Dua anak insan yang sibuk memutari rak barisan buku-buku ragam. Keduanya mendapat kebebasan setelah jadwal kelas kuliah yang berakhir lebih awal. Kebetulan keluar di waktu yang sama dan bertemu kala hendak pulang. Berakhir sang lelaki yang mengajak kesatu tempat untuk sekadar menikmati waktu luang. Dan di sinilah keduanya.
Gina sebenarnya sudah sangat ingin ke perpustakaan kota. Namun, ada saja kendala yang sampai membuatnya lupa. Juga Henan yang selalu muncul di mana-mana tanpa henti mengajaknya keluar. Tapi hari ini sepertinya anak itu sedang memiliki jadwal padat. Seharian tidak bertemu membuat Gina akhirnya bisa bernapas lebih bebas.
Hari ini ditemani Mavi. Baru saja hendak pulang ke indekos malah bertemu dengan lelaki itu juga tengah bersiap untuk pulang. Tiba-tiba saja tanpa angin, hujan, dan badai mengajaknya untuk keluar. Sebuah kesempatan yang sangat besar untuk menikmati waktu berdua. Punya hobi yang sama, kesukaan benda yang sama, dan demi lubuk hati hingga keurat-uratnya Gina merasa sangat senang. Bahkan dari kegiatannya yang memilih buku untuk dibaca, senyumnya tak pernah luntur. Kikihan bahkan sesekali terdengar. Beruntung tak ada yang melihat.
"Gina?"
Kepala gadis itu menoleh. "Ya, Kak?"
Mavi berjalan mendekat pada tempatnya. "Gak kenapa. Gue kira lo sudah turun di lantai bawah. Masih cari buku rupanya," ucapnya. "Cari buku apa?" Menatap pada deretan buku yang terpampang kedua alis lelaki itu seketika bergerak ke atas. "Novel?"
Jari Gina menggaruk belakang kepalanya dengan senyum malu-malu. "Gue doyan novel, Kak."
"Oh, ya? Gue juga baca novel, sih. Tapi gak sering. Lebih suka yang non-fiksi. Lo suka halu, ya?" Kekehan Mavi terdengar seperti tengah mengejek gadis itu saat ini.
Wajah Gina mengerut. "Selera orang kan, beda-beda," pukasnya seraya berjalan sedikit menjauh dari lelaki itu. Selain karena tidak tahan melihat senyuman manis Mavi, dirinya juga tak ingin membuat anak itu mendengar detak jantungnya yang tengah beralu-talu lantang.
"Kak Mavi sudah dapat buku yang mau dibaca?" Dirinya berbalik sejenak sebelum membolak-balik halaman buku dalam genggaman.
"Belum ada. Lebih tepatnya, gak ada," jawab Mavi sembari kembali mendekat.
"Terus ngapain ajak ke perpustakaan kota?" Masih dengan pandangan yang berlum teralihkan dari benda tebal di tangan.
"Karena lo suka buku makanya gue ajak ke sini. Gue juga suka sih, tapi hari ini gak ingin baca apa-apa. Di indekos masih banyak yang belum selesai," katanya.
Gina mengangguk-ngangguk, antara menyukai bacaan buku yang di tangan atau sebagai balasan untuk lelaki di samping. Atau bisa saja dua-duanya. Lain dengan Mavi hanya memberi senyum tipisnya.
Satu tangannya mendarat di atas kepala Gina. "Lepas ini ke taman belakang, yuk? Di sana ramai. Sudah mau sore juga."
Gina menoleh dengan wajah yang menegang. Meski sudah sangat biasa Mavi menyentuh kepalanya hal itu tetap saja memberi gejolak tak mengenakan di dalam hati. Bunga bermekaran seketika jatuh memenuhi keduanya. Seperti sebuah CGI yang hanya bisa dibayangkan oleh Gina sendiri. Dalam drama korea yang kadang dinonton bersama Sela, dirinya merasa menjadi tokoh utama gadis yang tengah dalam nuansa romantis bersama pasangannya. Gina bahkan terasa sulit untuk berkedip.
"Gina? Halo? Lo gak apa?"
Lambaian tangan di depan wajahnya membuatnya menggeleng dan mengerjap kuat. Halunya yang kembali kambuh nampak begitu meresahkan.
Senyum canggungnya lantas terbit di wajah. "Gak apa, Kak," ucap Gina sembari merutuki diri. Dehaman singkat terlepas dan berlagak menatap sekitar. "Gue sudah dapat bukunya. Kita ke taman sekarang?"
"Hm, oke."
Saking malunya sama diri sendiri, Gina lantas berlalu lebih dulu meninggalkan lelaki itu dengan setengah heran.
"Jalannya bukan di situ," tegur Mavi. Mendapat Gina yang kembali memutar jalan berhasil membuatnya tertawa pelan. Kepala yang menggeleng pelan dengan desah penuh kegemasan. Mavi lantas menyusul gadis itu sebelum kembali salah jalan.
🎗
Perpustakaan kota memang tempat yang bagus untuk healing—menurut Gina. Langit yang mulai memancarkan semburat jingga. Angin bertiup sepoi dengan dirinya dan Mavi yang duduk di bangku baca bawah pohon rindang. Ramai taman menghidupkan suasana.
Gina baru tahu kalau taman perpustakaan tidak hanya dipenuhi dengan kalangan anak muda untuk membaca buku. Berbagai orang dari kalangan usia ikut meramaikan entah untuk sekadar duduk bercerita atau jalan-jalan. Anak-anak kecil yang penuh riang bermain di atas rerumputan. Gina yang menatap tak bisa untuk tidak tersenyum. Mengingat bagaimana dirinya yang sering bermain dengan sang Abang. Sayangnya harus terpisah karena saudara yang memilih melanjutkan di negara impian.
"Lo lapar gak?" sahut Mavi.
Gina berpaling menatap lelaki itu. "Untuk saat ini belum. Gak tahu nanti," jawabnya jujur.
"Kalau lapar bilang, ya. Di sana ada roti bakar. Kita bisa makan itu kalau lo mau. Atau pergi makan sesuatu yang lo pengin juga bisa," kata Mavi panjang lebar.
Gina sempat terkekeh mendengar lantunan kakak tingkatnya yang super panjang itu. Membuat sang empu hanya menaikkan dua alis bertanya. "Kak Mavi cerewet rupanya," celetuk Gina. "Iya, Kak. Kalau gue lapar pasti bakal ngoceh kok. Tenang saja. Untuk sekarang, gue lagi mau nikmati angin sore. Sudah lama mau ke sini cuman gak kesampaian karena sibuk."
"Lagi padat jadwal, ya?"
Gina mengangguk. "Sudah masuk masa ujian juga."
Buku novel yang dipinjam di perpustakaan tadi kini dikeluarkan dari tasnya. Bersama dengan sebuah kotak abu-abu yang membuat Mavi penasaran akan isinya.
"Itu apa?"
Gina menatap Mavi yang kemudian berganti dengan kotak abu-abu. "Oh, ini kotak khsusus alat baca novel gue, Kak." Resleting kotak itu seketika ditarik dan kala terbuka menampakkan isinya yang tersusun rapi. Ada pensil, pulpen, stabilo, note, hingga spidol berbagai macam warna menempati di sana.
"Ini hadiah dari Henan," sahutnya. Senyum tipis timbul bersamaan dengan angin sepoi yang menerbangkan anak rambutnya.
Mavi menatap gadis itu dengan mulut yang membungkam. Ada perasaan yang mengganjal kala Gina menatap kotak yang dikatakan pemberian Henan dengan begitu lekat. Mavi tidak paham maksudnya apa, namun jujur dirinya tidak suka.
"Anak itu kayak gak ada kerjaan banget. Hampir tiap hari ajak jalan, makan dan jajan ini itu. Kasih hadiah gak jelas dan ini yang paling spesial katanya," curhat Gina. Gadis itu tidak tahu kalau saat ini Mavi memandangnya dengan pandangan tak minat. "Kalau gak dituruti ngambek. Giliran diiyakan ngelunjak. Kadang bikin stres, kadang juga bikin gue kesenangan. Henan seunik itu memang."
"Lo suka?" tanya Mavi. Gina mendongak menatapnya dengan jawaban dehaman. "Hadiah dari Henan ... lo suka?"
Gadis itu mengerjap pelahan. Otaknya tengah mencerna maksud dari lantunan kakak tingkat di depannya. Tatapan yang ditunjukkan terasa berbeda. Saliva yang hendak ditelan seketika terasa sulit untuk dilakukan.
"Ah …." Mendadak tidak tahu ingin berucap apa. Memilih menutup kotak itu kembali dan menyimpannya di dalam tas. "Pemberian orang memang harus diterima dengan baik, kan?" Berharap lantunannya tidak membuat keadaan penuh akan salah paham.
Mengumpati diri sendiri. Bagaimana bisa dirinya curhat pasal Henan saat bersama Mavi? Pikiran buruk yang muncul kala lelaki itu bisa saja tidak menyukai ucapannya terlintas.
Mavi hanya diam di tempat tanpa niatan memberi jawaban. Meski kotak pemberian Henan sudah masuk dalam tas Gina, dirinya masih sulit untuk menghilangkan rasa enggannya itu.
"Eum ... bagaimana hubungan Kakak sama Abey?"
Gina sejatinya bingung ingin membahas apa. Hanya nama Abey yang terlewat di kepalanya meski dia tahu kalau pembahasan ini hanya akan membuatnya sakit batin.
"Ya, begitu. Baik-baik saja. Kenapa?"
Dirinya tersenyum singkat. "Gak ada apa-apa. Cuman sekadar tanya doang," jawabnya. "Kak Mavi sama Abey sudah saling kenal dari lama, ya?"
"Yup! Dari zaman kanak-kanak." Ada kekehan kecil di akhir jawabannya. "Abey itu cewek yang terang-terangan. Kalau dia gak suka sama sesuatu pasti bakal langsung disebut. Anaknya banyak tingkah dan super aktif. Bisa kewalahan kalau jalan sama dia."
Gina mengangguk sebentar. "Kakak sering jalan bareng sama dia?" Kini gantian Mavi yang memberinya anggukan.
"Sama kayak lo dengan Henan. Cuman kalau dibilang sering, kayaknya gue sama Abey lebih dari kalian. Anak itu bahkan sudah terbiasa datang ke rumah. Ajak jalan entah cuman keliling kompleks atau sekadar lomba lari dengan taruhan cilok sepuluh ribu," kata Mavi. Lelaki itu sedikit menyerit kala Gina menanyakan pasal Abey. "Lo kenal sama Abey?"
Gina menghela napas. "Siapa yang gak kenal sama Abey? Satu kampus kalau ditanya juga pasti tahu," jawabnya.
"Kalian pernah ketemu?"
"Pernah. Di kafe samping kampus. Dia mendongeng kisah Kakak sama dia dari zaman kalau nangis tinggal disogok gula-gula sampai masuk kuliah," ucapnya membuat Mavi tertawa. Gina hanya tersenyum membalasnya yang padahal dalam hati menggerutu tak suka. "Dia juga minta tolong ke gue."
"Minta tolong apa?" tanya Mavi kembali.
Entah hal ini bagus untuk dirinya atau tidak tapi Gina ingin menyampaikan soal perasannya pada lelaki itu. Walau secara tidak langsung, dirinya berharap kalau kakak tingkat yang sudah lama disukainya bisa tahu akan maksudnya.
"Abey minta tolong buat bantu cari cewek yang suka sama Kakak."
Diam seketika menyelimuti. Tidak ada membuka mulut setelah Gina menjawab pertanyaan Mavi. Entah karena tengah terkejut atau sama-sama bingung ingin mengucapkan kata setelahnya.
Mavi lebih dilanda perasaan gugup. Seharusnya ada perasaan senang di dalam dirinya karena akan sangat lebih mudah untuk mencari tahu siapa gadis yang dimaksud Henan dengan bantuan Gina. Tapi di saat gadis itu yang mengatakan padanya dengan pandangan yang dirinya sendiri tidak tahu apa maksudnya, hatinya dilanda keresahan.
"Kak," panggil Gina yang masih setia membuat Mavi diam menatapnya. "Seberapa besar Kak Mavi ingin tahu cewek yang suka sama Kakak?"
Mavi menjilat bibirnya sejenak. Duduknya menjadi menegang dan terasa gelisah. "Gue ...." Bahkan untuk menjawab pun dia bingung.
"Kalau Kak Mavi sudah tahu siapa cewek itu, Kakak mau ngomong apa ke dia?" Gina terus memberi pertanyaan penuh kode. Membuat Mavi dilanda gelapan tidak jelas.
"Lo kenal sama dia, Gin?"
"Sangat. Gue kenal dan dekat banget sama dia," jawab Gina. Gadis itu nampak enggan untuk memutuskan pandang dengan lelaki di depannya.
"Kalau begitu, lo bisa buat gue ketemu sama dia gak?"
Diamnya Gina yang seketika memasang senyum merekah, Mavi menjadi ikut membalasnya. Mendapat anggukan kepala dari gadis itu membuat dirinya merasa menjadi lebih baik. Lain halnya dengan Gina sendiri yang nampak begitu jengah dengan Mavi. Memang benar yang dikatakan Henan perilah kakak tingkatnya ini. Kepekaannya terlalu nihil.