“Aduuhh, rasanya aku hampir tidak bisa merasakan tulang-tulangku.” Guna menggelihat seperti kucing kekenyangan.
“Tentu lah, tulangmu ketutup lemak sama air.” Celetuk Gembi di pojok meja.
“Ngoco, Bil. Ngoco.” Sanggah Eoni yang membuat seisi ruangan tertawa. Eoni memang kerang memanggil Gembi dengan tambahan huruf L dibelakangnya. Gembil.
Makan siang para junior kali ini ada di rumah Mbah Kakung, meskipun masak-masaknya ada di basecamp putri, namun rekan-rekan perempuan kami ini rela menenteng mangkuk berisi hidangan lezat dari sana ke rumah Mbah Kakung.
Alasan kami memilih makan di sini adalah karena di basecamp putri sudah ramai oleh Pak Wicak, Pak Subhan, Pak Jayadi dan para arkeolog senior, alasan lainnya adalah supaya bisa makan siang bersama Mbah Kakung. Aku sungguh senang mendengar lelaki sepuh ini mendongeng dan bercerita tentang pengalamannya selama tinggal di bumi.
“Anak muda sekarang memang tidak sekuat pemuda dulu. Mau kekar bagaimana, pegangannya saja pulpen sama kertas. Beda dengan jamanku, dulu saat usiaku masih 12 tahun saja sudah terbiasa manggul sekarung kentang, talas dan ubi singkong dari kebun sampai ke pasar. Dan kebiasaan itu terus-menerus aku lakukan sampai dapat pekerjaan sendiri.” Jelas Mbah Kakung.
“12 tahun?” Tanya Gembi seolah tidak percaya, maklumlah dia anak kota yang tidak nyaman menggunakan jamban jongkok apalagi BAB di pinggir sungai.
“Iya, sungguhan. 12 tahun.” Ucap Mbah Kakung penuh penekanan, selayaknya eyang-eyang pada umumnya, Mbah Kakung pun begitu, “Meskipun aku sudah sangat tua tapi Alhamdulillah aku tidak diberi pikun sama Gusti Allah.”
“Wah, keren.” Ucap Gembi.
“Waktu umur 12 tahun itu Mbah Kakung kuat mengangkat sekarung kentang? Itu tentu bukan barang enteng.” El mencoba bergabung dalam percakapan.
“Tentu, tentu, pernah beberapa kali aku hampir semaput atau karungnya jebol karena sengaja kujatuhkan di tengah jalan. Lelah dan letih itu jelas. Tapi kalau tidak begitu nanti aku dan adik-adikku yang masih kecil tidak bisa makan. Meski lelah dan lain sebagainya, Mbah Kakung ini tidak memutuskan berhenti untuk melalukannya,” Mbah Kakung mengambil nafasnya sejenak, “Pahami hal ini betul-betul anak-anakku, kalau kau lelah tapi hatimu lega dan merasa senang, artinya kau tidak salah langkah. Karena aku dulu juga begitu, tak peduli seberapa pun tenaga yang kukerahkan melebihi sapi perah, tapi saat pulang membawa uang dan makanan, kemudian bisa melihat adik-adik makan sampai kenyang, rasa nikmatnya sungguh tiada dua. Dan itu alasanku agar semangat untuk berangkat kerja setiap pagi.”
Tidak lama dari kami berbincang-bincang, terdengar suara Pak Wicak Memanggilku dari halaman rumah. Mereka meminta kami untuk berdiskusi dengan rekan tim dan tenaga pembantu yang lain.
“Aku sungguh tidak mengerti,” Kalimat Pak Wicak membuka perbincangan, “Bagaimana cara oknum penjarah ini melakukan aksinya. Dan bagaimana mereka bisa sampai ke Desa Sarang Panjang yang terpencil ini! Tiga hari yang lalu, aku dan Pak Jayadi bersama dengan rekan yang lain sudah meninjau Lembah itu dengan sangat detail. Tak ada satu bata pun tergores apalagi berpindah dari letaknya yang semula. Tapi mengapa di hari pertama kita seharusnya mulai mempercepat gerak malah puluhan bolder yang menanti di lapangan.”
Forum hening sejenak. Semua orang mulai berfikir pada asumsinya masing-masing.
“Ini merupakan sebuah kejahatan yang direncanakan.” Sahut seseorang dari ujung pintu.
“Harusnya, semisal ada sebuah kelompok atau segerombol orang yang melakukannya, pasti ada tanda-tanda dari kedatangan mereka. Aku sudah di sini seminggu lebih dulu, tapi desa dan bukit di sini aman sentosa. Tak ada juga tanda-tanda bencana yang menimpa area pegunungan ini. Lagi pula, Sarang Panjang adalah desa tertinggi di kaki Gunung Dahyang, ketika orang dari desa lain ingin menuju ke lembah lempat ekskavasi yang letaknya di tengah bukit itu, maka ia harus lewat sini dulu, kecuali mereka menggunakan jalan memutar. Dan Asumsiku yang lain, sangat kecil kemungkinannya warga desa sekitar sini sebagai pelakunya. Sarang Panjang dan sekitarnya adalah wilayah yang jauh dari perkotaan dan beradaban dunia modern yang tahu tentang perdagangan barang purba, sejauh yang aku ketahui tak banyak orang sini yang kenal dengan pasar dan lelang gelap semacam itu. Bagaimana akan kenal, akses jalan dan sinyal internet saja susah. Tak ada keuntungan bagi mereka untuk merusak situs.” Lanjut Pak Wicak.
“Mungkin mereka datang bersamaan dengan kami datang.” Ucap Sabang secara tiba-tiba, aku sedikit terkejut, ia biasanya lebih banyak diam. “Mereka memanfaatkan momen keributan saat kedatangan tim kemari dengan menyelinap masuk dan menjalankan aksi. Seingatku kmarin ada beberapa kendaraan truk yang mengangkut alat untuk ekskavasi dan perlengkapan selama enam bulan ke depan. Dan kita semua tahu, keramaian yang terjadi kemarin bisa saja dimanfaatkan.”
Bagus juga pemikiran Sabang kali ini.
“Tapi, tidak mungkin batu bolder sebesar meja belajar itu diangkat oleh sedikit orang. Logikaku agak sedikit sulit menerima jika ternyata yang melakukan penimbunan itu hanya dilakukan oleh 15 orang dalam waktu sebentar. Butuh setidaknya orang satu desa untuk mengerjakan itu. Dan keributan macam apa yang bisa menutupi kedatangan orang sebanyak itu sampai-sampai tidak kita sadari jejaknya sama sekali.” Sahut Mas Aji, seorang asisten Pak Wicak yang sudah ikut projek ekskavasi ini dari tahun kemarin.
“Aku sedikit paham dengan apa yang Sabang ucapkan, Pak. Kukira gembong oknum penjarah profesional lebih paham cara melakukan dan mengakalinya. Mungkin mereka melakukan itu dengan cara menurunkan anggotanya satu persatu di tempat-tempat yang berbeda, sebelum benar-benar sampai ke sini atau bahkan mungkin kendaraan yang mereka gunakan tak pernah sampai betul ke desa ini. Itu terlalu riskan. Dari titik mereka diturunkan itu, mereka punya satu titik koordinasi yang aman dan akurat untuk merencanakan aksi sebelum tim ekskavasi dari balai budaya datang ke lapangan. Daripada desa kecil ini, tentu masih banyak tempat di luar sana yang strategis untuk mereka bersembunyi. Mungkin di hutan, atau di tempat yang tidak pernah kita kira sama sekali.” Aku mengeluarkan sedikit argumenku yang sejalan dengan Sabang.
Forum mulai terasa kurang kondusif, masing-masing mulai berdiskusi sesamanya tanpa benar-benar mengacungkan tangan untuk mengeluarkan pendapat. Kasus perusakan situs ini tentu bukan kasus yang sederhana.
“Tapi jika asumsi-asumsi tadi ada yang benar, untuk apa tujuan dari penjarah profesional sampai ke mari dan mengapa mereka merusak situs? Bukankah semua arca ditemukan pun sudah diamankan?” Tanya Pak Jayadi dengan suara yang cukup keras sampai menghentikan dengunan lebah yang berasal dari forum di dalam forum.
“Belum, Pak. Belum semua, kalau diamati tepat pada bagian center dari tubuh candi, semua ia rapat. Bagian belakang candi pun belum terlihat, tapi saat tadi kuselidiki, sepertinya sudah ada lubang di tengah tubuh candi yang harusnya rapat dan tertutup tadi. Kemungkinan mereka mengambil sesuatu dari dalam sana, baru kemudian menimbunnya sekalian dengan luasan area candi yang sudah digali.”
Diskusi berlangsung sampai malam dan belum ada kesimpulan, tapi forum segera dihentikan sesaat setelah adzan isya’ sang muazin berkumandang, Pak Wicak menyuruh kami untuk beristirahat dan tidak begadang agar esok bisa kembali bekerja kasar di lapangan lagi.