Pagi ini, kehidupan di rumah kembali berjalan seperti biasa, yaitu Mama dan Papa yang tetap sibuk, Mbak Yanti yang tetap mengurusiku dengan penuh kasih sayang, seperti tidak ada sesuatu besar yang terjadi di antara mereka bertiga.
Kejutan yang disiapkan Mama untuk Papa semalam berhasil. Walau tidak sepenuhnya dibilang berhasil, karena Papa sebenarnya sudah kuberi tahu bahwa Mama akan pulang semalam. Meski begitu, Papa bisa berakting dengan baik, pura-pura terkejut dan merasa senang melihat kepulangan Mama.
Mengenai keputusanku untuk menjaga rahasia Papa dari Mama, aku sebenarnya merasa amat bersalah ke Mama. Rasanya tidak nyaman sekali melihat kepura-puraan Papa yang selalu bersikap lembut ke Mama, sementara kedua matanya berkali-kali melirik ke Mbak Yanti.
Tapi, aku juga tidak punya pilihan lain.
Aku berpikir bahwa perkataan Papa untuk tidak memberitahu Mama mungkin merupakan keputusan yang bagus, mungkin ini yang terbaik untukku sekarang. Saat ini aku masih butuh Mbak Yanti, aku masih butuh Gian, jadi tidak akan kulepaskan ibu dan anak itu untuk sekarang.
Mungkin, saat sudah kuliah nanti, saat sudah bisa mengurus diri sendiri, aku baru akan memberitahu Mama mengenai perselingkuhan itu. Semoga Mama tidak terlalu kecewa padaku karena sudah ikut membohonginya.
Saat kuliah nanti mungkin aku sudah tidak perlu Mbak Yanti untuk mengurusiku, dan aku masih bisa pacaran diam-diam dengan Gian karena tinggal jauh dari Mama. Aku juga tidak akan jadi anak yang kesepian karena pasti nantinya akan disibukkan dengan kegiatan-kegiatan di kampus.
Selain itu, Papa juga sudah bilang padaku untuk tidak perlu khawatir karena Papa dan Mbak Yanti tidak akan menuju ke tahap yang lebih serius. Papa bilang bahwa dia memang sempat berpikir akan menikahi Mbak Yanti jika dia dan Mama telah bercerai, tapi Papa membatalkan niatnya itu agar aku dan Gian saja yang menikah nanti.
Maka dari itu, sebagai balas budi keikhlasan Papa, Papa minta aku untuk jangan memberitahu Mama mengenai perselingkuhan itu, karena hanya itulah cara agar Papa tetap bersama Mama dan tidak akan menikah dengan Mbak Yanti sehingga aku bisa tetap memiliki Gian sebagai pacar dan kemungkinan sebagai suamiku di masa depan.
*****
Hubunganku dengan Gian juga masih sama seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada yang berubah sama sekali. Hanya saja, Gian sekarang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan berlatih piano, berusaha berlatih keras karena kompetisi semakin dekat, dibantu seorang guru musik laki-laki yang katanya merupakan teman ayahnya Gian.
Sesi belajar malam hari akhirnya terpaksa kuliburkan selama beberapa hari, sampai hari kompetisi selesai, guna membuat Gian agar benar-benar fokus pada kompetisinya saja.
Aku sendiri akhir-akhir ini banyak menghabiskan waktu di kamar, belajar sendiri dan berusaha mengabaikan hal-hal lain di rumah. Kadang jika aku tidak sadar belajar sampai larut, Mbak Yanti akan masuk ke dalam kamarku dan mengingatkanku untuk tidur. Biasanya akan kujawab dengan ‘iya’ tanpa menoleh, karena rasanya benar-benar malas melihat Mbak Yanti. Perasaan nyaman ketika bersama Mbak Yanti kini sudah menguap sejak aku tahu mengenai perselingkuhan dia dengan Papa.
Aku sebenarnya juga marah, sedih, dan muak ketika melihat Mbak Yanti. Dia berusaha merebut salah satu anggota keluargaku, diam-diam menghancurkan keluargaku, tapi di sisi lain aku juga tidak bisa berbuat banyak sebagai anak SMA.
Aku sudah pernah bilang ke Mama untuk mencarikanku pengasuh pengganti, tapi Mama tidak setuju karena dia sudah suka dengan kinerja Mbak Yanti selama ini, lagipula mencarikanku pengasuh pengganti hanya akan membuang-buang waktunya yang berharga. Merasa muak dengan semuanya, aku jadi lebih sering menemui Sita yang sepertinya selalu memiliki waktu senggang.
“Rotinya mau yang mana?” tanya seorang pelayan saat aku dan Sita sedang pesan makanan di salah satu tempat yang tidak jauh dari sekolah.
“Rotinya mau yang Italian white, Kak, dua,” jawab Sita sebelum aku sempat memilih menu. “Ukurannya pake yang 6 feet aja, sandwich-nya dua-duanya mau yang Italian BMT,” kata Sita menambahkan.
“Kira-kira ada sayur yang nggak disuka?” tanya orang itu lagi. “Oh, iya. Sama sausnya mau pake saus yang apa?”
“Yang satu sayuran lengkap pake saus Sweet Onion, yang satunya nggak usah pakai selada terus sausnya pake yang Chipotle Southwest, Kak,” jawab Sita cepat. Dia bahkan tidak melihat menu terlebih dulu.
Sita mendorong aku lagi untuk bergeser mengikuti orang yang kini berdiri di belakang mesin kasir. Dia tiba-tiba membuka tas sekolahku sebelum kujinkan. Tangannya merogoh isi tasku sebentar. Barulah kemudian dia mengeluarkan dompetku dari dalam tas.
Sita mengeluarkan kartu kredit milikku lalu nyengir. Dia menatapku dengan pandangan berbinar. Aku tahu, Sita sedang minta ditraktir.
Maka dari itu, segera kusodorkan kartu kredit kepada orang yang berdiri di belakang mesin kasir. Selesai melakukan transaksi pembayaran, aku dan Sita memilih tempat duduk agak di pojok.
Makanan kami sudah siap tanpa perlu menunggu lama. Sita dengan sigap segera berdiri untuk mengambil pesanan kami. Dia kembali lagi dengan nampan yang di atasnya terdapat dua makanan dan dua minuman.
“Rasanya akhir-akhir ini jarang banget lihat kamu sama Gian, lagi berantem?”
“Enggak,” kujawab sambil mulai makan. “Kita jarang ketemu karena Gian sekarang lagi fokus latihan buat kompetisi pianonya.”
Sita manggut-manggut, ikut membuka bungkus makanan dan mulai makan.
“Meskipun dia anaknya males-malesan dan kayak nggak niat hidup, tapi kuakui Gian itu keren. Dia punya bakat, passion, skill, dan dia terus berusaha buat berkembang, salut deh pokoknya buat Gian!”
“Iya, Gian emang keren, bertalenta, cita-citanya pengen jadi pianis hebat,” kataku sambil senyum karena terbayang Gian. “Cowokku itu, Sit, he he he.”
Sita memutar bola matanya malas.
“Kamu sendiri gimana, Ra? Kamu, kan, pinter di semua pelajaran tuh, terus cita-citamu ke depannya mau jadi apa?”
Pertanyaan itu diucap oleh Sita dengan nada santai. Tapi hal itu justru berhasil membuatku diam. Tanpa sadar aku berhenti makan dan mengalihkan pandangan ke meja dengan tatapan kosong.
“Sit,” panggilku sambil memandang Sita yang fokus makan.
Sita menaikkan pandangan dan balas menatapku:
“Apa?”
Sita tetap makan sandwich di tangannya dengan santai, sepertinya dia tidak sadar dengan ekspresi wajahku yang berubah. Aku menghembuskan napas dan mulai bicara lagi:
“Aku nggak tau, bingung mau bikin planning apa buat ke depannya.”
“Kenapa wajahmu tiba-tiba jadi sedih begitu?” tanya Sita setelah dia menyadari aku yang berhenti makan.
“Nggak tau, rasanya insecure aja sama Gian,” jawabku sambil tersenyum tipis.
Sita ikut meletakkan makanannya lalu mengambil tisu untuk mengelap bibir serta tangannya sendiri.
“Ra, dengerin ya, kita udah jadi temen dari umur kita lima tahun,” kata Sita. “Dan sejak pertama kali kenal kamu waktu itu, aku udah tau kalau kamu itu anaknya pinter, rajin, berprestasi lah pokoknya.”
Sita kemudian mulai mengoceh banyak hal.
Sita bilang bahwa aku ini tidak pernah berubah dari sejak dia mengenalku, tepatnya saat kami masih berada di taman kanak-kanak. Dia memberitahu bahwa aku ini masih sama seperti dulu. Dia bilang bahwa aku ini masih sama pintarnya dengan dua belas tahun lalu sehingga tidak perlu merasa rendah diri.
Sita juga bilang bahwa banyak anak lain yang hanya pintar saat di sekolah dasar saja atau di sekolah menengah saja. Tapi baginya aku tidak begitu. Sita salut padaku yang selalu berhasil menjadi ranking satu dan memenangi banyak lomba akademik sehingga punya banyak piala yang kusumbangkan pada sekolah.
Kurasa Sita terlalu banyak menyanjungku. Meski semua itu memang benar, tapi dia terlalu melebih-lebihkan dalam memujiku.
“Jadi, udah lah, nggak perlu ngerasa insecure-insecure-an segala,” kata Sita di akhir sesi wejangannya padaku.
Aku tersenyum lebih lebar setelah mendengar semua kalimat positif dari Sita. Segera kumakan lagi sandwich milikku yang sempat kuabaikan, perasaanku jadi jauh lebih baik daripada sebelumnya.
“Iya, iya, makasiiiiihhhhh, Sitaaaaa!!!” kataku kepadanya dengan senyum mengembang dan mulut penuh karena makanan.
“Kamu sama Gian itu sama, Ra, sama-sama hebat, sama-sama keren, and you both deserves each other, okay?”
Aku hanya bisa membalas perkataan Sita dengan senyum lebar.
Jomblo tujuh belas tahun di hadapanku ini memang tidak pernah gagal menghiburku dengan kata-katanya yang dingin dan menyejukkan hati. Meski aku sulit bersosialiasi sehinga tidak punya banyak teman, bahkan temanku hanya satu yaitu Sita, tapi aku amat bersyukur karena memiliki orang terdekat seperti dia.
Iya, beginilah aslinya Sita, tidak hanya pandai meledek sampai membuatku malu ketika bersama dengan Gian. Meskipun tumbuh di lingkungan yang tidak bisa dibilang baik, tapi dia tahu betul bagaimana harus bersikap, dia tahu bagaimana harus mengutarakan kalimat yang bisa membuat orang lain nyaman ngobrol dengannya. Sita adalah pendengar yang baik, sekaligus pemberi solusi yang baik. Dia membuatku merasa tenang sehingga hampir tidak pernah ada rahasia di antara kami berdua.
Ah, bicara soal rahasia, aku jadi ingat bahwa aku belum pernah cerita ke Sita bahkan ke siapapun mengenai perselingkuhan Papa dan Mbak Yanti. Untuk yang satu ini, biarlah rahasia itu kusimpan rapat-rapat seorang diri.
*****
Mata pelajaran pada hari ini adalah Pendidikan Jasmani, Biologi, Matematika minat, dan yang terakhir adalah Pendidikan Kewarganegaraan. Masih tersisa setengah jam lagi hingga bel pulang dibunyikan.
Banyak anak yang tidak memperhatikan penjelasan dari guru di depan kelas, termasuk Gian yang kini sedang tidur pulas di bangkunya.
Saat guru selesai menjelaskan dan meminta murid-murid di kelas untuk mengajukan pertanyaan, seperti biasa tidak ada yang mengangkat tangan selain aku.
Ketika bel pulang sudah berbunyi, semua murid bergegas mengemasi buku dan alat tulis. Setelah guru keluar kelas, barulah para murid di kelas juga ikut keluar satu per satu.
Kusenggol lengan Gian berkali-kali, dia akhirnya bangun lalu menegakkan tubuh sambil menguap lebar. Dikucek pelan kedua matanya, setelah itu barulah dia sadar bahwa sudah tidak ada siapapun di kelas ini selain kami berdua. Suasana sepi dan lengang. Gian kemudian berdiri sambil menyampirkan tasnya di bahu, kemudian mengajakku untuk keluar kelas dan menuju parkiran. Kami pulang.
“Kamu latihan lagi nanti?” tanyaku setelah Gian membelokkan motornya ke jalan kecil yang tidak terlalu ramai.
“Iya, kompetisinya tinggal sebentar lagi.”
“Tapi, kamu pasti terlalu fokus latihan sampai lupa waktu, kan?” tanyaku lagi. “Makanya, di sekolah bukannya belajar malah pindah tempat tidur.”
“Nanti habis kompetisinya selesai, aku bakal perbaikin lagi jam tidurku,” kata Gian, mengusap punggung tanganku seolah menenangkan.
Aku berdecak kesal.
“Terus, nanti habis kompetisi pianonya selesai, target kamu yang selanjutnya apa?” tanyaku penasaran.
“Belum tau, aku belum kepikiran apa-apa,” jawab Gian dengan kedua mata tetap fokus pada jalanan di depan.
Gian menghentikan motornya ketika lampu lalu lintas menyala merah.
“Oh.”
“Habis kompetisi selesai, mendingan fokus lagi pacaran sama kamu aja kali, ya?” tanya Gian bagai ke dirinya sendiri.
Aku memutar bola mata malas, lalu menepuk bahu Gian cukup keras. Kudengar dia sedikit mengaduh kesakitan kemudian tertawa.
“Nggak kerasa tahun depan kita bakal lulus SMA,” kata Gian kembali membuka mulut. “Habis lulus, kamu ada planning mau ke mana?”
“Belum tau,” jawabku. “Aku juga belum kepikiran.”
Setelah itu tidak ada lagi percakapan di antara kami. Sebelum lampu benar-benar berubah hijau, suara klakson terdengar bersahut-sahutan, dan setelah lampu hijau menyala, barulah semua kendaraan bergerak pelan-pelan, termasuk motor Gian yang tinggal beberapa ratus meter lagi akan sampai di depan kompleks perumahan.
Aku mendongak dan menatap langit yang berawan.
Kupandangi awan putih itu lamat-lamat.
Aku termenung, kembali merasa risau ketika memikirkan masa depan. Memang, sekarang semuanya terasa baik-baik saja sesuai keinginanku. Tapi, aku juga takut jika suatu saat semua orang akan tahu mengenai perselingkuhan Papa dan Mbak Yanti sehingga keadaan menjadi buruk bagiku.
Tanpa sadar, aku mengeratkan pegangan pada seragam sekolah Gian.
“Gi.”
“Hm? Kenapa?” tanyanya.
“Habis ini … kita jangan sampai putus lagi, ya?”
Motor tetap melaju dengan kecepatan sedang, hembusan angin terasa menyejukkan, membuat seragam sekolah kami bergerak-gerak.
“Iya.”