Rutinitas harian David seperti biasa pergi sekolah. Pulang sekolah bantuin mamihnya. Namun hari valentine ini tidak jualan di pasar Marunda. Melainkan sibuk bikin kue pesanan dari panti werdha.
Ceritanya begini, beberapa hari lalu saat David ke panti werdha untuk jemput Coach Pieters. David mendengar obrolan beberapa orang, bahwa akan ada pesta di panti itu, atas prakarsa dan biaya dari seorang dermawan yang ingin memperingati hari ulang tahun ibunya. Sang dermawan ingin peringatan hari lahir ibunya diadakan di panti werdha. Walaupun sang ibu tidak tinggal di panti werdha, melainkan di rumahnya.
Setelah tahu akan ada pesta itu, David memberanikan diri menawarkan untuk membuat kue-kue sebagai suguhan bagi penghuni panti. Pengurus panti setuju. Mamih Rosyidah senang dapat pesanan membuat kue, tidak perlu berada di pasar, menghadapi wajan panas sembari menunggu pembeli gorengan.
Jam dua siang David dan Udin berangkat ke panti werdha sembari menjinjing keranjang isi kue yang lumayan berat. Petugas panti sedang menyiapkan pesta itu.
“Nah, syukurlah kuenya sudah datang sebelum acara.” Kemudian seorang pengurus panti memberi uang pada David.
Setelah dapat bayaran untuk kiriman kuenya, David dan Udin tak buru-buru pulang, mereka ingin melihat dulu bagaimana pestanya para lansia.
Pesta itu diadakan di aula panti yang cukup luas. Ada live musik, tentu saja musik jadul. Tak dinyana, ternyata Christiano ada di antara para pemusik yang diundang oleh penyelenggara acara. Namun Christiano belum menyadari, kalau dua rekannya ada di antara puluhan kakek nenek dan para pengurus panti. Christiano sedang konsentrasi main gitar.
Para opa dan oma itu tampak terbuai dalam alunan lagu keroncong, seperti Selendang Sutra, Bengawan Solo, dan beberapa lagu berbahasa Portugis, Spanyol dan Belanda. Saat menyanyikan lagu Als de Orchideen Bloeien (Bila Anggrek Mulai Berbunga), mata Opa Pieters berkaca-kaca.
“Lagu itu pernah sangat popular, di Indonesia, Malaya, Singapura, bahkan hingga ke negeri Belanda. Lagu yang sangat romantis.” ujar Coach Pieters.
“Emang pinter orang Belanda yang ngarang lagu itu, bikin banyak orang merasa terharu.” David menoleh kiri-kanan, para opa dan oma banyak yang barusan turut menyanyikan Als de Orchideen Bloeien.
“Siapa bilang yang ngarang lagu itu orang Belanda?” tukas Coach Pieters, “Itu lagu karya Ismail Marzuki, composer hebat dari Betawi.”
Sementara itu, seorang gadis remaja berpakaian blus putih dengan rok kotak-kotak, masuk ke aula panti werdha itu. Dia tercengang melihat kemeriahan suasana. Sorot matanya mencari-cari, lantas dia menghampiri salah seorang nenek yang sedang duduk. Dia turut duduk, lalu bertanya apa yang tengah berlangsung di ruangan itu. Bibirnya tersenyum setelah mendengar jawaban dari neneknya.
Para pemusik istirahat untuk makan dan minum. Para oma dan opa sudah sejak tadi menikmati hidangan.
“Hey Vicky, how are you?”
Gadis remaja berbaju putih rok kotak-kotak itu menoleh, dan menemukan Christiano yang sedang berdiri di sampingnya sambil menyandang gitar.
Vicky tersenyum lebar melihat Christiano mengenakan kemeja putih dengan renda besar di lengan dan kerah, pakai topi tinggi. Persis pemuda jaman kompeni. Sebenarnya Christiano juga ogah pakai baju sejadul itu, tapi apa boleh buat, itu seragam band papanya. Pemain gitarnya lagi sakit, sehingga Christiano menggantikan.
Memang di zaman sekarang banyak yang jago main gitar. Akan tetapi main gitar dengan irama keroncong, tentu cuma sedikit yang mampu. Christiano mampu main musik keroncong karena dia dibesarkan dalam kultur keluarga pemusik keroncong. Walaupun dia tahu, musik itu makin tergerus zaman, karena sudah jarang sekali orang yang mau mengundang grup musik keroncong.
“You look … so different ….” Vicky tersenyum.
“Ehmmm … you can speak Indonesia? Because I not speak English ….”
“Ya bisa dong! Tapi kamu sendiri yang ajak aku speak English, jadi aku kira kamu bisa ngomong Inggris!” jawab Vicky.
“Vicky udah makan?”
Vicky tak menjawab tanya Christiano, karena dia sedang menoleh ke arah lain, lalu dia membalikkan wajahnya lagi ke arah Christiano. Tiba-tiba saja, gadis bule itu menanyakan sesuatu yang bikin Christiano panas hati.
“Chris … itu teman kamu … yang namanya David, dia ada di sana … David duduk di sebelah sana, dengan Opa Pieters. Kok dia tidak say hello to me?”
Christiano mengikuti arah pandangan Vicky, dan dia melihat David serta Udin sedang duduk dekat Coach Pieters.
Christiano menjawab, “Ah, David pura-pura nggak melihat kita. David memang sombong.”
Vicky bertanya lagi, “Nama panjangnya David, siapa?”
“Aku sih nyebut dia Dapit Bacem.” Christiano tersenyum lebar.
“Rumahnya David di mana?”
“Ya di Jakarta lah.”
“Apakah … bapaknya David, orang bule?”
“Nggak tau ya, aku belum pernah ketemu dengan bapaknya David.” Christiano mulai mangkel, "Kenapa sih, kamu nanyain David melulu? Naksir?”
“Apa itu naksir?”
“Kamu suka sama David? You love David?”
“David itu mengingatkan aku sama someone ….”
“Your boyfriend yang di Amerika sana, wajahnya mirip David, ya?”
“No …”
Christiano tersenyum, “Kamu nggak punya boyfriend? Aku juga nggak punya girlfriend.”
Vicky malah melirik lagi ke arah David. Christiano merasa harus mengalihkan pikiran gadis itu dari David. “Vicky, aku mau nyanyi buat kamu.”
Vicky tersenyum, “Oke.”
“Kamu mau lagu apa?” Christiano menyentil-nyentil senar gitarnya.
“Lagunya Josh Groban …You Raise Me Up.” Vicky menyebut lagu itu sebagai lagu kesukaan orang tuanya, katanya kedua orang tuanya sudah tiada. Jika mendengar lagu itu, dia bisa mengenang masa indah bersama mama dan papanya.
“Kasihan kamu.” ujar Christiano dengan prihatin, sayangnya dia tak hapal lagu itu.
Akhirnya dia menyanyikan lagu karya Ismail Marzuki yang pernah juga dinyanyikan oleh grup musik Slank, yaitu “Juwita Malam”. Denting gitar dan suara Christiano lumayan juga.
Engkau gemilang, malam cemerlang,
bagaikan bintang timur sedang mengembang
tak jemu-jemu mata memandang
aku namakan dikau juwita malam.
Sementara itu David masih duduk di dekat Coach Pieters, memperhatikan tingkah Christiano yang lagi pamer kemahiran main gitar. Berapa oma turut merubung Christiano, tampaknya mereka merasa terhibur dengan lagu jadul itu.
Coach Pieters bicara, “Temanmu itu tidak buang-buang waktu dengan cuma memandangi noni itu dari kejauhan.”
Coach menyindir gue, pikir David, lalu menoleh lagi pada Vicky. Gadis itu sepertinya sedang tersipu-sipu, tersenyum malu-malu pada cowok yang duduk di hadapannya sembari main gitar dan nyanyi-nyanyi, masih lagu Juwita Malam.
Sinar matamu menari-nari,
langsung menembus ke dalam jantung kalbu
Aku terpikat, masuk perangkap,
apa daya asmara sudah melekat.
David mendadak eneg dengan tingkah Christiano. “Huh, lebay banget!” gerutu David. “Din, kita cabut yuk!”
David dan Udin lantas pamitan pada Coach Pieters. Sebelum David beranjak, masih didengarnya suara Coach Pieters.
“Hei jonge man, hanya pecundang yang kabur dari arena, sebelum tahu pasti apakah noni itu suka atau tidak dengan rayuan bergitar.”
David keluar dari ruangan itu, dibuntuti oleh Udin. Sepanjang jalan menuju Marunda, dengan naik angkutan umum, keduanya membisu.