Sebenarnya, projek ekskavasi kali ini sifatnya hanya meneruskan dari projek sebelumnya. Setahun yang lalu sudah ada tim yang sudah lebih dulu menggarap lahan situs karena ditemukannya sebuah struktur bata kuno di dalam tanah. Mungkin karena alasan itu lah, aku dan kawan-kawan arkeolog junior diperkenankan untuk terjun langsung ke lapangan untuk meneliti situs lanjutan.
Dari data yang aku dapat dan kutulis rapi di buku catatanku, tanah yang sudah pernah digali terdapat sebuah pagar keliling yang membatasi candi dengan lingkungan sekitarnya pada jaman dulu, dengan panjang bangunan candi utama adalah 13,30 meter dan lebar 5,45 meter.
Untuk tinggi keseluruhan diperkirakan sekitar 5,86 meter namun karena atapnya telah runtuh, tingginya hanya tersisa 3,56 meter. Menurut yang dikatakan Pak Subhan dan Bu Nada, sang candi terbuat dari bahan batu andesit campuran dengan batu bata. Candi ini bisa dibilang cukup megah dan yang membuat aku penasaran, untuk apa dan siapa candi ini dibangun.
Dari beberapa literatur, di sana menyebutkan jika candi yang dibangun di gunung atau di lereng-lerengnya biasanya adalah candi pertapaan atau pemujaan di masa itu. Sejauh ini, tim arkeolog masih coba mencocokkan keberadaan candi dengan catatan-catatan sejarah yang mengindikasi adanya ‘sesuatu’ dengan temuan ini.
Arah dari sang candi itu mengahadap ke barat. Untuk struktur bagian dari candi terdiri dari batur landasan candi, kaki dan tubuh. Di dinding candinya ada 40 panil kecil yang berukuran sama. Reliefnya bergambar binatang yang membentuk sebuah cerita yang mungkin mengandung kisah tertentu.
Candi ini diperkirakan merupakan candi dengan latar belakang agama budha karena di ekskavasi sebelumnya ditemukan lima buah Arca Dhyani Budha yang kini sudah diamankan di balai budaya.
Dan inilah masalahnya, yang membuat geger satu desa. Seperti yang Pak Wicak katakan selamam, ia takut jika sisi dinding candi dibongkar oleh para penjarah yang berusaha mengambil ‘sesuatu’ dari dalam candi, sebab menurut desas-desus yang beredar, ada sebuah mutiara sebesar genggaman tangan orang dewasa tengah ‘tertidur’ di dalamnya.
Namun yang terjadi ternyata lebih buruk.
Oknum pelaku yang sepertinya bukan satu atau dua orang ini membokar hampir seluruh bagian atas tubuh candi, mahkotanya, tepat di bagian tengahnya, setelah itu ditimbunlah lubang itu sekaligus lubang galian dari tahun lalu dengan puluhan baru besar yang tidak mungkin bisa dianggkat oleh satu atau dua orang lelaki dewasa.
Dan kini, inilah pemandangan bagi kami, setumpukan batu-batu besar yang kami sebut dengan istilah bolder dengan ukuran lebih besar dari mesin penanak nasi sudah memenuhi situs galian. Bangunan candi yang tadinya sudah bisa dilihat latar dan bagian depannya kini kembali rata dengan tanah tertutup batu-batu.
Bu Dhena menangis tanpa suara melihat pemandangan menyedihkan ini. Aku yang masih berumur sebiji jangung bekerja di dunia per-arkeologian ini belum terlalu related dengan peristiwa yang terjadi, beberapa peneliti senior juga nampak murung, tak sesemangat tadi saat berangkat. Namun dari belakang kami semua Pak Wicak segera turun ke lahan galian dan merangkak naik ke atas batu.
Dengan sekali tarikan nafas beliau memberikan perintah “Oke, karena satu dan dua hal ternyata terjadi diluar dugaan kita, maka mari kita ganti agenda pertama yang harusnya penggalian menjadi pengangkatan bolder. Paham?”
Aku bersama seluruh warga yang ada di sana serentak mengangguk dan menjawab “Paham!” dengan suara yang lugas, tegas dan berani. Alat yang sudah dibawa dari rumah-rumah warga seperti cangkul, sekop, sabit, sapu lidi dan lain sebagainya diletakkan di pinggir, diganti dengan tali-temali dan tiang kayu untuk menganggkat batu.
Tak ketinggalan juga beberapa buah linggis untuk menggempur bolder laknat ini.
Aku benar-benar salut dengan Pak Wicak, meskipun ekspresi wajahnya terlihat kalut ia tetap mencoba bersikap tenang dan biasa saja, meskipun aku tahu dari seluruh manusia yang ada di lembah sekarang, Pak Wicak lah yang paling dibingungkan.
Untuk pengangkatan bolder ini pasti tidak akan selesai dalam waktu sehari atau dua hari, otomatis itu akan menggeser jadwal dan agenda yang sudah direncanakan. Tim harus memutar otak kembali agar target dan anggaran untuk ekskavasi bisa tepat dan maksimal.
Aku agak sedikit takut saat sadar akan situasi, terus terang saja walaupun badanku berisi, tapi ini termasuk ringkih bila dibandingkan dengan badan bapak-bapak desa yang kesehariannya mengangkati kentang berpuluh-puluh kilo dan rumput bergulung-gulung untuk makan hewan ternak.
Guna yang paling menyedihkan, badannya yang menggelembung itu isinya air dan lemak semua, baru mengangkat dua batu yang dibantu olehku, Sabang dan beberapa pemuda lain, nafasnya sudah terdengar menderu bukan main.
Keadaanku pun tak lebih baik, badanku menahan pegal yang setengah mati aku tahan karena belum siap untuk bekerja berat. Sebelumnya tak ada ekpektasi sama sekali jika hari ekpedisi pertamaku, aku diperkenankan untuk menganggakti batu yang bobotnya setara dan bahkan lebih dari berat badanku.
Tapi benar kata ibu dulu, bahwa kadang tamu berkunjung saat kita tidak siap, tapi itulah kenyataan yang sedang terjadi. Segera membenahi diri dan menyesuaikan adalah salah satu cara yang terbaik supaya keadaan tidak semakin buruk.
Di tengah udara dingin dan angin yang bertiup dalam suhu udara yang berkisar pada 13 sampai 17 derajat, matahari bersinar sangat terik di antara megah biru dari langit yang mengatapi kami, keringatku ndrojos kemana-mana tetes-tetesnya sampai terasa berjalan di punggung, dada dan pelipis.
Rasanya lengket dan asin, aku merasa menjadi butiran garam yang bisa menguap di tengah semesta besar ini.
Beruntung, karena datang tenaga bantuan, sampai tengah hari setidaknya 1/3 dari lubang galian sudah mulai terlihat kembali, sisanya tinggal bolder berukuran lebih besar dan mungkin bisa diangkat oleh 4 orang akan dilanjutkan besok. Kami berangkat rapi dan pulang dalam keadaan compang-camping dengan peluh seluruh tubuh.
Aku bersama dengan Pak Jayadi, Pak Subhan, El, Sabang dan Guna bekerja hanya setengah hari dan pulang lebih dulu.
Sesampainya di rumah aku segera bersih-bersih dan mengambil makan yang telah disediakan oleh rekan tim yang perempuan. Nampaknya pekerjaan mereka pun berubah jobdesk di hari pertama, yang seharusnya meninjau lapangan malah jadi agenda masak-masak dalam jumlah besar.
Dari kami berempat yang mungkin keadaannya paling baik adalah Sabang, saat aku, El dan Guna secara natural dan tidak direncanakan memasang wajah nelangsa saat sejak turun bukit hingga makan siang, Sabang-lah yang tetap terlihat sehat, keren dan santuy. Dari ekspresi wajahnya pun tetap datar dan begitu-begitu saja.
Seolah acara melinggis dan angkat-angkat batu tadi tidak pernah terjadi. Mulutnya saja tak sedikit pun mengeluarkan keluhan seperti pegal atau capek. Dan lihat, Eoni dan Maharani amat memperhatikannya. Tentu saja, gadis mana yang tidak kagum.
Sabang yang aku tahu memang begitu, sejak dari pendaftaran, pemberkasan dan seleksi-seleksi ia adalah kawan yang paling loyal dan paling bisa diajak kompromi untuk masalah pekerjaan. Walaupun secara privasi kami agak saling tertutup, tapi Sabang sudah berkali-kali membantuku bahkan saat ekpedisi projek ekskavasi ini belum dimulai.
Dahulu saat masih wawancara aku tidak tahu kalau materai yang dipakai dalam berkas harus bernilai 6.000, saat itu punyaku masih 3.000 semua dan Sabang rela memberikan seluruh materai di berkasnya untuk dipakai lagi olehku meski sudah ada sedikit coretan dari tanda tangannya.
Ia tak mau aku ganti dengan uang cash alasannya ia sudah selesai wawancara dan berkasnya boleh dibawa pulang. Panitia seleksi waktu itu tentu tidak tahu jika materai yang dipakai oleh Sabang dan aku adalah materai yang sama.