Benarkah Christiano meninggalkan rekan-rekannya untuk urusan band? Itu cuma alasan. Sebenarnya dia naik kendaraan umum, lantas turun di depan sebuah sekolah internasional. Itu sekolahnya Vicky. Saat acara valentine di panti werdha, Christiano dan Vicky sempat bertukar nomor ponsel. Karena masih penasaran ingin mengobrol lebih banyak, maka hari itu Christiano menyambangi sekolahnya Vicky.
“Bangunannya mah bagus …” pikir Christiano saat memandangi bangunan berlantai tiga di hadapannya. “Tapi kayaknya lahan di sekolah gue masih lebih luas ketimbang sekolahnya Vicky.”
Ratusan siswa keluar dari gerbang. Banyak yang berwajah Eropa, banyak juga yang bertampang Asia Timur, India, dan Afrika. Namun tak sedikit pula yang berwajah pribumi tulen. Sampai bikin Christiano mengernyit alis karena heran.
“Sekolah internasional yang ini mah, banyak muridnya yang mirip si Udin, si Pendi, ada juga yang kayak Maryadi. Kudunya mah, siswanya lebih banyak yang mukanya kayak si Dapit Bacem. Eh, ngapain gue mikirin tuh orang? Males banget!”
Christiano mengira jika sekolah berlabel internasional hanya untuk anak-anak orang asing yang tinggal di Indonesia. Sebenarnya, sekolah internasional itu seperti sekolah umum lainnya, siapa saja boleh mendaftar jadi siswa. Anak orang asing, maupun anak pribumi. Tidak ada diskriminasi dalam pendidikan. Yang penting, tentu saja uang SPP lancar dibayar.
Murid-murid yang bubar sekolah itu, kebanyakan berjalan ke lahan parkir yang ada di samping sekolah mereka. Di situ berjejer puluhan mobil aneka merek. Sedangkan lokasi parkir motor lebih penuh lagi, karena mayoritas siswa bawa motor ke sekolah. Anak-anak yang tidak masuk ke area parkir, bukan berarti mereka pulang naik angkutan umum. Mereka berdiri di tepi jalan, menanti orang tua yang menjemput mereka dengan mobil pribadi. Ada juga beberapa siswi yang naik kendaraan umum, itupun taksi, bukan angkot. Menurut pengamatan Christiano, kayaknya tidak ada siswa di sekolah itu yang naik angkot.
Akhirnya Christiano melihat Vicky ke luar dari gerbang sekolah. Christiano melambai-lambai.
“Hei, Chris, kamu sudah lama nunggu aku?” tanya Vicky. Antara dirinya dengan Christiano memang sudah saling kirim pesan untuk bertemu.
Christiano tersenyum lebar. “Vicky, kalau buat kamu mah, mau berapa lama menunggu, aku bersedia kok.”
Vicky tersenyum.
“Sore ini aku main band di sebuah kafe. Kamu suka musik aku, kan? Kamu mau melihat lagi aku main band?”
“Oh, I love your music, but hari ini waktunya aku ke tempat grandma, aku mau temanin grandma. Kamu mau antar aku?”
“Ke panti werdha?” Christiano mengernyit, teringat rekan-rekannya yang sedang menunggu Coach Pieters di panti werdha itu.
“Aduh, gimana neeh?” pikir Christiano, “Kalau gue ngantarin Vicky, bisa jadi gue bakal ketemu dengan anak-anak Marunda yang lagi nungguin Coach Pieters. Bakal ketahuan kalau gue bohong sama mereka. Tapi … kalau Vicky pergi sendirian ke panti jompo … Vicky bakal ketemu dengan David. Entar girang banget si David, merasa disamperin Vicky. Tapi apa bener, Vicky lebih suka sama David? Dia nanyain David melulu. Nama panjang David siapa? Rumah David di mana? Bapaknya David bule, atau nggak? Vicky nggak pernah nanyain rumah gue di mana, nama panjang gue siapa …. Eh, kenapa gue jadi begini? Masak gue cemburu sama si Dapit Bacem?!”
“Chris, Kamu nggak bisa temanin aku ke sana, ya? Nggak apa-apa, aku tahu kamu sibuk.” ujar Vicky, “Aku sendiri aja ke tempat grandma, mau naik taksi.”
Christiano tersenyum. Hatinya bicara, “Gue bakal ngantarin Vicky. Biarinlah kalau nanti ketemu dengan anak-anak Marunda United. Gue nggak takut saingan dengan si Dapit Bacem! Muka dia mungkin lebih bule daripada gue, tapi gue pan anak band. Cewek biasanya lebih suka cowok yang bisa main musik, lebih romantis.”
Mereka naik taksi, melewati ruas jalan yang lumayan macet. Christiano berharap kemacetan makin parah, biar menunda kedatangan mereka ke panti werdha. Siapa tahu, dirinya tidak perlu bertemu dengan rekan-rekannya, karena mereka semua sudah pergi dari panti werdha itu.
Harapan Christiano terkabul. Tiba di panti werdha, tak ada lagi siswa-siswa berseragam SMK itu, mereka semua sudah pulang setelah bicara dengan Opa Pieters, begitu kata pengurus panti.
Di teras kamar grandma, Vicky bicara pada Christiano. “Chris, aku sama gradma mau pulang ke Amerika.”
Christiano tertegun. “Kapan?”
“Nanti, setelah aku lulus high school. Aku mau kuliah di Amerika.”
Christiano manggut-manggut, ada rasa kecewa, tanpa bisa diungkapkan.
Grandma bicara pada Vicky, dengan Bahasa Inggris. Vicky menggeleng. Grandma bertanya lagi, Vicky menjawab dengan kata-kata, namun tetap menggeleng.
“Kenapa? Grandma minta apa?” tanya Christiano.
Vicky malah terdiam. Namun ternyata grandma paham ucapan Chris.
“Vicky cari young man.” jawab grandma, sambil tetap merajut.
Christiano terpana. Bukankah young man itu maksudnya pria muda? Nah, gue ini kan, young man. Wah, kayaknya Vicky ingin punya pacar. Apa mungkin, Vicky punya rasa suka sama gue, dan dia pengin gue menyatakan cinta sama dia?
“Vicky … aku pengin bicara serius sama kamu. Boleh?”
“Chris, aku juga mau bicara serius ….”
“Ya udah deh, kamu duluan yang bicara.”
“Chris … besok aku mau datang ke sekolah kamu, boleh ya?”
“Apa?!” Christiano bagai tersengat puluhan semut rangrang, saking kagetnya mendengar ucapan Vicky. “Kenapa kamu pengin ke sekolah aku?”
“Kamu sudah ke sekolah aku, besok giliran aku ke sekolah kamu.”
“Ehm … sekolahku jauh, di Marunda.”
“Nggak apa-apa. Aku pengin ke sana. Boleh?”
Christiano garuk-garuk kepala yang tak gatal. “Di sekolah aku itu cowok semua. Sudahlah, kamu nggak usah ke sana, ya?”
Vicky terdiam sejenak. “Chris … apakah David sekelas dengan kamu?”
Christiano meratap dalam hati. “Ya ampun, kenapa Vicky malah nanyain si David Bacem dengan begitu terang-terangan? Tega banget sih?! Apakah gadis ini sama sekali nggak bisa merasakan perhatian gue sama dia? Kenapa dia mikirin David melulu? Dia pengin ke sekolah gue, pasti karena pengin ketemu lagi dengan si David Bacem! Gimana cara gue mengalihkan pikiran dia?”
“Ya, David sekelas dengan aku.” jawab Christiano dengan enggan. “Tapi untuk sementara, kamu nggak bisa datang ke sekolah aku … karena mulai besok, setelah bubar sekolah aku harus latihan sepak bola untuk turnamen. David juga ikut latihan. Tim kita harus serius latihan kalau mau menang.”
Vicky terdiam.
Christiano mengangkat ponselnya yang bernyanyi. Panggilan dari papinya.
“You ada di mana, hah?! Cepat datang ke kafe! Sejam lagi kita show!”
“Oh iya, bentar lagi aku sampai ke sana, Papi ….” Barulah Christiano teringat bahwa dia harus main gitar lagi di grup keroncong papinya.
“Vicky, aku harus pergi ke kafe, mau ngeband. Kamu mau ikut?”
“I’m tired. Sorry ya Chris. Good luck for you.”