dengan petir.
“Yah, mau hujan,” seru Pani, Semua mendongak menatap langit yang mulai gelap.
“Diskusi nanti kita lanjutkan di grop saja, bagaimana? Sekarang lebih baik kita pulang sebelum hujan.”
“Aku setuju, cucianku di kos nggak ada yang angkatin, nanti basah lagi.”
“Perasaan cucian kamu dari minggu lalu nggak kering-kering deh, Sen.”
Sendy memutar bola matanya jengah mendengar ucapan Tania.
“Mon maaf, nih, ibu Tania yang terhormat. Baju tiap hari diganti, otomatis nyucinya juga tiap hari!”
“Ya sudah, bagaimana? Setuju kita lanjut diskusi di grop?” Mereka akhirnya sepakat bersamaan dengan rintik gerimis mulai terlihat membasahi tanah.
“kalau gitu aku balik duluan, ya, nggak apa-apa?”
“Iya, Sya. Kami juga mau balik. Mau dihantar ke asrama?”
Aisyah menggeleng sembari tersenyum. Cukup, Aisyah tahu kalau Rama memang baik ke semua orang, namun kebaikan dan perhatiannya yang seperti ini bisa membuat orang salah paham nanti dengan hubungan mereka. Terlebih lagi Rama sudah memiliki pacar, meski berpacaran sekalipun belum menjanjikan menuju pelaminan, tetap saja Aisyah tak ingin masuk terlalu jauh ke dalam masalah hubungan mereka.
Hujan mulai berjatuhan dengan lebat, membuat langkah Aisyah harus terhenti dan memaksanya harus berteduh. Gedung asrama masih sekitar dua ratus meter dari tempatnya sekarang, jika dia memaksa untuk tetap menerobos takutnya air hujan akan mengenai laptop yang dia bawa.
“Allahuakbar!” Pekik Aisyah, ia sampai terjatuh ketika cahaya kilat menerangi bumi yang tertutup hujan, membuat orang-orang yang berteduh di dekatnya melirik.
“Maaf,” cicitnya lalu kembali bangkit. Tubuhnya mulai gemetar, bukan karena terkena air hujan namun rasa takutnya akan petir membuat dia harus menahan diri.
“Hujan, aku mohon reda saja sebentar,” lirihnya pelan, dia tidak bisa membayangkan keadaan dirinya untuk beberapa menit yang akan datang, jika dia masih berada di tempat terbuka seperti ini. Dia tidak bisa menatap langsung kilatan cahaya dan gemuruh yang saling sahut menyahut.
“Aisyah, ya?” Aisyah menoleh ketika seorang mahasiswi menghampirinya. Aisyah hanya mengangguk, bukan tak sopan tapi lidahnya terlalu kelu untuk bersuara akibat menahan rasa takut yang semakin ia rasakan.
“Ada yang titipin payung tadi, nih! Katanya langsung pulang saja jangan nunggu hujan reda.” Dengan wajah masih menyimpan tanya, Aisyah mengambil payung yang diberikan kepadanya.
“Ter-rima-kasih,” ucapnya terbata. Aisyah mengedarkan pandangannya, berharap dia bisa menangkap sosok mencurigakan yang memberinya payung. Namun Aisyah melihat tak ada satupun yang terlihat mencurigakan diantara sekian banyak orang yang bersamanya menunggu hujan reda. Atau mungkin saja orang tersebut memang tidak berada di sekitar tempatnya berteduh sekarang.
Matanya kembali terpejam erat ketika cahaya kilat kembali menerangi bumi, disusul gemuruh yang seakan memekakan telinga. Baiklah, satu masalah teratasi, sekarang dia sudah memiliki alat untuk menaunginya dari deras hujan, namun yang jadi masalah selanjutnya adalah Aisyah tidak berani untuk berjalan sendiri di bawah derasnya air hujan dan petir yang menggelegar seperti ini. Tapi jka dia tetap saja di sini bisa dipastikan dia akan pingsan karena menahan takut. Beberapa kali dia hendak melangkah, namun selalu urung karena rasa takutnya. Payung yang dipegangnya sudah terbuka lebar dari tadi, tinggal dirinya yang harus memberanikan diri.
“Ai-syah, Cuma tinggal jalan doang, Ke-kenapa susah sekali?!” rutuknya pada diri sendiri, tapi tetap saja nyalinya semakin menciut mendengar gemuruh yang semakin menggelegar. Ditengah keputus asaan, tiba-tiba Aisyah melihat sosok mahasiswa berlari menerobos hujan dan melewatinya, meski tidak melihat dengan jelas wajahnya, namun sepertinya mahasiswa tersebut juga hendak menuju asrama. Tanpa membuang kesempatan, Aisyah ikut berlari menerobos hujan dengan payung dari orang misterius yang telah berbaik hati kepadanya.
“Alhamdulillah.” Kini Aisyah bisa menghembuskan napas lega, karena sekarang dirinya sudah berada di dalam gedung asrama. Meski dia masih mendengar gemuruh yang terus saling bersahutan, setidaknya dia tidak melihat langsung cahaya kilat yang menyambar kesana kemari.
“Baru pulang kuliah, Neng?”
“Ia Bi, tadi sempat kejebak hujan.”
“Ya sudah, minum yang anget-anget dulu, biar nggak sakit.”
Aisyah menatap Bibi kantin heran, ketika menyodorkannya segelas cokelat hangat kepadanya.
“Bi, Aisyah belum pesan apa-apa, loh!?”
“Eh, iya-iya. Sudah, anggap saja Bibi lagi berbaik hati.”
“Terima kasih, Bi. Tenang, Aisyah akan tetap bayar, hehehe.”
“Ngapain dibayar, itu sudah dibayar, atuh Neng!”
“Ah?!”
“Maksud Bibi, Neng Aisyah nggak usah bayar, itu gratis!”
Aisyah masih menyelidik lewat tatapannya. Dia merasa ucapan Bibi kantin memiliki unsur kebohongan yang disembunyikan.
“Kayak kenal payung ini!” Fokus Aisyah teralih mendengar suara Meimei yang sejak kapan mungkin berada di sampingnya.
“Kamu tahu siapa yang punya, Mei?”
Memei mengerutkan dahi mencoba mengingat-ingat.
“Lupa, atau mungkin hanya perasaan aku saja.” Aisyah mengangguk paham, lagian model payung seperti ini banyak dimiliki oleh orang, jadi mungkin saja Meimei kebetulan pernah melihat payung modelan seperti itu.
“Bi, gorengannya sepuluh ya!”
“Siap, Neng. Dibungkus ini?”
“Iya, mau dibawa ke atas.” Meimei mengambil posisi duduk di sebelah Aisyah sembari menunggu pesanannya siap.
“Dapat darimana payung itu?” Ternyata Meimei sama penasarannya sama Aisyah. Dia sendiri yang mendapat payung tersebut tidak tahu dari mana asal aslinya benda itu.
“Dari hamba Allah,” jawab Aisyah sembari kembali menyeruput cokelat hangat yang diberikan Bibi kantin tadi.
“Idiii, sekarang main rahasia-rahasiaan, ya,” ledek Mei-mei.
“Bukan gitu, tapi memang aku nggak tahu, Markonah!”
“Ya udah, naik ayo. Itu baju sama jilbabmu basah setengah. Oh, ya, sudah hebat sekarang, nggak takut sama petir lagi.” Satu sentilan mendarat mulus di kening Meimei.
“Kamu nggak tahu aja, gimana takutnya aku tadi di luar. Hampir mau pingsan.”
“Uuuu sayang… cup-cup….”
Aisyah bergidik ngeri, meninggalkan Meimei yang akan kambuh kegilaannya. Meimei tertawa lepas, sembari berlari naik mengejar Aisyah. Menjahili teman kamarnya yang satu itu memang salah satu hobinya.
Setelah kepergian Aisyah dan Memei dari kantin, sosok Reyhan muncul dari arah dapur
“Terima kasih, Bi. Sudah membantu.” Senyumnya mengembang ketika Bibi kantin memberikannya semangat 45.