“Kita kemana lagi?” tanya Melody yang sudah kelelahan berpetualang seharian ini.
“Ke tempat yang indah,” jawab Charles. Melody yang mendengar jawaban dari Charles menggeram kesal.
“Dari pagi juga kamu bilangnya ke tempat yang indah! Tapi, ujung-ujungnya kita makan mulu. Dan sekarang kita sepertinya hanya keliling sekolah,” gerutu Melody. Charles terkikik senang melihat Melody yang menggerutu itu.
“Tapi, Nona senang 'kan?” kata Charles sambil mengulurkan tangannya membantu Melody melewati jalan yang penuh batu.
“Iya sih. Tapi, aku bisa tambah tembem,” gumam Melody sambil menerima uluran tangan Charles.
“Gapapa. Lucu kok tembem gitu,” sahut Charles. Melody yang mendengar hal itu pun memilih untuk diam.
“Aduh, Mel, kenapa jantungmu berisik banget sih? Kebiasaan deh kalau capek,” batin Melody bersungut-sungut.
Selesai melewati jalan bebatuan, Charles tidak melepas genggaman tangannya pada Melody. Justru gengamannya semakin erat dan terasa hangat bagi Melody. Kehangatan itu perlahan menjalar kehatinya. Melody pun berusaha fokus kembali dengan jalan yang dilaluinya.
Setelah berjalan sedikit lama, mereka berdua pun disajikan sebuah danau. Sederhana sekali. Tapi, Charles yakin Melody akan menyukainya. Apalagi disaat matahari hampir menenggelamkan dirinya. Romantisme di waktu senja. Charles pun membantu Melody menaiki sampan yang akan membawa mereka berdua ke tengah danau. Setelah Melody naik, dengan perlahan Charles mengayuh sampan menuju tengah danau.
“Nona, lihatlah ke arah barat!” suruh Charles. Melody pun menurut.
Dan terpanahlah dia dengan keindahan alam yang tersaji. Warna kuning kemerah-merahan seakan menguasai angkasa. Burung-burung yang berterbangan menambah keindahan langit sore ini. Charles lega melihat ekspresi Melody yang sangat senang itu.
“Ini masih awal, Nona. Kita tunggu sebentar lagi,” ucap Charles. Dia sudah berhenti mengayuh sampan. Berbeda dengan Melody yang sibuk menikmati langit, Charles sibuk melihat wajah Melody. Bagi Charles wajah Melody yang tersenyum seribu kali lebih indah daripada langit sore.
“Nona, aku harap kau bisa selalu tersenyum seperti ini,” gumam Charles sambil menatap sendu Melody.
Perlahan matahari meninggalkan langit. Bulan menggantikan peran matahari dan bintang bertaburan ikut menemani langit. Melody semakin melebarkan senyumnya ketika melihat pemandangan itu.
“Langit beruntung, ya. Selalu ditemani. Ga ada yang membiarkan langit sendiri,” celetuk Melody. Charles hanya menatap Melody menunggu dia melanjutkan perkataannya.
“Saat pagi sampai sore, ada matahari yang menemani. Kalaupun ga ada, masih ada awan. Kalau di malam hari, ada bulan dan bintang. Ga ada bintang pun, pasti bulan masih bertahan. Begitupula sebaliknya.”
“Kalau anda mau jadi seperti langit, saya bisa jadi seperti matahari, awan, bulan, dan bintang,” sahut Charles.
“Enggak deh. Jadi seperti langit memang menyenangkan. Tapi, itu akan membuat hati lelah.”
“Kenapa begitu?”
“Karena aku ga akan jadi diri sendiri. Dan disayangi bukan karena sifat asli itu menyakitkan, Charles.”
“Apapun sifat Nona, saya akan tetap menyayangi anda. Jadi, jangan pernah merasa sendiri, ya?” Melody tersenyum lembut mendengar pernyataan Charles.
“Kita baru bertemu hari ini. Kenapa kamu begitu mudah mengatakan bahwa kamu menyayangiku?”
“Rasa sayang bisa muncul kapan saja, Nona. Dan saya memilih untuk mengungkapkan segera. Saya tidak ingin menyesal lagi.” Charles tersenyum tipis. Dia bergerak melepas jubah dan memasangkannya pada bahu Melody. Dengan lembut dirapikannya rambut Melody yang berantakan tertiup angin. Setelah selesai, Charles mengayuh sampan ke tepi danau. Sedangkan Melody masih sibuk terpaku dengan perlakuan Charles padanya.
“Ayo kita kembali ke asrama, Nona. Bukankah Queen Aze bilang jam 7 malam kita harus ke aula? Nona harus segera bersiap-siap,” ajak Charles sambil mengulurkan tangannya. Melody pun menerima uluran tangan Charles.
Dengan perlahan mereka berdua turun dari sampan dan berjalan menuju asrama. Perjalanan mereka penuh dengan keheningan. Entah karena malu atau ada perasaan lain. Yang pasti percakapan mereka tadi, perlahan masuk menelusup ke dalam hati masing-masing. Menyebarkan kehangatan yang tidak pernah mereka rasakan sejak dulu.
•••
Jam 7 malam. Sesuai perkataan Queen Aze, semua murid sudah berkumpul kembali ke aula. Kini Queen Aze sudah berada dipodium bersiap untuk mengumumkan ssesuatu.
“Selamat malam semuanya. Sudah puas berkeliling akademi hari ini? Saya harap sudah, ya. Ada beberapa pengumuman penting yang harus kalian ketahui. Pertama, pembelajaran akan dimulai esok hari pukul 8 pagi. Kedua, kafetaria akan dibuka pukul 7 pagi hingga pukul 10 malam. Ketiga, semua orang harus sudah berada di kamar pukul 10 malam. Jadi, saya harap tidak ada diantara kalian yang melanggar jam malam. Keempat, untuk kelas dan jadwal sudah dikirim ke jam tangan kalian. Dan terakhir, di akademi ini tidak akan ada yang namanya organisasi siswa,” katanya panjang lebar. Dia melihat muridnya saling berbisik setelah pengumuman terakhir yang ia sampaikan.
“Sekian dari saya. Selanjutnya ada beberapa hal yang ingin disampaikan oleh Madam Phineas. Silakan, Madam,” lanjutnya mempersilahkan seorang wanita muda yang memiliki wajah jutek. Seketika bisikan yang mendominasi aula menghilang.
“Terima kasih, Queen,” ucapnya sambil melangkah ke depan.
“Selamat malam. Perkenalkan nama saya Anne Phineas. Saya akan menyampaikan beberapa hal. Seperti yang dikatakan oleh Queen Aze, di sini kita tidak akan ada organisasi siswa. Namun, sebagai gantinya akan ada organisasi yang bernama “Dewan”. Dewan yang akan membantu kami mengurus akademi. Dan identitas mereka akan dirahasiakan.” Bisikan demi bisikan kembali hadir membuat keadaan aula menjadi gaduh.
“Harap tenang! Saya belum selesai!” bentak Madam Phineas. Semua murid pun membungkam mulutnya.
“Bagus. Saya harap tidak ada yang berkomentar sebelum saya selesai. Jadi, anggota Dewan akan dipilih langsung oleh pihak akademi. Tentu saja ada beberapa syarat dan ketentuan yang harus kalian penuhi sebelum menjadi anggota Dewan. Kami berharap siapapun yang terpilih bisa menjaga kerahasiaan identitas Dewan dan tidak membocorkan kepada siapapun. Mengerti?”
“Mengerti, Madam,” jawab semua murid serentak.
“Baik. Itu saja dari saya. Terima kasih.” Madam Phineas kembali ke belakang dan posisinya digantikan oleh Queen Aze.
“Terima kasih, Madam Phineas atas informasinya. Baiklah, berhubung hari sudah malam, silahkan kembali ke asrama masing-masing,” tutup Queen Aze.
Semua murid bergegas keluar dari aula dan kembali ke asrama. Begitu pula dengan Melody dan Charles. Mereka sudah terlalu lelah dan mengantuk untuk membahas informasi tadi. Apalagi mereka berdua masih merasa canggung dan malu akan kejadian sore hari. Setelah berjalan lumayan lama, akhirnya mereka berdua sampai di depan kamar Melody. Saat Melody akan membuka pintu asramanya, sebuah suara menginterupsi.
“Nona Melody,” panggil Charles. Terlihat ada sedikit keraguan diwajah Charles. Namun, dengan cepat pula dia menghapus keraguan itu.
“Saya minta maaf atas kejadian sore tadi,” katanya perlahan sambil mengamati ekspresi Melody. Melihat Melody yang perlahan menampilkan raut wajah kecewa, membuat Charles dengan cepat menambahkan.
“Tapi, Nona, saya bersungguh-sungguh dengan perkataan saya. Saya menyayangi anda sepenuhnya.” Semburat merah perlahan menjalar dari pipi menuju telinganya.
“Dan selamat malam, Nona,” ucapnya lirih. Dia berjalan menuju kamarnya dan masuk ke dalam. Melody yang belum sempat mengucapkan satu katapun hanya bisa menahan senyumnya.
“Dia lucu sekali. Dan selamat malam juga, Charles,” gumamnya. Dia pun masuk ke dalam kamarnya. Charles yang belum benar-benar masuk ke dalam kamar mendengar semua perkataan Melody. Dia hanya bisa berharap tidak akan ada yang menghalanginya untuk melayani Nona tersayangnya itu lagi.