Keesokan harinya, Minggu sore, Marunda United melakukan pertandingan uji coba dengan tim bapak-bapak usia 25 – 38 tahun. Puluhan penonton berdiri di tepi lapangan, kebanyakan penonton adalah wanita, yang muda maupun setengah tua. Entah mereka pengin nonton tim Marunda United, entah pengin nonton bapak-bapak muda itu bermain sepak bola.
Babak pertama imbang 0-0. Kemudian pertandingan memasuki babak kedua. Karena merasa terbebani target harus menang, David bertanding dengan perasaan tidak tenang. Waktu bergulir mendekati peluit akhir, dan skor masih 0-0.
Dalam satu kesempatan, David hendak menyundul bola yang diumpankan padanya dari hasil sepak pojok. Pada saat yang bersamaan, Christiano berada dekat David, juga melompat hendak menendang bola itu sembari salto. Akibatnya, bola tidak tersentuh, malah kaki Christiano mengenai pundak David, hingga David terjungkal. David bangun dari rumput, lalu mendorong Christiano hingga terjatuh.
“Lo udah gila ya? Gue kan, temen lo satu tim!” Christiano heran dan marah, dia bangun, lalu mengejar David, dan gantian mendorong.
“Lo sengaja ngangkat kaki tinggi-tinggi, bukan buat nendang bola, tapi buat nendang gue!” David mendorong pundak Christiano.
“Gue nggak sengaja!” bantah Christiano, “Ini sepak bola, wajar aja kalau saling senggol antar pemain. Kenapa lo jadi lebay kayak gini? Kesenggol dikit aja sewot? Takut cedera? Atau jangan-jangan … lo habis merawat kuku di salonnya Maryadi? Jadi lo takut kuku lo patah gara-gara barusan kesenggol gue?”
“Bukannya minta maaf malah ngejek gue!” Dengan dorongan yang keras, David kembali menjatuhkan Christiano.
“Lo beneran mau ngajak ribut? Mau main fisik? Ayo!” Christiano bangkit, lalu balas mendorong David. Terjadi dorong-dorongan, dan pukul-pukulan.
Udin tak mau tinggal diam, biarpun tak tahu masalahnya. dia ikutan mendorong-dorong Christiano. Zidan berlari mendekat, niatnya mau melerai.
“Onta, lo jangan ikut-ikutan ya!” teriak Udin.
Zidan jadi emosi karena dipanggil onta, lantas dia memukul Udin. Melihat Udin dipukul, To Ming Se tidak terima, lalu dia memukul Zidan.
“Apa masalah ente sama ana? Kenapa ente pukul ana?” Zidan makin emosi, lantas menerjang To Ming Se untuk membalas pukulan tadi.
Kemudian pemain lain berdatangan tanpa tahu akar masalahnya, lalu ikut saling dorong dan saling pukul. Tim Marunda United baku hantam antar mereka sendiri. Ada beberapa penonton yang bertepuk tangan, serasa nonton acara smack down masal. Bang Toyib yang bertindak sebagai wasit, berusaha melerai. Coach Pieters terhuyung-huyung masuk lapangan sambil berkali-kali meniup peluit.
Perkelahian berhenti setelah tim bapak-bapak beserta para penonton menyerbu lapangan untuk memisahkan para pemain Marunda United yang tawuran. Setelah penonton bubar karena kecewa, Bang Toyib memarahi tim Marunda United. Sedangkan Coach Pieters dibawa duduk lagi di kursi rodanya oleh Haji Kodier. Sebagian penonton mencarikan gigi palsu Coach Pieters yang lagi-lagi somplak dan terjatuh saat dia melepas peluit dari mulutnya. Setelah giginya ditemukan, Coach Pieters hendak diantar pulang ke panti werdha oleh dua orang bapak. Bang Toyib menghampiri Coach Pieters untuk minta maaf.
Akhirnya Coach Pieters pergi. Bang Toyib kembali memuntahkan kemarahan, terutama kepada David dan Christiano yang jadi biang kerok perkelahian masal.
“Sekarang mah terserah lu semua, mau tawuran lagi, atau mau berdamai. Pokoknya gua mau pulang! Gua empet ngelihat kelakuan lu semua!”
Bang Toyib pergi. Zidan mengajak Christiano pulang dengan naik motor, memang hanya mereka berdua pemain yang bukan anak Marunda. Sisa pemain di lapangan, sedang diomeli oleh beberapa orang tua yang barusan nonton. Akhirnya mereka bubar dengan rasa mangkel.
David merasa bersalah, bertekad memperbaiki semua sebelum terlambat. Malam hari dia menghubungi ponsel Christiano.
“Siapa lo? Jangan ganggu gue, lagi sibuk!” Itu jawaban Christiano, lalu mematikan ponselnya.
Kalau menuruti emosinya, jelas David mangkel. Akan tetapi dia memikirkan keutuhan tim, lalu dia kirim pesan untuk minta maaf.
Hari Senin David segera menemui Christiano di sekolah. Dia minta maaf dengan ikhlas biarpun tampang Christiano kecut banget.
“Apa masalah lo?” tanya Christiano, “Kenapa ujug-ujug lo mukul gue?”
“Mungkin kemarin itu gue ngerasa terbebani sama banyak hal, jadi emosi gampang sekali kepancing. Gue minta maaf, ya Chris. Kita tetap pada rencana semula, kan?” David tersenyum.
“Rencana apa?” Christiano masih ketus.
“Kita kagak bisa mundur dari turnamen, Chris. Tapi gue khawatir coach yang mundur gara-gara kita berantem. Gimana kalau entar pulang sekolah kita pergi rame-rame ke panti jompo?”
Christiano setuju, segera kirim pesan ke ponsel rekan-rekannya, janjian berangkat bareng.
Siang itu panti werdha sepi, kebanyakan penghuninya sedang tidur siang. Belasan anak muda yang masih berseragam abu-abu bergerombol di seberang panti. Barusan David sudah mencari Coach Pieters, tapi sedang tidur siang.
“Kita sudah nunggu lebih dari satu jam, coach belum bangun juga!” Gerutu Christiano sembari melirik arlojinya. “Gue cabut, ya? Gue ada janji … urusan band.”
Teman-temannya protes. “Kagak bisa gitu Chris! Kita kudu bareng minta maaf sama coach. Lagian, tempo hari itu, lo yang berkelahi! Lo yang bikin coach marah!”
Christiano menuding David. “Eh, tempo hari itu, nih orang yang duluan nampol gue! Jadi dia yang kudu ketemu coach untuk minta maaf. Lo semua temanin dia menghadapi coach. Gue kudu cabut, udah janjian nih, urusan band.”
David bicara, “Ya sudahlah, biarin dia pergi. Kita aja yang nunggu di sini sampai bisa minta maaf sama coach.”
“He he he, bye!” Lantas Christiano meninggalkan teman-temannya. Dia berjalan melintasi panti werdha itu sembari menyiulkan lagu Juwita Malam.
Sementara itu, David dan rekan-rekannya yang merasa lapar, memilih duduk di warung bakso, dekat panti werdha itu. Usai makan bakso, David menyambangi lagi kamar Coach Pieters, tapi dia masih tidur. Karena kesal menunggu terlalu lama, akhirnya beberapa orang siswa SMK itu memilih pulang. Tinggallah David bersama tiga orang rekannya, masih setia menunggu diberi maaf oleh pelatih mereka.
Coach Pieters baru bangun pada pukul lima sore. Dia melihat David dan tiga temannya sedang duduk di kursi teras kamarnya, sembari main gapleh.
“Sedang apa kalian? Enak saja kamu inlander duduk di kursi itu!”
David dan ketiga temanya berdiri, lalu menyapa Coach Pieters. “Coach, kita minta maaf soal pertandingan kemarin. Kami janji tidak akan berkelahi lagi.”
“Siapa kamu orang?”
“Ini kita, Tim Marunda United.”
“Pergi sana, berisik!” hardik Coach Pieters.
David menoleh pada rekannya, berbisik, “Dia lupa sama kita! Tapi ada bagusnya juga kalau pikunnya kumat, dia lupa kalau kemarin kita berkelahi.”
“Siapa bilang kita orang lupa?!” bentak Coach Pieters, “Kamu orang semua bikin saya kecewa! Kamu orang kampungan! Pergi kamu dari sini!”
David dan teman-temannya berusaha meyakinkan Coach Pieters. Akhirnya Coach Pieters melunak, dia menyuruh mereka selalu menjaga kekompakan tim.
“Ingat ya, kebersamaan menciptakan kekuatan.” Itu pesan Coach Pieters.
David dan teman-temannya merasa sangat lega dengan sikap pelatih mereka.
Coach Pieters kembali memberi nasehat. “Sebentar lagi turnamen itu dimulai. Fokus pada pertandingan, jangan pikir yang lain-lain. Saat berhasil bikin gol, rayakan gol itu dengan wajar, jangan berlebihan. Jangan bicara yang menghina lawan, jangan bikin gerakan tubuh yang merendahkan lawanmu. Hargai lawanmu. Tanpa bertanding dengan mereka, bagaimana kalian bisa merasakan kemenangan yang sejati?”
“Siap Coach.”