Read More >>"> Our Different Way (TUJUH) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Our Different Way
MENU
About Us  

Hari ini, kuminta Gian untuk pulang saja setelah sekolah usai.

Kubilang nanti malam saja belajarnya. Aku akan ke rumah Gian. Sekarang kuminta Gian untuk latihan piano saja alih-alih belajar di perpustakaan.

Aku baru sadar bahwa selama ini aku sudah banyak menyita waktu Gian, membuat dia jadi kehilangan waktunya untuk berlatih piano.

Maka dari itu, kubilang ke Gian untuk fokus pada kompetisi pianonya dulu, kusuruh dia agar memprioritaskan berlatih piano, sementara belajar mengenai pelajaran di sekolah bisa nanti-nanti.

Awalnya kupikir sesi belajar dengan Gian lebih baik libur dulu. Aku ingin Gian fokus dulu berlatih piano sampai kompetisi selesai.

Gian menolak.

Katanya, meski malas belajar, tapi dia senang karena punya alasan untuk dapat bertemu dan berlama-lama bisa berduaan denganku. Katanya, nanti dia bisa rindu dan justru tidak fokus berlatih piano kalau sesi belajar diliburkan.

Dasar bucin!

“Nona Cantik mau ke mana?” tanya Mbak Yanti saat melihatku hendak keluar dengan pakaian rapi.

“Ke rumah temen.”

Aku sengaja tidak memandang wajah Mbak Yanti.

“Tuan sudah nunggu di ruang makan buat makan bareng sama Rara, Rara nggak mau makan dulu?”

“Nggak, lagi nggak selera.”

*****

Akhirnya, aku sampai di rumah Gian, atau lebih tepatnya rumah neneknya Gian.

Setelah mengetuk pintu, nenek Gian keluar untuk membukakan pintu sebelum kemudian mempersilakanku masuk.

Gian sedang keluar katanya. Baru disuruh pergi ke warung. Aku disuruh duduk dulu di ruang tamu sambil menunggu Gian. Tidak perlu menunggu lama, Gian sudah kembali, dan dia buru-buru mengambil buku-buku pelajaran begitu melihatku duduk di ruang tamu.

“Maaf, jadi bikin kamu nunggu,” kata Gian ke aku. “Kelamaan di warung, diajak debat dulu tadi sama yang jualan.”

“Ha ha ha! Debat tentang apa?”

“Tadi, disuruh nenek buat nawar harga. Pas ke sana, aku coba tawar setengah harga kayak ibu-ibu. Eh, bukannya dikasih, malah diusir.”

“Emang kamu nawarnya gimana?”

“Gula pasir yang harganya sebelas ribu lima ratus per kilo, kutawar jadi lima ribu nggak boleh katanya.”

“Ha ha ha, ya jelas nggak dibolehin, kamu nawarnya ekstrem!”

“Kan, nawar setengahnya.”

“Itu lebih dari harga setengahnya, Gian,” kataku. “Sebelas ribu dibagi setengah aja lima ribu lima ratus, masa sebelas ribu lima ratus dibagi setengah hasilnya lima ribu?”

“Hah?”

“Kamu udah kelas tiga SMA tapi pembagian aja nggak bisa, gimana mau lulus?”

“Matematika itu memang pelajaran yang paling aku nggak bisa.”

“Kalau gitu, pelajaran Sejarah. Siapa presiden Indonesia yang menjabat paling lama?”

“Sebentar. Aku lupa.”

“Lupa apa nggak tau?” sindirku.

“Sebentar.”

“Aku hitung.”

“Mm …”

“Satu … dua …”

“Ah, ini loh ... yang punya banteng … siapa, sih, namanya itu …” kata Gian. “Ah, iya, Ibu Megawati!”

“Tet tot! Salah!” Aku memukul kening Gian pakai pensil. “Presiden yang masa jabatanya paling lama itu Bapak Suharto, Gian!”

“Kamu, sih, nanyanya dadakan. Aku sebenernya tau,” kata Gian. “Tapi jadi lupa karena ditanya tiba-tiba begitu.”

Kupukul lagi kening Gian pakai pensil. Kali ini sedikit lebih keras, membuat Gian sampai meringis kesakitan. Dia lalu mengusap keningnya sendiri yang tadi kupukul dua kali.

“Sakit?”

“Iya, sakit, sakit banget. Harus diobatin.”

“Utututu, sakit banget, ya?”

“Iya. Cuma bisa diobatin pakai cium,” kata Gian sambil menyingkirkan poni dan menunjuk keningnya sendiri.

“Kalau kucium, langsung sembuh?”

“Iya, langsung sembuh, bisa tiba-tiba jadi pinter juga kalau dicium.”

Lalu, kuminta Gian untuk memejamkan mata, dengan alasan bahwa aku malu jika dilihat oleh Gian. Gian menurut, dia memejamkan mata sambil sedikit mencondongkan kepalanya agak ke depan.

Kupukul lagi kening Gian pakai pensil. Dia seketika mengaduh kesakitan dan langsung membuka mata.

“Kenapa dipukul lagi?” tanya Gian sambil meringis lagi dan menatapku tidak terima. “Sakit ini. Kalau aku jadi tambah bodoh gara-gara kamu pukul gimana? Mana kamu mukulnya keras, sampe jidatku jadi merah.”

“Salah sendiri,” kataku tidak peduli. “Ini waktunya belajar, bukan pacaran.”

“Sekarang gantian aku yang nanya. Gimana? Boleh?” tanya Gian.

“Boleh. Mau nanya apa?” tanyaku balik. “Tanya aja pelajaran apapun, nanti kujawab.”

“Ini susah. Bukan tentang pelajaran sekolah.”

“Terus, tentang apa?” tanyaku sambil mengambil gelas berisi air putih yang tadi disuguhkan oleh nenek Gian. “Kalau pertanyaanmu cuma tentang gombalan receh begitu, nggak bakal kujawab.”

“Bukan itu juga.”

“Terus apa, Gian?”

“Ini tentang kita,” jawab Gian mendadak dengan ekspresi serius. “Aku mau nanya tentang masa lalu kita.”

“Kamu mau nanya tentang apa? Masa lalu ya biarin jadi masa lalu aja, Gi. Ngapain diungkit-ungkit lagi?”

“Alasan sebenernya dulu kamu minta putus itu apa, Haira?”

Mendengar itu, aku diam cukup lama sebelum akhirnya harus kembali berkata bohong ke Gian.

*****

Sesi belajar kami sudah selesai pukul setengah sembilan. Aku memasukkan buku-bukuku ke dalam tas.

Sebelum pamit pulang, neneknya Gian muncul sambil membawa nampan berisi dua cangkir minuman jahe. Aku disuruh minum itu dulu, katanya biar badan hangat, agar tidak kedinginan saat sudah malam begini, sekaligus bisa membuat tubuhku jadi lebih sehat.

Perasaanku juga ikut menghangat karena mendapat perhatian dari neneknya Gian.

Setelah itu, aku pamit. Neneknya Gian minta Gian untuk mengantarku. Kubilang tidak perlu. Sudah ada supir yang menungguku di depan rumah Gian sejak tadi.

*****

Ketika sudah sampai rumah, seperti biasa, Mbak Yanti akan menyambutku dengan senyum ramahnya yang sekarang justru membuatku tidak suka.

Sejak hari di mana aku melihat perbuatan Mbak Yanti dan Papa, aku sengaja bersikap ketus ke Mbak Yanti. Kalau tidak begitu, aku akan sengaja menulikan telinga karena malas melakukan konversasi dengannya.

Cara lainnya dalam menjauhi Mbak Yanti adalah dengan sengaja berlama-lama main di rumah Sita, karena aku tidak mau lama-lama berada di rumah. Seperti saat aku mendiamkan Gian kemarin, saat aku tidak bisa jalan-jalan dengan Gian, aku sengaja main ke rumah Sita sampai larut malam, sekalian makan malam di sana, hitung-hitung menemani dia yang juga kesepian, jadi sampai rumah aku akan langsung masuk kamar, cuci muka dan gosok gigi sebelum pergi tidur.

Ya, sejak itu, Mbak Yanti pasti merasa bahwa sikapku padanya jadi sedikit berubah. Aku tidak peduli, tidak juga merasa bersalah karena sudah bersikap ketus. Bodo amat! Lebih baik urusi saja kebutuhan biologis Papa daripada mengurusiku!

Aku jadi kepikiran tentang kamarku yang tiba-tiba berantakan beberapa hari lalu. Waktu itu aku baru saja balikan dengan Gian. Sampai rumah Mbak Yanti tiba-tiba minta aku untuk tidur di kamar tamu saja. Aku melihat kamarku jadi berantakan saat tidak sengaja hendak mengambil beberapa buku dari sana. Mbak Yanti pernah bilang bahwa itu ulah kucing tetangga yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah.

Sekarang, aku yakin sekali, bahwa itu pasti ulah mereka berdua.

Aku jadi merasa jijik tidur di kamarku sendiri, walau waktu itu langsung dibersihkan oleh asisten rumah tangga. Spreinya juga sudah diganti, tapi aku tetap merasa tempat ini menjijikkan. Kurasa otak mereka benar-benar tidak waras, karena bisa-bisanya melakukan perbuatan menjijikkan itu di kamarku, lalu melakukannya lagi di kamar utama, benar-benar membuatku tidak habis pikir!

Kuharap Mama akan segera pulang, karena dengan begitu aku bisa memberitahu ke Mama, tentang pengkhiantan yang dilakukan Papa, tentang sifat asli Mbak Yanti yang bukan merupakan perempuan baik-baik.

Aku jadi ingat, ketika dulu Papa yang merekomendasikan Mbak Yanti untuk jadi pengasuhku, pasti ada sangkut pautnya tentang hubungan terselubung yang mereka lakukan.

*****

Pagi-pagi sekali Mama menelepon. Tumben.

“Ada apa, Ma?”

“Urusan Mama di sini sebentar lagi selesai,” kata Mama.

“Terus, Mama kapan pulang?” tanyaku tak sabar menunggu jawabannya.

“Dua atau tiga hari lagi. Tapi, tumben kamu nanya-nanya kepulangan Mama?”

“Papa udah tau kalau Mama mau pulang?”

“Belum. Mama belum bilang ke Papa”

Aku merasa lega.

“Jangan bilang ke Papa, Ma,” kataku.

“Kenapa jangan?”

“Nggak apa-apa, biar surprise buat Papa,” jawabku.

“Wah, boleh, boleh.”

“Nanti biar aku yang jemput Mama di bandara.”

“Oke. Sekarang sudah dulu, ya?” kata Mama.

“Mama masih ada kerjaan pagi-pagi begini?”

“Bukan, Mama cuma mau sarapan sama rekan kerja Mama.”

“Oh.”

“Kamu juga jangan lupa sarapan.”

“Iya, Ma.”

“Semangat sekolahnya, anak Mama.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
An Ice Cream Story
539      374     0     
Short Story
Cacak seperti lambang tergadai; Kisah ini merupakan perihal orang-orang yang sedang kasmaran. Ini mengenai kisah cinta yang sompek; perkara yang tidak dapat diharapkan lagi. Saking sompeknya, mari bersama menertawai kisah ini melalui perumpamaan manisnya menikmati sebuah ice cream.
Broken Wings
944      588     0     
Inspirational
Hidup dengan serba kecukupan dan juga kemewahan itu sudah biasa bagiku. Jelas saja, kedua orang tuaku termasuk pengusaha furniture ternama dieranya. Mereka juga memberiku kehidupan yang orang lain mungkin tidak mampu membayangkannya. Namun, kebahagiaan itu tidak hanya diukur dengan adanya kekayaan. Mereka berhasil jika harus memberiku kebahagian berupa kemewahan, namun tidak untuk kebahagiaan s...
Hello, Kapten!
848      426     1     
Romance
Desa Yambe adalah desa terpencil di lereng Gunung Yambe yang merupakan zona merah di daerah perbatasan negara. Di Desa Yambe, Edel pada akhirnya bertemu dengan pria yang sejak lama ia incar, yang tidak lain adalah Komandan Pos Yambe, Kapten Adit. Perjuangan Edel dalam penugasan ini tidak hanya soal melindungi masyarakat dari kelompok separatis bersenjata, tetapi juga menarik hati Kapten Adit yan...
Ada DIA
1006      617     8     
Short Story
Kisah ini menceritakan sebuah kehidupan anak muda yang sudah berputus asa dalam hidupnya dan hingga suatu titik anak muda ini ingin menyerah untuk hidup hingga suatu kala ia bertemu dengan sosok DIA yang membuatnya bangkit.
Dendam
447      321     3     
Short Story
Dulu, Helena hidup demi adiknya, Kiara. Setelah Kiara pergi, Helena hidup demi dendamnya.
Perihal Waktu
352      238     4     
Short Story
"Semesta tidak pernah salah mengatur sebuah pertemuan antara Kau dan Aku"
(not) the last sunset
477      322     0     
Short Story
Deburan ombak memecah keheningan.diatas batu karang aku duduk bersila menikmati indahnya pemandangan sore ini,matahari yang mulai kembali keperaduannya dan sebentar lagi akan digantikan oleh sinar rembulan.aku menggulung rambutku dan memejamkan mata perlahan,merasakan setiap sentuhan lembut angin pantai. “excusme.. may I sit down?” seseorang bertanya padaku,aku membuka mataku dan untuk bebera...
Enorcher
539      278     7     
Short Story
Enorcher bilang, di antara hari-hari yang biasa kita sebutkan ada beberapa hari yang ternyata tidak kita ketahui. Termasuk keberadaan angka-angka yang hilang di antara nol sampai sembilan. Saat Margo menginterogasi, Enorcher mengaku biasa melakukan aksi pembunuhannya pada hari-hari yang tidak terdaftar itu.
Behind the Three Face
656      338     4     
Short Story
"Pepatah tua jepang mengatakan setiap orang punya tiga wajah. Wajah pertama adalah yang kau tunjukan pada dunia, wajah kedua hanya kau tunjukan pada keluarga dan teman dekat saja, dan wajah ketiga adalah yang tidak ingin kau tunjukan pada siapapun, inilah yang mereflesikan dirimu yang sebenarnya."
Pieces of Word
2034      695     4     
Inspirational
Hanya serangkaian kata yang terhubung karena dibunuh waktu dan kesendirian berkepanjangan. I hope you like it, guys! 😊🤗