Read More >>"> Our Different Way (SEMBILAN BELAS) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Our Different Way
MENU
About Us  

Sejak hari itu, Gian tidak pernah masuk ke sekolah. Kupikir dia pasti masih perlu waktu untuk menerima semua ini. Sudah kukirimi dia banyak pesan teks berisi permintaan maaf. Kujelaskan juga ke dia mengenai alasanku memberikan kesaksian palsu. Kujelaskan bahwa aku melakukan itu bukan semata-mata ingin memfitnah Mbak Yanti. Meski begitu, aku sendiri tahu betul bahwa aku sudah berbuat jahat pada Mbak Yanti. Maka, aku tidak memaksa dia untuk bisa mengerti. Kubiarkan dia menggunakan waktunya sendiri, aku sama sekali tidak datang menemuinya walau ingin, atau meneleponnya walau rindu.

Seminggu berlalu, Gian tetap tidak masuk sekolah. Aku mulai khawatir. Dia tidak bisa dihubungi walau sudah kucoba berkali-kali, teman-temannya juga tidak ada yang tahu. Gian seperti tiba-tiba menghilang.

Maka dari itu, sepulang sekolah hari ini aku langsung menuju ke rumah Gian. Aku berharap bisa tahu mengenai kabarnya sekarang.

Aku tidak peduli dia nanti mau menemuiku atau tidak, yang penting aku bisa ketemu, bisa melihatnya, bisa mengetahui kabarnya, bisa memastikan bahwa dia baik-baik saja.

Tidak butuh waktu lama bagiku untuk tiba di rumah Gian. Ternyata sepi, pintunya tertutup, jadi aku coba masuk ke dalam area rumah Gian dan mengetuk pintunya.

Tidak ada jawaban. Kucoba lagi sekali, dua kali, tetap tidak ada jawaban.

“Cari siapa, Neng?”

“Saya cari Gian, Bu.”

“Oh, Neng ini temennya Gian, ya?” tanya ibu itu yang sepertinya adalah tetangga samping rumah Gian.

Walau berat hati, aku mengangguk.

“Gian sudah beberapa hari nggak masuk sekolah, jadi saya ke sini.”

“Gian sama neneknya udah nggak tinggal di sini, Neng. Udah pindah mereka.”

“Pindah ke mana, Bu?”

“Maaf, Neng. Ibu juga nggak tau.”

Aku diam.

Rasanya tubuhku melemas. Kupandang pintu rumah Gian dengan perasaan sendu.

Di rumah ini, sudah banyak kenangan yang tercipta antara aku dan Gian ketika kami belajar bersama. Sekarang kamu di mana, Gian?

“Awas, hati-hati, Neng, sama mereka,” kata ibu itu.

“Hati-hati?” tanyaku. “Memangnya kenapa, Bu?”

“Keluarga mereka ada yang bunuh orang, hati-hati.”

“Ah.”

“Saran Ibu, Neng nggak perlu cari-cari mereka lagi.”

Aku diam.

“Neng memangnya belum tau beritanya?” tanya ibu itu.

Aku jawab dengan senyum tipis.

Kulangkahkan kakiku keluar dari area rumah Gian setelah ibu yang tadi ngobrol denganku itu pamit. Kupandang lagi rumah ini dengan mata yang berair. Sore ini, sinar matahari dari arah barat memberi kesan oranye pada rumah Gian, angin memainkan anak rambutku pelan, beberapa daun berguguran, suasana benar-benar sepi.

Semua kenangan kembali terputar dalam memori kepalaku. Tentang Gian yang selalu menyambut kedatanganku di rumahnya dengan senyum. Tentang nenek Gian yang hangat, yang penyayang, yang penuh kasih seperti pada cucunya sendiri.

Akhirnya, dengan berat hati, aku berjalan menjauh dari sana, masuk ke mobil lalu kembali memandangi rumah Gian dari balik kaca jendela, sebelum kemudian mobil mulai melaju dan menghilangkan rumah Gian dari pandanganku.

Aku langsung mencari Mama ketika sampai di rumah. Kuminta Mama agar menyuruh orang untuk mencari keberadaan Gian dan neneknya, sekaligus ingin menanyakan mengenai sekolah musik yang sebelumnya sudah dijanjikan Mama.

Mama setuju untuk membantuku mencari Gian, saat itu juga dia langsung menelepon seseorang untuk memberikan perintah agar menemukan keberadaan Gian. Lalu mengenai sekolah musik itu, Mama minta aku untuk bersabar dulu.

*****

Waktu berlalu, ujian kelulusan sudah berhasil kulewati, tinggal melaksanakan proses pelepasan siswa SMA yang digelar pada hari ini.

Mama datang sambil membawa buket berisi bunga untuk kemudian dia serahkan padaku. Tidak berapa lama, Mama lalu buru-buru pamit karena mendadak ada sesuatu yang perlu diurus mengenai pekerjaannya.

Mau tidak mau, aku jadi menghadiri acara ini seorang diri. Ketika melihat siswa siswi lain sedang sibuk berfoto bersama ayah dan ibu masing-masing, aku hanya berdiri diam sambil memandang iri kepada mereka.

*****

Dua belas tahun sejak aku meninggalkan bangku SMA, kini usiaku sudah lewat dua puluh sembilan tahun, sudah cukup dewasa untuk mendapat tanggung jawab besar menjadi seorang direktur, memimpin perusahaan cabang yang diamanahkan Mama padaku. Walau bukan ini jalan yang ingin kupilih, tapi aku tidak punya pilihan selain hanya menurut.

Jika dilihat dari luar mungkin orang-orang akan berpikir hidupku sempurna. Aku merupakan salah satu lulusan sekolah bisnis terbaik di Amerika Serikat. Keluargaku merupakan orang-orang terpandang. Karirku juga sangat cemerlang dengan segudang pengalaman serta prestasi yang kumiliki.

Namun, di balik kesempurnaan itu, perasaanku masih belum baik-baik saja.

Aku sering menghabiskan waktu di kelab malam jika tidak sedang lembur. Hal itu kulakukan untuk menghibur diri sendiri, mencoba melupakan luka yang masih jelas kurasakan bahkan setelah dua belas tahun berlalu. Dengan mengonsumsi banyak alkohol sampai benar-benar mabuk, biasanya aku akan ketiduran di dalam kelab itu hingga pagi menjelang.

Aku yang dulu selalu tegas terhadap kesehatan kini sudah tidak ada lagi, digantikan dengan aku yang hobi mengonsumsi alkohol, tidak peduli jika kebiasaan buruk tersebut akan membuat tubuhku hancur perlahan-lahan.

Apalagi ketika Mama menyuruhku agar mencoba berkencan dengan beberapa kandidat pilihannya, itu benar-benar membuatku semakin merasa muak dan lelah. Ingin rasanya aku menolak permintaan itu. Tapi, Mama selalu berusaha untuk membujukku.

Kata Mama, dia ingin melihatku menikah sebelum usianya semakin tua. Dia ingin melihatku memiliki seorang laki-laki yang mampu menjagaku, agar jika sewaktu-waktu Mama pergi menghadap Tuhan, dia bisa meninggalkanku dengan tenang.

Kandidat pertama yang dikenalkan oleh Mama bernama Malvin, usia tiga puluh tiga tahun, direktur dari perusahaan makanan terbesar di Indonesia, yang katanya baru selesai melakukan perjalanan bisnisnya pada hari ini.

Dua hari kemudian, aku diminta Mama untuk bertemu Malvin, di sebuah restoran yang sudah disepakati oleh dua pihak keluarga. Karena sudah lelah disuruh untuk menikah, akhirnya dengan berat hati dan sangat terpaksa, kali ini aku menurut. Tidak ada salahnya juga mencoba menyenangkan hati Mama. Lagipula nanti aku hanya akan makan lalu pulang.

Namun, kerinduan yang kurasakan pada Gian semakin menyala-nyala ketika melihat sosok Malvin untuk pertama kali.

Kubayangkan, jika yang sedang bersamaku saat ini adalah Gian dengan pakaian semi formal yang membuatnya terlihat semakin tampan. Kubayangkan jika yang menarik kursi untukku adalah Gian dengan senyum gusinya ketika memandangku.

Aku jadi ingat salah satu momen ketika aku dan Gian makan malam berdua ketika selesai belajar bersama di perpustakaan.

“Haira,” panggil Gian. “Lihat deh, bulannya.”

Aku menoleh. Pandanganku kemudian tertuju pada bulan yang bercahaya terang di kejauhan sana.

“The moon is beautiful, isn’t it?” kata Gian lagi.

Mendengar itu, aku tersenyum malu-malu dan segera memalingkan wajah. Tentu aku tahu betul bahwa kalimat yang dikatakan Gian itu sebenarnya memiliki makna yang mirip seperti ungkapan: Aku mencintaimu.

“Daripada gombal, mending kamu jawab, siapa manusia pertama yang mendarat di bulan?” tanyaku, dengan maksud agar Gian tidak terus memberi gombalan yang akan membuatku malu.

“Bentar,” kata Gian meminta waktu untuk berpikir. “Imroatus?”

Aku mengepalkan kedua tangan karena merasa gemas mendengar jawaban Gian.

Kemudian, tanganku terulur untuk memukul keningnya menggunakan pensil.

Setelah itu, Gian tentu mengaduh kesakitan sambil mengusap-usap keningnya yang baru kupukul. Dia berusaha merebut pensil yang kupegang dan berniat memukulku balik, tapi aku terus berusaha menghindar sambil tertawa mengejeknya.

Ah, Gian. Saat ini, ketika aku sedang merindukanmu, bolehkah aku mengajukan pertanyaan lagi? Karena aku penasaran tentang kabarmu, kehidupanmu, serta perasaanmu.

*****

Tidak lama setelah pertemuan pertamaku dengan Malvin, pihak keluarganya kemudian setuju untuk menikahkan anak laki-laki mereka denganku. Mama tentu menjadi orang yang paling bahagia ketika mendengar kabar tersebut, bahkan Mama sampai minta kepada orangtua Malvin untuk membahas pernikahan ini secepat mungkin, sementara aku hanya bisa pasrah dengan kemauan mereka.

Bukannya aku tidak mau menolak, melainkan jika aku tidak setuju dengan pernikahan ini, Mama pasti akan minta aku untuk bertemu daftar kandidatnya yang lain, maka dari itu, daripada membuang-buang waktuku yang berharga, lebih baik aku mengiyakan saja, kuharap dengan begitu, Mama akan berhenti memaksaku untuk menikah setiap detiknya.

Kesepakatan untuk menikah ini juga disetujui oleh Malvin sendiri. Dia berpikiran sama denganku, yaitu daripada terus-terusan dijodohkan dengan orang lain, daripada terpaksa membatalkan rapat pentingnya untuk bertemu dengan banyak perempuan demi mendapatkan calon istri, maka kali ini dia setuju untuk menikah. Dia juga berharap semoga setelah menikah nanti, dia bisa fokus dengan pekerjaannya lagi tanpa harus dipusingkan oleh persoalan nikah.

Karena alasan yang sama itulah aku dan Malvin kemudian sepakat untuk membuat sebuah kontrak pernikahan. Dengan begitu, kehidupan rumah tangga kami akan terlihat seperti kehidupan harmonis suami istri lainnya.

Setelah menandatangani perjanjian kontrak, aku melakukan presentasi di depan Malvin, guna memberitahunya mengenai kebiasaanku di rumah, hobi yang kusenangi, hingga privasiku yang tidak boleh dilanggar olehnya. Aku tidak akan menoleransi pelanggaran apa pun dan akan meminta denda sesuai dengan yang tertulis di kontrak. Terdengar agak berlebihan memang. Tapi Malvin tetaplah orang asing bagiku sehingga tidak akan kubiarkan dia jika berani melewati batas.

Ketika giliran Malvin yang menyampaikan presentasinya padaku, aku mengamati setiap kata yang tertera di layar dengan baik, sambil berusaha menyimpan semua informasi tersebut dalam kepalaku.

Tidak terasa sudah tiga puluh menit berlalu sejak kami berdua duduk berhadapan di dalam ruangan ini untuk mendiskusikan kehidupan sebagai suami istri.

“Aku harus kembali ke kantor. Terima kasih buat kerjasamanya,” kata Malvin sambil berdiri, kemudian dia mengulurkan tangan untuk berjabatan denganku.

Aku kembali duduk setelah Malvin meninggalkan ruanganku. Kulihat kembali isi kontrak yang telah kami sepakati. Kemudian, aku tersenyum miris. Tidak kusangka, aku akan menjalani pernikahan kontrak dengan laki-laki asing yang tidak kukenal.

Aku jadi terpikir Gian, penasaran mengenai reaksinya jika dia mendengar kabar soal pernikahanku, tapi kurasa, sejak dia memutuskan untuk pergi dari kehidupanku dua belas tahun lalu, dia sudah tidak mau peduli lagi pada apa pun yang berkaitan denganku.

*****

Hari ini, aku lembur sampai larut malam.

Merasa lelah membaca huruf yang tertera di layar, aku memutuskan untuk beristirahat sejenak, melepas kacamataku lalu meletakkannya di atas layar, menyeruput kopi sejenak, kemudian bersandar di kursi untuk meredakan rasa pegal di punggung.

Posisi duduk kuubah menjadi menyamping, berniat memandangi pemandangan malam dari dinding kaca agar dapat menghilangkan lelah di kedua mata.

Dari sini, di kejauhan, dapat kulihat sebuah gedung serbaguna yang menyala terang, cahayanya tampak paling cerah daripada gedung-gedung di sekitarnya. Kutebak, sepertinya sedang ada pertunjukkan penting yang diselenggarakan di sana.

Kemudian kuambil ponsel yang tergeletak di atas meja, guna mencari informasi mengenai pertunjukkan yang sekarang digelar di gedung serbaguna tersebut. Begitu melihat informasi yang terpampang di layar ponsel, mataku seketika membulat karena terkejut. Segera, aku bergegas keluar dari gedung tempatku bekerja. Setelah melihat taksi yang berjalan mendekat, aku buru-buru menghentikannya untuk kemudian masuk ke bagian kursi penumpang.

“Ke gedung convention centre, ya, Pak,” kataku ke sopir taksi.

“Baik, Bu,” jawab sopir taksi itu sambil kemudian melajukan mobil taksinya menuju tempat yang tadi kusebutkan.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai di tempat yang kutuju. Setelah turun dari taksi, aku segera masuk ke dalam.

Langkahku seharusnya dihentikan oleh para petugas keamanan karena aku masuk tanpa membawa tiket, tapi karena gedung ini merupakan gedung yang dibangun oleh Mama, maka mereka mengijinkanku untuk masuk begitu saja. Setelah membuka pintu, tubuhku mematung ketika melihat seseorang yang kini berada di tengah-tengah panggung. Awalnya aku tidak ingin percaya, tapi itu betul-betul Gian!

Aku terperangah melihat Gian yang sekarang mendapat tepukan meriah dari para penonton setelah berhasil menyelesaikan penampilannya dengan baik. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan apa yang aku rasakan saat ini. Kedua kakiku segera keluar dari ruang pertunjukkan guna menemui Gian yang sudah turun dari panggung.

“Gian,” panggilku kepadanya setelah membuka pintu, memandang Gian yang baru selesai minum.

Dia menoleh dan sepertinya dia juga terkejut ketika melihatku:

“Haira?” tanyanya bagai tak percaya.

Dengan kondisi jantung yang masih berdebar-debar, aku melangkah untuk menghampirinya. Ketika sudah saling berhadapan, aku sedikit mendongak untuk mengamati wajah Gian, kembali memastikan bahwa yang berada di depanku ini memang benar Gian.

Aku tidak pernah menyangka akhirnya bisa melihat Gian lagi pada hari ini. Aku tidak pernah menyangka akhirnya bisa bertemu dengan Gian lagi setelah dua belas tahun berlalu. Rasanya bagai sebuah mimpi.

Kedua mataku seketika berkaca-kaca, tapi segera kuusap sebelum airmata sempat tumpah keluar, lalu kembali memandang Gian lagi.

“Apa kabar?” kutanya sambil tersenyum padanya.

“Baik,” jawab Gian. “Tadi kamu nonton?”

Ah, suaranya masih sama seperti dulu.

“Iya, aku nonton.”

“Makasih, ya. Aku memang berharap kamu nonton. Inget janjiku waktu kita SMA? Dulu, aku berharap bisa ngadain konser resital piano. Dan sekarang, akhirnya bisa terwujud.”

Benar, aku juga jadi ingat mengenai janji Gian ketika kami masih SMA. Dulu kukira semuanya akan berjalan seperti keinginanku. Tapi ternyata takdir berkata lain.

“Kamu sendiri apa kabar?” tanya Gian.

“Kabarku baik,” aku ingin menambahkan bahwa aku sangat rindu. Tetapi, berat rasanya ketika mau bilang begitu. Jantungku sudah berdebar duluan sebelum bisa mengatakannya. “Seneng bisa ketemu kamu lagi,” kataku kemudian.

“Ke sini sama siapa?” tanya Gian.

Sebelum kujawab, tiba-tiba kudengar suara cempreng seseorang dari kejauhan.

“Abang!” panggilnya sambil mengangkat tangan kemudian sedikit berlari menghampiri Gian lalu menyerahkan sebuah buket berisi bunga.

“Haira, kenalin ini adekku: Septia,” kata Gian ke aku.

Tentu saja aku tertegun setelah mendengar penuturan dari Gian. Kupandang anak kecil berusia kira-kira sepuluh tahun yang berdiri di sebelah Gian, sementara dia hanya diam sambil menatapku bingung.

Jika dia adalah adiknya Gian, apa benar dia adalah adikku juga, anaknya Papa?

“Abang,” panggil anak itu lagi sambil sedikit menarik ujung pakaian yang dikenakan oleh Gian. “Kakak ini pacarnya abang, ya?”

“Bukan,” jawab Gian singkat dan menggelengkan kepala.

“Terus siapa?” tanyanya lagi, sambil kedua matanya melirik ke arahku.

“Temennya abang,” jawab Gian senyum.

“Oh,” kata anak itu yang kini beralih memandangku.

Kami kemudian harus berpisah ketika Gian bilang padaku bahwa dia akan pulang. Katanya sudah malam, Septia harus segera tidur, besok dia harus berangkat sekolah lebih awal karena jadi petugas upacara.

Aku tentu saja merasa keberatan ketika Gian berjalan meninggalkanku. Ingin kuhentikan langkah kakinya, tapi itu tidak mungkin kulakukan. Aku sudah bukan pacar Gian lagi. Aku tidak berhak memintanya agar tetap di sini, memintanya untuk menemaniku, memintanya untuk lama-lama ngobrol denganku, atau bahkan memintanya untuk mengantarku pulang seperti dulu.

Soal Septia pun, aku juga ingin memiliki waktu untuk ngobrol dengannya. Entah kenapa, aku ingin mengenalnya sedikit lebih dalam.

“Hati-hati, ya, Gi,” kataku sedikit keras, dengan hati yang sungguh berat.

Gian membalikkan badan dan memberiku anggukan kepala:

“Iya. Kamu juga hati-hati,” katanya.

Kalimat itu sederhana tapi berhasil membuatku seketika lemas.

Akhirnya, Gian pergi dengan Septia meninggalkanku. Kakiku lalu segera bergerak dengan harapan masih bisa kembali melihat Gian.

Ketika sampai di luar gedung, aku merasa bersyukur masih dapat melihat Gian walau yang terlihat hanya punggungnya saja, dia berdiri membelakangiku sambil menggandeng adiknya. Mereka berdua tampak seperti sedang menunggu seseorang.

Dalam hati, aku bertanya-tanya sendiri. Apa yang Gian pikirkan tentang pertemuan tak terduga denganku? Apa yang Gian rasakan ketika melihatku lagi setelah bertahun-tahun kami tidak pernah bertemu?

Aku merasa rindu pada semua momen yang pernah tercipta ketika kami masih SMA, ketika kami masih pacaran. Aku rindu dengan semua tingkahnya yang selalu berhasil membuatku merasa terhibur.

Saat ini, isi kepalaku hanya dipenuhi oleh Gian, bahkan sampai Gian menghilang dari pandanganku setelah dia masuk ke dalam sebuah mobil hitam yang berhenti tepat di depannya.

Aku masih diam di tempatku berdiri sambil memerhatikan mobil yang membawa Gian itu semakin berjalan menjauh.

“Rara,” panggil seseorang, ketika menoleh barulah kutahu bahwa Mama yang memanggilku, kemudian dia berjalan menghampiriku.

Kulihat Mama berpakaian rapi dan sedikit lebih glamor. Entah apa yang dia lakukan di sini, pada jam segini, aku juga tidak tahu.

“Mama ke sini naik apa?” tanyaku ketika kami sudah saling berhadapan.

“Mama bawa mobil.”

Mendengar itu, aku segera meminta kunci mobil Mama agar dapat mengambil mobil Mama yang masih terparkir. Aku ingin mengikuti mobil Gian, barangkali masih belum terlalu jauh. Aku ingin tahu mengenai tempat tinggalnya sekarang, berharap sewaktu-waktu aku dapat mengunjungi dan ngobrol dengannya lagi.

Selama berada di dalam mobil, kepalaku dipenuhi oleh pertanyaan untuk Gian. Setelah dulu kamu tiba-tiba menghilang dariku, apa saja yang kamu lakukan, Gian? Apakah kamu tetap lulus SMA? Setelah itu kamu melanjutkan sekolah di mana? Apa betul kamu benar-benar pergi ke Inggris? Apa betul kamu mengasah bakatmu di Inggris sana? Lalu kenapa kamu tidak menetap di sana saja? Apa yang membuatmu kembali ke sini? Itu semua berkumpul di kepalaku dengan perasaan rindu yang semakin menggebu-gebu.

“Mama tadi nonton Gian juga?” kutanya Mama yang duduk di sebelahku.

“Iya, Mama nonton. Kenapa?”

“Kenapa nggak ngajakin aku?”

“Kan, kamu sendiri yang bilang malem ini mau lembur,” jawab Mama.

“Ya kalau aku tau yang konser itu Gian, aku nggak mungkin lembur.”

Mama diam.

Tak lama kemudian, aku melihat mobil hitam yang tadi dimasuki oleh Gian, sedang berhenti di belakang lampu merah.

*****

Ketika sampai di depan hotel, mobil yang dinaiki oleh Gian berhenti. Kulihat pintu mobil dibuka kemudian Gian turun sambil kembali menggandeng adiknya. Dari jarak yang agak jauh, aku juga menghentikan mesin mobil, kemudian melepas sabuk pengaman, membuka pintu mobil lalu turun.

“Kamu mau ke mana?” tanya Mama.

“Mau ketemu seseorang. Penting.”

“Jam segini?” tanya Mama.

“Iya, aku pergi dulu,” jawabku.

“Jangan macem-macem, ya, kamu! Mau ketemu siapa di hotel malem-malem begini?” tanya Mama sambil dia ikut turun untuk menghentikan langkahku, sepertinya dia khawatir aku melakukan sesuatu yang tidak-tidak mengingat ini sudah larut malam.

“Aku nggak bakal ngapa-ngapain. Cuma pengen ketemu Gian,” jawabku.

“Ya sudah, Mama pulang duluan,” kata Mama.

Segera setelah Mama melepaskan tanganku, aku bergegas masuk ke dalam gedung hotel yang tadi dimasuki juga oleh Gian.

Ketika sudah masuk ke dalam lobi, aku berharap masih bisa melihat Gian di sana. Nyatanya di lobi hanya tinggal petugas resepsionis. Ingin sekali aku bertanya pada mereka mengenai nomor kamar hotel yang dipesan Gian, tapi tidak jadi. Aku baru sadar, keadaan bisa menjadi heboh jika aku menemui Gian di kamarnya, bisa-bisa ada orang yang kenal denganku lalu muncullah rumor macam-macam. Aku tidak mau hal seperti itu terjadi di kemudian hari.

Ck.

Mau bagaimana lagi, sepertinya ini memang bukan merupakan waktu yang tepat untuk bertemu dengan Gian.

Dengan langkah berat, aku berjalan keluar, memesan taksi kemudian kembali ke kantor. Sesampainya di kantor, ketika ingin melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda, aku tidak bisa fokus sama sekali karena terus memikirkan soal Gian. Bahkan, saat sudah sampai di rumah pun, aku tidak bisa tidur karena bayangan Gian terus berputar dalam kepala.

Esok harinya, aku langsung bersiap-siap begitu bangun dari tidur. Tapi aku tidak lupa untuk merias diriku sebaik mungkin. Kupastikan agar penampilanku terlihat sempurna, karena aku ingin bertemu dengan Gian lagi hari ini.

Aku sudah memberitahu asistenku bahwa akan datang terlambat hari ini, karena mobilku kini sedang menuju ke hotel yang merupakan tempat Gian menginap. Langkahku sedikit tergesa setelah selesai memarkirkan mobil. Kubawa kedua kakiku menuju ke dalam lobi. Mulutku tidak sabaran bertanya ke resepsionis soal kamar atas nama Gian.

Namun, realita yang kudapatkan membuat harapanku untuk bertemu Gian kini pupus sudah. Ternyata, Gian sudah melakukan check-out dari hotel ini pada pukul 06:30. Aku telat dua puluh menit.

Argh!

Aku duduk lemas di lobi hotel. Suasana hatiku langsung jadi buruk pagi ini, membuatku jadi malas untuk berangkat bekerja. Aku hanya ingin fokus mencari keberadaan Gian, karena sungguh, aku betul-betul ingin bertemu dengannya lagi. Pertemuan singkat kami semalam tidak cukup bagiku untuk menyalurkan rindu!

Tapi, asistenku sudah mengingatkan bahwa pagi ini aku ada rapat penting, guna membahas proyek yang sedang kukerjakan, kalau aku tidak datang, tentu kesempatan besar ini akan hilang, jadi aku kembali melajukan mobil menuju kantor dengan hati yang sangat terpaksa. Realita tidak memberiku kesempatan untuk mencari Gian, apalagi bertemu dengannya untuk yang kedua kali.

Selama berada di mobil, semua kenangan bersama Gian serentak membanjiriku. Aku kemudian mengeluarkan ponsel guna mencari informasi di internet soal keberadaan Gian. Tapi, ternyata tidak ada. Semua akun sosial media Gian dikunci. Dia sepertinya benar-benar berusaha menjaga privasi kehidupannya di balik panggung.

Ingin rasanya kuhubungi dia melalui fitur direct message. Ketika sudah mengetik sebaris kalimat, kuhapus lagi kalimat itu, lalu memasukkan ponsel kembali ke dalam saku. Aku tersadar, tidak ada gunanya lagi menghubungi Gian, tidak ada gunanya lagi bertemu dengan Gian. Aku tersadar, bahwa aku dan Gian sudah selesai sejak dua belas tahun lalu.

*****

Malamnya, setelah membersihkan diri, Malvin mengirimi pesan untuk bilang dia sudah menungguku di depan. Jadwal kami pada hari ini adalah memilih baju pengantin, jadi kami memutuskan untuk pergi bersama, sebagai topeng agar kami terlihat seperti pasangan harmonis, walau nyatanya, aku dan Malvin sama-sama sibuk dengan ponsel masing-masing ketika sudah masuk ke dalam mobil. Tidak ada percakapan yang tercipta, bahkan hingga kami sudah sampai di tempat tujuan.

Kuminta agar Malvin duluan yang mencoba beberapa tuksedo di sana.

“Gimana menurutmu?”

“Yang ini kayak nggak ada bedanya dari yang pertama.”

“Nggak ada bedanya gimana? Jelas-jelas yang pertama tadi warna item. Terus yang ini warna biru tua.”

“Semuanya bagus, jadi terserahmu mau pilih yang mana.”

Tirai kembali tertutup setelah aku bilang begitu.

Aku tidak bohong, Malvin memang sepertinya cocok pakai yang mana saja, proporsi tubuhnya sangat bagus. Malvin itu tinggi, mungkin hampir seratus delapan puluh, terlalu tinggi untuk ukuran tinggiku yang tidak seberapa. Jika saja tingginya seperti Gian, mungkin aku tidak perlu sampai mendongak ketika berdiri berhadapan dengannya. Jika saja tingginya seperti Gian, mungkin nantinya aku tidak perlu berjinjit setelah mengucapkan janji suci. Ah, lagi-lagi, tanpa sadar aku kembali memikirkan soal Gian.

*****

Hari ini adalah hari pernikahanku.

Pagi ini semua orang disibukkan dengan kegiatannya masing-masing. Sekilas tadi, kulihat Mama mondar-mandir kesana kemari, menyambut satu dua tamu undangan yang sudah datang, mengajak mereka berbincang-bincang.

Aku sendiri tidak bisa ikut bergabung dengan Mama, karena para perias kini sedang sibuk mendandaniku, berkutat membubuhkan banyak riasan pada wajahku, sementara Malvin hanya duduk santai di sofa ruang rias, kedua matanya menatap layar tablet di tangan, sesekali dia mengamatiku, lalu fokus lagi ke tabletnya, sepertinya dia merasa bosan karena harus menungguku sampai selesai dirias.

*****

Hari ini adalah hari pernikahanku.

Kulihat aula pernikahan sudah ramai, dipenuhi oleh banyak tamu undangan, juga saudara serta kerabat dari kedua belah pihak. Sementara itu, di sisi kanan ruangan terdapat dua meja bundar. Satu meja diisi oleh tumpukan gelas kaca, sementara satu meja lainnya diisi oleh kue tart dengan ukuran yang cukup tinggi.

Ketika saatnya memasuki ruangan, aku digandeng oleh Om Janu untuk kemudian berjalan menuju Malvin yang sudah berdiri di depan sana. Selagi aku berjalan, orang-orang yang berjejer di kanan kiri menaburkan helaian kelopak bunga padaku, sementara seorang perempuan muda ikut berjalan di belakangku, tugasnya memegangi hamparan gaun yang kukenakan, serta iringan tepuk tangan juga terus terdengar, seolah semua orang sedang berbahagia kecuali pengantinnya sendiri.

Di antara banyaknya orang di aula pernikahan, aku melihat ada Sita yang juga datang memenuhi undangan dariku, dia kemari bersama suaminya. Kulihat perutnya sudah semakin besar saja dari sejak terakhir kali aku bertemu dengannya.

Setelah aku sampai di depan Malvin, Om Janu melepaskan rangkulan tanganku dan dia serahkan pada Malvin. Dia kemudian undur diri, sementara aku dan Malvin kini berdiri berhadapan, lalu Malvin sedikit mencondongkan tubuhnya padaku, mengingatkanku agar memasang senyum.

Seolah baru sadar, aku menuruti perkataan Malvin lalu tersenyum lebar sambil sedikit mendongak untuk menatapnya.

Kami saling tersenyum. Kami saling memandang. Tapi kami tidak saling mencintai.

*****

Hari ini adalah hari pernikahanku.

Dengan kedua mata memandang lurus pada Malvin, bibirku bergerak mengucapkan janji suci pernikahan, walau bagiku itu hanyalah kalimat-kalimat berisi omong kosong.

Setelah selesai mengucapkan janji suci, kami saling mendekat agar bisa menautkan bibir sebagai tanda cinta, dan dalam keadaan itu, aku meneteskan air mata, bukan karena terharu, melainkan karena aku merasa bersalah pada Gian.

*****

Kini, aku dan Malvin sudah sah menjadi sepasang suami istri, sebagai pasangan yang siap membangun rumahtangga. Aku jadi merasa konyol, karena dulu, aku tidak pernah berhenti berkhayal bahwa suatu hari nanti aku akan menikah dengan Gian.

*****

Seingatku Bapak Sujiwo Tejo pernah berkata:

Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu bisa berencana menikahi siapa, tapi, tak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa.

*****

Maka aku akan tetap mencintai Gian. Dengan segenap hatiku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
An Ice Cream Story
539      374     0     
Short Story
Cacak seperti lambang tergadai; Kisah ini merupakan perihal orang-orang yang sedang kasmaran. Ini mengenai kisah cinta yang sompek; perkara yang tidak dapat diharapkan lagi. Saking sompeknya, mari bersama menertawai kisah ini melalui perumpamaan manisnya menikmati sebuah ice cream.
Broken Wings
944      588     0     
Inspirational
Hidup dengan serba kecukupan dan juga kemewahan itu sudah biasa bagiku. Jelas saja, kedua orang tuaku termasuk pengusaha furniture ternama dieranya. Mereka juga memberiku kehidupan yang orang lain mungkin tidak mampu membayangkannya. Namun, kebahagiaan itu tidak hanya diukur dengan adanya kekayaan. Mereka berhasil jika harus memberiku kebahagian berupa kemewahan, namun tidak untuk kebahagiaan s...
Hello, Kapten!
848      426     1     
Romance
Desa Yambe adalah desa terpencil di lereng Gunung Yambe yang merupakan zona merah di daerah perbatasan negara. Di Desa Yambe, Edel pada akhirnya bertemu dengan pria yang sejak lama ia incar, yang tidak lain adalah Komandan Pos Yambe, Kapten Adit. Perjuangan Edel dalam penugasan ini tidak hanya soal melindungi masyarakat dari kelompok separatis bersenjata, tetapi juga menarik hati Kapten Adit yan...
Ada DIA
1006      617     8     
Short Story
Kisah ini menceritakan sebuah kehidupan anak muda yang sudah berputus asa dalam hidupnya dan hingga suatu titik anak muda ini ingin menyerah untuk hidup hingga suatu kala ia bertemu dengan sosok DIA yang membuatnya bangkit.
Dendam
447      321     3     
Short Story
Dulu, Helena hidup demi adiknya, Kiara. Setelah Kiara pergi, Helena hidup demi dendamnya.
Perihal Waktu
352      238     4     
Short Story
"Semesta tidak pernah salah mengatur sebuah pertemuan antara Kau dan Aku"
(not) the last sunset
477      322     0     
Short Story
Deburan ombak memecah keheningan.diatas batu karang aku duduk bersila menikmati indahnya pemandangan sore ini,matahari yang mulai kembali keperaduannya dan sebentar lagi akan digantikan oleh sinar rembulan.aku menggulung rambutku dan memejamkan mata perlahan,merasakan setiap sentuhan lembut angin pantai. “excusme.. may I sit down?” seseorang bertanya padaku,aku membuka mataku dan untuk bebera...
Enorcher
539      278     7     
Short Story
Enorcher bilang, di antara hari-hari yang biasa kita sebutkan ada beberapa hari yang ternyata tidak kita ketahui. Termasuk keberadaan angka-angka yang hilang di antara nol sampai sembilan. Saat Margo menginterogasi, Enorcher mengaku biasa melakukan aksi pembunuhannya pada hari-hari yang tidak terdaftar itu.
Behind the Three Face
656      338     4     
Short Story
"Pepatah tua jepang mengatakan setiap orang punya tiga wajah. Wajah pertama adalah yang kau tunjukan pada dunia, wajah kedua hanya kau tunjukan pada keluarga dan teman dekat saja, dan wajah ketiga adalah yang tidak ingin kau tunjukan pada siapapun, inilah yang mereflesikan dirimu yang sebenarnya."
Pieces of Word
2034      695     4     
Inspirational
Hanya serangkaian kata yang terhubung karena dibunuh waktu dan kesendirian berkepanjangan. I hope you like it, guys! 😊🤗