"Ayah! Bunda! Gina pulang!"
Pukul 7 lewat malam Gina akhirnya sampai di rumah dengan selamat. Terima kasih pada Henan yang sudah menyempatkan ide untuk makan mie ayam—lagi—sebelum dirinya berangkat. Perjalan yang terbilang cukup jauh itu juga perlu tenaga, apalagi Gina adalah seorang perempuan.
"Loh? Gina? Pulang kok, gak bilang-bilang?"
Ayahnya muncul dengan setelan kaos kutang dan celana pendek. Kebiasaan seorang kepala keluarga di kala malam hari. Pernah saja Gina mendapat ayahnya tanpa atasan, cukup dengan celana pendek dan berjalan ke sana kemari mengitari rumah.
Gina menjabat tangan sang Ayah yang kemudian dikecup manis. "Sudah, kok. Bilangnya sama Bunda siang tadi," jawabnya.
Gina masuk hanya untuk mencari sosok Bunda. "Bunda?" Menolehkan kepala saat memasuki kamar orang tua. Beruntung wanita yang dicarinya tengah duduk di tepi kasur.
"Sudah sampai? Kiranya gak jadi datang," ucap bundanya.
Gina naik di kasur orang tuanya setelah menjabat tangan sang Bunda. "Kan, aku sudah bilang bakalan pulang." Gadis itu beralih pada sebuah kotak yang tertutup di samping sang wanita. "Itu apa, Bun?"
Bunda menoleh. "Ini bingkisan dari Abang kamu," katanya sembari memberi bingkisan itu.
"Bingkisan apa?"
Kedua bahu milik Bunda terangkat. "Entah, Bunda gak tahu. Abang kamu juga gak kasih tahu kalau mau kirim barang."
Gina mengangguk. "Gina buka di kamar saja ya, Bunda."
"Iya. Sekalian kamu mandi terus istirahat. Jauh datang ke sini."
Dalam kamar, Gina mendudukkan diri di atas kasur yang sudah lama ditinggalkan. Masih terasa persis auranya. Hanya busa kasurnya yang dia rasa makin menebal. Antara sebab tidak pernah di tempati mungkin. Kegitannya menjadi fokus pada bingkisan dari sang Abang yang dibuka dengan gunting.
"Heh? Boneka?"
Sebuah boneka anjing putih berukuran cukup besar. Mirip dengan besarnya boneka Shin-chan milik Henan yang dia temukan hari itu.
"Tunggu. Ini anjingnya Shin-chan," pukasnya.
Benar, sudah tidak salah lagi. Boneka anjing yang dia keluarkan memang anjing Shin-chan kesukaan Henan.
"Orang gak doyan boneka kok, dikirimkan boneka?"
Gina kembali memeriksa kotak bingkisan. Rupanya bukan hanya sebuah boneka anjing peliharaan Shin-chan saja yang ada di sana. Sebuah piyama serta dress selutut juga ada terbungkus rapi dengan plastik bening.
"Gak boneka, gak piyama, kenapa semuanya bertema Shin-chan? Gue bukan penggemarnya, anjir! Abang ada-ada saja."
Entah apa yang merasuki abangnya sehingga mengirimkan piyama dan boneka yang berunsur kartun Jepang itu. Memang bagus, hanya saja dirinya tidak begitu doyan dengan yang namanya kartun. Untuk dress, dia memaklumi itu. Mungkin saja abangnya ada unsur lain sehingga mengirimkannya sebuah gaun cantik.
"Gue kasih lihat ke Henan enggak, ya? Lihatkan saja, deh."
Gina meraih ponselnya untuk mengambil gambar boneka dan piyamanya. Gambar yang kemudian dikirimkan kemaniak Shin-chan alias Henan. Sekarang waktunya untuk membersihkan diri dan mengganti pakaian ke yang lebih nyaman. Sesuai kata bundanya, dia akan istirahat.
🎗
Henan baru saja selesai mandi. Setelah mengantar Gina pulang ke indekos petang tadi, dirinya pun ikut beranjak pulang. Tidak ada yang spesial saat dirinya berada di indekos. Masih bertemu dengan Angry Bird Sibling's, miniatur dan boneka koleksinya, serta kamar Mavi yang tertutup rapat sebab kegiatan mesrahnya bersama sang gebetan namun sampai sekarang belum juga jadian. Masa bodoh dengan hal itu.
Malam ini, si kembar bersaudara akan datang ke indekos Henan. Tujuan sebenarnya untuk bertemu dengan Delio dan Thilo. Karena mereka berempat memiliki jurusan yang saling berpasangan makanya Jeon dan Nanda sering datang menemui kedua kakak tingkatnya itu. Henan juga sudah memberitahunya kalau saudara kembar itu akan datang.
Tinggal Henan yang kini merebahkan dirinya di atas kasur empuk dengan rambut yang masih basah. Matanya hanya sibuk menatap langit-langit kamar. Memori dalam kepalanya berputar, mengulang setiap reka adegan dirinya bersama Gina seharian. Sebuah alasan ingin mengajak anak itu jalan-jalan nyatanya sebab dirinya yang entah kenapa hanya ingin melihat gadis itu secara langsung. Orang lain bilang, itu rindu.
"Hah, gila memang."
Henan bahkan sudah mengakui dirinya gila. Tidak tahu kenapa. Perihal mengingat Gina saja sudah bisa membuatnya merasa pangling tidak jelas.
"Selamat malam saudara Henan. Kami dari kantor kepolisian in—"
"Kelamaan! Minggir sana! Buka pintu saja pakai drama segala."
Henan hanya menggelengkan kepalanya mendengar pertengkaran kecil di luar kamar indekos yang tak lain adalah si kembar bersaudara.
Bersamaan dengan posisinya yang berubah menjadi duduk, pintu kamarnya terbuka membiarkan dua anak Adam masuk dengan leluasa. Bahkan tanpa seizinnya pun Jeon sudah dengan santainya membuang diri di kasur. Sedangkan Nanda sudah duduk manis di kursi belajarnya dengan sebungkus makanan ringan milik Henan. Dia tebak, calon dokter itu pasti mengambilnya dengan seenak jidat dari kulkas.
"Tas lo lepas dulu kenapa? Model lo sudah kayak kura-kura," sahut Henan setelah memberi tepukan pelan pada bahu Jeon.
Beralih ke arah Nanda. "Ini juga satu. Siapa yang kasih izin lo ambil makanan gue di kulkas, hah?" Namun, ocehannya itu hanya dianggap santai sama Nanda. Tidak tahu diri memang.
Henan mendesah. Bangkit dari tempatnya menuju kamar mandi untuk sekadar menaruh handuknya kembali. Keluar lagi dan kali ini mengambil posisi bersandar pada kepala kasur.
"Sudah selesai belum urusan lo sama mereka?" tanya Henan.
"Belum. Bang Delio masih ada di luar. Kata Bang Thilo disuruh tunggu sedikit lagi," jawab Nanda sembari terus mengunyah.
"Terus ini budak satu? Bang Thilo kan, ada di bawah, Je. Gak lo samper?"
Masih dengan wajahnya yang tenggelam di kasur Jeon menjawab, "Nanti sekalian. Bang Thilo juga masih kerjakan tugas." Rada terdengar seperti orang yang kumur-kumur tapi Henan paham.
Nanda yang awalnya duduk menghadap Henan kini berputar sejajar pada meja belajar. Sejenak tidak ada yang mengherankan pada tampilan barang di atas sana. Namun, begitu dirinya menemukan sebuah keyring, barulah di situ rasa penasarannya muncul.
Sebuah alasan mengapa Nanda begitu terkejut serta heran dengan kehadiran benda itu adalah karakter miniaturnya. Nanda sangat mengenal Henan, dia sangat yakin itu. Di kamar Henan apa pun yang bersangkut paut dengan aksesoris, pasti ada berunsur kartun Jepang kesukaannya. Tapi ini apa?
"Hen, sejak kapan lo koleksi benda selain Shin-chan?" tanya Nanda. Bahkan tangannya sudah memegang gantungan kunci itu untuk ditatap lebih dekat.
Henan mendongak setelah bermain dengan ponsel. Jeon yang sudah nyaman dengan posisinya lantas ikut mendongak menatap kembarannya itu.
Henan yang melihat Nanda memegang benda–couple tanpa sengaja–dari Gina lantas dengan cepat bangkit dari tempatnya demi merebut keyring itu. Nanda mengerjap setelah melihat tindakan tak terduga dari sang pemilik kamar. Jeon sendiri yang ikut melihat pun juga dibuat terkejut.
Perlahan Nanda tersenyum penuh arti. Dengan segera dia ikut mengambil tempat di atas kasur Henan setelah memberi pukulan layaknya seorang Ibu pada bokong Jeon menyuruhnya berposisi duduk.
"Apa, nih? Kayaknya ada sesuatu yang gue gak tahu," ucap Nanda.
Henan menatap Nanda kini tengah memainkan alisnya naik turun. Bahkan dengan senyumannya yang menurut dia layaknya om-om mabuk di pinggir jalan, menggelikan. Jeon sendiri sibuk menatap mereka berdua bergantian, mencoba memahami maksud dari situasi mereka.
"Jadi, Hen. Apa yang gue gak tahu, huh?" tanyaya kembali. Badannya bahkan sudah mencondong ke depan saking penasarannya.
"Apaan? Kagak ada," jawab Henan.
Plak!
"Kebiasaan banget sembunyikan sesuatu. Cerita saja kenapa?"
Henan meringis kala lelaki berparakan layaknya anak gadis itu memberinya pukulan gemas pada paha. Menimbulkan bunyi yang terkesan pedis hingga tangan Henan harus mengelus bekas pukulan itu untuk meredakan sakitnya. Sedangkan sang pelaku nampak tidak peduli dengan perbuatannya.
"Dapat dari siapa gantungan kunci itu? Gak biasanya bukan Shin-chan," ucap Nanda lagi.
Henan masih senantiasa diam tidak menjawab. Membuat Nanda gemas sendiri kepadanya. Yang kalau makin dilihat malah makin menakutkan.
"Cerita atau gue yang cari tahu?" ancamnya dengan mata menyipit.
"Buat apa juga lo cari tahu? Bukan urusan lo," sanggah Henan.
Nanda berdecak. "Yaudah, kalau begitu," ucapnya. Beralih menatap gantungan kunci itu Nanda memutar ide. "Btw, kalau dilihat-lihat gantungannya bagus juga. Buat gue saja boleh gak?"
Nanda berpikir, Henan pasti akan langsung memberikannya segera. Namun, nampaknya hal ini berbeda. "Gak boleh!" Henan menolaknya. Nanda makin yakin akan ada sesuatu.
"Kenapa gak boleh? Kan, itu bukan Shin-chan."
"Pokoknya gak boleh. Kalau lo mau beli sendiri sana."
Mata Nanda kembali menyipit. "Memang ada apa-apanya ya, lo sama ini gantungan kunci. Cerita gak?" paksa Nanda namun Henan tetap menggeleng menolak. Nanda menyerah, dia mendesah. Henan terlalu keras kalau diberi tahu.
"Ada apa sih, sebenarnya?" sahut Jeon.
Nanda baru sadar kalau Jeon sedari tadi hanya sibuk diam menyimak. Dia memilih tersenyum paksa seraya mengelus tengkuk kembarannya. "Kasihan. Gak paham ya, dari tadi? Makanya jangan kebanyakan ngalus cewek, ya. Tobat sebelum aset lo gue sunat lagi."
Jeon mengangguk patah-patah seraya menampilkan senyum hari-harinya. Hanya itu balasan untuk mengiakan kalimat horor Nanda yang dia sendiri tidak tahu apa hubungannya. Orang yang dia takuti setelah sang Mama.
Ping!
Semua yang ada dalam ruangan lantas mengambil atensi kepada layar ponsel Henan yang menyala menampilkan sebuah pesan. Sang pemilik lebih dulu meraihnya sebelum Nanda dengan penasaran tingginya akan merebut.
Selepas Henan membaca pesan yang masuk, sudut bibirnya tiba-tiba bergerak tertarik ke atas. Jeon heran sedangkan Nanda berdecak karena dirinya memang yakin kalau Henan tengah menyembunyikan sesuatu. Maka dari itu, daripada dirinya tenggelam dalam rasa penasaran, dengan segera merebut paksa ponsel Henan dengan cepat. Menghentikan pergerakan lelaki itu dengan satu kakinya dan Jeon yang ikut-ikutan pun mulai menghalangi Henan.
"Ponsel gue balikin gak!?"
"Woah, Je, lihat. Kayaknya teman kita lagi jatuh cinta," pukas Nanda. Jeon terkikik mendengar lantunan kembarannya dengan mata yang masih tertuju pada layar ponsel.
"Balikin Nanda?!" Namun, tetap saja pemilik nama itu masih tidak peduli dan terus mengambil alih ponselnya.
Sialnya, kekuatan anak kembar ini lebih kuat dibandingkan dengan dirinya. Dengan begitu susah payah Henan meraih ponselnya dengan modal tangan yang pendek.
"Eh, eh! Kepencet, Hen."
'Nanda, sialan!'
Henan buru-buru mengambil ponsel itu sebelum hal memalukan terjadi. Sayangnya, karena teledor Nanda dirinya tidak dapat membatalkan hal itu. Sudah terlanjur terbaca di waktu itu juga.
Saudara kembar mendadak diam di tempat seraya saling melempar pandang. Menatap Henan yang dengan tatapan kekosongnya mengeluarkan aura yang menyeramkan, membuat kedua lelaki itu menciut seketika. Bahkan saat bahu Henan sudah bergerak naik turun mengambil napas, keduanya sudah berjaga-jaga. Kala Henan mendongak, di situlah benda yang berfungsi untuk menutup telinga diperlukan.
"NANDAAAAAAA!!!"
'Hehehe, maaf Henan. Sengaja~'