Hari Sabtu hari di mana Gina mengurungkan diri di indekosnya. Tidak berniat untuk melakukan kegiatan apa pun. Baginya, hari ini adalah hari beristirahat dengan kegiatan rebahan tanpa kenal waktu. Ditemani dengan berbagai jenis makanan ringan tentu saja. Begini-begini, Gina doyan ngemil juga.
Meskipun hari libur, Gina tetap tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang mahasiswi. Tugas demi tugas yang dia kerjakan sampai pukul 12 siang akhirnya selesai. Baginya, mengerjakan tugas di waktu luang itu lebih baik dipergunakan. Daripada nantinya seluruh isi kepalanya penuh dengan tugas yang belum selesai dan membuat gundah. Gina paling tidak suka soal itu.
"Akhirnya selesai." Meregangkan tubuhnya setelah kisaran 4 jam duduk di kursi belajar dan berhadapan dengan layar laptop akhirnya berakhir.
Modelan Gina yang sudah hampir mirip layaknya seorang gelandangan di siang hari. Rambut tidak beraturan yang dicepok asal, piyama kotak-kotak berwarna biru, dan satu lagi, dia belum mandi sedari bangun tidur. Kasurnya saja masih dalam mode berantakan tak tersusun.
Gina mendesah begitu melihat penampilan tempat tidurnya. Hanya mengedikkan bahu dan melemparkan tubuhnya segera. Masa bodoh dengan merapikan kasur. Toh, ini hari libur. Hari bermalas-malasan bagi Gina.
"Ngapain, ya? Bosan juga kalau kayak begini terus," gumamnya.
Dirinya hanya menatap langit-langit kamar. Memang hari bermalas-malasan, tapi di jam panjang yang seperti ini juga rasanya bosan kalau tidak ada kegiatan.
Gina menoleh ke samping, rak buku yang berisikan berbagai macam buku novel tersusun rapi nampak berdesakan. "Sudah gue baca semua. Novel baru itu juga belum datang, huft," monolognya.
Sekarang dirinya benar-benar bosan. Sela? Dia keluar dengan teman lainnya. Jangan berprasangka kalau Sela hanya berteman dengannya. Dia berbeda dengan gadis itu. Kalau Sela punya banyak kenalan, Gina hanya memiliki yang terhitung dengan jari. Dia juga tidak bermasalah kalau Sela lebih menghabiskan waktu dengan teman-temannya, itu adalah haknya. Selama gadis itu masih tetap mengingatnya hal itu bukan masalah.
"Pulang gak, ya?"
Gina bangun dan bersandar pada kepala kasurnya. Meraih ponsel yang masih terhubung dengan charger. Membuka kontak dan menelepon sang Bunda.
"Halo? Bunda?"
"Oh? Gina. Ada apa? Gak biasanya kamu menelepon. Butuh uang?"
Gina tersenyum miris. "Seperti itukah Gina di mata Bunda?"
"Eh? Bukan, ya? Lalu apa? Kamu memang biasanya telepon Bunda hanya untuk minta uang jajan. Alasannya beli novel terus."
Kali ini, Gina baru terkekeh sembari menggaruk pipinya. "Hehe … kalau itu mah, memang. Sekarang beda."
Terdengeran dengkusan halus dari seberang. "Ada apa?"
"Gina berniat pulang nih, Bun. Bermalam sampai besok. Di indekos gak ada kerjaan, bosan." Matanya sibuk kembali menelaah langit kamar.
"Iya, terserah kamu. Kamu juga jarang pulang, kan? Bisanya pas libur semester saja."
"Yaudah, deh. Nanti kalau Gina mau benaran pulang, Gina kasih pesan, ya." Dan setelah jawaban singkat Bunda dirinya lantas memutuskan panggilan.
Gina mengambil posisi bersila tegak. Memandang pantulan dirinya pada cermin di pojok kamar. Sejenak menggelengkan kepala. "Lihat modelan lo. Astaga, benar-benar mirip gembel," sindirnya.
Ping!
kepalanya menoleh menatap ponsel. Notifikasi pesan yang muncul pada layar mengundang dirinya untuk berdecak namun tetap membukanya.
Shin-chan🐽 :
| Anak gembel, ngapain?
"Apaan anak gembel!?" protesnya. Namun, begitu berpaling menatap cermin kembali, Gina lantas berdeham kaku.
Shin-chan🐽:
| Anak gembel, ngapain?
You:
| Muka lo yang gembel.
| Ngapain-chat gue?
| Kurang kerjaan banget.
Shin-chan🐽:
| Sensi banget kelihatannya.
| PMS, Bu?
| Coklat mau?
You:
| Kalau dikasih, ya, boleh-boleh saja, sih.
Shin-chan🐽:
| Idih!
| Giliran disogok coklat mau.
You:
|Bacot, ya
Shin-chan🐽:
| Sibuk gak?
You:
| Banget.
Shin-chan🐽:
| Halah!
| Orang kayak lo kesibukannya apa?
| Paling rebahan sampai menyastu sama kasur.
| Serius gue, nih.
| Gue pengen jalan-jalan tapi gak ada teman.
You:
| Gue malas.
| Apalagi jalannya sama lo.
Shin-chan🐽:
| Gegayaan banget sok nolak.
| Sudah, lah.
| Sepuluh menit gue sampai.
You:
| Apa-apaan?
| Pemaksaan lo.
| Lo sampai gue biarin berjemur di bawah.
Biar makin hitam. |
Shin-chan🐽:
| Bodo~
| Mandi buru.
| Gak usah dandan.
| Lo jelek walaupun dandan.
You:
| Henan guguk.
Shin-chan🐽:
| Iya, tahu gue ganteng.
Berakhir Gina membanting ponsel itu di kasur.
"Siang-siang begini mau jalan. Ngajak buat bakar kulit ini anak setan satu," meskipun menggerutu, Gina tetap beranjak dari kasur dan meraih handuk. Menuju kamar mandi dan segera membasuh diri. Dia juga merasa gerah kalau boleh tahu.
🎗
Di sinilah Gina, berteduh di bawah pohon kecil yang rindang untuk menghindari panas. Sepanjang waktu dirinya tidak bisa berhenti menggerutu. Masih heran megapa tidak menolak ajakan Henan untuk keluar cari angin di siang bolong seperti ini.
Sedangkan Henan, dirinya masih sibuk duduk manis di atas motor sembari menatap sekeliling, menunggu gilirannya untuk diisikan bahan bakar. Saat ini mereka berada di pom bensin, di waktu jam yang menunjukkan pukul 1 siang. Benar-benar panas dan bisa Henan lihat dari jarak yang cukup jauh, Gina masih memasang wajah masam di tempatnya. Dirinya hanya terkekeh menatap.
Giliran yang ditunggu akhirnya datang. Dengan segera mengisi bensin untuk tidak membuat Gina menunggu lebih lama. Lepasnya menarik gas untuk menghampiri gadis itu.
"Buru naik. Panas ini," suruhnya dengan kepala memberi kode untuk segera naik.
"Lo sudah tahu panas kenapa ajak jalan, sialan," kesal Gina.
"Hush! Gak boleh ngomong kasar. Lagian lo kan, gak nolak."
"Lo yang maksa." Tapi Gina tetap naik di motor Henan.
"Mau singgah beli minum dulu, gak?"
"Iya." Gina serius, di cuaca panas begini tenggorokannya benar-benar dilanda kekeringan. Mana menelan ludah saja rasanya kasar.
Henan akhirnya menarik pedal gas dan melajukan motornya. Melewati setiap lampu merah dengan berbelok tajam ke kiri untuk menghindari kegiatan berjemur menunggu lampu hijau. Memang tidak salah, cuman meresahkan saja.
Gina sendiri masih belum tahu mau diajak ke mana. Dirinya hanya mengiakan setiap ucapan Henan tanpa bantahan. Saat ini dirinya hanya ingin segera sampai pada tujuan dan berteduh mencari udara dingin saking panasnya dia rasa.
Dia pikir Henan akan singgah disalah satu kafe untuk membeli minum seperti yang diucapkan. Namun sepanjang jalan, Gina hanya melihat semua kafe yang terlihat justru terlewat. Membuatnya menyerit bingung akan maksud lelaki ini.
"Katanya cari minum, Hen? Kafe sudah banyak yang lewat," sahutnya.
"Kita ke mal. Sekalian belinya di sana," jawab Henan. Berbalas dengan anggukan paham dari sang gadis.
Keduanya sudah sampai di area parkir mal. Bukan di luar, melainkan di area khusus parkir dalam. Henan cukup tahu cuaca yang terbilang cerah di luar. Kasihan sama motornya kalau berjemur. Apalagi bawaannya sekarang anak gadis yang kapan pun siap dalam mode maung.
"Eh, Hen. Bantuin. Kayaknya nyangkut."
Henan berbalik dan mendapati Gina yang kesulitan dalam membuka helmnya. Awalnya dia sempat terkekeh kecil. Tampang lucu gadis itu mana wajahnya sedikit tertutup rambut sebab terus memaksa pelindung kepala itu untuk dilepas.
"Pelan-pelan bukanya. Sini coba."
Gina melangkah maju untuk lebih dekat. Sedikit mendongak ke atas memberikan Henan akses membuka pengait helmnya.
Dalam jarak wajah yang begitu dekat, Gina merutuki jantungnya yang entah mengapa malah berdetak tidak karuan. Hidungnya bahkan bisa mencium dengan jelas wangi parfum manis yang Henan pakai saat ini. Lebih lagi yang membuatnya terpana, bintik hitam kecil yang memenuhi pipi kiri lelaki itu hingga menerus pada lehernya. Entah keberanian dari mana, jari telunjuk Gina seketika melayang demi menyentuh satu tahi lalat kecil itu di sana.
Gerakan yang tiba-tiba dirasakan Henan membuatnya sedikit terperanjat. Namun, dirinya berhasil untuk tetap terlihat santai. Membiarkan gadis itu yang nampak begitu nyaman dengan kegiatannya. Mengundang seulas senyum tipis tanpa diketahui oleh Gina.
"Nah, sudah."
Sahutan Henan yang membuat Gina dengan cepat menurunkan jarinya. Lebih terlampau kaget dengan apa yang dilakukannya barusan. Lain dengan Henan yang menunjukkan tampang biasa saja. Gina berdeham singkat menghilangkan rasa canggungnya.
"Kenapa? Tahi lalat gue banyak, ya?" tanya Henan.
"Hah? Ah … iya banyak. Tapi bagus. Modelnya kayak rasi bintang." Gina mendadak gelagapan. "Sudah, yuk. Gue haus, nih.” Tak tahan dengan kecanggungan dirinya berlalu lebih dulu. Meninggalkan Henan yang masih tersenyum di tempat.
Sesuai tujuan awal, Gina lantas menyeret Henan pada salah satu stand area khusus melayani pesan minuman. Berdiri manis menatap berbagai macam jenis minuman yang terlihat begitu menggoda kerongkongan.
"Lo mau apa Hen?" tanya Gina.
"Hm, Latte Ice boleh."
"Oke. Latte Ice satu sama Lemonade, ya, Mba. Yang Lemonade, es nya dibanyakin." Mendapat anggukan setuju dan keduanya berlalu menuju kursi untuk menunggu.
"Lemonade asam. Lo suka?" tanya Henan ketika mereka sudah duduk manis di tempat.
"Enak tahu. Asam-asam kecut," jawab Gina. "Tapi gak bisa gue minum selalu, sih. Punya maag soalnya," lanjutnya.
"Si bodoh. Punya maag tapi pesannya yang masam. Ganti sana," suruh Henan.
"Dih! Gak. Orang sudah pesan buat apa diganti?"
"Nanti maag lo kambuh."
"Gak bakal. Ini juga baru lagi gue minum jus lemon."
Henan berdecak. "Kalau sampai lo mengeluh maag kambuh, gue seret pulang kayak kucing."
"Iya, gak. Bawel banget, deh."
Gina beralih bermain ponsel sembari menunggu pesanan mereka jadi. Lain Henan yang hanya sibuk berdiam diri sembari menatap sekeliling. Sesekali pandangannya singgah pada Gina yang menampilkan berbagai macam ekspresi. Membuatnya geleng kepala dengan setiap duality yang gadis itu tampilkan.
"Latte Ice sama Lemonade-nya, Mba.” Seorang pelayan datang membawa pesanan keduanya, Henan mengangguk menerima dengan ucapan terima kasih.
"Nih. Ponselnya simpan dulu. Katanya haus," suruh Henan seraya menggeser minuman asam milik Gina. Gadis itu menerimanya namun pandangannya masih tetap terkunci pada layar ponsel.
Henan menyerah dan membiarkan gadis itu dalam kegiatannya. Yang penting Gina sudah tidak banyak cercos karena sudah mendapat minumannya. Baru saja ingin kembali membuka suara namun terhenti sebab mendapat ekspresi Gina yang terlampau datar. Henan mengambil simpul, sepertinya anak ini melihat sesuatu yang bersangkutan dengan Mavi lagi.
"Temani gue, yuk!" sahut Henan.
"Ke mana?"
"Beli sesuatu. Ayo!" Dirinya sudah berdiri lebih dulu. Menarik satu lengan gadis itu untuk beranjak pergi. Berniat untuk membuat Gina lupa akan hal yang baru saja dilihatnya. Semoga saja.