Aku terkejut bukan main saat tiba-tiba saja tubuh Gi menimpaku. Susah payah aku memapah tubuhnya yang berat ke bangku panjang yang ada tidak jauh dari jangkauan. Aku menatap tubuhnya yang tidak berdaya itu dengan sebal. Bagaimana tidak? Aku sudah sengaja berhemat uang, tapi hari ini mau tidak mau aku harus mengeluarkan uang secara mubazir karena harus memesan ojek online roda empat.
"Pokoknya, kalau kamu sadar, kamu harus bayar ongkos ojek onlinenya! Nggak mau tau," ungkapku dengan kesal kepada Gi yang masih tidak sadarkan diri.
Tidak lama yang ditunggu datang, syukurlah aku tidak harus berlama-lama jadi tontonan orang yang berlalu lalang melewati tempat ini.
"Dengan, Neng Namina, betul?"
"Iya, betul, Pak."
"Mari, silakan, Neng," ucap si bapak tukang ojek.
"Pak, boleh saya minta tolong, angkat cowok ini ke dalam, Pak?" tanyaku yang jujur saja tenagaku sudah habis terkuras karena harus memapah tubuhnya.
"Boleh, Neng, tentu saja," jawab si bapak ojek dengan sopan. Tanpa diminta dua kali, si bapak turun dari dalam mobil yang dikendarai, sementara aku membantu membukakan pintu untuk memasukkan tubuh Gi ke dalam mobil.
"Terima kasih ya, Pak," ungkapku.
"Sama-sama, Neng. Kalau begitu saya langsung antar sampai tempat tujuan ya?" tanya si bapak yang segera aku jawab lewat anggukan kepala.
Saat mobil sedan berwarna hitam itu mulai melaju di jalanan yang cukup padat, aku segera mengambil ponselku dan mengirimkan pesan kepada Wenda.
Anda: [Dik, Kakak sudah di jalan, pakai ojek online.]
Adik: [Loh, kok tumben nggak naik angkot saja, Kak? Bukannya kita harus hemat ya ...?]
Nah itu dia masalahnya, kita harus berhemat! Gi sialan, ngapain sih pingsan di depan aku! Mana babak belur gitu lagi? Aku kan nggak tega ninggalinnya!
Anda: [Kakak bawa teman yang sedang sakit, Dik.]
Pesanku segera mendapatkan balasan.
Adik: [Kak Babas sakit, Kak?]
Duh gimana menjelaskannya, ya? Aku bingung, ini pertama kali aku bawa teman laki-laki ke rumah kontrakan. Selain ke Wenda, aku juga harus minta izin kepada pemilik rumah, kan? Duh, pusing banget deh!
Aku memijat kepalaku yang seketika terasa nyut-nyutan.
Anda: [Bukan, Dik. Ini ... teman Kak Nami, teman laki-laki ....]
Sekali lagi Wenda tidak membutuhkan waktu lama untuk membalas pesanku.
Adik: [Anjir! Pacar? Sejak kapan Kak Nami punya pacar?😭]
"Anjir, si Wenda! Bisa-bisanya dia kepikiran ke sana, sih, Dik!" Segera aku mengetik pesan balasan kepada adikku.
Anda: [BUKAN!]
Terkejut aku dengan jawaban pesan dari adikku.
Anda: [Dia teman di sekolah.]
[Kasihan ... dia miskin, sebatang kara gitu ....]
Aku saat mengarang indah alasan untuk Wenda. Adikku yang kini jadi satu-satunya keluargaku itu adalah tipe orang yang mudah tersentuh, mudah menitikkan air mata--bahkan untuk hal-hal remeh--aku sering melihat Wenda beberapa kali menangis hanya karena adegan sebuah film kartun seperti Upin Ipin dan Doraemon.
Adik: [Kasihan dia, Kak.]
[Jadi, sekarang Kak Nami sedang antar dia pulang?]
Anda: [Dia kan sedang sakit, Dik. Jadi, kakak nggak tega kalau dia di rumah kontrakannya sendirian.]
Sekali lagi aku mengarang indah. Bisa-bisa aku jadi novelis nih, kalau gini caranya!
Adik: [Oh, iya, aku lupa!]
[Jadi, dia, Kakak ikut pulang ke rumah kontrakan kita?]
Aku menelan salivaku, entah kenapa dadaku tiba-tiba saja berdebar kencang tidak karuan. Keringat dingin bahkan muncul di permukaan kulitku. Hal-hal menyebalkan bermunculan dalam benakku.
"Tenang, Nami ... tenang! Aku bukan orang jahat, kok," aku berucap kepada diriku seraya mengurut dadaku perlahan.
Anda: [Menurut kamu gimana, Dik?]
Adik: [Yasudah nggak apa-apa, Kak. Kasian dia kalau ditinggal sendiri di rumah kontrakannya, kalau sampai ditemukan mati karena nggak ada yang urus gimana, coba, Kak?]
Hah? Kok Wenda sampai kepikiran ke sana sih? Ampun deh nih bocah?
Aku menepuk jidatku sambil lalu. Menatap Gi yang berada di jok belakang. Entah kenapa aku merasa kasihan padanya. Tapi di sisi lain aku tidak tahu harus mengantarnya kemana?
Sudahlah. Toh ini aku sedang berbuat baik, kok. Nanti aku tinggal cari alasan untuk ibu pemilik rumah kontrakan, agar Gi bisa tinggal di rumah sampai dia sadar. Setelah itu aku akan langsung mengusirnya.
"Neng, maaf, ketawanya serem, Neng," celetuk bapak tukang ojek yang berada tepat di sampingku.
Aku segera membungkam mulutku, menghentikan tawaku yang melengking. Banyak orang bilang tawaku mirip Mbak Kunkun, termasuk si bapak supir ini. "Maaf, Pak," ucapku.
Perhatianku teralihkan saat ponsel miliku berbunyi tanda pesan masuk, dari Wenda.
Adik: [Nggak apa-apa kok, Kak. Lagian kan kita berniat baik, mau nolong orang. Nanti kita tinggal bilang aja dia saudara kita, ke Ibu Neneng.]
Senyumku muncul membaca pesan jawaban dari Wenda. Aku senang karena dia sepemikiran denganku.
Anda: [Terima kasih, adikku, Sayang ❤️.]
Segera aku menelepon Bu Neneng, pemilik rumah kontrakan. Aku memberinya kabar sekaligus meminta izinnya kalau hari ini saudara laki-lakiku menginap. Syukurlah Bu Neneng memberikan izin. Beres sudah perkara izin.
Mobil sedan yang aku pesan berhenti di SMP tempat Wenda sudah menunggu. Dia memilih duduk di jok depan, sementara aku duduk bersebelahan dengan Gi.
Selama perjalanan itu, Wenda tidak banyak bicara. Dia sibuk membaca komik Detektif Conan. Tidak lama, setelah meliuk-liuk di jalanan yang cukup padat, mobil kembali berhenti di rumah kontrakan kami. Aku membayar jasa ojek tidak lupa juga aku mengucapkan terima kasih karena sudah merepotkan bapak ojeknya, membantuku memapah Gi sampai ke ruang depan.
"Kak, teman Kakak kenapa, kok wajahnya buru-buru, bonyok gitu?" tanya Wenda.
Aku mengangkat bahuku sambil lalu. "Mandi sana, Dik. Kakak mau buatkan makanan dulu."
Wenda mengacungkan kedua ibu jarinya.
Tidak lama, setelah aku selesai masak nasi goreng petai, segera aku menuju kamar mandi membersihkan diri. Aku tidak tahu sejak kapan Gi siuman, aku cukup terkejut saat mendapatinya sudah berada di meja makan bersama Wenda menikmati nasi goreng petai buatanku.
"Kamu yang masak?" tanya dia setelah menyelesaikan suapan terakhirnya.
"Iya, kenapa?"
"Enak," ucap Gi, sembari menyimpan piring yang bersih tanpa sisa.
"Tentu saja enak. Eh, tapi itu nggak gratis loh, ya!"
"Tenang, nanti aku bayar, kamu itung saja semua biaya hidup aku selama aku tinggal di sini," ucapnya dengan wajah sombong yang menyebalkan.
"Makanku sudah selesai, aku ke kamar dulu ya, Kak." Suara Wenda menginterupsi ketegangan yang tercipta di antara aku dan Gi.
"Iya, Sayang! Jangan lupa kerjakan PR kamu ya, Dik," cicitku saat Wenda melenggang menjauh menuju kamarnya.
"Iya, Kak!" seru Wenda setelah beberapa langkah.
"Kamu nggak bisa tinggal di sini lama-lama, aku nggak nyaman kalau ada cowok di sini, risih!" ungkapku.
"Tadi, aku lihat masih ada kamar kosong di belakang. Daripada jadi gudang, lebih baik difungsikan jadi kamar tamu, aku akan bayar sesuai uang sewa yang kamu keluarkan. Gimana, Sepakat?"
Jujur saja, tawaran Gi membuatku nyaris menitikkan air liur. Biar bagaimanapun aku butuh uang.
🍀