Tim Marunda United hendak masuk ke lapangan ABC, namun dihadang oleh seorang security.
“Kalian mau apa?”
“Kita peserta turnamen, Pak. Hari ini kita bertanding.” jawab bang Toyib.
“Kalian dari SSB Marunda, atau dari Untung Jawa?”
“Kita dari Marunda.”
“Silakan masuk ke lapangan! Mumpung panitia masih di sini.”
Setelah parkir motor, mereka semua berlari masuk ke area lapangan ABC. Tentu saja di dalam sangat sepi, tak ada pertandingan. Mereka mencari-cari panitia turnamen. Ternyata panitia masih ada di sisi lapangan. Bang Toyib melaporkan keterlambatan mereka, dibantu oleh penjelasan dari pengurus PSSI Jakarta Utara.
“Mana pemain Marunda?” tanya panitia.
“Itu, mereka semua hadir 18 orang.”
“Saya tidak melihat seorang pun pemain sepak bola ….” tukas panitia, “Yang saya lihat adalah belasan anak laki-laki berseragam sekolah.”
“Oh iya … mereka belum sempat ganti baju. Tapi apakah perlu, Pak? Apakah kami masih diberi kesempatan bertanding, walaupun telat?”
“Jika niat bertanding, maka harus pakai kostum pemain sepak bola!"
“Baiklah.” Bang Toyib mengantar para pemain menuju ruang ganti.
Sementara pengurus PSSI Jakarta Utara bicara dengan panitia turnamen, sembari memperlihatkan rekaman razia yang dialami oleh anak-anak Marunda United. Panitia hanya manggut-manggut.
“Mana Coach Pieters?” tanya panitia setelah Bang Toyib bersama timnya kembali ke sisi lapangan.
Bang Toyib menjelaskan bahwa untuk hari itu Coach Pieters tidak bisa datang ke stadion, karena harus menjalani terapi kesehatan. Panitia bisa memaklumi.
“Ya sudah. Jika tim Anda sudah siap, silakan ajak mereka untuk warming up di lapangan!”
“Apakah pertandingan kami diundur bada maghrib nanti?” tanya Bang Toyib.
“Silakan tunggu saja, kita semua juga sedang menunggu.”
“Menunggu apa?” Bang Toyib bingung, namun tiada jawaban. Daripada tidak melakukan apapun, maka dia ajak timnya melakukan pemanasan.
Matahari menjelang terbenam. Waktu menunjukkan pukul 18:15. Tim Marunda United sudah duduk-duduk di tepi lapangan, menunggu pertandingan yang mereka kira bakal digelar bada maghrib atau mungkin setelah isya. Sebagian anggota tim memilih shalat maghrib dulu, di mushala dekat lapangan itu.
Bang Toyib mengamati panitia yang masih berdiskusi. Ada yang sedang berkomunikasi via ponsel. Kemudian orang itu mendatangi Bang Toyib dan timnya.
“Waktu sudah habis. Pertandingan hari ini dinyatakan menang WO.”
“Siapa yang menang WO? SSB Untung Jawa? Kami kan, datang ke sini Pak, biarpun telat! Kami siap kok, bertanding kapan aja!” protes Bang Toyib.
David saling pandang dengan rekan-rekannya. Hati mereka terasa hampa. Teringat perjuangan mereka membentuk tim, pengorbanan mereka setiap kali bertanding. Hari ini mereka terlambat tiba di lapangan, dan dianggap kalah WO?
David membatin. "Kalau ujung perjuangan bakal jadi pecundang seperti ini, kok semua terasa sia-sia?"
“Begini masalahnya ….” Panitia menjelaskan, bahwa SSB Untung Jawa adalah tim peserta yang paling jauh, dari Kabupaten Kepulauan Seribu. Tim Untung Jawa dijadwalkan akan datang kemarin siang, dan bakal ditempatkan di mess Persija, transportasi dan akomodasi mereka akan ditanggung oleh panitia.
Namun sayangnya, dalam dua hari belakangan ini, cuaca sangat tidak bersahabat. Ada ombak besar di Laut Jawa, sehingga menghambat kapal-kapal dan perahu boat yang akan berlayar. Termasuk kapal yang sedianya bakal mengangkut Tim SSB Untung Jawa dari Kepulauan Seribu, tidak jadi berlayar karena tak mau ambil resiko keselamatan penumpang.
“Begitulah kondisinya Pak Toyib. Sebagai panitia, kami berikan toleransi kepada mereka, jika mereka sanggup datang hari ini, maka akan kita gelar pertandingan malam ini, atau besok sore. Namun mereka tak kunjung datang. Tadi saat kalian mengontak kami dari kantor polisi, kami minta kalian datang ke sini full tim. Dan kami minta kalian siap bertanding dengan seragam tim komplit. Itu semua maksudnya supaya ada legalitas dalam kemenangan WO kali ini. Kalian datang, siap bertanding, tapi lawan tidak datang karena faktor cuaca. Barusan mereka sudah memastikan tidak bisa melanjutkan ikut turnamen ini. Jadi, hari ini kami menyatakan bahwa SSB Marunda United menang secara WO dari SSB Untung Jawa.”
Anak-anak bersorak riuh, melepaskan ketegangan dan rasa lelah mereka sejak siang tadi. Bang Toyib tersenyum lebar saat disalami oleh panitia. Para pengurus PSSI Jakarta Utara juga tampak lega. Ternyata keterlambatan mereka tidak menjadi hambatan untuk meraih kemenangan.
“Kalau sudah rejeki kita mah, kagak kemana. Memang kita kudunya menang, ya kita menang juga, biarpun WO.” ucap Bang Toyib. Namun tak lupa dia juga menelepon pengurus SSB Untung Jawa, mengatakan rasa prihatin atas cuaca buruk di Kepulauan Seribu sehingga mereka tak bisa datang. Pihak SSB Untung Jawa dengan ikhlas mengucapkan selamat atas kemenangan Marunda United, dan berharap Marunda terus melaju hingga grand final.
Lampu di sisi lapangan mulai dipadamkan. Tim Marunda United beserta para pengantarnya sudah siap meninggalkan lapangan ABC, dengan bekal kemenangan WO. Wajah mereka semua sumringah, biarpun lelah dan lapar.
David menyenggol Maryadi. “Maryadi, lo udah janji sama kita semua, nggak akan dandan lagi, selama lo masih berstatus pemain Marunda United. Terus kenapa barusan di tas lo ada make up?”
“Itu titipan tetangga gue, Bang Jali.” jawab Maryadi.
“Lha, Bang Jali mau dandan?” David mengernyit.
“Dia mau melamar calon bininya, sambil bawa seserahan. Barang yang dibawa katanya banyak, salah satunya seperangkat make up itu. Dia kagak tahu soal make up, makanya dia titip beli sama gue.” Maryadi menjelaskan.
“Okeh lah kalau begitu.”
Bang Toyib bertanya, “Sekarang kalian semua pasti lapar banget. Kita mau langsung pulang, atau mau ngisi perut dulu? Kita makan di warteg?”
Belum sempat ada yang menjawab, karena sekonyong-konyong, mobil polisi datang menghampiri.
“Muke gile! Bujubuneng! Mau apa lagi tuh polisi?” gerutu Bang Toyib.
“Harap kalian semua ikut ke markas kami.” kata seorang polisi yang turun dari mobilnya, tapi nada bicaranya tidak galak. Malah dia tampak sangat ramah.
“Markas yang mana? Yang tadi siang?” tanya David dengan kecut.
“Iya, Bapak Komandan ingin bertemu dengan kalian semua.” jawab polisi itu.
"Apa maksudnya ini?" tanya Bang Toyib, "Tadi kan, kalian sudah ngusir-ngusir kami dari kantor polisi itu! Jangan mancing-mancing perkara lagi! Biarkan kami pulang ke Marunda!"
"Ini undangan kekeluargaan dari pimpinan markas kami. Kehadiran Anda semua sedang ditunggu oleh pimpinan di markas kami. Komandan kami ingin mengobrol dan makan malam bersama dengan anak-anak dan pelatihnya. Silakan ikuti saya, nanti akan ada petugas yang mengawal supaya kalian tidak kena macet.”
Bang Toyib merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh komandan markas polisi itu. Dirinya pribadi bersedia datang untuk menyelesaikan masalah tadi siang. Namun korban sesungguhnya adalah anak-anak Tim Marunda United. Maka dia bertanya, apakah anak-anak bersedia datang ke kantor polisi itu.
"Sepertinya mereka mau damai." ujar Bang Toyib, "Jika ada yang meminta maaf, maka maafkanlah. Supaya hati kalian bersih. Dan semoga tidak ada ganjalan lagi dalam langkah kalian selanjutnya."
"Iya deh," jawab David.
"Gue kagak sudi nginjek kantor polisi itu lagi!" ujar May. "Gue belum bisa memaafkan! Sorry semua, kalau hati gue dianggap nggak bersih! Tapi maaf itu nggak mudah buat gue berikan, pada saat orang lain sudah semena-mena menginjak harga diri gue!"
"Terus gimana May?" tanya David, "Bang Toyib mau kita datang ke kantor polisi itu untuk damai dengan polisi."
"Terserah lo pada! Gue mau balik ke Marunda!" Maryadi berjalan menjauhi rekan-rekannya.
David bicara pada Bang Toyib, "Bang, saya sudah memaafkan urusan razia motor tadi siang. Tapi saya kagak bisa ikut ke kantor polisi. Saya mau ngawanin Maryadi pulang. Hati dia masih empet sama razia tadi siang. Kalau dia balik sendiri, bisa makin jengkel hatinya. Jadi saya mah mau pulang aja."
Udin tentu saja turut apa kata David. Kemudian To Ming Se juga bilang mau buru-buru pulang karena ada pembicaraan bisnis dengan empeknya. Akhirnya seluruh pemain tim Marunda United memilih pulang menemani si May.
May tidak mengira jika rekan-rekannya begitu solider padanya. "Lo semua kan, diundang makan malam sama polisi. Bukannya lo semua sudah lapar? Kenapa semuanya kok, pada mau ngawanin gue pulang?"
Christiano yang menjawab, "Lo sih, malah bawa-bawa make up segala macam! Kalau sekarang lo jalan sendiri malam-malam, takutnya lo kena razia yang lainnya!"
"Razia banci maksud lo?" May meringis.
"Ya begitulah." jawab Saudin sang kiper. "Kalau lo kena razia lagi, entar striker kita siape? Kalau tim kita kekurangan striker, kagak bisa bikin gol ke gawang lawan, itu menambah beban mental gue sebagai kiper! Makanya Maryadi, lo jangan bawa-bawa make up lagi!"
Bang Toyib tersenyum saat melepas para pemain itu pulang duluan. Mereka pura-pura meledek Maryadi. Bang Toyib tahu, anak-anak yang dilatihnya itu sudah terikat satu sama lain sebagai saudara seperjuangan, sehingga kesedihan yang ada di hati satu orang, bisa dirasakan oleh yang lainnya.
Para pemain Marunda United dan rekan-rekan mereka akhirnya konvoi lagi, pulang ke Jakarta Utara. Sementara Bang Toyib dan kedua rekannya dari kantor PSSI Jakut, memenuhi undangan polisi.