Demi hati yang memberontak dari kemarin. Henan tidak peduli lagi dengan omelan mamanya pasal kelabilan yang tidak jelas. Datang di rumah tiba-tiba, pergi pun juga begitu. Meskipun mengatakan pamit tapi tetap saja kelakuan anak lelaki itu mengundang tanda tanya besar di pikiran orang tuanya.
Henan khawatir, dia takut sesuatu akan terjadi setelah berita panas itu terbit. Dalam ruang obrolan grup pun Jeon menambah-nambah pikrian buruknya. Abey yang terkenal, banyak penggemar bukan berarti akan mendapat aman kala hubungan gadis itu bersama Mavi merenggang sampai menjadi bahan obrolan. Karena pihak ketiga, Henan takut mereka semua akan menyerang Gina dengan label membela Abey. Membayangkannya saja dia sudah cukup dikalap emosi.
Kembali ke indekos. Motor yang diparkir di depan gerbang sementara dirinya masuk dengan sedikit berlarian. Pintu kamar yang dibuka dan Henan buru-buru mengambil tas kesiapan untuk dibawa ke kampus. Masa bodoh sama jadwal, intinya ada buku dan alat tulis lainnya. Mandi pagi pun terhitung seperti memandikan kerbau. Hanya menyiram diri dari atas kepala hingga ke kaki.
"Oh, iya, Pak. Sebentar Saya am—Henan?!" Delio yang juga baru datang seketika terkejut kala mendapat lelaki muda itu duduk di depan pintu seraya memakai sepatu. "Kapan datangnya lo?" Memutuskan panggilan setelah mengatakan izin pada dosen yang menghubungi.
"Baru saja," jawab Henan dengan napas berderu. Berdiri dan kembali menyambar helm dan dipakai asal. Delio hanya menyerit menatap ketergesaannya.
"Duluan ya, Bang," pamitnya dan berlalu pergi. Bahkan Delio hanya bisa membalas pamitannya dengan lambaian tangan yang ragu-ragu.
Ada dua rasa yang nampak meletup-letup di dalam diri. Satu, perihal rindu yang dinanti-nanti. Dan dua ketakukan akan bayangan buruknya terjadi. Demi Dewa Matahari, Henan akan memukuli dirinya sendiri kalau Gina benar-benar menjadi korban perudungan penggemar Abey. Kembali menjadi pembalab dadakan seperti halnya tengah mengejar kelas. Umpatan para pengendara cuman diabaikan selama dirinya fokus pada jalan.
Piiiipp!
"Anj—Henan bangke! Kaget, sialan!" Jeon yang memaki setelah mendapat Henan melaju hampir menambraknya. Tatapan bengisnya dilayangkan pada lelaki itu meski tak dihiraukan sama sekali.
"Buru-buru amat. Telat lo?"
Henan yang turun dari motornya sejenak berkaca pada spion. "Malah datangnya kecepatan," jawabnya. Mengingat hari sekarang hari Kamis, jadwal kelas Henan mulai di jam 9 pagi. Saat ini jam di tangan baru menunjukkan angka 8 lewat 10 menit.
Jeon memandangi lelaki itu dari atas kepala hingga bawah. Mulutnya yang tengah mengunyah permen karet seketika berhenti. "Lo gak mandi?"
"Bajingan," desis Henan. "Ya, kali gue gak mandi, sialan. Ada-ada saja lo."
"Lagian, tampang lo kayak belum mandi, asli. Masih semrautan gak jelas," ledek si mahasiswa teknik itu.
"Karena gue buru-buru ini. Dari rumah gue sudah mandi sampe di indekos baru ganti baju makanya modelnya begini," jelasnya.
Sebelah alis Jeon terangkat. "Ngapain buru-buru kalau kata lo datang kecepatan?" Pandangan lelaki itu kini menyelidik. "Pengin cepat-cepat ketemu Gina kan, lo?" Senyumnya terbit terlihat begitu menggelikan.
Henan membalasnya dengan decihan. Sontak berpaling melihat mahasiswa yang melewati gerbang. Pandangannya terhenti kala mendapat Gina yang baru saja datang bersama Mavi. Decihan kedua lolos dari bibir. Membuang pandangannya seketika demi mengurangi rasa panas yang tiba-tiba menyerang.
Menatap reaksi Henan membuat Jeon penasaran akan penyebabnya, maka dia mengikuti arah pandang lelaki itu dan mendapat Gina yang sudah datang bersama Mavi. Dirinya kembali berbalik menatap Henan yang menunduk pura-pura untuk tak melihat.
"Kalem, bro. Masih pagi jangan panas dulu," ucap Jeon membuat Henan mengadah menatapnya. "Gue tahu lo datang karena khawatir soal beritanya. Tenang saja, semuanya aman. Kemarin Gina habis jalan sama Abey."
"Mereka berdua belok?"
"Dih, anjir! Ngomongnya sembarangan. Gak ada pelangi ya, di antara kita," sinis Jeon. Lelaki itu lantas merangkul Henan. "Mending lo traktir gue. Gue kebetulan juga belum sarapan. Lo habis pulang pasti ATM sudah keisi, kan? Nasi goreng saja gue gak apa."
Henan mendelik sinis. Menyingkirkan lengan Jeon yang bertopang di bahunya dan berjalan duluan di depan. Jeon hanya terkikik sebelum mengejar temannya dan menyamakan langkah. Lain di tempat yang rupanya Gina sedari tadi juga melihat keduanya. Lebih tepatnya pada Henan.
"Nanti waktu istirahat ketemunya di taman, ya?" ucap Mavi. Gina menoleh dan mengangguk seraya tersenyum.
Setelah berbicara dan jalan bersama Abey, semuanya menjadi baik-baik saja. Dan hari ini Gina juga ingin menyelesaikan semua urusannya. Ingin meluruskan dan mengikuti perasaannya. Meski dalam batin dia merasa banyak bersalah. Semoga saja semuanya berjalan dengan damai.
š
Sesuai dengan perjanjian, kini Mavi dan Gina mendudukkan diri di taman tempat biasanya mereka berkumpul bincang. Hanya berdua meski tadi sempat bertemu dengan yang lainnya. Namun, karena melihat keduanya yang mungkin ingin membahas sesuatu yang serius jadi memberi penolakan untuk bergabung.
Di bawah pohon rindang dengan semilar angin yang menyejukkan, Gina menatap sekeliling yang nampak lumayan sepi dari mahasiswa. Tidak seperti hari biasanya. Terhitung hanya lima bangku termasuk tempatnya yang terisi.
"Jadi, mau ngomong apa?" Mavi membuka suaranya hingga membuat Gina menoleh. Wajah tenang lelaki itu sama rasanya dengan angin sejuk membelai kulit.
"Kak, aku mau ngomong maaf." Gina mati-matian menyusun kata yang tepat dalam kepala untuk diucapkan. Dirinya takut akan memberi luka dan menyinggung lelaki itu.
"Maaf? Kenapa?"
Gina menunduk sejenak. Menatap jarinya yang nampak saling bertumpuk. Menghela napas panjang sebelum akhirnya kembali bersitatap. "Aku suka Henan, Kak."
Wajah cerah Mavi seketika terganti dengan sorot mata pedih. Pupilnya bergetar menatap Gina saat ini. Mejilati bibir yang mendadak kering meski tenggorokannya lebih terasa tercekat tak mampu berkata-kata.
"Aku minta maaf. Aku juga terlalu banyak berbohong sama Kakak," ujar Gina. "Aku memang suka sama Kakak tapi gak kayak aku suka sama Henan. Di sini aku sadar kalau perasaan suka aku hanya menganggumi, bukan ingin memiliki. Kak Mavi adalah senior yang sangat aku banggakan sejak awal masuk kampus. Terima kasih karena sudah menyukai ku, aku merasa terhormat akan itu."
Gina memasang senyumnya meski dia tahu kalau itu bisa menyakiti lelaki dewasa di depannya. "Maaf karena hubungan ini gak memberi kebahagiaan untuk Kakak. Rasa kaku dan kepura-puraan ini, mari hentikan sampai di sini. Aku gak mau Kakak terluka lebih."
"Aku tahu," sela Mavi. "Aku tahu kalau kamu gak sepenuhnya senang dengan hubungan ini."
"Kak, aku ...."
"Gak apa, aku sudah menantikan ini juga dari awal. Aku mau kamu jujur sama perasaan kamu. Meski ya, seperti yang kamu bilang hati aku memang sakit dengarnya. Tapi mau bagaimana lagi? Hubungan ini dari awal memang gak ada landasan rasa suka antara aku dan kamu. Ujung-ujungnya hanya aku yang berjuang sendiri. Benar, kan?"
Gina terdiam dengan wajah penuh penyesalan. Mavi hanya tersenyum membalasnya. "It's okay. Kamu sudah buat yang benar. Aku gak apa."
"Maaf," sesal Gina seraya cemberut. Mavi terkekeh menatapnya. Memberi usapan lembut pada puncuk kepala gadis itu.
"Tapi aku mau lakukan satu hal sama kamu. Boleh?" Gadis itu mengerjap menunggu jawaban. "Sebagai permintaan terakhir ku sebelum kita selesai."
š
Gina sempat bertanya-tanya pasal keinginan Mavi. Sepanjang jalan kala keduanya kembali menuju kelas untuk jadwal terakhir, dirinya terus melontarkan rasa penasaran itu. Sayangnya Mavi hanya membalas dengan senyuman dan gelengan kepala. Membuatnya merenggut setengah mati penuh terkaan selama kelas berjalan.
Dan di sinilah kini, jawaban dari semua pertanyaan yang memenuhi kepala. Taman bermain umum yang baru saja dibuka kemarin. Ramainya pengunjung di waktu langit yang mana matahati masih memancarkan sinar terik seakan tidak menjadi masalah bagi mereka untuk menjelajahi setiap permainan yang ada.
"Kamu takut ketinggian gak?" tanya Mavi.
Gina menggeleng. "Aku cuman takut laut dalam," jawabnya. "Mau naik roller coaster, ya? Ayo, deh!"
"Yakin bisa naik?"
"Ohoho, Kak Mavi meremehkan aku, nih? Kita lihat saja siapa yang akan gemetar nanti."
Mavi kemudian memesan dua tiket untuk wahana yang terbilang menegangkan itu. Sejenak kala melewati antrean, menatap kursi panjang itu berputar dan melaju ke sana kemari Mavi tiba-tiba dilanda mual. Dirinya diam-diam menahan. Ingin berbalik namun di belakangnya sudah ada orang lain yang mengantre.
Lain dengan Gina sendiri. Gadis itu nampak begitu semangat seraya terus berseru kagum. Menanti-nanti akan dirinya yang duduk di salah satu kursi. Mavi masih menatap horor dari belakang. Kala Gina menoleh, senyum kepura-puraannya lantas terbit di sana.
Tiba bagi giliran mereka untuk naik. Gina bergegas mendudukkan dirinya seraya menunggu Mavi. Lelaki itu masih setia mematung di samping. Hingga sahutan beberapa petugas yang menyuruhnya untuk segera duduk Mavi menelan ludahnya dengan kasar.
"Semuanya bakal baik-baik saja, Kak. Pegang tangan aku kalau takut," sahut Gina.
Melupakan pasal kesombongannya tadi. Mavi dengan cepat meraup tangan gadis itu hingga jari-jari mereka memenuhi ruas masing-masing. Genggamannya terlalu erat dan Gina hanya tertawa kecil melihat itu.
Pelannya jalan kereta mereka menuju puncak, Gina menanti-nanti untuk segera terjun ke bawah. Mavi di sampingnya memanjatkan penuh doa mengingat keselamatan. Dan kala kereta sudah turun, lelaki itu tidak bisa untuk tidak berteriak. Gina sampai tertawa dibuatnya. Sepanjang jalan mereka terus berlaju, Mavi tidak henti-hentinya meminta untuk berhenti.
"Kakak gak apa? Kita istirahat dulu, ya?"
Gina membungkuk demi mensejajarkan wajahnya pada Mavi. Lelaki itu masih dilanda syok. Tangan kecil Gina hanya bisa menepuk punggung lelaki malang itu.
Ada banyak tempat yang mereka kunjungi dan mainkan. Mungkin bisa dibilang hampir semuanya. Permainan berhadiah pun sempat dimainkan hingga berhasil membawa kemenangan tiga macam boneka sekaligus. Selain karena dirinya yang lihai, ada Mavi yang juga berjuang membantunya untuk mendapatkan.
Tiba di mana langit mulai menunjukkan gelap. Keduanya kini menyelesaikan segala kegiatan pada satu kafe yang dekat dengan taman. Mengulas kembali kegiatan mereka hari ini dengan penuh riang. Bahkan di tangan kini terdapat sebuah foto grid cetak dengan wajah mereka. Saling tertawa dan mengatai diri sendiri akan wajah kekonyolan.
"Buat Kak Mavi." Gina menyodorkan sebuah totebag kecil di depan lelaki itu.
"Apa ini? Bisa di buka sekarang?" Gina mengangguk memberi jawaban.
Bingkisan yang dibuka itu kini menunjukkan sebuah kotak. Mavi menatap Gina bergantian dengan hadiah yang diterimanya. Mendadak kelu tak mampu berucap apa-apa.
Gina tersenyum. "Happy birthday," ucapnya. "Aku gak tahu mau kasih hadiah apa. Kemarin sempat ke mal temui aunty dan jalan-jalan, aku ketemu sama jam itu. Terlihat cocok sama Kak Mavi jadi aku belikan sebagai hadiah. Kakak suka?"
"Gina, ini bahkan lebih bagus dari seleraku," ucap lelaki itu haru. Mavi kemudian memasangnya di pergelangan tangan. "Bagaimana?"
"Bagus banget!" seru Gina seraya memegang tangan lelaki itu.
"Bisa aku post, kan?"
"Tentu!"
Seharian menjalani hari penuh bahagia, Mavi merasa lega setidaknya kisah perpisahannya tidak menyedihkan seperti didrama-drama.
"Gina, makasih untuk hari ini," sahut Mavi. "Setidaknya kita pisah secara baik-baik dan lebih berharga lagi dengan hadiah ini. Aku banyak berterima kasih."
"Aku juga minta maaf, Kak. Maaf karena perasaan ku selama ini gak tulus."
"Kita teman?"
Gina mengangguk kuat. "Kita teman." Melakukan cheers dengan minuman dingin masing-masing.
"Ah, bagaimana dengan itu?" Mavi mendelikkan dagunya pada satu totebag ukuran sedang di samping Gina.
"Semoga saja dia terima. Aku gak tahu lagi harus bagaimana biar dia mau maafin aku," ujar Gina. Pandangannya menatap seih pada bingkisan itu.
"Dia pasti mau. Terlebih setelah melihat isi totebag-nya. Aku juga masih ingat kalau dia belum punya koleksi seperti itu. Percaya, deh."
Gina mengangguk. Ikut menaruh rasa semoga seperti yang dikatakan Mavi. Berharap dengan kado miniatur akan membuat hubungan keduanya kembali akur.