Mereka tiba di panti werdha. Namun sayangnya, Opa Pieters sedang tidur siang. Dengan harap-harap cemas ketiga anak muda itu menunggu di beranda kamar. Untunglah Opa Pieters tidak tidur terlalu pulas, dia bangun, keluar kamar, lalu berteriak pakai bahasa Belanda. Ternyata suara Maryadi yang terus nyerocos bicara soal artis-artis sinetron favoritnya, telah membangunkan Opa Pieters.
“Mau apa kamu inlanders datang ke sini? Mengganggu kita orang lagi siesta!”
“Tuan, ini kita, tim sepak bola Marunda United.” ujar Christiano.
“Apa itu Marunda United?”
“Ya ampun Tuan, masak lupa?” Lalu Christiano berusaha menjelaskan lagi dari awal, seperti penjelasan Bang Toyib saat pertama kali bicara pada Opa Pieters.
“Kita orang tidak ngerti daripada apa yang kamu omongkan! Pergi sana!”
Christiano kontan patah semangat. David terdiam, berpikir. Sedangkan Maryadi ngumpet di balik pot kembang besar, takut melihat kemarahan Opa Pieters.
“Kita sangat butuh kehadiran Coach dalam tim, tolong kami Coach.” ucap David.
Opa Pieters menatap David, tampak berpikir sejenak, lalu masuk kamar. Habislah harapan David, dia yakin kakek itu pasti memilih melanjutkan siesta (tidur siang).
“Kita pergi aja.” ajak Christiano dengan lesu.
“Bang Toyib pasti marah kalau kita nggak bisa bawa coach.” keluh David.
Christiano menatap pintu kamar Opa Pieters yang tertutup rapat. “Bang Toyib pasti bisa bicara baik-baik sama pengurus PSSI, bahwa coach kita itu masih hidup, bukan fiktif. Kalau mereka nggak percaya, mereka bisa nengok Coach Pieters di sini.”
“Jadi kita pulang nih?” tanya May.
Terdengar pintu kamar Opa Pieters dibuka lagi. Opa Pieters keluar dengan menenteng sepatu olah raga. Lalu dikenakannya.
“Ayo pergi!” Dia berdiri.
“Ke mana Coach?” David bengong.
“Latihan sepak bola! Kalian datang ke sini buat jemput aku, toh?”
Tampaknya panggilan 'Coach' telah membangkitkan kenangan Opa Pieters akan masa jayanya sebagai pelatih sepak bola. Dahulu selama bertahun-tahun dia melatih tim junior, hingga dirinya memutuskan berhenti. Sudah hampir 30 tahun tak ada lagi anak-anak remaja yang memanggilnya dengan sebutan Coach. Kali ini panggilan itu kembali ditujukan padanya.
Pengurus panti datang, dan menginjinkan Coach Pieters keluar untuk jalan-jalan. Dia mengeluarkan kursi roda. Namun Coach Pieters malah marah-marah, mengatakan bahwa dirinya masih kuat jalan kaki. Pengurus panti akhirnya mengizinkan Coach Pieters pergi tanpa kursi roda.
Christiano hendak menggandeng lengan Coach Pieters. Akan tetapi Coach tidak mau digandeng, Coach memilih pakai tongkat. Christiano jalan di sampingnya. Maryadi keluar dari tempat persembunyian, lalu turut berjalan sambil memegangi lengan David.
Tiba di halaman depan panti, mereka berpapasan dengan cewek bule itu, Vicky. Kali ini gadis itu masih mengenakan seragam sekolahnya, blus putih dan rok kotak-kotak, ciri khas sebuah Internasional School di Jakarta.
“Hey Vicky, how are you?” sapa Christiano.
“I’m fine, thank you. Where are you going?” balas gadis itu.
“Ehmm … ehmmm….” Christiano gugup karena tidak tahu harus menjawab apa, lalu dia asal bunyi, “Yes I do, thank you very much.”
Vicky terbengong-bengong, lalu angkat bahu, dan berjalan ke teras kantor pengurus panti. David menoleh, dan melihat Vicky juga menoleh ke arahnya, memandanginya dengan ekspresi heran, aneh, campur bingung. David ngedumel dalam hati, gara-gara barusan Maryadi memegang lengannya, kemungkinan besar Vicky menganggap dirinya adalah penyuka sesama jenis.
Mereka naik taksi. Tiba di kantor Pengcab PSSI Kodya Jakarta Utara, Bang Toyib sudah menunggu. Dengan suka cita, Bang Toyib menyambut Opa Pieters, mengajaknya masuk ke dalam kantor untuk mendaftarkan tim Marunda United.
Panitia Turnamen Sepak bola junior tercengang saat Opa Pieters datang ke hadapan mereka. “Coach Pieters … ini kejutan sekali! Kami kira Anda …”
“Sudah mati?” potong Coach Pieters, “Aku masih dikasih umur sama Tuhan, masih ada anak-anak muda yang minta aku jadi pelatih.”
Panitia menoleh pada Bang Toyib, lantas berbisik, “Pak Toyib, Coach Pieters sudah tidak mungkin melatih sebuah tim, beliau sudah terlalu tua. Marunda United sebaiknya mencari pelatih kepala yang secara fisik masih mampu melatih. Kami bisa memberi toleransi waktu. Mendaftarlah lagi besok setelah mendapat pelatih yang lebih muda.”
Bang Toyib geleng-geleng kepala, “Apakah dari awal PSSI memberi syarat batas usia untuk pelatih kepala? Tidak! Panitia hanya memberi syarat batas usia bagi pemain, yaitu maksimal 18 tahun, dibuktikan dengan membawa copy akte kelahiran para pemain. Nah, saya sudah bawa semua copy akte para pemain. Saya sudah mendatangkan pelatih kami ke hadapan Anda semua, berikut sertifikat kepelatihan lisensi C. Lalu apa salah tim kami? Atas dasar apa, Anda mengambil kesimpulan bahwa Coach Pieter tidak bisa lagi melatih tim sepak bola?”
Panitia itu terdiam sejenak, lalu saling adu argumen antar mereka. Ada yang setuju untuk menerima saja pendafataran tim Marunda United. Namun ada juga yang tetap tak bisa terima jika pelatih kepalanya setua Opa Pieters.
Bang Toyib bicara, “Kalau Anda semua tidak terima pendaftaran Marunda United, akan saya laporkan kasus ini ke ….”
“Mau lapor ke pengurus PSSI pusat? Silakan! Mereka bakal ngerti alasan penolakan kami.”
“Akan saya laporkan Anda semua ke Komnas Perlindungan Anak, dengan tuduhan bahwa Anda semua menutup peluang anak-anak Marunda untuk bisa turut seleksi masuk ke timnas junior!” gertak Bang Toyib. “Bayangkanlah nanti jika ada wartawan yang meliput masalah ini! Urusan yang Anda anggap sepele bisa jadi besar, melebar, bahkan bisa menjadi isyu pelanggaran hak anak secara sistematis! Jika isyu semacam itu sudah membesar, Anda semua mungkin saja bakal disalahkan oleh pengurus PSSI pusat, bahkan oleh Menpora!”
Akhirnya mereka mau terima pendaftaran Marunda United. Anak-anak Marunda akan bertanding dengan sesama tim SSB dari wilayah Jakarta Utara, untuk mencari satu tim pemenang, sebagai wakil Jakarta Utara pada pertandingan final tingkat propinsi.
Usai pendaftaran, Opa Pieters hendak diantar kembali ke panti werdha.
“Aku belum mau pulang.” Tolak Opa Pieters, “Sudah sepuluh tahun aku tidak jalan-jalan keluar panti. Tak ada yang bisa antar aku. Pengurus panti sibuk, dan aku dilarang pergi sendiri. Mumpung ada kalian, aku mau jalan-jalan ke kota tua.”
Kota tua maksudnya kawasan sekitar Museum Sejarah Jakarta dan Stasiun kereta api Jakarta Kota. Katanya dia ingin minum teh di kafe langganannya.
Senja itu, Opa Pieters duduk di kafe langganannya di masa lalu. Minum teh dan makan kue. Dia bilang kafe itu tak banyak berubah. Kopi, teh, dan kue-kue khas Belanda masih jadi menu utama. Sementara David, Christiano dan May lagi keenakan menyantap roti isi butter cream dan coklat meses. Minumnya air mineral. Cukup mengganjal perut, karena mereka sudah lapar sejak siang.
Kemudian Opa Pieters bicara lagi, berterima kasih pada tim Marunda United, yang masih mengingatnya, mencarinya, dan meminta bantuannya. Di usia senja, tak banyak lagi yang diinginkannya. Dia ingin Marunda United menang.
“Untuk apa bertanding, kalau hanya jadi pelengkap. Bertanding itu untuk menang!” ujarnya, “Maka aku akan turun untuk melatih kalian!”
Bang Toyib saling pandang dengan ketiga anggota tim Marunda United. Kaget, dan risau dengan keinginan Opa Pieters. Padahal kan, Opa Pieters cuma diminta jadi pelatih formalitas saja, bukannya ikutan turun ke lapangan untuk melatih. Tidak terbayang jika tim dilatih sama orang seuzur dia, yang untuk berjalan pelan-pelan pun harus dipapah.
Sementara itu Opa Pieter melambai, lalu pelayan kafe datang sambil membawa bil. Opa Pieters mengeluarkan dompet. Bang Toyib ketar-ketir jika uang dalam dompet Opa Pieters adalah uang lama yang sudah tidak berlaku.
Pikir Bang Toyib, jangan-jangan nanti gua juga yang kudu bayar semua santapan sore ini. Namun kemudian, Opa Pieters menarik selembar uang dari dompetnya, uang warna merah bergambar Soekarno-Hatta. Pelayan menerima uang itu.
Bang Toyib mau mengantar Opa Pieters pulang ke panti werdha, dengan taksi. Dia menyuruh David dan kedua temannya pulang duluan.
Bang Toyib berbisik, “Engkong Pieters kagak bakalan jadi pelatih beneran. Kita latihan di Marunda, Jakarta Utara bagian pojok. Sedangkan dia ada di Jakarta Selatan. Lagian, dia sudah pikun. Besok juga dia sudah lupa sama niatnya untuk melatih kalian. Barangkali juga dia sudah lupa sama Marunda United. Jadi jangan pikirin keinginannya barusan.”
David dan kedua temannya segera pulang.