Spektrum oranye pada langit sore membentang memenuhi cakrawala. Bunga-bunga matahari yang berjajar di depan Kedai Bunga Peony mulai menundukkan kepala. Sementara bunga wijayakusuma yang menjadi penjaga pintu kedai itu mulai menggerakkan kelopaknya yang berwarna putih keledai. Dan akan mekar sempurna nanti pukul sembilan malam. Merebakkan aroma mistikus seakan memanggil para dewi untuk menemani kesendirian Sora.
Sore ini Sora sendirian. Mina, pegawai paruh waktu yang harusnya menemaninya, hari ini memiliki urusan dadakan dengan dosennya. Tiba-tiba saja ia ditunjuk menjadi asisten labolatorium. Kemungkinan kedepannya ia akan lebih sering menghabiskan waktu di labolatorium daripada di kedai. Namun Sora memahami itu. Ia pun berjaga sendirian di kedai sambil menata bunga-bunga di etalase, sebelum pandangannya teralihkan pada Gavin di seberang jalan. Lelaki itu melambaikan tangannya. Membuat Sora tergerak untuk menghampirinya.
Di teras kafe yang sedang dalam masa pembangunan itu, Gavin merekahkan senyum menunggu kedatangan Sora.
“Sampai mana pembangunannya?” Sora bertanya antusias seketika tiba di hadapan Gavin. Raut wajah lelaki itu terlihat kusut, seperti kelelahan.
“Sampai ... nggak tau apa bulan depan bisa opening. Denah lantai satu dan lantai duanya mau dirubah. Kayu penyangga buat atapnya juga sudah lapuk. Mau nggak mau harus ganti rancangan atapnya biar lebih efisien.” Gavin menjelaskan seperti helaan napas panjang.
“Soal operasionalnya udah beres?”
“Untungnya temen-temenku dari asosiasi banyak membantu. Jadi itu sedikit meringankan pekerjaanku,” jelas Gavin. Ia meneguk kopi kaleng yang ada di genggamannya. “Menu minuman dan makanannya juga sudah siap. Besok aku diminta untuk mencicipi semua menu yang sudah disiapkan barista. Kamu bisa ikut?” lanjut Gavin menawarkan. Sorot matanya sedikit menyiratkan harap.
“Tentu aku akan senang kalau diajak. Tapi masalahnya, aku nggak bisa ninggalin kedai. Jadi aku nggak yakin apa besok bisa ikut.”
Kedua alis Gavin mengernyit. “Loh, pegawaimu ke mana?”
“Dia lagi banyak urusan di kampus. Jadi terpaksa aku harus jaga kedai sendirian.”
Penuh sesal Gavin mengangguk. “Sayang sekali.”
Seiring dengan langit yang berubah gelap, sesosok lelaki berjalan mendekat. Di saat itu pula lampu-lampu jalan yang berwarna temaram menyala berurutan dari selatan ke utara. Memperlihatkan sosok pria perlente lengkap dengan tas clutch kulitnya.
Sora tahu dengan baik siapa lelaki yang berjalan diiringi lampu temaram yang memijarinya seperti bintang. Benar. Tidak salah lagi. Lalaki itu, yang membuat Sora hilang kesabaran pagi tadi. Manusia mekanis yang menuduhnya melakukan pelecehan.
“Mas Vin pernah lihat aku marah sampai nendang pot hingga hancur?” Sora bergumam pelan sambil memicingkan mata melihat Darren yang berjalan seperti malaikat maut. Lengkap dengan ekspresi datarnya.
“Kamu?”
Gavin tersentak mendengar pengakuan Sora. Alisnya naik tinggi-tinggi. Menatap Sora penuh rasa tidak percaya.
“... Perempuan paling sabar dan pengertian seperti kamu, menendang pot sampai hancur? Kakimu baik-baik saja? Siapa yang buat kamu marah sampai segitunya, Sora? Aku aja, yang sudah kenal kamu dari kamu masih belum bisa bilang ‘er’ nggak pernah lihat kamu marah sampai nendang pot. Kamu serius?”
Embusan napas panjang dari hidung Sora seakan membenarkan semua itu. Gadis itu tampak kacau.
“Aku juga nggak tau kenapa aku sampai bisa begitu. Mas percaya aku baru dituduh melecehkan laki-laki?”
“Hah?!” Kali ini pekikan Gavin terdengar keras. Saking konyolnya, lelaki itu sampai tertawa hambar. “Kamu serius?”
Sekali lagi embusan napas panjang membenarkan sangkaan Gavin.
“... Bagaimana ceritanya? Kamu melecehkan laki-laki?”
“Nggak gitu, Mas. Kejadian seminggu lalu, Mas ingat kan?” Sora berusaha menjelaskan kejadian yang sebenarnyanya.
“Tentang laki-laki yang kamu sangka Ian itu?”
Kepala Sora mengangguk. “Aku nggak berpikir panjang waktu itu. Aku langsung peluk orang itu karena mengira dia Mas Ian. Dan seminggu setelahnya aku dituduh melakukan pelecehan. Apa itu benar? Aku sekarang jadi kriminal?” Sora bercerita dengan ekspresi jijiknya. Ia tak jijik pada orang lain. Tapi jijik pada dirinya sendiri jika benar dia sudah melecehkan seseorang. Namun, sungguh. Ia tidak sengaja. Ia terlalu emosional waktu itu.
“Hm, aku tidak tahu, Sora. Itu sedikit rumit.” Gavin membalas. Yang seketika membuat wajah Sora makin putus asa. “Siapa orangnya?”
Menggunakan dagunya, Sora menunjuk ke arah Darren yang sedang berjalan dari jarak kurang lebih dua puluh meter.
“Pria itu. Ternyata dia pengajar kampus. Doktor psikologi ... atau sejenisnya. Pokoknya dia dosennya Mina.”
Saat Sora menggumam-gumam tak jelas, wajah dari lelaki yang berjalan itu makin jelas. Gavin memicingkan kedua matanya melihat pria itu berjalan mendekat.
“Darren?”
Sora spontan menoleh menatap wajah Gavin. “Ya. Doktor Darren. Mas kenal orang itu?”
“Tentu. Dia juga alumni Harvard. Pernah membantu perusahaan ayahku ... empat tahunan lalu, kurang lebih.” Gavin menjelaskan sambil mengingat-ingat masa lalunya. Sejurus kemudian ia kembali mengerlingkan wajah pada Sora. “Jadi dia yang sempat kamu kira Ian?”
Wajah Sora memberengut penuh sesal.
“Ya. Tapi setelah itu aku yakin kalau dia bukan Mas Ian. Mas Ian adalah laki-laki paling baik dan pengertian di dunia ini. Tidak mungkin laki-laki tanpa perasaan itu jadi kakakku.” Sora mendesus pelan dengan penyesalan yang mengintari bola matanya. Tak hanya itu. Ia juga merasa bodoh atas prasangka yang ia sendiri buat. Pertemuannya dengan Darren pagi tadi benar-benar buruk.
Tak lama kemudian Darren telah tiba di teras kafe bersama Sora dan Gavin. Gavin yang kembali menjumpai kawan lamanya seketika itu langsung menghampiri Darren. Menjabat tangannya.
“Apa kabar, Bro? Aku baru diberi tahu Profesor Diana kalau kamu sekarang ngajar di kampus ini,” sapa Gavin dengan senyum gagahnya yang teruntai lebar.
“Aku juga baru dikabari Profesor Diana kalau kamu membangun bisnis di sini,” balas Darren. Sekelebat ia melirik Sora yang kepalanya menunduk dalam-dalam. Wajah wanita itu masih dirundung rasa sesal dan bodoh.
Untungnya Gavin bisa mencairkan suasana di antara mereka. Ketengan yang terjadi Sora dan Darren pun luntur oleh sambutan ramahnya.
“Sini, masuk. Aduh, maaf ya kalau agak berantakan. Lagi proses renovasi soalnya.” Gavin mengajak Darren masuk ke dalam kafenya. Tak lupa juga ia mengajak Sora masuk dengan mendorong punggungnya. Meski sempat menolak, Sora akhirnya menurut.
Ada satu meja kosong yang tadi siang ia gunakan untuk rapat bersama tim. Di sanalah Gavin mengajak Darren dan Sora duduk bersama. “Mau minum apa?”
“Apa saja.” Darren menjawab.
Gavin lantas melambaikan tangannya pada salah satu timnya. Memberikan isyarat yang segera dimengerti oleh pria muda yang sedang beres-beres dapur kafe. Selang beberapa menit kemudian, pria muda itu mengantarkan tiga minuman kaleng menuju meja.
“Maaf, ya. Cuman ada minuman ini. Bahan dan alat peracik minuman baru akan dibawa kemari kalau proses renovasinya sudah selesai.” Gavin kembali bersuara sambil menyodorkan minuman kaleng dingin pada Sora dan juga Darren.
“Tidak masalah. Maaf kalau sudah mereporkan.”
“Oh, tidak, tidak. Justru aku senang bertemu teman lama. Sejak saat itu aku tidak pernah lihat kamu lagi. Kamu nggak aktif di asosiasi, ya? Nggak pernah ikut pertemuan?” tanya Gavin.
“Aku memang tidak aktif di asosiasi. Aku menjadi anggota asosiasi pun karena didaftarkan oleh Angeline.” Darren bercerita.
“Oh, kamu masih berhubungan sama Angeline?”
“Dia sudah seperti adikku sendiri. Jadi, ya, kami masih berhubungan.”
“Ya. Semua orang asosiasi tahu itu. Kamu dan Angeline sama-sama pernah diasuh Profesor Diana. Kamu tahu? Banyak anggota asosiasi yang mengagumi Angeline.” Gavin lanjut bercerita sambil bernostalgia masa lalunya di Amerika.
Darren mengangguk setuju. “Dia memang populer.”
Sementara kedua pria dewasa itu sibuk bercakap, Sora tidak bisa duduk tenang di kursinya. Raut wajahnya sama sekali tak berubah dari sejak Darren muncul dari kegelapan. Kakinya di bawah meja bergerak-gerak, tanda tak tenang. Bola matanya bergetar panik.
Melihat respon itu, Darren mengajaknya berbicara.
“Aku minta maaf untuk insiden pagi tadi,” ucapnya yang seketika membuat kepala Sora menoleh menatapnya. Wanita itu bertanya-tanya, apa pendengarannya salah?
Wajah Darren memang tak memperlihatkan rasa bersalah atau wajah ketika seseorang ingin meminta maaf dengan tulus. Tetapi tatapan matanya yang terlihat dalam membuat Sora berpikir sepertinya lelaki itu memang tulus.
“Aku yang harusnya minta maaf. Maaf sudah menghancurkan pot bungamu, maaf sudah melempar buket di ... wajahmu, dan ... maaf sudah me-memelukmu waktu itu.” Sora balik melontarkan maaf dengan wajah dipenuhi rasa sesal. Sungguh hari ini ia tak bisa minum dengan baik barang seteguk. Tenggorokannya tak bisa menelan makanan saat ia baru saja mengumpati seseorang dan dituduh melakukan pelecehan. “Dan maaf, sudah berkata-kata kasar tadi pagi. Aku sadar tadi pagi aku terlalu ... emosional.” Sora lanjut berbicara dengan tergagap-gagap.
“Ya.” Darren spontan menyahut. Seakan ia menyetujui kalau memang Sora terlalu emosional menghadapinya.
Di sisi lain, Gavin yang baru saja mendengarkan semua pengakuan Sora, mengernyit tak percaya. Ia sungguh tak percaya, Sora, wanita paling manis dan pengertian yang ia kenal, melakukan semua itu pada Darren.
“Kamu juga mengumpat?” tanya Gavin lirih. Pertanyaan itu justru membuat Sora makin merasa bersalah.
“Ya. Dia bilang aku lebih buruk dari anjing,” sahut Darren.
“Ya Tuhan,” desus Gavin tak percaya. Ia langsung menatap Darren dan berkata, “Maaf ya, Darren, untuk semua yang sudah Sora lakukan. Aku mengenal Sora dengan sangat baik. Aku bisa jamin dia bukan wanita yang suka mengumpat dan bersikap seenaknya sendiri.Tapi, namanya manusia pasti pernah sekali atau dua kali melakukan kesalahan.” Gavin yang seakan menjadi penengah antara Sora dengan Darren, ikut mencairkan suasana untuk mereka berdua.
“Tidak masalah. Memang aku yang sudah bersikap kurang ajar padanya. Jadi aku bisa memaklumi semua perilakunya.”
Tanggapan Darren itu sungguh tak disangka-sangka. Gavin menaikkan kedua alisnya sementara Sora membulatkan kedua mata. Merasa heran sekaligus aneh. Lelaki yang ia pikir tak berperasaan itu dengan lugas mengakui kalau dirinya memang kurang ajar. Sehingga sikap Sora yang di luar kepala itu bisa dianggap hal wajar karena Sora manusia biasa yang sesekali bisa meledakkan emosi.
Terbesit satu hal lagi di kepala Sora.
“Soal pelukan itu, hm ... aku benar-benar menyesal. Aku sama sekali tidak memiliki niat melecehkan siapa pun.” Sora lanjut berbicara.
“Aku cuman bercanda. Tidak serius waktu bilang kamu sudah melecehkan.” Darren spontan menanggapi. Wajah datarnya amat membuat Sora ketar-ketir. Ia sungguh tidak tahu apa yang tersembunyi di balik wajah tanpa emosi itu.
“Kamu bercanda soal itu?” Wanita itu menganga.
“Ya. Aku suka pelukanmu.”
Kata-kata itu makin membuat Sora terpegun. Kedua matanya yang bulat membelalak lebar. Pupilnya ikut membesar. Atmosfer tegang yang telah berhasil Gavin cairkan lewat sikap ramahnya, kini menjadi canggung. Ada sesuatu yang bergetar-getar di depan bulu mata Sora. Rasa gugup yang tiba-tiba merambat di tubuhnya seperti akar bunga anyelir yang selesai ia tanam pagi tadi.
Kegugupan itu memberikan sensor aneh di pusat syarat dalam otak Sora. Sel saraf itu tiba-tiba memproduksi histamin dalam jumlah yang besar. Sora merasakan sesuatu menjalar dengan pasti. Menggetarkan reseptor olfaktori dalam rongga napas Sora. Wanita itu merasakan hidungnya mulai gatal dan kemudian....
“Hacyuhh!”
Wanita itu bersin di saat-saat genting. Tepat empat detik setelah Darren mengungkap dirinya yang menyukai pelukan Sora sore itu. Ia pun segera menutup mulut dan hidungnya dengan kedua tangan. Menatap Darren dan Gavin bergantian, tanpa kata.
Melihat ‘kebiasaan lama’ Sora kembali, Gavin yang tahu dengan pasti mengapa wanita itu bersin, kembali berniat mencairkan suasana di antara mereka.
“Yang barusan, tolong maklumi juga. Sora punya kebiasaan bersin kalau sedang gugup,” jelas Gavin.
“Oh.” Kepala Darren termanggut-manggut. “Kebiasaan unik,” gumamnya.
“Aku kembali dulu. Kedaiku tidak ada yang jaga.” Sora buru-buru menyela sambil beranjak berdiri dari kursinya. Sebelum berjalan lebih jauh, ia berkata, “Besok aku akan ganti pot bungamu yang sudah rusak,” pada Darren.
“Sebelum itu, bisa kembalikan jam sakuku? Aku membutuhkannya untuk mengajar.” Lelaki itu menanggapi dengan wajah serius.
*