Hari ini hari Minggu, tidak ada jadwal pergi ke sekolah, jadi setelah bangun tidur, aku hanya bermalas-malasan di dalam kamar sambil sesekali mengecek ponsel untuk melihat apakah Gian membalas pesanku semalam atau tidak.
Gian ternyata memberikan balasan, dia mengirim sebuah video hasil editannya sendiri, membuatku jadi tersenyum karena merasa terhibur.
Tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Mbak Yanti kemudian masuk dan memberitahuku bahwa ada Gian di depan.
“Kenapa ke sini nggak bilang-bilang?”
“Udah hilang capeknya?” Gian justru balik bertanya setelah aku sudah berdiri di depannya.
“Iya,” jawabku.
Gian bilang akan mengajakku keluar hari ini jika aku bersedia. Dia tidak memberitahu ingin ke mana, tapi kuiyakan saja karena tidak ingin berlama-lama di rumah dan melihat wajah Mbak Yanti atau Papa.
Aku kembali ke kamar dan bersiap-siap sebentar. Langkahku kembali ke ruang tamu setelah selesai berganti pakaian.
Aku keluar tanpa pamit ke Mbak Yanti atau ke Papa, kugandeng tangan Gian keluar rumah, lalu menutup pintu dengan gerakan sedikit kasar. Setelah sampai di luar gerbang rumahku, kami menghampiri motor Gian yang sudah terparkir di sana. Gian menyodorkan sebuah helm untuk kupakai, lalu kami pun naik dan motor yang dikemudikan Gian melaju keluar dari kompleks perumahan.
“Apa waktu habis dari Pasar Malem, aku ada salah sampai kamu ngediemin aku kemarin?” tanya Gian.
Aku diam, tidak tahu harus berkata apa. Selain itu, aku juga tidak ingin memberitahu Gian perihal perbuatan Mbak Yanti dan Papa.
Aku tidak punya bukti apapun yang menyangkut kejadian itu, dan di sisi lain, aku tidak mau hubunganku dengan Gian jadi renggang kembali jika Gian tahu mengenai perbuatan ibunya. Aku mau seperti ini terus dengan Gian, tidak mau Gian pergi lagi.
“Gian, kamu udah ngasih tau ibumu kalau kita pacaran?”
Gian tidak langsung menjawab, dia diam sebentar, entah apa yang dia pikirkan, kemudian dia sedikit menoleh ke belakang dan memandangku dari sudut matanya:
“Belum, aku takut ibu marah karena status sosial kita.”
Aku tertegun mendengar jawaban Gian.
“Makanya, nanti kalau udah dewasa dan jadi orang kaya, aku bakal kasih tau ke ibu sekalian minta restu,” kata Gian setelah hening beberapa detik di antara kami.
Aku senyum, Gian juga senyum. Dia melirik dari kaca spion guna melihat wajahku yang terpantul jelas sekali di sana.
Setelah itu, kusuruh Gian untuk kembali menghadap jalanan dan fokus mengemudi, dia menurut, dengan sedikit mengurangi kecepatan motornya.
Gian mengendarai motornya seperti biasa saat kami berangkat sekolah, sedikit pelan dan terkesan santai.
Entah ke mana Gian akan membawaku pergi, aku tidak peduli, yang kupedulikan hanyalah diriku yang sedang senang karena duduk berdua naik motor dengan Gian.
Hari ini sinar matahari tertutup awan, terkesan mendung. Angin yang menemani perjalanan kami terus memainkan rambutku. Kuberanikan diriku untuk melingkarkan tangan dan memeluk Gian dari belakang.
Entah apa yang akan terjadi di masa depan, aku tidak ingin peduli dan tidak ingin memikirkannya sekarang. Aku bersama Gian, aku mencintai Gian, Gian juga mencintaiku, dan itu sudah cukup.
Ketika bersama Gian, aku merasa seolah tidak perlu takut pada apapun dan hanya cukup percaya padanya.
Jika suatu hari nanti kami harus berpisah lagi karena perbuatan orangtua kami, aku harap semesta akan mengulangi hal yang sama padaku dan Gian. Kuharap semesta akan mempertemukanku lagi dengan Gian, mungkin dengan versi yang berbeda namun memiliki cinta yang sama.
Jika suatu hari kami berpisah lagi, kuharap aku dapat menemukan kembali Gianku dengan versi yang lebih dewasa. Kuharap Gianku kembali lagi untuk datang menemuiku seperti beberapa hari lalu. Dan jika boleh, kuharap aku dan Gian tidak akan putus lagi sampai kapanpun.
*****
Tidak berapa lama, Gian menghentikan motornya di sebuah kedai es krim.
Setelah turun dari motor, Gian menggandengku untuk masuk ke dalam kedai es krim yang tampak ramai oleh pengunjung. Isinya rata-rata anak muda seperti aku dan Gian. Beberapa ada yang bersama pasangan. Sisanya ada yang bersama saudara atau teman.
Kami langsung pesan, lalu menunggu selama beberapa menit sampai es krim yang kami inginkan sudah jadi. Gian kemudian mengajakku naik tangga karena dia ingin duduk di lantai atap. Tapi ternyata kursi di atap penuh. Kami terpaksa turun lagi lalu memilih salah satu tempat duduk di lantai satu.
Rasanya menyenangkan, duduk berdua dengan Gian, sambil makan es krim dingin dan melihat wajah Gian yang tersenyum hangat.
Kami ngobrol, sesekali saling menyuapi es krim milik masing-masing, walau rasanya sangat malu.
Beberapa saat kemudian, Sita juga datang ke kedai ini, sendirian dan langsung menghampiri meja kami setelah dia selesai pesan.
Sita ikut duduk dengan kami karena meja di lantai satu juga penuh oleh pengunjung.
“Wah, baru kali ini aku mau muntah waktu makan es krim. Apa habis ini mending beli es krim di planet Mars aja, ya, biar nggak perlu ketemu orang pacaran?”
Aku dan Gian ketawa.
Kami lanjut ngobrol lagi. Kali ini, Sita ikut nimbrung dengan suara cemprengnya yang tidak berhenti mengoceh.
Setelah es krim habis, Sita bilang pada kami bahwa dia mau pulang saja. Dia mengajakku untuk pulang bareng agar Gian tidak perlu mengantarku, tapi kubilang pada Sita bahwa aku masih ingin jalan-jalan dengan Gian. Sita lagi-lagi meledekku habis-habisan sebelum dia berlalu naik taksi. Barulah setelah itu aku dan Gian kembali naik motor berdua di bawah langit yang mendung.
Kupeluk lagi perut Gian.
Bahu Gian lebar. Rasanya nyaman. Wangi parfumnya seperti wangi lilin aroma terapi. Menenangkan. Aku memejamkan mata.
Gian sempat bertanya padaku ingin ke mana, kujawab jalan-jalan saja berdua naik motor keliling kota tanpa tujuan.
Gian mengiyakan dan aku sedikit mengeratkan pelukan.