Hari H.
Darren beberapa saat terbengong melihat kemunculan wanita yang baru memudar dari alam mimpi. Terpaku beberapa waktu sebelum ia berhasil menguasai kembali kesadarannya.
“Doktor Darren?” Wanita itu bertanya. Mulutnya menganga beberapa waktu sebelum memastikan identitas lelaki yang dilihatnya.
“Dari mana kamu tau alamat rumahku?” tanya Darren. Nada suaranya terkesan dingin. Sungguh. Selama satu minggu Darren sudah berhasil menghindari wanita yang berpotensi melepaskan seikat emosi dari alam bawah sadarnya. Ia tidak ingin itu terjadi lagi. Namun sekarang, wanita itu menampakkan diri di hadapannya? Dalam wujud nyata dan bukan mimpi belaka?
“Dari adikmu.”
“Adik?”
“Ya. Wanita cantik supermodel itu. Angelica? Angelina ... Jolie?” Sora malah bergumam tak jelas.
“Angeline.” Darren mengoreksi.
Darren memperhatikan baik-baik mikroekspresi yang Sora tunjukkan. Bukan karena ia tertarik pada stimulusnya. Tapi karena ia ingin menerjemahkan tiap emosi yang Sora tunjukkan di wajahnya. Seperti siang itu, saat Sora memeluknya karena mengira Darren adalah Ian.
“Itu, pokoknya.”
Bibir Sora terkatup. Sedikit melekuk ke bawah. Pangkal alisnya bergerak kecil, ujungnya menaik. Diikuti pandang matanya yang menurun.
Kecewa. Darren menerjemahkan mikroekspresi itu. Tapi ... kenapa?
“Kenapa kamu kecewa?” Darren yang penasaran bertanya dengan gamblang. Seketika itu juga Sora kembali menatapnya.
“Siapa yang kecewa?”
“Jangan mengelak. Itu sia-sia.”
Napas Sora berembus pelan. “Ya. Aku kecewa padamu. Seminggu terakhir aku mencarimu ke mana-mana, tapi tidak ketemu. Kau bersembunyi dengan baik, ya?”
“Pertama, aku tidak bersembunyi.” Darren sadar ia sedang berbohong. Namun ia pun tahu tidak ada satu orang pun yang bisa menerjemahkan raut wajahnya yang datar dan tak beremosi itu. “Kedua, kecewa bisa ada karena adanya harapan. Seingatku aku tidak pernah memberimu harapan apa pun.” Darren menjelaskan dengan raut wajah datar, seperti robot. Baiklah. Kata robot terlalu kasar. Sebut saja dia manusia mekanis.
Sora segera mengeluarkan liontin hati dari saku jaketnya.
“Ini harapan. Wajar saja aku kecewa karena tidak menemukanmu lagi.” Sora menceletuk. Kali ini nadanya terdengar sinis. Ia tampak kesal melihat respon Darren yang sama sekali tak memperlihatkan empati.
“Kenapa kamu mencariku?” Darren justru mencecar Sora dengan pertanyaan alih-alih memberikan penjelasan seperti yang wanita itu harapkan.
“Kamu punya hutang. Wajar aku mencarimu!” Kali ini nada suara Sora menaik.
“Hutang? Seingatku aku sudah membayar buket mawar yang aku beli waktu itu.”
“Bukan buket, tapi ini!” Sora menegaskan dengan menjulurkan liontin hati itu pada Darren. Kesabarannya makin menipis menghadapi manusia mekanis tanpa perasaan ini.
Emosional.
Darren sedikit memicingkan mata melihat wanita yang mulai emosi ini. Ia lantas menyanggah, “Secara teknis aku tidak punya hutang. Kamu yang mencuri jam sakuku.”
“Secara teknis aku tidak mencuri. Kamu yang meninggalkannya karena lari terbirit-birit ketakutan melihatku menangis.” Sora menimpali.
Cedas. Keras kepala.
“Ketakutan?”
“Ya. Kamu ketakutan, kan? Kenapa? Apa nggak pernah melihat perempuan menangis?”
“Secara teknis kamu sudah melakukan pelecehan.” Darren mencoba bertahan dengan melayangkan tuduhan itu.
Seketika itu juga Sora melotot tak percaya.
“A-apa ...? Pelecehan?!”
“Ya. Kamu memeluk orang asing sembarangan. Kamu pikir semua orang suka kamu peluk? Kamu tidak memikirkan ketidaknyamanan yang aku rasakan, bukan?” Darren berdalih dengan memberikan serangan mental pada Sora.
Penuh amarah Sora melempar buket bunga itu tepat di wajah Darren.
“Dasar manusia tak berperasaan. Lebih buruk dari anjing!” tudingnya. Lalu ia segera membalik tubuh.
“Yang ini kekerasan,” sahut Darren seketika.
Tudingan itu tak membuat tubuh Sora kembali berbalik. Wanita itu terus berjalan lurus. Tapi sampai di samping pagar kakinya langsung menendang pot bunga mati di halaman rumah Darren hingga pecah. Emosinya terluapkan.
“Yang itu perusakan properti!” Darren kembali memperingatkan. Tak lama kemudian Sora berlalu pergi mengendarai sepeda listriknya.
Di ambang pintu Darren melihat kepergian Sora. Lalu ia masuk kembali ke rumahnya sambil mengembuskan napas panjang-panjang. Berusaha mengendalikan napasnya yang berderu cepat.
“Huhh. Temperamen buruk. Dia bilang aku lebih buruk dari anjing?”
Rasa kesal memang tak menghampiri hati Darren ketika ia dituding memiliki perilaku lebih buruk dari anjing. Meski begitu, umpatan Sora cukup membuatnya berpikir. Ia menggunakan otak rasionalnya untuk mencoba menelaah kata-kata umpatan Sora. Di luar negeri anjing diartikan secara positif. Tapi di Indonesia anjing selalu dikaitkan sebagai perilaku yang sangat buruk, bukan? Jadi maksud ia lebih buruk dari anjing itu ... ?
*
Usai mengisi kelas, Darren kembali ke ruang kerjanya sambil menenteng koper hitam berisi alat tes inteligensi Stanford-Binet. Hendak menggunakan kembali alat tes itu untuk kelas lanjutan nanti usai jam makan siang.
Di lorong menuju ruang kerjanya, Profefor Diana berjalan ke arah Darren dengan seorang mahasiswa semester empat. Mereka bertiga bertemu beberapa langkah sebelum memasuki ruang kerja Darren.
“Doktor Darren, aku tunjuk seorang mahasiswa untuk jadi asistenmu. Mata kuliah alat tes adalah mata kuliah yang berat. Aku harap dengan punya asisten tugasmu jadi sedikit lebih mudah.” Di hadapan Darren, Profesor Diana menjelaskan maksud kedatangannya. Lalu ia mengenalkan mahasiswi semester empat yang ia bawa. “Namanya Mina. Dia salah satu mahasiswa terbaik yang cukup lihai menggunakan alat tes psikologi.”
Gadis muda bernama Mina itu tampak sedang menutupi rasa berat hatinya. Ia hanya mengangguk sopan pada Darren. Ini bukan pertemuan pertama mereka.
“Tidak perlu repot-repot, Profesor. Saya bisa urus pekerjaan saya sendiri.” Darren berdalih sebab ia tahu mahasiswi itu tampak tak begitu menyenanginya.
“Bukan cuma untuk pekerjaanmu, Darren. Percayalah, dia akan banyak membantu.” Profesor Diana menegaskan sekali lagi sambil memegang lengan Darren. Tak lupa bibirnya tersenyum hangat.
Pasrah. Darren hanya menganggukkan kepala.
“Nanti biar saya buatkan job disk-nya,” ucap Darren.
“Baiklah. Mina, kamu bisa kembali ke kelasmu. Nanti Doktor Darren akan menghubungimu lagi,” kata Profesor Diana kepada Mina.
“Baik, Prof.”
Gadis itu langsung berlalu pergi meninggalkan Darren dan juga Profesor Diana di koridor. Di waktu itulah Darren teringat ucapan wanita pengantar bunga pagi tadi.
“Profesor, saya ingin bertanya.”
“Silakan.”
“Apa artinya kalau ada orang mengatakan saya lebih buruk dari anjing? Itu kata-kata kebencian, ya?” Darren bertanya dengan serius. Masalahnya, ia berpikir anjing adalah hewan yang baik dan pintar. Sehingga masih ada dugaan tipis kalau kata-kata Sora itu tidak seburuk kedengarannya.
Kali ini hanya bibir Profesor Diana yang melekukkan senyum. Tidak ada kerutan di pinggir matanya. Darren tahu wanita paruh baya itu tersenyum palsu untuknya.
“Sepertinya kamu sudah membuat seseorang marah.” Profesor Diana menebak-nebak.
Kepala Darren mengangguk kecil. “Kurang lebih.”
“Siapa pun yang mengatakan itu, aku harap kamu meminta maaf padanya, Darren.”
“Kenapa? Harusnya dia yang meminta maaf karena mengeluarkan kata-kata buruk.” Darren menyanggah.
“Seseorang tidak akan berkata buruk kalau kamu tidak membuatnya marah, Darren.”
“Saya tidak yakin.”
“Seperti keilmuan yang kita pelajari. Stimulus menimbulkan respon. Adanya respon karena adanya stimulus. Kamu masih berpikir kamu tidak memberikan stimulus yang membuat orang itu meluapkan amarahnya?” Profesor Diana menasihati. Ia terdengar seperti seorang ibu yang sedang menuntun putranya untuk bersosial.
Darren terdiam. Barangkali ia berpikir keras.
Tangan lembut Profesor Diana mengusap bahu Darren.
“Kali ini aku bicara bukan sebagai mentormu, Darren. Tapi sebagai bibi yang sempat mengasuhmu walau sebentar.” Profesor Diana lanjut menasihati. “Kamu tahu, Darren? Emosi adalah kelemahan sekaligus kekuatan manusia. Kamu tidak memiliki kelemahan sekaligus kekuatan itu. Maka tidak heran jika barangkali kamu merasa tidak bertanggung jawab atas respon emosi orang lain. Tetapi dalam hidup kita tidak hanya bisa mengandalkan pikiran kita untuk menerjemahkan segala sesuatu. Sesekali, cobalah rasakan, cobalah renungkan.”
Perkataan itu terserap dengan baik di telinga Darren. Merasuk ke dalam pikirannya yang jernih dan ia resapi tiap maknanya. Ia tak memiliki ayah yang bisa mengajarkannya kebaikan. Juga tak memiliki ibu yang bisa mengajarinya kasih sayang. Namun ia memiliki Profesor Diana yang mengajarinya kebijaksanaan. Meskipun ia tak memiliki kepekaan emosi seperti orang pada umumnya, Darren memiliki kepala yang jernih untuk berpikir. Ia seseorang yang rasional.
“Profesor ingin saya meminta maaf?” Sekali lagi Darren meyakinkan.
Dengan lembut Profesor Diana mengangguk. “Ya. Minta maaf bukan hal yang buruk, Darren. Setidaknya kamu bisa membuktikan kalau kamu tidak lebih buruk dari anjing. Anjing hanya bisa menggigit, tapi tidak bisa meminta maaf.”
Tanpa pikir panjang Darren mengiyakan nasihat Profesor Diana. Kepalanya mengangguk kecil.
“Terima kasih, Prof.”
“Oh ya, aku hampir lupa.”
Profesor Diana merogoh saku jas kelabunya. Mengeluarkan sebuah kartu nama berwarna hitam.
“Kamu ingat temanmu di Harvard?” tanya Profesor Diana sambil melihat kartu nama yang baru saja ia keluarkan dari saku.
“Teman yang....” Darren tampak ragu-ragu.
“Teman dari asosiasi. Yang pernah meminta bantuanmu untuk tes rekruitmen karyawan di Jasson Woodworking Company. Kamu ingat?”
Samar-samar Darren mengingat. “Maksud Profesor, CEO itu?”
“Ya. Anaknya Mr James. Yang menjadi CEO sambil mengambil beberapa kelas bisnis di Harvard.”
“Itu maksud saya.”
“Masih ingat namanya?” tanya Profesor Diana.
Darren mengangguk. “Kami tidak dekat. Tapi saya masih mengingatnya.”
Kartu nama berwarna hitam itu kemudian diulurkan pada Darren. Penuh harap Profesor Diana bercerita, “Dia kembali ke Indonesia dan mau mendirikan bisnis baru di sini. Kamu tahu kafe yang sedang renovasi dekat kampus?”
Darren menerima kartu nama itu sambil menatap Profesor Diana penuh tanya.
“Ya.”
“Itu bisnis barunya. Beberapa hari lalu aku bertemu dia di depan gerbang. Ngomong-ngomong, dia pernah menjadi mahasiswaku di kampus ini. S1-nya dulu psikologi, lalu lanjut sekolah bisnis atas anjuran keluarganya.”
Darren berpikir ada yang aneh dari sikap Profesor Diana yang tiba-tiba menceritakan mantan muridnya itu. Profesor Diana memang tahu semua pengalaman Darren, termasuk perjalanan akademisnya dari Harvard ke kampus ini. Pasti ada maksud tersembunyi mengapa Profesor Diana tiba-tiba membahasnya.
Melihat rasa penasaran di wajah Darren, Profesor Diana melekukkan senyum sembari memberikan penjelasan.
“Aku tahu ini mungkin terdengar sedikit aneh. Tapi dia bisa menjadi teman untuk kamu ajak berbincang-bincang, Darren. Sembilan tahun kamu menjadi mahasiswa dari jenjang sarjana sampai doktoral. Kamu sudah menjelajah banyak tempat. Dari Wina ke Cambridge. Tapi tidak ada satu orang pun yang kamu perkenalkan padaku sebagai teman. Aku mengkhawatirkanmu, Darren.” Kemudian pandangan Profesor Diana jatuh. Sorot matanya terlihat kelam. “Juga merasa bersalah padamu.”
“Profesor tidak salah apa-apa. Justru saya yang berhutang budi pada Profesor.” Darren spontan menyanggah, melihat Profesor Diana yang terlihat sedih.
Paruh baya itu mengangguk pelan.
“Aku hanya memiliki waktu sebentar untuk mengasuhmu, Darren. Tidak seperti Angeline yang bisa aku asuh sampai dia beranjak dewasa dan mulai hidup mandiri di New York. Aku hanya bisa mengawasimu dari jauh selama ini. Sekarang, biarkan aku mengambil peran yang selama ini tak bisa kulakukan ... untukmu.”
Tatapan lekat Profesor Diana meresap ke dalam sanubari Darren. Menggetarkan hatinya dengan sangat lembut. Sorot mata penuh kasih yang barangkali ia rindukan. Samar-samar lelaki itu merasakan ketenteraman jauh di dalam benaknya. Yang mungkin ia sendiri tak rasakan secara sadar.
“Peran apa yang Profesor maksud?” tanya Darren pelan.
“Peran sebagai bibimu.”
Darren terdiam sesaat. Di sela itu Profesor Diana melayangkan tatapan penuh rasa bersalah.
“... Aku juga mau minta maaf karena sudah menyebutmu ... produk gagal,” lanjut Profesor Diana dengan suara pelan.
“Profesor tidak salah. Saya yang salah karena tidak mendengar nasihat Profesor.” Darren menyanggah. Ia telah banyak berpikir dengan akal sehatnya. Bahwa ketertahanan emosi yang terjadi padanya selama dua dekade terakhir ini bukan semata-mata dari penyakit yang ia idap. Tetapi juga salah satu bentuk mekanisme pertahanan dirinya. Ia sendiri yang mengurung emosi itu di suatu tempat di bawah sadar. Sebab Profesor Diana sendiri mengutarakan keraguannya terhadap diagnosis itu belasan tahun silam.
“Menurut Profesor, kondisi saya ini bukan karena DD (depersonalisasi-derealisasi)?” lanjut Darren bertanya setelah menimbang-nimbang.
“Itu diagnosis delapan belas tahun silam, Darren. Pastinya sudah ada banyak hal yang berubah,” jawab Profesor Diana.
“Maksud Profesor bisa jadi saya sudah sembuh?”
“Kita akan tahu kalau kamu mau menjalani pemeriksaan.”
Jawaban Profesor Diana membuat Darren kembali terdiam. Wajahnya melengos ke arah lain. Pertanda ia tidak mau menjalani pemeriksaan yang menyiksanya secara psikologis itu. Seperti yang ia rasakan belasan tahun lalu.
“Apa kamu masih merasa semua kejadian yang menimpamu itu adalah mimpi?” Profesor Diana lanjut menanyai Darren.
Dengan wajah tak acuh Darren menjawab, “Ya. Semalam saya juga masih memimpikannya.”
Kedua mata Profesor Diana bergetar pelan mendengar jawaban itu terlontar dari mulut Darren. Wanita paruh baya itu berusaha melekukkan senyum, tapi tetap terasa hampa. Sebelum Darren bisa membaca lebih jauh wajah pilu Profesor Diana, pria itu memutuskan untuk pergi. Ia meninggalkan Profesor Diana di lorong sementara dirinya masuk ke ruang kerjanya yang hanya berjarak dua langkah.
*