“Mas gimana nih? Mell beneran hilang,” cemas Arsen yang sudah
mondar-mandir sedari tadi.
Sedangkan Arhen yang sudah pusing melihat Arsen mondar-mandir hanya
bisa menghela napas. Sebenarnya Arhen yakin ada sesuatu yang ia lupakan
mengenai Melody. Dan ia juga yakin hal yang dilupakannya adalah alasan mengapa
Melody bisa menghilang begitu saja. Dia merapalkan nama Melody berkali-kali
demi mengingat hal itu. Namun, sia-sia saja. Tidak ada yang bisa diingatnya.
Yang ada malah membuat kepalanya sakit.
“Mas, kita kasih tahu orang tua kita aja gimana?” tanya Arsen.
“Percuma. Mas punya firasat mereka gak bakal ngapa-ngapain walau
kita kasih tahu kalau Melody hilang,” jawab Arhen.
“Terus gimana? Kita gak ada petunjuk. Gimanapun Mell tanggung jawab
kita mas!”rengek Arsen frustasi.
“Kita udah janji sama orang tuanya Mell,” lanjut Arsen lirih.
Mendengar hal itu, Arhen tersentak.
“Bentar, kamu ingat gak kita janjinya kapan?” tanya Arhen.
“Ingat. Satu hari sebelum orang tuanya Mell hilang 'kan?” jawab
Arsen. Setelah mengucapkan hal itu, Arsen juga tersentak.
“Mas ....” Arsen menatap Arhen seakan meminta kepastian.
“Iya. Walaupun caranya berbeda,” jelas Arhen.
“Jadi apa yang harus aku lakukan?”
•••
Melody berdiri diam sambil menenteng tas yang berisi pakaian. Dia
tidak diusir kok. Hanya disuruh bersekolah. Dan kini dihadapannya berdiri
bangunan megah yang lebih mirip istana daripada akademi. Melody menghela
napasnya. Dia benar-benar clueless tentang dunia ini. Apalagi
bangunan yang disebut akademi ini.
Dia perlahan melangkahkan kakinya menuju pintu gerbang yang sudah
menantinya. Kemudian dia merogoh saku dan mengeluarkan kartu siswa yang didapat
dari orang tuanya agar dia bisa masuk ke dalam. Dengan pasti dia menempelkan
kartu siswa itu ke gerbang. Setelah itu, muncul cahaya semacam laser yang
digunakan untuk mencocokkan identitas Melody dan kartu siswa yang dibawanya.
Gerbang itupun terbuka.
Kemudian Melody menyeret kakinya memasuki kawasan sekolah yang
begitu megah. Akan tetapi, tak berapa lama ada sebuah suara yang terdengar
tepat di samping Melody. Melody pun mencari di kanan-kirinya. Namun, tak ada
satu orang pun yang terlihat sedang berbicara dengannya.
“Wujud saya memang tidak terlihat, Nona Abrisal. Saya ini
pendamping yang diciptakan khusus untuk anda,” jelas suara tidak dikenal itu.
“Berasa simulasi jadi orang gila,” balas Melody.
“Anda kan memang orang gila.” Melody yang tidak terima dikatai begitupun mencak-mencak.
“Heh maksudmu apa?!”
“Pendamping murid-murid di sini berwujud. Hanya saya saja yang
tidak berwujud.” Melody
mengerutkan dahinya tanda tidak terima.
“Apa hubungannya dengan wujudmu?!”
“Murid-murid di sini sangatlah normal pemikirannya jika
dibandingkan dengan anda. Coba, lihat ini, mana ada orang yang menangisi
kerupuk yang berubah jadi lembek?” jelasnya
sambil memperlihatkan melalui hologram adegan di mana Melody menangis hanya
karena kerupuk yang baru saja digoreng menjadi lembek karena tidak sengaja
tersiram air putih yang tumpah.
“Hei, semua orang akan menyayangkan hal itu!! Kamu kali yang gila!”
teriak Melody yang kembali mencak-mencak. Tapi, seakan tidak peduli, suara itu
kembali meneruskan.
“Orang waras mana yang menghanyutkan sandalnya di laut?” Suara itu kembali memperlihatkan melalui hologram. Terlihat dengan
jelas bahwa Melody sengaja menghanyutkan sandalnya di laut. Dan setelahnya
Melody tertawa kecil. Kali ini Melody menunduk dan bergumam, “Bodoh kau Melody.”
“Karena anda gila, wujud saya tidak terlihat agar anda semakin
gila. Itu hukuman untuk anda.”
“Ih, di mana-mana hukuman tuh, ya, biar yang dihukum gak ngelakuin
hal itu lagi. Ini kok memperparah?!” Wajah Melody yang sudah kesal, makin kesal
lah mendengar pernyataan dari suara yang mengaku 'pendampingnya' itu.
“Pfft ... hahaha, ya ampun wajah anda yang kesal itu lucu sekali,
Nona.” Suara yang awalnya tidak berwujud kini mulai menampakan diri dalam wujud
seorang manusia. Dengan tinggi sekitar 180 cm, rambut pendek lurus
berwarna emas, iris mata yang juga berwarna emas, hidung mancung, dan bibir
tipis. Dan yang paling penting dia adalah seorang laki-laki.
“Hmm ... terlalu cantik,” gumam Melody.
“Siapa yang terlalu cantik Nona?” tanya orang itu sambil tersenyum.
Menurut Melody, senyum orang itu terlalu menyeramkan.
“Ah tidak. Kau laki-laki kan?” tanya Melody memastikan.
“Tentu saja saya laki-laki Nona,” jawab orang itu.
“Namamu siapa?” tanya Melody mulai berniat mengintoregasi.
“Ah ... maaf kan saya Nona. Betapa tidak sopannya saya.” Terlihat
orang itu sedikit panik.
“Perkenalkan nama saya Charles,” lanjutnya sambil menaruh tangan
kirinya didada kanan dan sedikit membungkuk memberi hormat.
“Charles ya,” gumam Melody.
“Mungkin anda sudah tahu. Tapi, nama saya Melody. Melody Senjani
Abrisal. Oh iya, panggil saja Melody,” lanjut Melody sambil mengangkat sedikit gaunnya
dan membungkuk memberi hormat.
“Baik, Nona Abri – Melody. Dan anda tidak perlu tiba-tiba menjadi
sopan begitu, Nona. Bersikaplah seperti tadi,” kata Charles.
“Baiklah,” sahut Melody.
“Ah iya, Charles, tinggi badanmu berapa?” tanya Melody lagi.
“180 cm, Nona,” jawab Charles. Melody mengangguk paham. Kemudian ia
mengedarkan pandangannya. Dia tersadar bahwa mereka berdua ada didepan gerbang.
Untung saja jalan di depan gerbang lebar. Cukuplah untuk orang-orang menjauhi
mereka berdua.
“Charles apa kau tahu aku harus kemana?” tanya Melody.
“Tentu saja saya tahu Nona. Mari saya antar,” jawab Charles sambil
berjalan mendahului Melody.
•••
Mereka kini berada disebuah ruangan yang biasa disebut aula. Melody
mengedarkan pandangannya. Terdapat banyak murid saat ini. Aula jadi terasa
sesak. Melody kurang suka keadaan seperti ini.
“Walaupun tidak suka, tahanlah sebentar, Nona,” kata Charles seakan
membaca pikiran Melody. Seketika raut wajah Melody berubah.
“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Melody.
“Raut wajah anda itu mudah dibaca. Saran saya sebaiknya anda
belajar bagaimana cara agar raut wajah anda tidak mudah dibaca,” jawab Charles.
“Err ... baiklah aku mengerti,” sahut Melody dengan setengah hati.
Sedangkan Charles mati-matian menahan tawa melihat raut wajah nonanya itu.
15 menit telah berlalu. Aula yang awalnya ramai dengan
suara-suara para siswa menjadi hening. Ditengah keheningan itu terdengar suara
sepatu yang menggema diseluruh ruangan. Pusat perhatian semua murid juga
teralih ke pemilik sepatu itu. Semua mata yang mengikuti pergerakan pemilik
sepatu itu, akhirnya berhenti ketika pemilik sepatu itu berhenti ditengah
ruangan. Terlihat sosok wanita dewasa yang anggun. Dengan rambut panjang
bergelombang berwarna coklat miliknya seakan menegaskan keanggunannya itu. Dan
mahkota yang terpasang cantik dikepalanya itu menandakan bahwa dia adalah orang
yang berkuasa di sekolah itu.
“Selamat pagi semuanya. Selamat datang di Cleon Academy.
Perkenalkan nama saya Aze de Conero. Kalian bisa panggil saya Queen Aze. Saya
adalah kepala sekolah di sini. Saya harap kalian betah dan selalu bersemangat
saat belajar di sini. Yang perlu kalian ketahui, para pengajar bisa kalian panggil
Sire dan Madam. Untuk sesama murid bisa kalian panggil Pangeran dan Putri.
Peraturan ini wajib dipatuhi oleh seluruh warga Cleon Academy,” jelas Aze. Dia
mengedarkan pandangannya sejenak.
“Pembagian kamar sudah tertera di mading asrama. Kalian bisa meminta
kunci kamar ke bagian resepsionis. Untuk hari ini kalian bebas. Tapi, saya
ingin jam tujuh malam kalian berkumpul di aula ini kembali. Dan saya berharap
tidak ada yang terlambat. Sekian dari saya. Terima kasih,” lanjut Aze menutup
pidatonya hari ini. Kemudian ia berjalan ke luar aula. Seketika aula kembali
ramai. Kini para murid berdesakan keluar aula. Sedangkan Melody hanya berdiam
diri menunggu semua murid keluar dari aula.
Setelah semua keluar dari aula, Melody segera melangkah ke luar.
Namun, kegiatannya harus terhenti ketika dia mengingat sesuatu. Hal itu membuat
Charles yang mengikuti Melody dengan terpaksa menabraknya.
“Ada apa, Nona?” tanya Charles.
“Charles, aku ... tidak tahu arah ke asrama,” jawab Melody sambil
menolehkan kepalanya ke belakang. Charles yang merasa tertipu hanya bisa
tersenyum.
“Kalau begitu biarkan saya memandu anda, Nona,” kata Charles sambil
kembali berjalan mendahului Melody. Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan ke
asrama.
•••
Melody dan Charles kini berdiri di depan mading yang tertempel
tepat di sebelah pintu masuk asrama. Mereka sedang serius mencari nama Melody.
“Melody Senjani Abrisal, Melody Senjani Abrisal. Nah, ketemu! Kamar
216!” seru Melody begitu menemukan kamarnya.
“Duduk lah di sofa dulu. Saya akan mengambil kunci kamar,” suruh
Charles yang sudah beranjak dari tempatnya berdiri menuju meja resepsionis.
Melody pun menuruti perkataan Charles sambil menggeret tasnya.
Ia duduk di sofa yang tak jauh darisana. Di sebelahnya ada seorang
perempuan berambut lurus berwarna coklat. Perempuan itu tersenyum ketika
menyadari Melody melihat ke arahnya. Melody pun balas tersenyum pada perempuan
itu. Kecanggungan melanda mereka berdua. Rasa ingin mengobrol sedikit muncul
dihati mereka masing-masing.
“Eum ... nama putri siapa?” tanya perempuan berambut coklat itu
tiba-tiba.
“Eh anda berbicara dengan saya?” tanya Melody balik dengan ekspresi
kaget. Perempuan itu tersenyum dan mengangguk membenarkan.
Dengan canggung Melody menjawab, “Nama saya Melody Senjani Abrisal.
Kalau anda?”
“Nama saya Dyvania Cassa Lydonia,” balas perempuan itu.
Pembicaraan mereka berhenti. Keadaan kembali hening. Tapi, untung
saja Charles menyelamatkan Melody dari keadaan tersebut. Kini Charles sudah
berdiri di depan Melody. Dia menyerahkan kunci kamar pada Melody.
“Putri Lydonia, saya pamit ke kamar, ya,” pamit Melody pada Dyva.
Dyva mengangguk tanda mengizinkan Melody pergi. Melody dan Charles pun pergi
dari hadapan Dyva.
“Terima kasih, Charles,” ucap Melody.
“Hm? Untuk apa, Nona?” tanya Charles kebingungan.
Melody tersenyum tipis dan berkata, “Lupakan saja.” Charles pun memilih diam.
Mereka berjalan menuju tangga yang berada di sebelah kiri ruangan.
Untung saja kamar Melody berada di lantai dua. Jadi tidak perlu capek jikalau
naik turun tangga.
Sesampainya di kamar, Melody langsung membuka pintu. Dia
mengedarkan pandangannya. Hal pertama yang ditangkap oleh matanya adalah kamar
mandi. Lalu hal kedua yang ditangkap oleh matanya adalah dapur mini dengan
peralatan masak yang cukup lengkap. Selanjutnya dia menangkap keberadaan kasur
king size, sofa, meja rias, meja belajar, lemari buku, dan lemari pakaian yang
tertata rapi. Dan hal terakhir yang membuat senyumnya melebar adalah balkon
kamar yang dilengkapi kursi dan meja. Satu kata untuk kamarnya. Sempurna.
Tapi, sepertinya ada yang terlupakan. Ah iya, Charles. Berbeda
dengan Melody yang sibuk mengagumi kamarnya, Charles kini sedang menyiapkan teh
untuk Melody. Melody yang telah selesai mengagumi kamarnya, beranjak menuju
dapur karena mendengar kebisingan darisana.
“Apa yang kamu lakukan, Charles?” tanya Melody yang kini berada di
belakang Charles.
“Membuat teh untuk anda,” jawab Charles yang masih sibuk dengan teh
dihadapannya.
“Tapi aku tidak meminta teh,” sahut Melody.
“Saya tahu anda kelelahan, Nona. Saya buatkan teh agar anda sedikit
rileks,” kata Charles yang kini berpindah ke tengah dapur yang terdapat satu
meja dan dua kursi. Melody pun mengikuti Charles.
Setelah menata meja, Charles menarik salah satu kursi dan
mempersilahkan Melody duduk. Melody pun duduk di sana. Setelah itu, Charles
duduk dihadapan Melody.
“Silahkan diminum tehnya, Nona,” ucap Charles. Melody dengan
perlahan meminum teh buatan Charles.
Begitu masuk ke dalam mulut, terasa air teh yang manis dan hangat
mengalir lembut. Badan yang awalnya tegang dan kaku jadi terasa lebih rileks.
Melody tersenyum senang ketika merasakannya. Dia benar-benar bersyukur Charles
membuatkannya secangkir teh.
“Kau benar, Charles. Teh membuat badanku jadi lebih rileks,” kata
Melody. Terlihat jelas dia benar-benar senang saat ini. Charles yang mengetahui
itu ikut tersenyum senang.
“Nona, ada rencana untuk seharian ini?” tanya Charles.
“Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?” tanya balik Melody.
“Mau ikut dengan saya?” tawar Charles.
“Boleh sih. Aku juga tidak ada rencana,” jawab Melody menyetujui
tawaran Charles.
Charles kembali tersenyum. Dia berdiri dari duduknya. Kemudian
berjalan ke arah Melody dan sedikit membungkuk sambil mengulurkan tangan
kananya. Sedangkan tangan kirinya berada di belakang punggung.
“Mari ikut dengan saya, Nona,” ajak Charles dengan resmi.
Melody menerima uluran tangan Charles sambil berkata,
“Dengan senang hati.”
Mereka berdua pun ke luar dari kamar. Dengan menggandeng tangan
Melody, Charles menggiring Melody ke luar dari area sekolah. Dengan tenang
Charles menyeberang jalan dan membawa Melody ke salah satu tempat makan. Tempat
makan ini bernama “Two Side”.
Tidak seperti tempat makan biasanya, kali ini mereka disuguhkan
taman yang berada dibagian depan. Menurut keterangan, tempat makan ini biasanya
disewa untuk pesta teh dan sejenisnya. Selain itu, dibagian belakang juga ada
pantai buatan. Dua pemandangan yang berbeda inilah yang membuat Two Side
terkenal.
“Nona, ingin makan apa?” tanya Charles sambil memberi buku menu.
Rupanya mereka berdua sudah duduk.
“Aku pesan cheese cake saja,” jawab Melody.
“Tidak ingin pesan yang lain?” tanya Charles lagi. Melody
menggeleng tanda menolak.
“Baiklah. Green tea 2, cheese cake 1 ya,” kata Charles pada
pelayan.
“Ada lagi?” tanya pelayan itu. Charles menggeleng.
“Green tea 2, cheese cake 1. Benar?” tanya pelayan itu memastikan.
“Benar,” jawab Charles. Pelayan itu pun pergi darisana.
“Ngomong-ngomong Charles, kenapa kamu memilih mengajakku ke sini?”
tanya Melody sambil melihat ke sekitarnya.
“Karena tempat ini unik. Saya rasa, Nona, akan terkesan,” jawab
Charles.
“Well, aku cukup terkesan,” sahut Melody sambil tersenyum.
“Eh iya, aku tidak melihatmu mencari kamar asramamu sendiri,”celetuk
Melody.
“Saya 'kan tidur dengan Nona,” kata Charles dengan santai.
“Hah?! Tidur denganku?!” Sontak pekataan Charles membuat raut wajah
Melody tak tentu. Campur aduk rasanya. Bagaimanapun Charles adalah seorang
laki-laki!
“Bercanda. Kamar saya berada di sebelah kamar anda. Tadi saat
mencari kamar anda, saya juga mencari kamar saya,” jelas Charles.
“Lalu kenapa kamu tidak pergi ke kamarmu?” tanya Melody lagi.
“Untuk apa?” tanya Charles balik.
“Menaruh barangmu mungkin,” tebak Melody. Charles terkekeh
mendengar pernyataan Melody.
“Saya ini cuma makhluk ciptaan, Nona,” kata Charles memperjelas
statusnya.
“Makhluk ciptaan berwujud manusia. Itu artinya bersikaplah seperti
manusia,” kata Melody acuh tak acuh. Charles menatap Melody lama. Diapun
tersenyum tipis.
“Baiklah. Akan saya patuhi perintah anda,” gumam Charles. Melody
yang mendengar gumaman Charles pun diam-diam meliriknya.
Dan tanpa mereka tahu, ada seseorang yang memperhatikan gerak-gerik
mereka sedari tadi.
“Awal yang menarik.”