“Istirahat lah dulu, Dif. Kau bertanggung jawab atas dirimu sendiri, jangan terlalu tertekan, ini masalah yang umum dalam pekerjaan dan organisasi.” Eoni sempat mengajakku berbincang di dapur basecamp saat forum sudah selesai.
Seperti biasa aku menemaninya cuci piring dan gelas untuk suguhan saat diskusi tadi. Aku agak ngeri dengan Eoni kali ini, suhu udaranya menyentuh angka 13 derajat tapi ia tahan dan terlihat baik-baik saja dengan air yang sedingin es teh itu.
Aku hanya mengangguk dan tidak berkata apa-apa, pikiranku masih terlalu sibuk dengan urusannya sendiri.
“Mau minum jahe bubuk seduh? Aku punya satu toples.” Eoni menawariku.
Aku mengangguk lagi, tidak ada buruknya minum jahe tengah malam begini.
Gemericik air yang keluar dari ceret terdengar nyaring karena suasana yang sepi, nampaknya hanya aku, Eoni, Bu Dhena dan Bu Nada yang masih terjaga di rumah ini. Nampaknya dua ibu-ibu itu masih sibuk dengan draft-nya yang belum selesai, pasalnya aku masih mendengar suara ketikan keyboard leptop dari ruang tengah.
“Mengapa kau diam saja, Eoni? Mengapa kau tidak menyampaikan pendapatmu tentang Sabang saat debat tadi? Bukankah sebelumnya kau juga sudah menceritakannya padaku?” Tanyaku tiba-tiba dengan pandanganku yang masih kosong.
“Sama seperti yang kau lakukan, berusaha menjadi rata-rata air dan bersikap se-netral mungkin. Aku tidak mau menyampaikan dugaan yang belum jelas duduk perkaranya. Aku berfikir, tapi buah pikirannya belum matang untuk disampaikan di forum penting semacam tadi. Sudah seyogyanya kita bisa memilah mana yang harus dipendam dan harus disampaikan.”
“Tapi mengapa kau mengatakannya padaku? Bukankah aku bisa membocorkan tuduhan-tuduhanmu itu pada orang lain?”
“Iya, kau bisa. Tapi aku tahu kau tidak akan melakukannya,” Tatapan itu tak pernah membuatku baik-baik saja, ada getaran kecil yang terjadi pada pusat dadaku karena perbuatannya. “Aku mempercayaimu, Dif.”
Mata itu masih tertuju padaku, “ya ampun!” Aku sampai tidak berani membalas tatapannya.
Suara detik jam memenuhi ruangan, sesaat kami diam dan tidak saling mengatakan apa-apa. Kepulan asap dari gelas dan aroma jahe seduh hangat, meliuk-liuk menyapa penciuman kami. Suara ketikan keyboard juga masih sesekali terdengar.
“Jangan terlalu merasa tersakiti dengan perkataan tadi, yang berhak memutuskan untuk jadi tersakiti atau tidak adalah dirimu sendiri, tentu tidak ada yang baik-baik saja setelah mendapat sindiran, sudutan dan perkataan yang tidak enak di telinga ataupun di hati.” Eoni menepuk punggungku lagi.
“Kau benar, Eoni. Tak seharusnya aku terlalu mengambil hati. Aku tak perlu terbawa suasana.” Aku sadar betul dengan kekuranganku.
“Jangan sampai sakit. Aku mengandalkanmu dan kau juga harus bisa mengandalkan dirimu sendiri.” Eoni mengatakan itu sambil menghabiskan tetes air terakhir dari dalam gelasnya. Jahenya sudah habis.
“Sudah jam satu, aku harus kembali. Tak enak jika aku terus di sini.”
Eoni melambaikan tangannya di ambang pintu, meskipun rumah dan basecamp bersebelahan entah mengapa gadis itu merasa perlu mengantarku.
Malam ini aku tidur nyenyak berkat segelas jahe yang dibuat Eoni.
~~~
Masih subuh sekali aku sudah bisa mendengar suara jalan khas kakeh-kakek, seperti biasa, itu adalah Mbah Kakung. Beruntung hari ini tanggal merah, kabar gembira untuk kami semua. Kami bisa tidur lebih lama dan makan lebih banyak. Sebuah kenyamanan hidup yang dibutuhkan semua umat manusia.
Sayang sekali langit pagi ini biru bersih tanpa saputan awan, jadi aku tidak bisa tidur lama-lama. Aku rasa udara pagi pegunungan semacam ini baik untuk tubuhku. Entah ide dari mana, aku berinisiatif untuk mengajak Eoni pergi ke bukit Njahe. Tidak hanya berdua, aku mengajak Yui dan Yua untuk ikut serta.
“Bawa ponselmu barangkali ingin mengubungi seseorang, di sana ada sinyal yang cukup bagus.” Saranku pada Eoni, ia bilang belum pernah ke bukit itu.
Eoni menggeleng, ia bilang tidak ingin menghubungi siapapum.
Aku mengangguk, itu bukan masalah.
Di sana sudah ramai anak-anak yang sedang bermain layangan, menangkap capung, tanding kelereng, dan permainan anak kecil lainnya.
Tanpa menunggu lama, begitu ponselku mendapat sinyal, pesan-pesan yang tersangkut entah di mana langsung berebut masuk. Hpku riuh bergetar seperti toko yang diserbu pengunjung di musim diskon.
Ada satu pesan yang menarik perhatianku dan aku buka paling dulu, “Bang, bagaimana kabarmu? Bagaimana pekerjaanmu? Kalau sempat telfon ya! Aku lagi di rumah.” Pesan tertulis dari Zahwa.
“Abangmu selalu sehat, bahagia, bersyukur dan tercukupi, Wa. Semoga kau dan Ibu juga. Aku kangen sekali, ingin pulang. Ingin bertemu denganmu, sayang sekali waktu libur kita tidak pernah bersamaan. Pekerjaanku menyenangkan, seperti yang aku bilang di awal, aku akan menyukai pekerjaanku. Memang sulit dan ada beberapa masalah, tapi bukan berarti aku tidak menyukainya. Kabari aku waktu yang tepat dan jika kau sempat, nanti aku akan berusaha cari sinyal di desa terpencil ini. Jika kau kemari, kau mungkin akan tertawa atau bisa jadi kau akan menyukainya, Wa. Karena di sini kalau mau dapat sinyal, harus naik bukit dulu. Repot tapi seru.” Aku mengirim pesan yang panjang sekaligus, karena aku tahu waktu semacam ini tidak lah sering, apalagi Zahwa jarang-jarang di rumah.
Tapi nampaknya waktu dan kesempatan tengah bekerjasama untuk kami. Tak lama dari pesanku yang terkirim, Zahwa dengan cepat kembali membalasku, “Abang, masih ada sinyal? Biar aku telfon.”