Sudah seminggu
liontin ini ada di genggaman Sora. Sudah seminggu pula wanita itu mengamati
setiap orang yang lewat di depan kedainya. Berharap pria jakung yang masih
memiliki kemungkinan adalah kakaknya, Ian, itu muncul.
Di kursi kedai
Sora duduk menatap kosong ke arah luar. Seakan sedang mengamati proses
rekonstruksi kafe dua lantai di seberang jalan. Padahal pikirannya sedang
kosong. Dalam kepalanya terus teringang sosok lelaki yang seminggu lalu muncul
membawa liontin hati milik Ian. Liontin yang membawa harapan semu dalam hati
Sora. Harapan bahwa lelaki itu bisa jadi Ian yang telah ia cari selama dua
puluh tahun.
Sepuluh menit
berlalu. Hanya helaan napas panjang Sora diiringi detik jarum jam saku yang
mengisi kesunyian ruang. Sebelum Mina datang dengan hela napas panjang seperti
Sora.
“Ada apa, Min?
Kamu kelihatan capek,” sapa Sora melihat raut wajah Mina yang kusut setelah
menyelesaikan kelas perkuliahannya.
“Gimana nggak
capek, Mbak? Ada dosen baru di jurusanku. Orangnya superduper killer! Masalahnya, dia ngajar mata
kuliah 4 SKS! Mata kuliahnya alat tes lagi. Aduh, aku pusing banget. Udah gitu
orangnya kayak nggak punya emosi. Nggak pengertian, nggak peka! Pokoknya aku
nggak suka dosen baru itu.”
Sambil berjalan
melewati Sora Mina ngedumel panjang lebar tentang harinya yang buruk. Yang
rupanya disebabkan oleh seorang dosen killer.
Mendengar
cerita itu, Sora menghela napas panjang.
“Hari kita sama
beratnya.” Sora bergumam.
“Mbak kenapa?”
tanya Mina yang kini duduk di kursi sebelah Sora.
“Tidak apa-apa.
Aku cuman ingin mencari seseorang, tapi nggak tau mencari ke mana. Aku pikir dia
dari kampusmu. Tadi aku berkeliling di kampus sambil nganterin pesanan bunga,
sayangnya tidak ada.” Sora bercerita pelan. Lantas menyesap teh bunga mawar
yang sudah mendingin di gelasnya.
“Kayak apa
orangnya?”
“Tinggi ...
tampan.”
“Ahh.” Mina
tampak ikut menghayati dua kriteria yang Sora sebutkan. “Di kampusku banyak
yang tinggi tampan. Maaf, Mbak, aku nggak bisa bantu banyak.”
Sora terkekeh
mendengar celetukan Mina. Suasana hatinya sedikit membaik karena kini ada yang
bisa ia ajak bicara.
“Pacar Mbak
beneran beli bangunan itu buat dijadiin kafe baru? Waahh, kayaknya pacar Mbak
beneran orang kaya.” Mina lanjut bergumam sambil mengamati Gavin yang sedang
mengurus bisnis barunya di seberang jalan.
Wanita itu
mengembangkan senyum yang terasa aneh.
“Dia bukan
pacarku, Mina.”
“Oh ya? Tapi
kenapa tiap hari ke sini? Bantuin Mbak ngurus tanaman, beliin makan siang. Oh
ya ... kemarin dia nemenin Mbak belanja juga, kan? Yakin bukan pacar?” Mina
lanjut mencerucus sambil menatap curiga ke arah Sora. Gadis itu memiliki
insting yang cukup tajam untuk mengartikan perilaku laki-laki.
“Begitukah kelihatannya?”
Sora justru bergumam aneh.
“Banget.”
Tanpa sengaja
Gavin yang sedang berdiri di teras kafe bersama seorang insinyur, menoleh ke
arah kedai. Pandang mereka bertemu sejenak sebelum Gavin melanjutkan rapatnya
dengan insinyur yang mengurus rekonstruksi bangunan.
“... Tuh, kan.”
Mina lanjut mendesus setelah menangkap basah mereka bertemu pandang.
“Hubungan kami
rumit, Min. Aku pernah mencintai Mas Gavin dan membutuhkan dia lebih dari siapa
pun.” Sora mulai bercerita dengan kedua matanya yang kalut menatap ke seberang
jalan. “Tapi itu cuman di masa lalu.”
“Terus? Mas
Gavin juga punya perasaan yang sama?”
Kepala Sora
termanggut. “Sepertinya. Setidaknya, itu yang aku rasakan. Sampai akhirnya dia
harus pergi jauh ninggalin aku sendirian di sini. Anehnya, setelah itu
perasaanku sama sekali berubah. Aku nggak berpikir kalau sekarang aku masih
mencintai atau sekadar membutuhkan dia. Dia pergi di saat aku paling
membutuhkan. Dan sekarang aku sudah menjadi orang yang berbeda.”
Setelah
mendengar semua ceritanya, Mina mengembuskan napas panjang-panjang.
“Benar. Kalian
sangat rumit. Tapi, aku penasaran satu hal. Mbak jawab jujur, ya?” tanggap
Mina.
“Apa?”
“Dia keturunan
orang kaya, ya?”
“Bisa dibilang
begitu.”
“Mbak beneran
nggak pengen balikan sama Mas Gavin? Maksudku, kalau Mbak menikah sama dia,
mungkin Mbak nggak perlu jualan bunga lagi. Mbak mungkin bakal hidup enak jadi
nyonya di rumah.”
Sora tersenyum
simpul. Apa yang dikatakan Mina memang benar. Ia pun tak bisa menyanggah.
“Benar. Kalau
aku menikah sama dia, aku tidak perlu jualan bunga lagi. Tidak perlu bangun
pagi-pagi buat ngurus tanaman. Tidak perlu merangkai lusinan bunga dan jadi
kurir bunga naik sepeda listrik. Hidupku akan sejahtera di rumah yang besar,
dengan pembantu yang mengurus semua kebutuhanku. Memasakkan makanan lezat dan
mencuci celana dalamku. Terdengar menggiurkan, ya?” ucap Sora.
“Banget!”
Kemudian kepala
Sora menggeleng pelan.
“Sayangnya
perasaan manusia tidak bisa dibeli dengan uang. Aku nggak mengidamkan kehidupan
seperti itu, Mina.” Sora memberikan penegasannya.
“Terdengar
aneh. Terus hidup seperti apa yang Mbak Mau?” Mina menyahut blak-blakan.
Tanpa banyak
berpikir Sora menjawab, “Hidup bahagia dengan orang-orang yang aku sayang.
Dengan orang yang tulus menyayangiku. Seseorang yang tidak akan meninggalkanku
sendirian.”
Kedua mata Sora
terasa pedas saat mengatakannya. Ia segera menjatuhkan pandangan dan menyesap
kembali teh bunga mawarnya.
Semua orang
yang ia sayangi meninggalkannya satu per satu. Ia sendiri pun tidak tahu
mengapa ia selalu ditinggalkan. Seakan hidupnya penuh kutukan.
Pertama, sosok
kakak yang amat menyayanginya, Ian, hilang diculik saat masih berusia sepuluh
tahun. Ketika itu Sora baru berusia lima tahun dan ia sudah kehilangan
kakaknya. Lalu di usia tujuh tiba-tiba ibunya pergi meninggalkan rumah karena
depresi. Setahun kemudian terungkap bahwa ibunga mengidap gangguan jiwa dan
dirawat di salah satu rumah sakit jiwa hingga saat ini. Dua belas tahun
kemudian, saat ia berusia sembilan belas, Gavin, laki-laki yang selama ini
menggantikan sosok Ian di hidup Sora tiba-tiba harus pergi ke Amerika. Sejak
saat itu Sora hanya berdua bersama ayahnya. Kemudian dua tahun lalu ayahnya
meninggal dunia karena penyakit jantung.
Sungguh ia sama
sekali belum siap saat tiba-tiba ayahnya meninggal. Ia kebingungan mengurus
kedai dan mengurus ibunya di rumah sakit. Memang ia tak secara langsun
bersentuhan dengan ibunya. Namun ia harus menanggung biaya rumah sakit jiwa
untuk perawatan ibunya. Dan ayahnya sudah meninggal. Siapa lagi yang akan menjadi
tulang punggung untuk ia dan ibunya kalau bukan Sora sendiri?
Ada saat-saat
Sora ingin menyerah. Tapi ia tidak bisa karena kini ia harus menjadi tulang
punggung. Ibunya masih membutuhkan perawatan. Ibunya masih membutuhkan Sora.
Tidak ada pilihan untuk Sora selain bertahan dan meneruskan bisnis kedai bunga
yang ditinggalkan ayahnya. Hanya kedai ini yang tersisa untuknya. Sora tidak memiliki
apa-apa selain Kedai Bunga Peony yang tetap harus ia pertaruhkan untuk
menemukan Ian.
Ada satu hal
lagi yang terlewat. Yaitu alasan Sora mempekerjakan Mina sebagai pegawai paruh
waktu. Bukan karena ia tidak bisa mengurus kedai ini sendirian. Tapi karena ia
membutuhkan teman bicara. Ia membutuhkan seseorang yang bisa ia ajak
berinteraksi. Dengan begitu ia tak merasa benar-benar sendirian di dunia ini. Tak
benar-benar kesepian.
“Mau teh
mawar?”
Sora menawarkan
teh bunga mawar yang masih tersisa setengah teko kepada Mina. Yang segera
dibalas dengan anggukan kepala. Ia kemudian segera menghabiskan teh dalam
gelasnya dan menuangkan teh dari teko yang masih hangat untuk Mina.
Di waktu yang
sama seorang wanita tinggi masuk ke kedai. Wanita dengan perawakan tinggi
langsing—lebih seperti kurus—lengkap dengan sunglasses
warna coklat muda. Wanita yang terlihat glamor dengan baju bermerek dan
perhiasan berwarna zamrud itu cingak-cinguk menatapi etalase bunga.
“Ada yang bisa
saya bantu?” Sora menyambut pelanggan wanita yang sepertinya kebingungan
mencari sesuatu di kedainya.
Wanita glamor
itu menurunkan sunglasses dari
wajahnya. Berjalan mendekati meja kasir.
Saat mendekat
Sora merasa wajah wanita yang dilihatnya itu familiar. Namun ia tidak yakin
wanita itu siapa. Penampilannya terlihat seperti bintang top yang wajahnya
sering terpajang di iklan komersil.
“Kakak
laki-laki saya mau ulang tahun. Kira-kira bunga apa yang pas untuk memberi
selamat?” tanya wanita supermodel yang tak lain adalah Angeline itu.
“Bunga gerbera daisies merah dan kuning paling sering dihadiahkan untuk ulang
tahun. Bunga itu menyimbolkan kebahagiaan dan kemurnian, makanya cocok untuk
hadiah ulang tahun.” Sora menjawab dengan seksama sembari memperlihatkan senyum
ramah tamahnya.
“Kedengarannya
menarik. Bisa tahan berapa lama kalau disimpan di vas?” Angeline menanggapi
dengan bola matanya yang berbinar-binar.
“Bisa sampai
dua minggu.”
“Saya pesan itu
saja. Tapi, boleh saya minta tolong?”
“Ya?”
“Apa kedai ini
bisa mengantarkan buket ke alamat tertentu?” tanya Angeline.
“Kalau boleh
tahu di mana alamatnya?”
Segera Angeline
mengeluarkan secarik kertas bertuliskan nama dan alamat.
“Ini
alamatnya.” Wanita itu mengulurkan kertasnya pada Sora.
“Ah, cuman lima
belas menit dari sini. Saya bisa mengantar.” Sora langsung menyetujui.
Senyum menawan
seketika itu mekar di wajah Angeline.
“Okey. Saya
pesan buket bunga gerbera untuk diantarkan di alamat ini besok, ya?”
“Baik.”
Mina mengurusi
pembayaran itu sementara Sora memastikan lagi alamat yang tertera di kertas.
Bertuliskan nama seorang lelaki dan alamat lengkap disertai nomor telepon.
Doktor Darren.
Unit 3C, Kompek Perumahan Santa Monica, Jalan Kenanga Merah, Kota
X.
08XX-XXXX-XXX
“Thank you.” Terdengar suara Angeline
yang berterima kasih usai mendapat stuk pembeliannya. Tak lama setelahnya
wanita itu berjalan menjauh. Melintasi pintu keluar kedai dan masuk ke sebuah
mobil mewah yang ia kendarai sendirian. Begitulah ia lenyap dari pandangan
kedua wanita yang masih berdiri di balik meja kasir.
“Wah, aku
beneran nggak percaya bisa ketemu langsung sama model papan atas.” Mina yang
selesai meng-input nota pembelian di
komputer kedai itu bergumam-gumam keheranan.
“Siapa? Wanita
tadi?”
“Mbak nggak
tau? Dia supermodel yang jadi brand
ambassador Chanel sama Anya Taylor Joy! Yang jadi cover majalah Times musim lalu. Mbak beneran nggak
tau?”
Mina
menjelaskan dengan kedua matanya yang terbelalak antusias. Gadis itu tampak
terkagum-kagum setelah bertemu supermodel yang wajahnya beberapa kali
terpampang di majalah The New York Times.
“Ah, dia
seterkenal itu? Pantas saja. Auranya berbeda. Nggak seperti wanita pada
umumnya,” balas Sora yang kembali memeriksa alamat di secarik kertas yang ia
genggam.
“Tunggu-tunggu,
tadi dia bilang kakak laki-lakinya mau ulang tahun?”
Dengan wajah
penasaran Mina melihat nama dan alamat yang ada di genggaman Sora. Kedua mata
gadis muda itu terbelalak. Bola matanya nyaris melompat keluar melihat nama
yang ada di sana.
“Kenapa?” Sora
bertanya penasaran melihat reaksi aneh Mina.
“Astaga!” Gadis
itu menceletuk. Kedua matanya masih terbelalak.
“Ada apa?”
“Dosen killer itu kakaknya model papan atas
Angeline?” celetuk Mina seperti tak ingin menerima kenyataan.
“Dosen killer?” gumam Sora. Sekali lagi ia
memastikan nama penerima buket bunga gerbera.
Doktor Darren.