Perkara boneka Henan yang hilang tiba-tiba tentu
saja tak terlupakan di otaknya. Dia bahkan masih berusaha sekeras mungkin
untuk mencari boneka itu sampai dapat. Bahkan mengharuskan dirinya yang kemarin
datang ke mal dan memutarinya satu gedung penuh. Singgah ke toilet
tempat dirinya gunakan hari itu. Namun, sayang seribu sayang yang Henan dapat hanya sebuah kelelahan.
Penyesalannya bahkan lebih membesar perkara bukan hanya benda yang hilang,
melainkan juga uangnya yang melayang.
Sekarang Henan tidak tahu, tinggal memilih menyerah atau pasrah. Sialnya, dia tidak bisa
memilih di antara keduanya karena memang dua hal itu mewakilinya sekarang. Dia masih galau perkara boneka Shin-channya.
"Lo perkara boneka Shin-chan saja pakai
digalauin, Hen," sahut Nanda. Anak ini sudah hampir setiap saat
menemaninya. Bahkan sudah sangat hapal bagaimana modelan Henan yang galau
perkara boneka Shin-chan.
"Nanti gue belikan, deh. Galau terus, padahal
cuman benda mati," ujarnya lagi.
Pasalnya Nanda sudah sangat bosan dengan gerutu
Henan yang beralasan sama. Buatnya geleng-geleng kepala karena maniak anak ini
sudah terlalu mendarah daging. Henan sendiri yang tengah menaruh kepalanya di
atas meja hanya bisa menghembus napas beratnya setiap menit.
Keduanya berada di kantin Fakultas Kedokteran; fakultas Nanda. Bukan
tujuan untuk makan, Henan yang kebetulan sudah selesai dengan kelasnya hari ini
berniat untuk menemui teman calon dokternya itu. Dan kebetulan Nanda tengah
duduk manis di kantin fakultas berhadapan dengan laptop dan
kertas-kertas yang bertumpuk. Awalnya dia mencari Jeon, kembarannya. Tapi
katanya anak itu masih ada kelas yang sampai mengharuskan dirinya pulang hingga
menjelang petang.
Nanda sudah pusing dengan tugasnya malah ditambah
dengan gerutu bercampur curhat Henan perihal bonekanya. Dia berpikir anak ini
tidak ada habis-habisnya hanya terus memikirkan benda itu. Padahal dia tahu
tugas Henan lebih banyak yang perlu dipikirkan tapi anak itu malah nampak bodoh
amat dengan semuanya.
"Mending lo pikir soal tugas lo deh, Hen. Lo
sendiri yang menggerutu banyak tugas karena gak lo kerjakan," tegur Nanda
lagi. Tapi lagi, jangankan mengangkat kepala dan menjawab, Henan hanya memberi
Nanda sebuah dehaman ringan tak minat.
Nanda sudah pasrah, memijit pangkal hidungnya
sebelum mengambil atensinya kepada Henan. Masih dengan posisi yang sama,
mengantarkan Nanda untuk mengambil tindakan dengan memberi pukulan kecil pada
kepala anak itu.
"Akh! Nanda! Sakit bodoh!" dengkusnya.
"Marah lo? Gerutunya jangan sama gue, sama
tembok saja sana. Dikasih tahu tapi gak mau mendengar, yaudah," balas
Nanda.
Henan cemberut sembari mengelus puncuk kepalanya
sementara Nanda kembali dengan kegiatannya. Beralih menopang dagu dengan tangan
kiri dan menatap Nanda lama. Membuat anak yang ditatapnya sesekali membalas
dengan raut wajah yang heran.
"Kenapa lagi lo?"
"Jurusan dokter susah gak, Nan?"
Nanda berhenti sejenak untuk menatap Henan. Dengan
alis berkedut dia melontarkan pertanyaan, "Hilangnya Shin-chan gak bikin
lo gila, kan, Hen?" Tapi Henan malah berdecak singkat dan mengubah
duduknya menjadi tegak.
"Gue pusing, Nan. Itu boneka kenapa bisa
hilang, coba? Kalau benaran memang gue lupa bawa, setidaknya pasti ada orang
yang lihat gue dan simpan bonekanya," jawab Henan di akhiri napas menyerah.
"Tadi bahas jurusan gue, sekarang balik lagi
bahas boneka lo. Memang gak jelas lo, Hen," cibir Nanda dan kembali
bekerja. Terlalu membuang waktu jika dia terus membalas celoteh anak itu.
Henan cuman bisa membuang kepalanya ke belakang.
Memikirkan bagaimana bisa boneka Shin-chan yang hilang ternyata bisa membuatnya
sakit kepala, tidak seperti saat dirinya memikirkan tugas.
Saat posisi kepala yang berada di belakang,
matanya tanpa sengaja menangkap sosok gadis yang sangat familier. Dengan cepat
dirinya lantas memperbaiki posisi duduknya dan menghadap ke belakang. Hanya
untuk memperjelas kalau yang dilihatnya memang benar sesuai persepsinya.
"Cewek makan bubur pakai gula, tuh,"
ucapnya. Sayangnya, Nanda tidak begitu tertarik dengan urusan anak itu hingga
memilih mengerjakan tugasnya dengan fokus. "Ngapain dia kemari?"
Henan mengambil posisi berdiri dan mengangkat
sebelah tangannya. "WOI! LO CEWEK ANEH!!" teriaknya.
Mengundang perhatian penghuni kantin seketika, bahkan pada gadis yang
dipanggilnya.
"Gin, cowok kemarin, tuh. Samper gak?"
tanya Sela.
"Dih? Ogah banget," tolak Gina. Dia
sempat menoleh dan mendapati Henan yang senantiasa melambaikan tangannya namun
memilih untuk tidak peduli dan membuang pandangannya.
Henan mendengkus yang beralih berkacak pinggang.
"Sok buang muka itu anak," gumamnya. "WOI!! CEWE YANG PUNYA
MOTOR-SCOOPY BIRU LAUT!! KALAU DIPANGGIL ITU MENYAHUT!!"
teriaknya lagi.
Nanda di tempatnya cuman bisa geleng kepala dengan
kelakuan Henan. Sedangkan Gina sekarang sudah mengumpat dalam hati. Henan
membuatnya malu seketika, mana orang-orang kantin peka dan langsung melihatnya.
"Yaudah, sih, samper saja. Daripada lo kena
teriak mulu sama dia," kata Sela.
"Bodoh, lah, Sel. Gak usah perdulikan dia.
Naik darah gue lihatnya."
"Tapi kalau gak lo jawab dia bakal teriak
terus. Tuh, orang lain sudah mulai pada liat lo sekarang."
Gina mendengkus kasar. Ada saja harinya selalu
membuat kesal. Apalagi penyebab utamanya adalah Henan. Anak yang sok akrab
dengannya sejak insiden makan bubur. Sampai sekarang dia masih kesal dengan
kejadian itu.
Sela dan Gina bukan tanpa alasan berada di sana.
Ingat Sela yang mempunyai kekasih? Pacarnya adalah seorang kakak tingkat
jurusan kedokteran di kampus. Sela disuruh datang ke fakultas pacarnya untuk
mengambil hoodie pesanannya. Karena takut dan malu sendirian, jadinya dia memanfaatkan Gina
yang mana adalah sahabatnya untuk datang bersama. Tapi sialnya, Gina malah
bertemu dengan manusia yang membuatnya jengkel di sana.
"Mana sih, cowok lo? Suruh buru biar kita
cepat pergi dari sini. Kesal gue lihat itu anak," gerutu Gina.
"Iya, sabar. Sebentar lagi. Dia sudah di
jalan, kok," jawab Sela. Sempat terkekeh kecil di akhir
karena melihat wajah Gina yang benar-benar sudah kusut perkara diteriaki Henan.
Henan sudah duduk di tempatnya sembari berdecak.
Dia kesal karena dirinya tidak direspons
Gina sama sekali. Meskipun kepalanya masih mengarah pada
gadis itu.
"Kenapa suka banget ganggu dia, Hen?"
tanya Nanda.
"Seru saja lihat dia kesal karena gue,"
balas Henan. Nanda cuman memberinya tatapan sekilas dan kembali menatap layar
laptop.
Akhirnya kegiatan menunggu berakhir. Datangnya
pacar Sela dengan totebage ditangan membuat Gina menghela napas
ringan. Segeranya urusan ini dia harap cepat selesai dan menghilang. Matanya
mulai gatal melihat muka Henan diujung sana.
"Kok lama?" tanya Sela.
"Singgah sebentar tadi dipanggil teman bahas
proyek," jawab pacarnya. Lelaki itu beralih menatap Gina sementara Sela
yang masih sibuk menatap pesanannya. "Siapa?"
Sela mendongak begitu kekasihnya bertanya. Menatap
Gina sebentar sebelum beralih kepada lelaki di depannya.
"Teman indekos aku, Gina." Lelaki itu mengangguk dan Gina hanya
memberi senyum simpul.
"Yaudah, makasih, ya. Uangnya aku ganti atau
bagaimana?"
"Sudah, gak usah. Baliknya hati-hati." Sela memberi dehaman manis.
Sementara di tempatnya Henan sempat mememelotot
begitu menatap lelaki yang menghampiri keduanya. Dia sampai bertumpu pada
telapak tangannya sementara bokongnya menyentuh sisi meja. Nanda sempat
terkejut karena gerakan Henan yang tiba-tiba mengundang sedikit gerakan.
"Jangan banyak gerak, Hen! Kaget, ih!"
serunya tapi malah tidak dihiraukan sang pelaku sama sekali.
"Lah, Nan? Itu bukannya Bang Delio? Kakak
tingkat lo, kan?" tanya Henan tanpa mengalihkan pandangannya.
Nanda ikut menatap arah maksud Henan dan dia
berdeham membenarkan. "Iya. Kenapa memangnya?"
"Ada urusan apa dia sama dua cewek? Wah,
parah! Bang Delio sekali dapat langsung dua?" ujarnya. Nanda menatap Henan
yang masih dengan raut terkejut dengan cibirannya.
"Gue samper, ah."
Dan Henan benar-benar berlalu dari tempatnya untuk
menemui ketiga anak manusia itu. Meninggalkan Nanda yang masih duduk dengan
manis meski dengan raut menahan kesalnya menatap kepergian Henan.
"Bang,
Del!" tegurnya. Lelaki yang dimaksud menoleh dengan segera yang bersamaan
dengan menghentikan gerakan hendak pergi kedua gadis di depan mereka.
"Lah? Lo ngapain di sini?" tanya Delio.
"Sudah kayak masalah banget gue di sini. Gue
baik orangnya, lagi temani Nanda kerja tugas, noh," jawab Henan seraya
menunjuk tempat Nanda dengan dagunya. Delio hanya mebulatkan mulutnya tanpa
bersuara.
Henan beralih ke arah Sela dan Gina. "Apa nih, Bang? Sekali dapat langsung dua?"
"Sembarangan! Cuman satu," elak Delio.
"Cewek gue, Selana Martania. Anak sastra," lanjutnya seraya menunjuk
Sela juga dengan dagunya.
"Cewek yang kemarin, kan? Temannya cewek aneh
yang makan bubur pakai gula," pukas Henan.
"Hah?" Delio mendelik menatap kekasihnya
untuk meminta jawaban. Tapi Sela hanya menaikkan kedua alisnya seraya beralih
menatap Gina.
Gina mendengar itu lantas menggigit bibir bawahnya
kuat-kuat. Sudah dia bilang seharusnya dia tidak ikut Sela kemari. Membuatnya
kambuh merasakan tekanan darah tinggi. Henan sendiri malah senyum-senyum tanpa
dosa meskipun Gina sudah menatapnya menusuk. Seakan gadis itu akan memakannya
saat juga. Tapi Henan nampak biasa saja dengan itu. Malah sempat memberinya
wajah mengejek.
Gina menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan emosinya. Beralih tersenyum paksa pada Henan. "Iya, itu gue. Ketemu lagi ya, kita. Anak setan," celetuknya.
Henan tertawa menahan pancingan emosianya. "Haha, anak setan." Merubah raut wajahnya dalam waktu singkat menjadi datar. Begitupun dengan Gina yang seraya beradaptasi. MEmbuat keduanya saling melemparkan tatapan tajam. Mendiami sepasang kekasih yang malah menatap keduanya heran.